Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Hukuman Fisik Dalam Pendidikan


BAB II

Perspektif teoritis Tentang Hukuman  Fisik
Dalam Pendidikan

Hukuman  Fisik  Dalam Pendidikan

A.    Pengertian Hukuman Fisik

Dalam teori belajar (learning theory) yang banyak dianut oleh para behaviorist, hukuman (punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan.[1] Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau orang yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan sebuah tingkah laku yang diharapkan. Hukuman adalah “Penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru, dan sebagainya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan”.[2] Pengertian ini memberikan penegasan bahwa hukuman dijatuhkan kepada seseorang sebagai akibat pelanggaran, kejahatan atau kesalahan yang dilakukannya.
Hukuman atau punishment dalam hal ini adalah pemberian penderitaan,[3] atau mengadakan nestapa, lebih-lebih perasaan tidak senang,[4] yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru dan sebagainya) kepada siswa, dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasakannya menuju kearah perbaikan,[5] hukuman ini hanya sebagai metode untuk mendorong dalam berbuat kebaikan.[6]
Beberapa definisi hukuman telah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya:
Pertama,  hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya[7]. (Amin Danien Indrakusuma, 1973:14(
Kedua, menghukum adalah memberikan atau mengadakan nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya untuk menuju kearah perbaikan[8].
Dalam pengertian lain dijelaskan tentang makna hukuman, yakni: “Suatu perbuatan dimana seseorang sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungidirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran”.[9] Berdasarkan pengertian ini menegaskan bahwa hukuman diberikan dengan tujuan untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan anak didik dan melindungi dirinya dari perbuatan yang kurang baik seghingga anak didik tidak melakukan kesalahan. Di sisi lain makna hukuman adalah “Sesuatu yang diberikan kepada orang lain untuk membuat agar orang lain tersebut mengalami perasaan tidak senang untuk selanjutnya mengurangi perilaku yang menyebabakan dia dihukum.[10] Pengertian ini menegaskan bahwa hukuman merupakan satu bentuk terapi yang diberikan kepada seseorang agar ia mengurangi perilaku yang kurang baik yang menyebabkan ia dikenai hukuman.
Dalam dunia pendidikan, menurut Syamsul Bahri dan Aswan Zain menyebutkan bahwa hukuman adalah:
Reinforcement yang negatif, tetapi diperlukan dalan pendidikan. Hukuman dimaksud di sini tidak seperti hukuman penjara atau hukuman potong tangan. Tetapi hukuman adalah hukuman yang bersifat mendidik . Hukuman yang mendidik inilah yang diperlukan dalam pendidikan. Kesalahan anak didik karena melanggar disiplin dapat diberikan hukuman berupa sanksi menyapu lantai, mencatat bahan pelajaran yang ketinggalan, atau apasaja yang sifatnya mendidik.[11]

Hukuman diberikan oleh guru kepada siswa sebagai upaya menyadarkan siswa dari kesalahan, pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya. Adanya hukuman yang diberikan oleh guru dimaksudkan untuk memberi peringatan dan rasa jera kepada siswa unutuk tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya ketika belajar yang menyebabkan terganggunya proses pengajaran di dalam kelas. Dengan adanya hukuman menumbuhkan kesadaran bagi siswa bahwa apa yang dilakukannya salah dan tidak patut untuk diulangi.  
Sebagai contoh, di sekolah-sekolah berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan dan jika tingkah laku ini dilakukan oleh seorang siswa maka salah satu cara untuk menghilangkan tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain itu, mengerjakan tugas sekolah adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan jika seorang siswa lalai dan tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa itu dapat menampilkan tingkah laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu cara yang digunakan untuk mengatasinya.
Hukuman diartikan sebagai salah satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar dan harus mengandung makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir.[12] Misalnya, yang terlambat masuk sekolah diberi tugas untuk membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi sanksi membuat paper. Sedangkan hukuman pukulan merupakan hukuman terakhir bilamana hukuman yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman tersebut data diterapkan bila anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak membahayakan saraf otak peserta didik, serta menjadikan efek negatif yang berlebihan.
Decreasing the likelihood yang dimaksud di sini adalah penurunan kemungkinan dan tingkah laku dan some aversive concequence adalah konsekuensi negatif atau dampak yang tidak baik baik si pelanggar. Sebagai contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba (dari jam 18.00-19.00). Apabila tetap menonton maka Ani akan di hukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari.  Tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba di sini sebagai prosedur atau aturan-aturan yang harus diikuti. Bentuk penurunan tingkah lakunya adalah boleh menonton TV selain di waktu itu, dan sebagai konsekuensi negatif apabila melanggar akan dihukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari. Jadi, hukuman di sini berlaku apabila seseorang merasa enggan untuk mengikuti suatu aturan yang berimbas pada penurunan tingkah laku.
Sedangkan M. Arifin telah memberi pengertian hukuman adalah:“Pemberi rasa nestapa pada diri anak akibat dari kelasahan perbuatan atau tingkah laku anak menjadi sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungannya.”[13] Pendidik harus tahu keadaan anak didik sebelumnya dan sebab anak itu mendapat hukuman sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahannya. Baik terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan anak didik atau norma yang terdapat dalam ajaran agama Islam. Dalam menggunakan hukuman, hendaknya pendidik melakukannya dengan hati-hati, diselidiki kesalahannya kemudian mempertimbangkan akibatnya.
Penggunaan hukuman dalam pendidikan Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan pada anak, tetapi sebenarnya tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum dalam hal ini hendaknya pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh Muhammad Quthb dikatakan bahwa : “Tindakan tegas itu adalah hukuman”[14]. Sebagai alat pendidikan, maka hukuman adalah: “Tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja menimbulkan nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya”.[15] Defenisi ini memberikan penegasan bahwa hukuman diberi untuk mendidik anak untuk tidak lagi mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya sebelumnya.
Untuk itu, maka hukuman dapat: Pertama, senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran. Kedua, sedikit banyaknya selalu bersifat tidak menyenangkan . Ketiga, selalu bertujuan kearah perbaikan, hukuman itu hendaklah diberikan untuk kepentingan anak itu sendiri.  Dengan demikian hukuman diberikan dimaksudkan untuk mendidik anak agar menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah dan berusaha tidak mengulangi di kemudian hari. Kemudian memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan dengan mengoreksi mengapa kesalahan itu bisa terjadi. 
Dalam dunia pendidikan, hukuman merupakan hal yang wajar, bilamana hukuman yang diberika kepada anak didik memberikan sumbangan bagi perbaikan moral anak didik. Artinya terjadi keinsyafan pada diri anak didik atas kesalahan yang dilakukannya dan berusaha memperbaiki dan tidak melakukannya lagi. Hukuman dianggap efektif apabila dapat memotivasi anak didik untuk berusaha tidak mengulangi kesalahan yang dilakukannya sebelumnya dan menyesal telah melakukannya. Dan akibat hukuman yang diberikan kepada anak didik tidak membuat ia dendam atau merasa dikucilkan dan merasa harga dirinya telah tiada. Untuk itu guru harus dapat mengantisipasinya sedemikian rupa, agar anak didik menerimanya dengan sewajarnya dan sadar bahwa itu merupakan akibat kesalahan yang dilakukannya.   
Hukuman tidak mutlak diberikan langsung kepada anak didik apabila melakukan kesalahan. Pada tahap pertama, anak diberi kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahan yang dilakukannya, sehingga ia mempunya rasa kepercayaan terhadap dirinya dan ia menghormati dirinya kemudiam ia merasakan akibat perbuatan tersebut. Akhirnya ia sadar dan insyaf terhadap kesalahan yang dilakukannya dan berjanji di dalam hati untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang pernah dilakukannya. Apabila tahap pertama ini belum berhasil, maka dilanjutkan pada tahap kedua, yakni memberikan teguran, peringatan dan nasihat-nasihat. Ketika memberikan teguran, peringatan dan nasihat dianjurkan untuk bersikap bijaksana, singkat dan berisi, halus tutur katanya, dan jangan terlalu banyak mencela.       
Apabila tahap kedua ini belum berhasil, maka dilanjutkan pada tahap ketiga, yakni memberikan hukuman kepada anak didik dengan hukuman yang seringan ringannya dan tidak terlalu menyakitkan. Dengan demikian hukuman boleh diberikan dalam batas yang wajar dan tidak terlalu menyakitkan badan dan jiwa anak, serta tidakk sampai menjadikannya cacat tubuh.Hukuman diberikan kalau anak betul-betul bandel dan kurang ajar yang berlebih-lebihan. Untuk mengarahkan siswa agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya, maka upaya perbaikan menjadi bagian dari pembinaan dan pendidikan yang dilakukan oleh guru di sekolah. Hal ini sebagaimana makna hukuman yakni :  
Suatu perbuatan, dimana kita secara sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain, yang baik dari kejasmanian dan segi kerohanian orang lain itu mempunyai kelemahan dibanding denga diri kita, dan oleh karena itu kita mempunyai tanggung jawab untuk membimbingnya dan melindunginya.[16]

Defenisi ini memberikan penegasan bahwa hukuman merupakan suatu penderitaan yang diberikan kepada seseorang baik disengaja maupun tidak di sengaja yang dilakukan untuk membuat orang menderita baik jasmani maupun rohani karena kesalahan yang telah dilakukannya akan menjadi tanggung jawab kita unutk membimbing dan melindunginya. Hukuman secara jasmani adalah dengan menugaskan agar siswa berdiri di depan kelas, disuruh mengerjakan menulis pelajaran atau meresume pelajaran sebagai akibat kesalahan yang dilakukannya selama mengikuti pelajaran di dalam kelas.
Hukuman diberikan, apabila metode-metode yang lain sudah tidak dapat merubah tingkah laku anak, atau dengan kata lain cara hukuman merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh pendidik, apabila ada perilaku anak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebab hukuman merupakan tindakan tegas untuk mengembalikan persoalan di tempat yang benar.[17]
                        Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diberikan. Karena ada orang dengan teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak memerlukan hukuman. Tetapi pribadi manusia tidak sama seluruhnya.[18] Sebenarnya tidak ada pendidik yang tidak sayang kepada siswanya.
            Demikian juga tidak ada orang tua yang merasa senang melihat penderitaan anaknya. Dengan memberikan hukuman, orang tua sebenarnya merasa kasihan terhadap anaknya yang tidak mau melaksanakan ajaran Islam. Karena salah satu fungsi dari hukuman adalah mendidik.[19] Sebelum anak mengerti peraturan, ia dapat belajar bahwa tindakan tertentu benar apabila tidak menerima hukuman dan tindakan lainnya salah apabila mendapatkan suatu hukuman.
            Dalam memberikan hukuman ini diharapkan orang tua melihat ruang waktu dan tempatnya. Diantara metode memberikan hukuman kepada anak adalah: menghukum anak dengan lemah lembut dan kasih sayang, menjaga tabiat anak yang salah, hukuman diberikan sebagai upaya perbaikan terhadap diri anak, dengan tahapan yang paling akhir dari metode-metode yang lain.[20]
            Memberi hukuman pada anak, seharusnya para orang tua sebisa mungkin menahan emosi untuk tidak memberi hukuman berbentuk badaniah. Kalau hukuman yang berbentuk psikologis sudah mampu merubah sikap anak, tentunya tidak dibutuhkan lagi hukuman yang menyakitkan anak tersebut. Menurut Nashih Ulwan, hukuman bentuknya ada dua, yakni hukuman psikologis dan hukuman biologis. Bentuk hukuman yang bersifat psikologis adalah: menunjukkan kesalahan dengan pengarahan, menunjukkan kesalahan dengan memberikan isyarat, menunjukkan kesalahan dengan kecaman.[21]
            Hukuman bentuk psikologis ini diberikan kepada anak dibawah umur 10 tahun. Apabila hukuman psikologis tidak mampu merubah perilaku anak, maka hukuman biologislah yang dijatuhkan tatkala anak sampai umur 10 tahun tidak ada perubahan pada sikapnya. Hal ini dilakukan supaya anak jera dan tidak meneruskan perilakunya yang buruk. Sesuai sabda Rasul SAW yang diriwayatkan Abu Daud dari Mukmal bin Hisyam.
حدثنا مأمل بن هشام قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم مروا اولادكم بالصلاة وهم ابـناء سبع سـنـين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر وفرقوا بـيـنهم فى الـمضاجع (رواه ابو داود(

Artinya: Suruhlah anak kalian mengerjakan shalat, sedang mereka berumur tujuh tahun, dan pukulilah mereka itu karena shalat ini, sedang mereka berumut sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidu mereka”. (HR. Abu Daud)[22]

B.    Bentuk-bentuk Hukuman Fisik dalam Pendidikan

Bentuk hukuman yang dapat diterapkan dalam mendidik anak  berdasarkan al-Qur’an, akan diperoleh bentuk yang sangat bervariasi, seperti dera seratus kali bagi orang yang berzina, potong tangan bagi yang mencari, diasingkan dari kampungnya bagi penzina dan seterusnya. Bila bentuk yang bermacam-macam itu diklasifikasikan akan diperoleh dua bentuk utama yaitu hukuman jasmaniah dan hukuman rohaniah. Contoh hukuman jasmaniah seperti yang terdapat dalam QS. al-Maidah ayat 33 sebagai berikut:
إِنَّمَا جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ) المائدة: ٣٣(
Artinya:   Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,                   ( QS. al-Maidah: 33)

Sedangkan contoh hukuman rohaniah seperti terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 10 sebagai berikut:
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ) البقرة: ١٠(

Artinya:   Dalam hati mereka ada penyakit , lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.(Qs. Al-Baqarah:10)

Ditinjau dari masa atau kapan hukuman itu diberikan, bagi Schaefer[23] ada tiga bentuk hukuman yang dapat dipergunakan sesudah dilakukannya suatu perbuatan salah oleh si anak yaitu: Pertama, membuat anak itu melakukan suatu perbuatan yang tidak menyenangkan. Kedua, Mencabut dari anak tersebut sesuatu kegemarannya atau sesuatu kesempatan yang menggembirakannya. Dan Ketiga, Menimpakan kesakitan berbentuk kejiwaan dan jasmani terhadap anak.
Disamping itu, peringatan atau teguran dan hal yang serupa merupakan bentuk hukuman yang dapat diterapkan sebelum terjadinya suatu kesalahan yang dilakukan anak. Ibnu Sina sebagaimana dikutip oleh Ali Jumbulati[24] menyatakan, jika terpaksa mendidik anak dengan kekerasan, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman terlebih dahulu, jangan menindak anak dengan kekerasan tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan kadang-kadang dengan muka masam.
Dari keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa secara general (umum), hukuman berupa kata-kata teguran misalnya lebih baik dilakukan dari alternatif pilihan lainnya. Tetapi ini tidak bisa diartikan bahwa orang tua mempunyai kebebasan yang mutlak dalam menggunakan kata-kata. Dalam memberi peringatan atau teguran, orang tua tidak boleh menggunakan kata-kata yang mendiskrieditkan anak, seperti kata “saya jijik melihatmu” kata-kata yang sedemikian itu akan menghilangkan paling tidak menjatuhkan harga diri anak dan ia akan kecewa. Al-Ghāzali sebagaimana dikutip oleh Fathiyah[25] menyatakan bahwa orang tua hendaklah berhati-hati dalam menggunakan hukuman sebagai metode pendidikan, ia tidak boleh berlaku kasar dalam membina mental anak. Begitu juga tidak boleh menyebarluaskan kesalahan mereka, karena hal ini dapat menjadikannya bersikap menentang ataupun mempertahankan dirinya.
Selanjutnya menerapkan bentuk hukuman apa yang akan diberikan kepada anak, orang tua hendaknya harus memperhatikan dua prinsip berikut ini:
1.     Hukuman profosional, maksudnya berat atau ringan hukuman itu tergantung kepada bentuk perlanggaran dan frekuensinya. Jadi seorang anak usia tujuh tahun yang memecahkan piring ketika makan, dilarang makan untuk satu hari adalah suatu contoh hukuman yang tidak proposional. Sebab, beratnya hukuman tidak sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya. Bahkan Rasulullah sendiri dalam menyingkapi masalah ini, ia lebih cenderung tidak memberi hukuman apabila frekuensinya masih bisa ditolerir. Dengan alasan bahwa setiap benda itu mempunyai ajal sebagaimana ajalnya manusia.[26]
2.     Hukuman diberikan setelah ada penjelasan. Ini berarti menuntut orang tua agar memberikan pendidikan mengenai masalah syariat, adab atau akhlak, sehingga anak mengerti alasan atau argumentasi orangtuanya ketika terpaksa memberikan hukuman atau balasan kepadanya.[27] Hal itu juga telah dipertegas dalam QS. Al-Isrā’ ayat 15.
مَّنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً (الإسراء : ١٥)
Artinya: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri. dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (Q.S. al-Isrā' : 15).

Perlunya penjelasan sebelum pelaksanaan hukuman agar anak lebih berhati-hati dalam bertindak sehingga terhindar dari kesalahan yang mengakibatkan ia terhukum.
C.    Tujuan Pemberian Hukuman Fisik
Pelaksanaan  hukuman fisik mempunyai hikmah dan tujuan tersendiri. Menurut Islam, hukuman terhadap yang melakukan pelanggaran mempunyai tujuan pendidikan. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Hajar bahwa “Pemberian hukuman dalam Islam adalah sebagai tuntunan dan bimbingan dan bukan sebagai hardikan atau balas dendam”[28]. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pemberian hukuman fisik adalah untuk tuntunan dan bimbingan supaya yang telah melakukan pelanggaran atau yang bersalah mau menyadari atau menginsafi perbuatan yang telah dikerjakannya. Dengan adanya suatu kesadaran tersebut akan tercipta proses belajar yang baik, apabila pemberian hukuman terhadap semua pelaku pelanggaran dan kejahatan telah dilaksanakan dengan baik.
Pemberian hukuman bukanlah suatu balas dendam dari seorang pendidik kepada anak didiknya, tetapi pemberian hukuman dalam arti luas dapat dipahami adalah untuk memperbaiki dan sekaligus sebagai pendidikan bagi anak didik. Dengan adanya pemberian hukuman terhadap anak didik di sekolah ataupun anak dalam lingkungan keluarga yang melakukan pelanggaran maka jiwanya akan terdidik untuk tidak lagi melakukan pelanggaran. Dan pendidik hendaknya bijaksana dalam menggunakan cara hukuman yang sesuai, tidak bertentangan dengan tingkat kecerdasan anak, pendidikan, dan pembawaannya. Di samping itu, hendaknya ia tidak segera menggunakan hukuman, kecuali setelah menggunakan cara-cara lain. Hukuman adalah cara yang paling akhir. Secara umum pemberian hukuman adalah untuk membersihkan kesalahan seseorang yang telah melakukan pelanggaran, serta menghambat orang lain, baik individu maupun kelompok untuk melakukan aksi pelanggaran dan kejahatan yang dapat mengakibatkan kerugian dipihak pelaku pelanggaran sendiri dan orang lain pada umumnya.
Di samping itu pemberian hukuman juga bertujuan untuk menjaga ketertiban umum dan mendidik masyarakat secara keseluruhan bahwa segala bentuk perbuatan yang merugikan orang atau pihak lain dan menyimpang dari norma-norma yang berlaku akan dikenakan suatu hukuman yang setimpal. Punishment dan reward  (pemberian hukuman dan ganjaran) dalam ilmu paedagogi dipandang sebagai bagian dari proses pendidikan. Pemberian hukuman bertujuan untuk memberikan efek jera dan mencegah berlanjutnya perilaku negatif dan ganjaran berguna untuk penguatan atas perilaku positif. Punishment dan reward juga dikenal dalam ajaran agama.
Dalam Islam diajarkan tentang adanya sorga dan neraka. Siapa saja yang melakukan amal buruk (negatif) atau mengingkari ajaran Allah Swt. adalah dosa (diberi punishment), dan siapa saja yang melakukan amal baik (positif) dan mematuhi perintah serta meninggalkan laranganNya, maka  akan diberi pahala atau reward. Hamba Allah yang memiliki banyak dosa akan dilemparkan kelak kedalam Jahanam (neraka) sebagai punishment, dan yang melakukan banyak kebajikan, memiliki banyak pahala maka bagi mereka adalah Sorga (reward) sebagai tempat yang layak. Namun Allah Swt. memiliki ampunan yang besar bagi mereka yang bertobat, meninggalkan kebisaaan negatif atau dosa.”12
Sedangkan tujuan hukuman menurut M. Arifin ada dua, yaitu: Pertama, Membangkitkan perasaan tanggung jawab manusia didik. Hukuman di sini merupakan ancaman terhadap rasa aman yang merupakan kebutuhan pokok anak didik dalam belajar. Kedua, Memperkuat atau memperlemah respon negatif. Namun penerapannya harus didasarkan atas kondisi yang tepat, tidak asal membrikan hukuman terhadap perilaku yang kurang sebanding dengan tujuan pokoknya[29].
M. Mgalim Purwanto mengklasifikasikan tujuan hukuman berkaitan dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman, yaitu[30]: Pertama, Teori Pembalasan. Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. Kedua, Teori Perbaikan. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan yaitu untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi. Ketiga, Teori Pelindungan. Menurut teori ini, hukuman diadakan ntuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. Keempat, Teori Ganti Kerugian. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu. Kelima, Teori Menakut-nakuti. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkannya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap karena masing-masing hanya mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi saling membutuhkan kelengkapan dari teori yang lain. Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa tujuan dari hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaikan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggungjawab atas kesalahannya.
Abdullah 'Ulwan[31] menyatakan bahwa pemberian hukuman dalam Islam bertujuan memelihara kebutuhan-kebutuhan asasi yang harus dipenuhi manusia, yaitu:  Pertama, memelihara agama. Kedua, memelihara jiwa. Ketiga, memelihara nama baik. Keempat, memelihara akal. Kelima, memelihara harta benda.
Dengan demikian, hukuman fisik itu diberikan bukan atas dasar balas dendam dan emosional tetapi didasari oleh rasa kasih sayang yang tulus dan penuh pengertian, sehingga anak menyadari kesalahannya. Prinsip tersebut mendapatkan perhatian dalam al-Qur'an sebagimana termaktub dalam surat An-Nahl ayat 126.
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُواْ بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِ وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصَّابِرينَ (النحل : ١٢٦)

Artinya:  Jika kamu memberi balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar. (Qs. An-Nahl: 126)

Al-Alusi [32] dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat di atas menunjukkan adanya larangan melakukan pembalasan dalam menghukum seseorang. Bersikap sabar dalam hal ini lebih dianjurkan. Namun demikian, bersikap sabar disini bukan berarti pasrah dan menerima begitu saja perlakuan seseorang melainkan bersikap hati-hati dan bijaksana serta penuh perhatian dan pemikiran dalam mengambil suatu keputusan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-A'rāf : 167
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكَ لَيَبْعَثَنَّ عَلَيْهِمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَن يَسُومُهُمْ سُوءَ الْعَذَابِ إِنَّ رَبَّكَ لَسَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ (الأعراف : ١٦٧)

Artinya:   Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa sesungguhnya Dia akan mengirim kepada mereka (orang-orang Yahudi) sampai hari kiamat orang-orang yang akan menimpakan kepada mereka azab yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.( QS. al-A'raf : 167)

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa eksistensi Tuhan sebagai penghukum dan pengampun adalah sama. Ini menunjukkan bahwa hukuman fisik itu harus duluan diberikan kepada anak sebagai balasan atas kesalahannya. Anak bisa diperbaiki tingkah lakunya dengan kasih sayang, dan itu sendiri dianjurkan oleh Rasulullah dalam sabdanya :
حدثنا عبدالله حدني ابى ثنا عثمان بن محمد وسمعته انا من عثمان بن محمد ثنا جرير بن ليث عن عبد الملك سعيد بن جبير عن عكرمة عن ابن عباس يرفعه الى النبى صلى الله عليه وسلم  قال: ليس منا من لم يوقر الكبير ويرحم الصغير ويأمر بالمعر وف وينهى عن المنكر ( رواه احمد)

Artinya : Telah berkata kepada 'Abdullah, telah berkata kepada ku bapakku, telah berkata kepada 'Utsman bin Muhammad dan saya mendengarkan dari 'Utsman bin Muhammad telah berkata kepada Jarir bin Layts dan 'Abdul Mulk bin Sa'id bin Jubair dari ibn 'Akramah dari ibn 'Abbas yang dirafakan kepada Nabi Muhammad SAW bersabda: "Bukan dari golongan kami, barang siapa yang belum menghormati orang dewasa dan tidak menyayangi anak kecil, serta tidak menyuruh kepada kebaikan dan tidak mencegah kemungkaran"(HR. Ahmad)[33].

Dalam konteks tersebut, Ibnu Sina sebagaimana dikutip oleh Ali al-Jumbulati[34] menyatakan bahwa kewajiban pertama bagi orang tua adalah mendidik anak dengan sopan santun, membiasakan dengan perbuatan yang terpuji sejak mulai di sapih, sebelum kebiasaan jelek mempengaruhinya. Selain itu, hukuman fisik yang diberikan hendaklah dengan porsi yang cukup dan penuh kebijaksanaan, karena sikap yang demikian itu akan menciptakan tingkah laku anak yang baik.
Adapun tujuan lain dari pemberian hukuman fisik terhadap anak dalam pendidikan Islam dapat merujuk pada ayat 10 dari surah Ar-Rūm.
ثُمَّ كَانَ عَاقِبَةَ الَّذِينَ أَسَاؤُوا السُّوأَى أَن كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَكَانُوا بِهَا يَسْتَهْزِئُون (الروم : ١٠)
Artinya: Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya".[35] (Qs. Ar-Rum: 10)

Ayat ini secara implisit mengungkapkan bahwa pemberian hukuman dimaksudkan agar anak yang melakukan pelanggaran atau berbuat tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku, merasakan betapa pedihnya hukuman itu, sehingga mereka sadar dan patuh pada norma-norma tersebut. Ayat ini dipertegas kembali dengan firman-Nya dalam QS al-An'ām : 42.
وَلَقَدْ أَرْسَلنَا إِلَى أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ (الأنعام: ٤٢)

Artinya: Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian kami siksa mereka dengan menimpakan kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka merendahkan diri. (Qs. Al-An'am : 42).[36]

Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa pemberian hukuman yang bertujuan agar anak sadar dan patuh terhadap norma-norma yang ditetapkan, baru dapat dilaksanakan jika anak telah memperoleh penjelasan-penjelasan tentang norma-norma yang harus ia taati.
D.    Pro dan Kontra Tentang Hukuman Fisik
Banyak pendapat mengenai keberadaan hukuman fisik sebagai salah satu teknik pendidikan. Pendapat yang pro mengatakan bahwa hukuman fisik merupakan salah satu teknik yang efektif dalam pendidikan. Hukuman merupakan salah satu upaya untuk membuat si terhukum menjadi jera dan tidak lagi melakukan perbuatan melanggar hukum. Akan tetapi sebagian pendapat tidak mengakui atau kontra terhadap keberadaan hukuman badan. Hukuman fisik tidak dianggap sebagai salah satu teknik pendidikan. Hukuman fisik lebih terfokus untuk penerapan hukum, tanpa memiliki implikasi pendidikan. Hukuman yang diberikan terhadap anak didik yang bersalah atau yang melakukan pelanggaran bukanlah merupakan balas dendam, tetapi pemberian hukuman benar-benar bertujuan: “Untuk memperbaiki watak dan kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu dapat diharapkan”.[37]
            Bagi kebanyakan ahli pendidikan Islam, diantaranya Ibnu Sina, Al-Abdari dan Ibnu Khaldun melarang pendidik menggunakan metode hukuman kecuali dalam keadaan sangat darurat. Dan hendaknya jangan melakukan pukulan, kecuali setelah mengeluarkan ancaman, peringatan, dan memerintah orang-orang yang disegani untuk mendekatinya, untuk mampu mengubah sikapnya.[38]
            Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya menetapkan bahwa sikap keras yang berlebihan terhadap anak berarti membiasakan anak bersifat penakut, lemah dan lari dari tugas-tugas kehidupan. Antara lain Ibnu Khaldun berkata,[39] "pendidik yang bersifat keras, baik itu terhadap anak didik (murid), hamba sahaya, atau pembantu, maka pendidik itu telah menyempitkan jiwanya dalam hal perkembangan, menghilangkan semangat, menyebabkan malas, dan menyeretnya untuk brerdusta karena takut terhadap tangan-tangan keras dan kejam singgah dimukanya. Hal itu berarti telah mengajarkan anak untuk berbuat makar dan tipu daya yang berkembang menjadi kebinasaannya. Dengan demikian rusaklah makna kemanusiaan yang ada padanya" 
            Sebagian ulama berpendapat bahwa hukuman fisik merupakan satu alternatif pendidikan Islam. Imam Abu Hanifah sependapat dengan adanya hukuman fisik berupa hukum rajam bagi penzina.[40] Dengan demikian, sebagian imam mazhab mengakui adanya hukuman fisik sebagai upaya mendidik pribadi muslim.
            Pendapat di atas menunjukkan pro terhadap hukuman badan. Bahkan hukuman fisik bisa dilakukan untuk memperbaiki kepribadian anak, karena dengan adanya hukuman, sikap dan kepribadian anak akan terbimbing kearah yang positif. Dengan demikian berarti sudah jelas bahwa pemberian hukuman terhadap anak didik adalah untuk mendidik, karena pemberian hukuman mencakup perbaikan watak dan kepribadian anak didik. Hukuman sebagai alat untuk mendidik bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan dikerjakan oleh pendidik, hal ini karena bisa menimbulkan beberapa akibat seperti dikemukakan oleh beberapa ahli tentang akibatnya dari beberapa teori yang diterapkan, antara lain :
a).   Menimbulkan perasaan dendam kepada si terhukum. Ini adalah akibat hukuman yang sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab. Akibat inilah yang harus dihindari oleh pendidik.

b).   Menyebabkan anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Inipun akibat yang tidak baik, bukan yang diharapkan oleh si pendidik. Memang biarpun hukuman itu baik kadang-kadang bisa juga menimbulkan hal-hal yang tidak disukai.

c).   Memperbaiki tingkah laku si pelanggar, misalnya suka bercakap-cakap di dalam kelas, karena mendapat hukuman, mungkin pada akhirnya berubah juga kelakuannya.

d).   Mengakibatkan si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, oleh karena kesalahannya dianggap telah dibayar dengan hukuman yang dideritanya.

e).   Akibat lainnya ialah : Memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikannya……..[41]

Dari kutipan di atas terlihat beberapa akibat dari penerapan teori hukuman, yang di antaranya ada akibat positif dan negatif, seperti yang tertulis pada poin nomor dua yaitu menyebabkan anak menjadi lebih pandai menyembunyikan kesalahan, ini merupakan suatu akibat yang jelas tidak baik (negatif). Hal ini mengakibatkan adanya pendapat yang pro dan yang kontra terhadap hukuman badan. Sebagian ulama bukannya tidak mengakui adanya hukuman badan, akan tetapi tidak menganggap hukuman fisik merupakan salah satu teknik pendidikan Islam. Pendapat ini terutama dipegang oleh ulama klasik seperti Abdul Qadir Jailani.
Tanpa adanya suatu sanksi hukuman baik terhadap anak didik di sekolah maupun masyarakat yang telah melakukan kesalahan, maka akan menimbulkan suatu malapetaka yang dapat merusak masa depan anak didik itu sendiri dan masyarakat pada umumnya, hal ini karena hukuman itu merupakan pengontrol dan pengawas masyarakat dari berbagai pelanggaran dan kejahatan yang terjadi.
Ibn Khaldun mengemukakan masalah imbalan dan hukuman di dalam bukunya al-Muqaddimah, beliau tidak menyebutkan selain seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil.
Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.
Secara panjang lebar, Ibnu Khaldun menjelaskan akibat negative yang timbul dari perilaku keras dan kejam terhadap anak. Ibnu Khaldun berkata, "Sesungguhnya siapa saja yang memperlakukan orang lain dengan kekerasan, ia telah menjadikan orang itu sebagai beban orang lain. Karena ia menjadi tidak mampu melindungi kehormatan dan keluarganya karena kekosongan semangat pada saat ia berhenti mencari keutamaan akhlak yang mulia. Dengan demikian, berbaliklah jiwa dari tujuan dan kadar kemanusiaannya."
Tidak adanya konsep khusus dalam pemberian hukuman, tetapi tergantung kepada keadaan anak didik seperti tingkat usia dan pelanggaran yang telah dilakukannya. Setiap hukuman yang diberikan harus adil, maka untuk itu seorang guru/pendidik harus memperhatikan dua hal utama sebagaimana tersebut dalam Didaktik/metodik adalah: “Pertama sifat dan beratnya pelanggaran ketertiban misalnya pelanggaran karena kesilapan dan karena sengaja. Kedua keadaan si pelanggar itu, misalnya cara memarahi murid yang biasa berkelakuan baik akan berlainan dengan memarahi murid yang sering melakukan pelanggaran”.[42]
            Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa guru dituntut untuk dapat memperhatikan sifat dan beratnya pelanggaran, serta cara memberi hukuman yang tepat. Ini bertujuan adalah untuk benar-benar dapat membersihkan si pelanggar dari noda kesalahan yang dilakukan. Di samping itu juga dapat mengontrol anak didik lainnya yang belum pernah melakukan pelanggaran dan sekaligus dengan pemberian hukuman tersebut kiranya dapat dijadikan sebagai penghambat bagi teman-temannya yang ingin melakukan pelanggaran.
Dengan mengetahui keutamaan hukuman fisik sebagai salah satu alternatif teknik pendidikan Islam, para guru yang melakukan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan agama lebih terfokus pada penerapan hukuman fisik dalam menerapkan pendidikan kepada anak didik. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan aktivitas pendidikan Islam melalui upaya perbaikan dengan penerapan hukuman fisik.
Menurut al-Ghazali hendaknya para guru memberikan nasehat kepada siswanya dengan kelembutan. Guru di tuntut berperan sabagai orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan anak didiknya, jika anak memperlihatkan suatu kemajuan, seyogianya guru memuji hasil usaha muridnya, berterima kasih padanya, dan mendukungnya terutama didepan teman-temannya.
Guru perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam mendidik dan menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya. Al-Ghazali juga mengingatkan bahwasanya menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan hal tersebut Al-Ghazali menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya[43].



[1] http://fertobhades.wordpress.com/2006/11/12/hkmn/

[2]Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal.120

[3] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,1995),hal.186.

[4] Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta:Rineka Cipta,2003), hal. 182.
[5] Sarwono, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta:Rineka Cipta, 1992), hal.115.

[6] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Edisi Revisi,(Jakarta:  Bumi Aksara, 2003), hal.158.

[7] Amin Danien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pengetahuan, (Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, 1973), hal. 14

[8] Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hal. 115.

[9]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet, I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2007), hal.45

[10]Padhlan mudhafir, Krisis Dalam Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2000),hal. 182.

[11]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006 ), hal.176.

[12] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 206.
[13] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 175-176.
[14] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung, 1993), hal. 341.

[15]Abu Ahmadi dan Nur Ukhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 153.
[16] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, Cet. I, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 150

[17] Muhammad Quthb, t.t, Terj. Salman Harun “Sistem Pendidikan Islam”, ( Bandung : Ma-arif, 1993 ), hal.341.
[18] Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Saifullah Kamalie dan Heri Noer Ali, Cet. III, (Jakarta: Asy- Syifa’, 1993), hal. 23

[19] Elizabeth B. hurlock, t.t. Terj. Med.Meitasari Tjandrasa, “Perkembangan Anak”,                        (Jakarta: Erlangga, jilid II, 1999 ), hal. 87.

[20] Ulwan, Pedoman ..., hal. 155.
[21] Ibid., hal. 31.

[22] Abi Daud, Sunan Abi Daud, ( Indonesia : Maktabah Dahlan, Juz I, t.th ), hal. 133.
[23]Charles Schaefer, Bagaimana Membimbing,  Mendidik dan Mendisiplinkan Anak Secara Efektif, terjemahan R. Turman Sirait, (Jakarta: Restu Agung, 1997), hal. 105.

[24]Ali al-Jumbulati, Perbandingan…, hal. 124.

[25]Fathiyah Hasan Sulayman, Madzahib al-Tarbiyah, Baths fi al-Madzahib al-tarbawiy 'inda al-Ghazali, (Mesir: Maktabah Nahdlah, 1994), hal.35

[26]Muhammad Fauzil Adhim, Bersikap Terhadap Anak, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), hal. 111.

[27]Ibid, hal. 103.

[28]Ibnu Hajar, Sejarah Pendidikan Umum/Islam, (Darussalam Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, 1988), hal. 67.
12 Padhlan mudhafir, Krisis Dalam Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2000).hal. 15

[29] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis (Bandung: Rev. Ed, 1994), hal. 175.

[30] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung:  rev. ed, 1994), hal. 179-180.

[31]Abdullah 'Ulwan, Tarbiyah al-Awlād fi al-Islam, (Beirut : Dār al-Salam, tt), hal. 753.

[32]Ali Alusi al-Badadi, Ruh al-Ma'ani, Jilid 10, (Beirut: Dār ihya wa al-Tirats al-'Arabiy, t.th), hal. 225.
[33] Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid I, (Beirut: Dār al-Fikr, 1978), hal. 267.

[34]Ali al-Jumbulati, Dirasah Muqarah fi al-Tarbiyah al-Islamiyah atau Perbandingan Pendidikan Islam, Terjemahan M. Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 157.

[35]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1989), hal. 642.

[36]Ibid, hal. 193.

[37]Ibid, hal. 239.

[38]Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terjemahan, Jamaludin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hal.  314.

[39]Ibid,

[40] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Imam Ghazali Said, Cet. II, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002 ), hal. 620.

[41]Ibid, hal. 240.

[42]Team Pengajar Didaktik/Metodik, Didaktik Metodik, (Darussalam Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, 1987), hal. 66.
[43]http://buntetpesantren.org/index.php?option=com_content&view=article&id=1358:penghargaan-reward-dan-hukuman-punishment-dalam-pendidikan-islam&catid=16:opini&Itemid=40