Fathanah Merupakan Sifat Terpuji Paling Utama
Dalam
sisi kepribadian manusia, ternyata terdiri dua dimensi yang berbeda, yaitu sisi
rasional dan sisi emosional. Sisi rasional menyangkut kemampuan manusia dalam
menghitung, meneliti, memikirkan sebab akibat, menjalankan mesin dan
memproduksi sesuatu. Sementara sisi emosional membawa nuansa perasaan,
menyangkut suasana hati gembira, sedih, kecewa, tegang, takut, hingga pasrah. Seberapa
mampu seseorang mengatasi kesedihan, ketakutan dan mengelola berbagai sisi
emosi dalam dirinya itulah yang disebut kecerdasan emosi. Mereka yang emosinya
cerdas, ia akan tahu dan mampu menata perasaannya, kapan ia harus marah, sedih
atau kecewa, dan kapan pula ia boleh gembira.
Selain
mampu mengelola emosi diri sendiri, anak yang emosinya cerdas pun pandai
memahami keadaan orang lain. Mereka mudah merasakan kesedihan dan kekhawatiran
yang dirasakan temannya, sehingga tumbuh empati mereka untuk menghibur teman
tersebut. Terhadap teman yang sedang jengkel, marah dan mengejek dirinya pun ia
mudah memaafkan.
Kepandaian dalam bersosialisasi, termasuk salah satu
aspek kecerdasan emosi. Anak pandai bergaul, tidak pemalu, dan cenderung
mengutamakan orang lain, setelah kepuasannya sendiri tercukupi. Mereka yang
sangat cerdas emosinya bahkan memiliki kemampuan untuk memimpin teman-temannya,
dijadikan panutan dan disukai banyak teman.
Dalam Islam,
kecerdasan merupakan anugerah Allah yang tiada ternilai harganya. Dengan kecerdasan
manusia dapat berfikiran berkembang untuk lebih baik dalam hidupnya. Orang yang cerdas ( fathanah ) dapat
menyelesaikan berbagai permasalahan dalam hidupnya dan mampu mencari kebenaran
dalam agama serta tidak akan tersesat didunia. Dalam Al-qur’an suarat Ibrahim
ayat 52 Allah SWT menjelaskan:
هذا
بلاغ للناس ولينذروا به وليعلموا أنما هو إله واحد وليذكر أولوا الألباب ﴿ابراهيم
:٥٢﴾
Artinya: (Al Qur'an) ini adalah penjelasan yang
sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan
supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar
orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.(Qs. Ibrahim : 52)
Didalam ayat yang lain Allah juga menjelaskan bahwa akan
mengangkat derajat orang-orang yang berimu, seperti dalam firmannya surat Al mujadillah
ayat 11:
يأ
يها الذين امنوا إذا قيل لكم تفسحوا فى المجالس فافسحوا يفسح الله لكم وإذا قيل
أنشزوا فانشزوا يرفع الله الذين أمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما
تعملون خبير ﴿المجادلة : ١١﴾
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: Berlapang-lapanglah dalam
majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.(Qs. Al-Mujadillah: 11)
Bagi manusia, sifat
fathanah itu dapat dicapai oleh manusia dengan belajar dan menekuni
pendidikan. Allah sangat memuliakan orang-orang beriman dan memiliki ilmu
pengetahuan. Orang yang berilmu juga akan diangkat derajatnya oleh allah
seperti disebutkan dalam ayat diatas. Tidak akan sama orang yang memiliki ilmu
pengetahuan dengan orang-orang yang bodoh dalam pandangan agama. Oleh karena
demikian didalam Al-qur’an, Allah memotifasi hambanya agar berfikir bagimana
allah mencipkan langit dan bumi dan menurunkan hujan sehingga menjadi pelajaran
bagi manusia. Seperti dalam firman-Nya Fathir ayat 27-28 :
ألم
تر أن الله أنزل من الساء ماء فأخرجنا به ثمرات مختلفا ألوانها ومن الجبال جدد بيض
وحمر مختلف ألوانها وغرابيب سود , ومن الناس والدواب والأنعام مخلف ألوانه مذلك
إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور ﴿فاطر : ٢٨-٢٧﴾
Artinya: Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah
menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan
yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis
putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (Qs. Fathir: 27-28)
Muhammad Al-ghazali menjelaskan bahwa tidak diragukan
lagi bahwa didalam menentukan ilmu wajib dituntut, terdapatlah hak allah yang
menjadi kewajiban bagi manusia. dan kewajiban antara sesama manusia secara
timbal balik untuk mewujudkan kepentingan bersama.1
Itu semuanya hanya dapat diperoleh dengan kecerdasan dalam menuntut ilmu.
Disamping dari pada itu Allah akan menyiksa orang-orang
yang tidak memanfaatkan akalnya dan tidak berfikir terhadap ciptaan Allah
seperti didalam firmannya Al-‘raf ayat 179:
ولقد
ذرأنا لجهنم كثيرا من الجن والإنس لهم قلوب لا يفقهون بها ولهم أعين لا يبصرون بها
ولهم أذان لا يسمعون بها أولئك كالأنعام بل هم أضل أولئك هم الغافلون ﴿الأعراف:
١٧٩﴾
Artinya: Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai.(Qs. Al-A’raf: 179)
Orang-orang yang mengingkari Tuhan adalah orang yang
tidak menggunakan akalnya dalam memikirkan tentang dirinya dan untuk apa dia
dicptakan. Iskandar mirza menjelaskan bahwa ketidaksadaran akan dirinya dan
tuhannya awalnya lahir dari lingkungan terdekat yang memberikan pengaruh pada
dirinya disamping potensi dasar yang terdapat dalam dirinya.2
Padahal pada
dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) tanpa noda.
Namun sayangnya kesucian itu tidak dapat dipertahankan karena adanya pengaruh dari lingkungan dan lainnya. Karena
itu setiap manusia haarus belajar dan menjadi pintar sehingga dapat membentengi
dirinya dengan kecerdasan yang dia miliki. Karena itulah dalam Islam sangat
mengutamakan sifat Fathanah ( kecerdasan ) yang menjadi modal utamam
manusia dalam hidupnya.
1 Muhammad Al-ghazali, Khuluqul
Muslim (terjemahan oleh: moh. Rifa’i), ( Semarang : Wicaksana, 1985, hal: 459.
2 Iskandar Mirza, Motifasi
Kecerdasan Spiritual, ( Bandung :
CV.Wahana Karya Grafika, 2005), hal 21.
0 Comments
Post a Comment