A.
Hakikat
Kesehatan Jiwa dan Pendidikan
1.
Hakikat
Kesehatan Jiwa
Kesehatan mental sering disebut juga
dengan istilah mental health dan atau mental hygiene. Secara
historis, ilmu ini diakui berasal dari kajian psikologi, Usaha para psikolog
yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari keluhan-keluhan masyarakat
sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala yang menggelisahkan. Fenomena
psikologis ini tampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu semata, melainkan
oleh masyarakat luas.[1]
Ketika kegelisahan itu masih berada pada taraf ringan, individu yang terkena
masih mampu mengatasinya, namun ketika kegelisahan tersebut sudah bertaraf
besar, maka biasanya si penderita sudah tidak mampu mengatasinya. Bila kondisi
itu dibiarkan, yang terganggu tidak hanya individu si penderita saja, melainkan
akan semakin menyebar mengganggu orang lain di sekitarnya.
Latar belakang munculnya ilmu kesehatan
mental ini sekaligus melahirkan pengertian awal ilmu tersebut. Ilmu kesehatan
mental berkait erat dengan terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan.[2]
Pengertian klasik ini mengandung arti sangat sempit, karena kajian ilmu
kesehatan mental hanya diperuntukkan bagi orang yang mengalami gangguan dan
penyakit jiwa saja. Padahal ilmu ini juga sangat dibutuhkan oleh setiap orang
yang merindukan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
Fenomena ini semakin mendorong para
ahli merumuskan pengertian ilmu kesehatan yang mencakup wilayah kajian lebih
luas. Marie Jahoda, seperti dikutip Yahya Jaya, memberikan batasan lebih luas
dari pengertian pertama. Menurutnya, kesehatan mental mencakup:
1) Sikap
kepribadian yang baik terhadap diri sendiri, kemampuan mengenali diri dengan
baik,
2) Pertumbuhan dan
perkembangan serta perwujudan diri yang baik,
3) Keseimbangan
mental, kesatuan pandangan, dan ketahanan terhadap segala tekanan,
4) Otonomi diri
yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan
bebas,
5) Persepsi mengenai
realitas, terbebas dari penyimpangan kebutuhan serta memiliki empati dan
kepekaan sosial, dan
6) kemampuan
menguasai dan berintegrasi dengan lingkungan.[3]
Sementara Goble, mengutip dari Hasan
Lamgulung, mendefinisikan, kesehatan mental adalah terwujudnya integritas
kepribadian, keselarasan dengan jati diri, pertumbuhan ke arah realisasi diri,
dan ke arah hubungan yang sehat dengan orang lain. Sepintas lalu kedua
pengertian di atas terkesan sudah komprehensif dan utuh, namun setelah
diteliti, dua definisi tersebut masih mengandung kekurangan sempurnaan,
terutama bila dilihat dari wawasan yang berorientasi Islam.[4]
Bila dicermati, kedua definisi di atas bertopang pada faham psikologi murni.
Psikologi sangat mengandalkan data-data empirik dan metodologi rasional.
Psikologi, sebagai salah satu bentuk sains kontemporer, tidak banyak mengkaji
dan mendiskusikan data-data meta- empirik dan metodologi rasional, dan
biasan ciri-ciri utama telaahnya lebih bersifat sensori, materialistik,
obyektif, dan kuantitatif.[5]
Zakiah Daradjat, dalam pidato pengukuhannya
sebagai guru besar untuk Kesehatan Jiwa di IAIN "Syarif Hidayatullah Jakarta"
mengemukakan lima buah rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli:[6]
Pertama, Kesehatan jiwa adalah terhindarnya orang dari gejala
gangguan jiwa (neurose)
dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa)
yang memandang manusia dari
sudut sehat atau sakitnya.
Kedua, Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta
lingkungan tempat ia hidup. Definisi
ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi
yang pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan
akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
Ketiga, Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang
sungguh-sungguh antara
fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta
terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi
ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi
jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama
sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang
dari sifat raguragu dan bimbang, serta
terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.
Keempat, Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang
bertujuan untuk mengembangkan dan
memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada
semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan
penyakit jiwa.
Kelima, Kesehatan
mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguhsungguh antara
fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia
dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan,
serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia
dan bahagia di akhirat.
Dalam
buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan Mental, Zakiah Daradjat mengemukakan, kesehatan mental adalah
terhindar seseorang dari gangguan dan
penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan
biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan
merasa bahwa dirinya berharga, berguna
dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang adapadanya seoptimal mungkin.[7]
Menurut M.Buchori, kesehatan mental (mental
hygiene) adalah ilmu yang
meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani.
Orang yang sehat mentalnya ialah
orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dengan mengutip
H.C. Witherington menambahkan,
permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi,
kedokteran, psikiatri, biologi,
sosiologi, dan agama.[8]
Kesehatan
jiwa seseorang berhubungan dengan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan
yang dihadapi. Setiap manusia memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan di
antara mereka ada yang berhasil memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada
yang memperolehnya setelah berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil
menggapainya meskipun telah bekerja keras dan bersabar untuk menggapainya.
Dalam
Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada
umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan
dari kondisi pribadi yang matang secara emosional, intelektual dan sosial,
serta terutama matang pula ketuhanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
demikian dalam Islam dinyatakan betapa pentingnya pengembangan pribadi-pribadi
meraih kualitas “insan paripurna”, yang otaknya sarat dengan ilmu yang
bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya iman dan taqwa kepada Tuhan. Sikap dan
tingkah lakunya benar-benar merefleksikan nilai-nilai keislaman yang mantap dan
teguh. Otaknya terpuji dan bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan
ketuhanan, rasa kesatuan, kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan
kasih sayang[9]. Kesan demikian pasti jiwanya pun sehat. Suatu
tipe manusia ideal dengan kualitas-kualitasnya mungkin sulit dicapai. Tetapi
dapat dihampiri melalui berbagai upaya yang dilakukan secara sadar, aktif dan
terencana sesuai dengan prinsip yang terungkap dalam firman Allah SWT dalam
surat Ar-Ra’du ayat 11 sebagai berikut:
لَهُ
مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ
اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن
دُونِهِ مِن وَالٍ) الرعد: ١١(
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang
selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(Qs.
Ar-Rad:11)
Ayat ini menunjukkan bahwa
Islam mengakui kebebasan berkehendak dan menghargai pilihan pribadi untuk
menentukan apa yang terbaik baginya. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan
untuk secara sadar aktif melakukan lebih dahulu segala upaya untuk meningkatkan
diri dan merubah nasib sendiri dan barulah setelah itu hidayah Allah akan
tercurah padanya. Sudah tentu upaya-upaya dapat meraih hidayah Allah SWT itu
harus sesuai dan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selain itu dalam Islam kebebasan
bukan merupakan kebebasan tak terbatas, karena niat, tujuan, dan cara-caranya
harus selalu sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma-norma yang berlaku.
2.
Hakikat
Pendidikan
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang mengandung
arti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan merupakan
terjemahan dari bahasa Yunani, yaitu Paedagogie, yang berarti bimbingan
kepada anak didik. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan istilah education yang berarti
pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan
dengan kata Tarbiyah yang berarti pendidikan.[10]
Pendidikan
berasal dari kata didik, lalu kata ini mendapat awal “me” sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberikan latihan. Dalam
memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pengertian pendidikan dalam kamus besar Bahasa
Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan menusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dalam
bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik)
artinya memberikan peningkatan, dan mengembangkan. Dalam pengertian yang
sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses
perbuatan untuk memperoleh pengetahuan.[11] Jadi yang
dimaksud dengan Pendidikan ialah bimbingan atau pertolongan secara sadar yang
diberikan oleh guru kepada peserta didik dalam usaha perkembangan jasmaniah dan rohaniah kearah kedewasaan dan
seterusnya ke arah terbentuknya kepribadian muslim.
Pendidikan dalam arti sempit, ialah bimbingan yang
diberikan kepada anak didik sampai ia dewasa. Sedangkan pendidikan dalam arti
luas, ialah bimbingan yang diberikan sampai mencapai tujuan hidupnya, sampai
terbentuknya kepribadian muslim. Jadi pendidikan Islam, berlangsung sejak anak
dilahirkan sampai mencapai kesempurnaannya atau sampai akhir hidupnya.
Sebenarnya kedua jenis pendidikan ini (arti sempit atau arti luas) satu adanya.[12]
Sedangkan menurut undang-undang sistem pendidikan
nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[13]
Adapun menurut Ahmad D. Marimba adalah “bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[14] Menurut
Achmadi mendefinisikan pendidikan Islam adalah “segala usaha untuk memelihara
dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada pada
subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai
dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian
muslim”.[15]
Azyumardi Azra
berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah suatu proses dimana
suatu bangsa mempersiapkan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan untuk
memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien.[16]
Menurut Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat, hakikat pendidikan mencakup kehidupan
manusia seutuhnya. Pendidikan Islam yang sesungguhnya tidak hanya memperhatikan
satu segi saja, seperti segi akidah, ibadah atau akhlaknya saja, melainkan
mencakup seluruhnya, bahkan lebih luas dari pada itu semua. Dengan kata lain
pendidikan Islam memiliki perhatian yang lebih luas dari ketiga aspek tersebut.
Hal ini menjadi titik tekan bagi Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat, karena baik
pendidikan Nasional maupun pendidikan Islam pada umumnya hanya memfokuskan pada
salah satu aspek saja[17].
Dalam hidup ini manusia tidak bisa
terlepas dari pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan Agama, karena
pendidikan itu sangat dibutuhkan dan menjadi perhatian orang dimana saja. Dalam
pengertian yang luas pendidikan dapat diartikan "sebagai sebuah proses
dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman,
dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan."[18]
Pendidikan dapat membawa pembaharuan
kondisi hidup manusia lebih baik dari pada sebelumnya. Dengan demikian kita
bisa mengangkat nama baik keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini sudah menjadi
tugas dan kewajiban masyarakat, bangsa dan Negara untuk melihat kelangsungan
pendidikan itu sendiri demi terwujudnya bangsa yang terhormat.[19]
Meskipun pendidikan merupakan fenomena
dan usaha manusiawi yang pasti terselenggara dimana pun manusia berada, namun
fenomena dan usaha pendidikan memegang peranan sentral dalam perkembangan
individu dan umat manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pendidikan perlu didasarkan
atas pemikiran yang matang, baik pikiran yang bersifat teoritis maupun yang
mengarah kepada pertimbangan praktis dalam rangka mencapai hasil perkembangan
dan pembudayaan manusia secara maksimal.
Pada dasarnya istilah pendidikan
tersebut memiliki pengertian yang sangat luas, sehingga sampai saat ini belum
ada keseragaman pengertian atau definisi pendidikan yang diberikan para ahli.
Masing-masing ahli pendidikan masih sangat dipengaruhi oleh pola pikirnya
masing-masing dalam memberikan pengertian pendidikan. Menurut Ahmad Tafsir
dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, menyebutkan bahwa
"pendidikan Islam adalah ilmu yang berdasarkan Islam yang berisi
seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia, dan ajaran tersebut didasarkan
pada Al-Qur'an dan hadits."[20]
Pendidikan merupakan kehidupan manusia
itu sendiri dan menjadi tuntunan hidupnya, apabila hasil yang diperoleh dalam
kehidupannya adalah produk pendidikan. Secara filosofis bahwa di dalam
pendidikan itu mengandung nilai-nilai yang sangat berharga dalam kehidupannya.
Bahkan dikatakan pendidikan itu mewariskan nilai-nilai kepada generasi. Di
sinilah pentingnya kelestarian, nilai dalam pendidikan sangat diutamakan.
Pewarisan nilai-nilai kepada generasi penerus tidak akan sampai kepada suatu
tujuan pendidikan bila tidak didasarkan kepada falsafah hidup dan sumber
pedoman kehidupan.
Berkenaan
dengan masalah tersebut di atas Wens Tainlain mengemukakan bahwa "Istilah paedagogigiek
(ilmu pendidikan) berasal dari kata yunani “pedagogues” dan dalam bahasa
latin pedagogues yang berarti pemuda yang bertugas mengantar anak
kesekolah serta menjaga anak itu agar ia bertingkah laku susila dan disiplin"[21].
Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan
secara terperinci dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan
usaha manusia untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi
pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik)
dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai
pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan
terbentuknya kepribadian yang utama.
[1]
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: IAIN, 1978), hal. 4.
[9] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi
Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), hal. 150.
[11]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), hal. 256.
[16]
Azumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,
(Jakarta: Logos, 1998), hal. 3.
[17] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal.
233.
[18]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan
Baru, Cet. VIII, (Jakarta: Rosda Karya,
2003), 10.
[19] Ibid., hal. 12.
[20]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, Cet.VI, (Bandung:
Rosda Karya, 2004), hal. 13.
0 Comments
Post a Comment