Hikmah Larangan Mengawini wanita Musyrikah Menurut Pendidikan Islam
BAB I
P E N D A H U L U A N
A.
Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sempurna (kamil) dan komprehensif (syumul).
Islam mengatur mulai dari perkara yang paling kecil hingga masalah yang paling
besar. Apabila di dalam istinja’ (bersuci dari buang hajat) saja Islam telah
mengatur-nya, terlebih lagi di dalam perkara-perkara yang lebih besar darinya.
Demikian pula dengan penyelenggaraan akad nikah dan walimah (resepsi),
Islam telah memberikan aturan-aturan yang jelas agar acara pernikahan menjadi
meriah dan berbarakah. Sesungguhnya di dalam pernikahan terdapat rahasia
Rabbani yang sangat besar sekali, dimana saat terlaksananya akad nikah akan
tercapailah kasih saying yang didapati oleh suami isteri, dimana rasa kasih
saying tersebut
tidak bisa didapati di antara dua orang sahabat kecuali
setelah melalui pergaulan yang sangat lama.[1]
Allah menciptakan manusia, pria dan
wanita, dengan sifat fitrah yang khas. Manusia memiliki naluri, perasaan, dan
akal. Adanya rasa cinta kasih antara pria dan wanita merupakan fitrah manusia.
Hubungan khusus antar jenis kelamin antara keduanya terjadi secara alami karena
adanya gharizatun nau’ (naluri seksual/berketurunan). Sebagai sistem
hidup yang paripurna, Islam pasti sesuai dengan fitrah manusia. Karenanya Islam
tidak melepaskan kendali naluri seksual secara bebas yang dapat membahayakan
diri manusia dan kehidupan masyarakat.
Islam telah membatasi hubungan
khusus pria dan wanita hanya dengan pernikahan. Dengan begitu terciptalah
kondisi masyarakat penuh kesucian, kemuliaan, sangat menjaga kehormatan setiap
anggotanya, dan dapat mewujudkan ketenangan hidup dan kelestarian keturunan
umat manusia. Pernikahan merupakan ikatan diantara dua insan yang mempunyai
banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara
berfikir (mental), pendidikan dan lain hal. Dalam pandangan Islam, pernikahan
merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat
hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat. Aqad nikah dalam
Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat “ijab dan qabul”.
Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah
dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah
kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal
shaleh.”[2]
Menggapai keharmonisan hidup berumah
tangga dan kemesraan di dalamnya adalah impian setiap manusia, terutama kita,
umat Islam. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk itu. Ada sebagian orang yang
memulainya dengan berpacaran terlebih dahulu sebelum menikah. Alasannya : untuk
lebih mengenal lebih dalam calon pasangan masing-masing. Padahal, pacaran
sebelum menikah akan mengubur objektivitas, karena setiap orang yang melakukan
hanya ingin memperlihatkan hal-hal yang baik kepada pacarnya, dan hanya ingin
melihat yang baik dari pacarnya.
Keluarga sakinah, mawaddah, wa
rahmah, merupakan suatu keluarga dambaan bahkan merupakan tujuan dalam
suatu perkawinan dan sakinah itu didatangkan Allah SWT. ke dalam hati para nabi
dan orang-orang yang beriman, maka untuk mewujudkan keluarga sakinah harus
melalui usaha maksimal baik melalui usaha bathiniah (memohon kepada Allah
SWT.), maupun berusaha secara lahiriah (berusaha untuk memenuhi ketentuan baik
yang datangnya dari Allah SWT. dan Rasul-Nya, maupun peraturan yang dibuat oleh
para pemimpin dalam hal ini pemerintah berupa peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku).[3]
Allah SWT. menjelaskan dalam
firmannya dalam surat
Ar-ruum ayat 21 :
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ) الروم: ٢١(
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. (QS. Ar-Ruum; 21)
Aqad nikah bukan hanya perjanjian
antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah
dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan
mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah
SWT, “Yadullahi fawqa aydihim”. Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga
Allah menyebutnya “Mitsaqon gholizho” atau perjanjian Allah yang berat.
Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian Allah
dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat Allah juga menyebutkan aqad nikah
antara dua orang anak manusia sebagai “Mitsaqon ghalizha”. Karena
janganlah pasangan suami istri dengan begitu mudahnya mengucapkan kata cerai.
Allah SWT menegur suami-suami yang
melanggar perjanjian, berbuat dzalim dan merampas hak istrinya dengan firmannya
dalam surat An-nisa
ayat 21:
وَكَيْفَ
تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً) النساء:٢١(
Artinya:
Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali padahal kalian sudah berhubungan
satu sama lain sebagai suami istri. Dan para istri kalian sudah melakukan
dengan kalian perjanjian yang berat “Mitsaqan gholizha. (Qs. An-Nisaa’ :
21).
Perkawinan
beda agama atau perkawinan antar orang yang berlainan agama ialah perkawinan
antara orang Islam baik pria maupun wanita yang menikah dengan orang yang bukan
Islam. Perkawinan ini dalam Islam digolongkan menjadi tiga bagian, Perkawinan antara seorang pria muslim dengan
wnita musyrik,Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahlul
kitab,dan Perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim. Ketiga bagian ini kemudian menjadi
perdebatan para ulama tentang status hukumnya. Ada sebagian ulama membolehkan pernikahan ini
dan adalagi ulama lain yang melarangnya. Klimaks yang menjadi permasalahan dari
perdebatan ini tiada lain tertumpu pada perbedaan pemahaman tentang wanita
musyrikah dan wanita ahlul kitab dikaitkan dengan perkembangan zaman sekarang
yang notabene kitab suci mereka sudah tidak murni lagi.
Karena itu pula timbulah keraguan
dalam pikiran para ulama yang melarang perkawinan ini terhadap wanita musyrikah
dan ahlul kitab. Ayat al-qur'an yang mereka perdebatkan terdapat
pada surah al-Baqarah, ayat 221 sebagai berikut:
وَلاََ
تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن
مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى
يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ ) البقرة: ٢٢١(
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.( Qs.. Al-baqarah: 221)
Ayat diatas
menurut hemat penulis sebenarnya sudah jelas melarang pernikahan ini dan
hukumnya pun haram. Pertimbangannya
adalah ayat selanjutnya yang menjelaskan bahwa terjadinya kontradiktif antara
yang mengajak kepada jalan neraka, sementara yang lain mengajak kesurga.
Artinya bahwa wanita musyrikah mengajak keneraka sementara Allah mengajak ke
surga. Dan hal inipun selaras dengan pendapat para ulama yang melarang terhadap
pernikahan ini. Tetapi walaupun demikian pendapat sebagian ulama lain pun
memiliki alasan tersendiri. Islam dengan tegas melarang seorang
wanita Islam kawin dengan seorang pria non Muslim, baik musyrik maupun
Ahlulkitab. Dan seorang pria Islam secara pasti dilarang menikahi seorang
wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan. Mengapa?
Karena pernikahan yang berlanjut kepada lembaga keluarga bisa menjadi institusi
penting dan strategis untuk memindahkan dan menanamkan nilai-nilai agama yang
diyakini kebenarannya. Banyaknya kasus murtad atau pemurtadan antara lain
melalui perkawinan beda agama. Adapun yang menjadi persoalan sejak zaman sahabat
Rasulullah hingga abad modern ini adalah perkawinan antarpria Islam dengan wanita
Ahlulkitab atau Kitabiyah.
Perkawinan beda agama pada dasarnya
dilarang oleh agama Islam, meskipun secara tekstual ada ayat al-Qur'an yang membolehkannya. Namun
menurut para ulama ayat ini merupakan dispensasi bersyarat; yakni boleh seorang
pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab dengan syarat kualitas iman pria
tersebut sudah kuat. Artinya iman mereka sudah berkualitas. Sebab dari
pernikahan ini mengandung resiko yang sangat besar, yaitu dapat menyeret pria
muslim pindah agama dan terjadi perceraian.
Pelarangan ini merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi
pemurtadan dan perceraian.Walaupun di akui dari pernihan ini bisa
dijadikan strategi da'wah untuk mengajak wanita musrikah menganut
ajaran Islam. Tetapi pada kenyataannya strategi ini digunakan oleh kaum
kristiani untuk menikahi wanita muslimah. Dan akhirnya terjadilah pengkristenan
muslim lewat pernikahan.
Tetapi jika pria muslim melakukan tindakan yang sama seperti kaum kristiani
tersebut, dikhawatirkan muslim itu menjadi murtad atau keluar dari Islam
disebabkan terpengaruh oleh istrinya. Selain itu pun anak-anak yang dihasilkan
dari pernikahan ini akan menjadi masalah dalam hukum kewarisan. Sebab itulah
para ulama melarang pernikahan ini guna mencegah terjadinya resiko yang lebih
besar meskipun ada sedikit manfaatnya. Dalam kaidah fiqih dijelaskan bahwa
mencegah datangnya madarat yang lebih besar itu harus di utamakan ketimbang
mengambil maslahat yang sedikit. Larangan perkawinan antar pemeluk agama
yang berbeda itu agaknya dilator belakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah
dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat
kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan
agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami
dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Nikah
merupakan jalan yang paling bermanfa'at dan paling afdhal dalam upaya
merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang
bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah
jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya. Nikah merupakan jalan fitrah
yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat
cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar'i tersebut sepasang suami
istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini
menjadi semakin semarak.
Rasulullah S.A.W. bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ
تَعَالَي عَنْهُ قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَالْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْمَنَ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.) رواه البخارى(
Artinya : Abdullah bin Mas’ud R.A. menceritakan bahwa Nabi saw berkata :Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara
kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih
menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa
yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya. (HR. Bukhari).[4]
Berdasakan
latar belakang masalah yang penulis bahas diatas, maka penulis tertarik untuk
membuat kajian skripsi dengan judul “ Hikmah Larangan
Mengawini wanita Musyrikah Menurut Pendidikan Islam “
B.
Rumusan Masalah
Adapun
yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
- Bagaimana
hukum perkawinan menurut al-Qur’an dan hadist?
- Apa hikmah
perkawinan dalam Islam ditinjau menurut pendidikan Islam?
- Apa hikmah
larangan mengawini wanita musyrikah ditinjau menurut pendidikan Islam?
- Apa hikmah
larangan mengawini wanita musyrikah dalam tinjauan pendidikan Islam?
- Apa
pengaruh negatif perkawinan dengan wanita musyrikah dalam tinjauan
pendidikan Islam?
C. Penjelasan
Istilah
Adanya
kesimpangsiuran dan kesalahpahaman dalam pemakaian istilah merupakan salah satu
hal yang sering terjadi, sehingga mengakibatkan penafsiran yang berbeda. Maka
untuk menghindari hal tersebut di atas, penulis merasa perlu mengadakan
pembatasan dari istilah-istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini.
Adapun istilah
yang penulis anggap perlu dijelaskan adalah: Hikmah, Larangan Mengawini wanita Musyrikah,dan Pendidikan
Islam
1. Hikmah
Dessy Anwar
dalam Kamus lengkap Bahasa Indonesia menjelaskan Hikmah artinya hikmat,
kebijaksanaan, kepandaian[5].
Hoetomo dalam Kamus lengkap Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa hikmah adalah
hikmat, kebijaksanaan, kepandaian, sakit, kesakitan, arti yang dalam, mempunyai
kekuatan.[6]
Adapun menurut
penulis, hikmah larangan mengawini wanita musyrikah adalah menfaat atau
keuntungan yang terkandung dalam larangan kawin dengan wanita musyrikah.
2. Mengawini
Daryanto,SS,
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
mengartikan kata "nikah/kawin"
sebagai perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi)” .[7] Perkawinan. Al-Quran
menggunakan kata ini untuk
makna tersebut, di
samping secara majazi
diartikannya dengan "hubungan seks". Kata ini dalam
berbagai bentuknya ditemukan sebanyak
23 kali. Secara
bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun”.
Adapun
menurut penulis, kawin adalah persetubuhan antara seorang laki – laki dengan
perempuan yang sudah diikat dengan tali pernikahan yang sah.
3. Wanita Musyrikah
M. Qurasy Shihab menjelaskan yang
dimaksud dengan wanita musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya.[8]
Adapun penurut penulis yang dimaksud
dengan wanita musyrik ialah wanita yang bukan beragama Islam dan bukan pula
ahli kitab.
4. Pendidikan Islam
Hobby, dalam Kamus Populer menjelaskan bahwa Pendidikan
berasal dari kata didik yang artinya ”Memelihara, memberi latihan, dan
pimpinan, kemudian kata didik itu mendapat awalan pe- akhiran- an sehingga
menjadi pendidikan yang artinya perbuatan mendidik.”[9] Menurut H. M Arifin, pendidikan
adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan
kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan
formal maupun non formal.[10]
Menurut Soegarda Poerbakawatja pendidikan ialah semua
perbuatan atau usaha dari generasi tua untku mengalihkan pengetahuannya,
pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda. Sebagai
usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun
rohani.[11]. Oemar Muhammad Al-Syaibani dalam buku
”Filsafat Pendidikan” mengemukakan bahwa ”Pendidikan adalah usaha-usaha untuk
membina pribadi muslim yang terdapat pada pengembangan dari segi spiritual,
jasmani, emosi, intelektual dan sosial.[12]
Dari
pengertian di atas maka yang penulis maksudkan dengan pendidikan islam adalah
suatu usaha membimbing dan membina pribadi muslim baik jasmani ataupun rohani
menuju terbentuknya akhlak yang mulia sesuai dengan Al-qur’an dan sunnah.
D. Tujuan dan Signifikansi Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.
Penulis ingin menjelaskan
hukum perkawinan menurut al-Qur’an dan hadist.
2.
Penulis ingin menjelaskan
hikmah perkawinan dalam Islam ditinjau menurut pendidikan Islam.
3.
Penulis ingin menjelaskan
hikmah larangan mengawini wanita musyrikah ditinjau menurut pendidikan Islam.
4.
Penulis ingin menjelaskan
hikmah larangan mengawini wanita musyrikah dalam tinjauan pendidikan Islam.
5.
Penulis ingin menjelaskan
pengaruh negatif perkawinan dengan wanita musyrikah dalam tinjauan pendidikan
Islam.
Adapun signifikansi pembahasan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Agar dapat
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bahaya perkawinan dengan wanita
musyrikah
2. Agar umat Islam
tidak melakukan perkawinan dengan wanita musyrikah
3. Hasil pembahasan ini akan bermanfaat bagi pembaca yang concern
dalam memahami perkawinan beda agama dalam hukum Islam.
4. Hasil
pembahasan ini dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan Islam tentang hikamh
larangan mengawini wanita musyrikah.
E.
Metode Pembahasan
Adapun metode dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1.
Pendekatan Penelitian
Dalam pembahasan ini penulis mempergunakan metode deskriptif kualitatif
yaitu suatu metode pemecahan masalah yang meliputi pencatatan, penafsiran dan
analisa terhadap data dalam pengkajian skripsi ini.[13]
Pembahasan ini akan menjelaskan hikmah larangan
mengawini wanita musyrikah dalam tinjauan pendidikan Islam.
2.
Ruang lingkup pembahasan
Adapun ruang lingkup pembahasan dalam penulisan
skripsi ini adalah :
Tabel 1.1 Ruang Lingkup Pembahasan
No
|
Ruang Lingkup
|
Hasil Yang Diharapkan
|
1
|
Hukum perkawinan
|
a).
Wajib
b).
Sunnah
c).
Mubah
d).
Makruh
e).
Haram
|
2
|
Hikmah Perkawinan
|
a). Mengikuti Sunnah
b). Ketenangan
c). Kesucian
|
3
|
Hikmah larangan kawin dengan wanita musyrikah
|
a)
Menjaga Kesucian Jiwa
b)
Pendidikan Anak
c)
Rumah Tangga
|
4
|
Hikmah larangan kawin dengan wanita musyrikah dalam
tinjauan pendidikan Islam
|
a)
Sakinah
b)
Mawaddah
|
3
|
Pengaruh
negatif akibat dari perkawinan dengan wanita musyrikah
|
a)
Pola Pikir Anak
b)
Keretakan Rumah Tangga
c)
Jauh Dari Sakinah
|
3.
Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1)
Sumber
data primer adalah sumber data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber
data dan penyelidik untuk tujuan penelitian.[14].
Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar-Agama dan Masalahnya, Bandung: Pionir Jaya. 1986, Thalib, Muhammad, Karakteristik Pernikahan Islami, Yokyakarta: Pro-U Media,
2008, Thaha, Khairiyah, Husain, Konsep Ibu Teladan: Kajian Pendidikan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 2002.
Thalib,Sajuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1974.
Mohammad,Adhim, Kado
Pernikahan
Untuk Istriku,Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006.
2)
Sumber
data skunder yaitu sumber data yang mendukung dan melengkapi sumber data primer
tersebut yaitu buku “Perkawinan
Dalam Syariat Islam” karya
Abdul Rachman yang diterbitkan PT Rineka : Cipta, 2000, “Petunjuk Membangun
dan Membina Keluarga Menurut Anjuran Islam”, karya Sukamto Nuri, yang diterbitkan
Al Ikhlas, 2000. Pernikahan Campuran Menurut Pandangan Islam, karya Jabry Abdul
Muta'al Muhammad yang diterbitkan Risalah Gusti, 1992, Mubayidh, Makmum, Saling Memahami Dalam Bahtera
Rumah Tangga. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2005, Muhammad Rasyid Al
‘Uwaid, Mengatasi Konflik Rumah Tangga, Jakarta: Al-’Itishom Cahaya
Umat, 2005 dan Ath Thahir, Fathi, Petunjuk Mencapai Kebahagiaan Dalam
Pernikahan, Jakarta: Amzah, 2005.
4.
Tehnik Pengumpulan Data
Adapun tehnik
pengumpulan data yang penulis gunakan adalah teknik literature yang berkaitan
dengan permasalahan di atas.[15]
Suatu metode pengumpulan data atau bahan melalui perpustakaan yaitu dengan
membaca dan menganalisa buku-buku, majalah-majalah yang ada kaitannya dengan
masalah yang penulis teliti. Selain itu juga akan memanfaatkan fasilitas
internet untuk memperoleh literatur-literatur yang berhubungan dengan skripsi
ini.
5.
Tehnik Analisa Data
Teknik analisis data adalah proses kategori urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, ia
membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap
analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara
dimensi-dimensi uraian.
Menurut Moleong analisis data adalah yakni suatu teknik penelitian untuk
membuat inferensi dengan mengidentifikasi karakter khusus secara obyektif dan sistematik
yang menghasilkan deskripsi yang obyektif, sistematik mengenai isi yang
terungkap dalam komunikasi.[16]
[1]
Ibrahim bin Shalih al-Mahmud, Kiat Hidup Bahagia dengan Suami Anda,
(Jakarta: Firdaus, 2005), hal.38.
[2]
Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah,
(Jakarta: Pustaka At-Taqwa, 2002), hal 19.
[4]
Aidh al-Qarni, Bulughul Maram Hadits Pilihan Hukum (terj.Zacky
Mubarak,), cet. I, (Jakarta Timur: Qisthi Press, 2006) , hal. 285.
[8]M.
Quraish Shihab, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 2000), hal. 28.
[11] Soegarda Poerbakawatja, et. al. Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung,
2001), hal. 257.
[12]
Oemar Muhammad At-Tomy Al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam ,terj.
Hasan Langgulung, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal.44.
[13] Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1992), hal. 243.
[14]
Winarmo Surachmad, Dasar dan Teknik Research Pengantar
Metodologi Ilmiah, (Bandung: Angkasa, 1987), hal. 163.
[15]Kartini,
Pengantar Metodologi Research Sosial, (Bandung: Alumni, 1980), hal. 28.