A.
Kemandirian Gender
Pada prinsipnya kemandirian itu tidak berjenis
kelamin. Ia tergantung potensi dan
bakat yang dimiliki seseorang. Persoalannya
terletak pada sejauh mana kemampuan
mereka untuk mengaktualisasikan potensi
dan bakatnya. Seorang perempuan sangat
mungkin kemandiriannya menyerupai atau
bahkan melampaui laki-laki, begitupun sebaliknya. Ironisnya,
mengapa pandangan yang meletakkan
kedudukan sosial perempuan di bawah
laki-laki masih banyak berkembang? Perempuan
seringkali dipandang makhluk nomor
dua yang kualitasnya berada di bawah laki-laki.
Pandangan seperti ini acapkali tidak hanya
tertanam di benak laki-laki, melainkan juga
ada perempuan. Ini karena internaliasi kultur
patriarki yang sangat dominan sehingga menyebabkan
terjadinya subordinasi perempuan. Selain
itu, doktrin agama yang misoginis juga
turut menghambat kemandirian perempuan. Meskipun
sebenarnya banyak juga teks keagamaan
yang mendorong adanya relasi yang tidak
mendiskriminasikan perempuan, namun hal
ini tidak cukup populer di dalam masyarakat. Misalnya
perempuan sebagai kepala rumah tangga,
tentu agak asing mengingat selama ini posisi
itu identik dengan laki-laki. Semestinya, pihak
yang memiliki kualitas lebihlah yang layak menyandang
predikat tersebut, bisa pihak istri atau
suami.[1]
Pada saat yang sama, Negara sepertinya juga
turut andil dalam menghambat kemandirian perempuan,
ketidakseriusannya mengimplementasikan beragam
regulasi yang menjamin hak-hak
perempuan. Sebagai contoh, pembiaran adanya
perda-perda yang diskriminatif terhadap
perempuan berdampak merugikan perempuan.
Tak hanya itu, perlindungan Negara atas buruh migran dan pekerja rumah tangga misalnya juga masih
sangat minim. Pada hal dengan jelas disebutkan di dalam ayat (1) dan (2) pasal
27 UUD 1945 bagaimana setiap warganegara baik laki-laki maupun perempuan memiliki
persamaan hak baik di dalam hukum dan pemerintahan maupun akses terhadap lapangan
pekerjaan yang layak. Tentu juga masih banyak instrumen hukum lain yang
semestinya dapat menjadi payung keadilan bagi perempuan.
Meskipun dalam struktur masyarakat yang seperti itu,
ternyata masih banyak perempuan tangguh yang mampu memperlihatkan kemandirian
sebagaimana layaknya lakilaki atau bahkan melampauinya. Tak terhitung jumlahnya
perempuan yang menjalani aktivitas yang didominasi oleh laki-laki atau dianggap
sebagai domain laki-laki. Dalam kehidupan rumah tangga, tak jarang terdapat
sosok istri yang mampu mandiri secara ekonomi dan intelektual, bahkan menjadi
tulang punggung keluarganya. Padaha, mereka berada situasi yang tak terlalu
mendukung mereka untuk mandiri. Bagaimana bila seluruh masyarakat mendukung
kemandirian perempuan ? Tentu capaiannya akan jauh lebih masif.[2]
Keresahan atas proses peminggiran perempuan dan
konstruksi sosial yang meragukan kemandirian perempuan sebenarnya sudah
berlangsung cukup lama. Setidaknya kita bisa menengok bagaimana Mary
Wollstonecraft gelisah melihat perempuan kelas menengah di Eropa abad ke-18 yang
terpenjara oleh suaminya. Semua kebutuhan perempuan ini dicukupi, namun
kesempatannya untuk melakukan kerjakerja produktif di luar rumah dibatasi. Kemandiriannya
seolah dikorbankan demi suatu prestise dan segala kenyamanan yang disediakan
oleh suaminya. Bila seorang lakilaki diperlakukan sama, bukankah akan terjadi hal
yang serupa? Sudah tentu “iya” jawabannya. Ia tak bisa mengaktualisasikan
potensi-potensi yang dimiliki, sama seperti yang dialami oleh para perempuan
yang dipenjara oleh suaminya. Pertukaran antar pribadi yang melahirkan struktur
kekuasaan semacam ini tidaklah baik. Mestinya, relasi antara perempuan dan
laki-laki dalam semua lini harus dibangun atas prinsip keadilan dan saling
menghormati satu sama lain. Sebuah relasi yang berdiri tanpa bingkai diskriminasi.
Relasi semacam inilah yang memungkinkan terjadinya harmoni sosial. Tidak
menutup kemungkinan bahwa prototipe keluarga yang dikritik oleh Wollstonecraft di
atas masih dijumpai saat ini. Mungkin, hal tersebut terjadi di lingkungan
masyarakat sekitar kita, termasuk di lingkungan yang katanya ‘terdidik’ dan
‘berpendidikan’[3].
Mengingat kesamaan jenjang pendidikan formal saja tidak
menjamin seseorang dapat menerima gagasan tentang kesamaan potensi, kemandirian
dan kesetaraan antara lelaki dan perempuan. Namun sebaliknya, pada masyarakat di
tingkat akar rumput yang terbiasa bertukar dan berbagi peran, bisa jadi cara pikirnya
jauh lebih progresif sehingga secara praktik mereka sangat mendukung gagasan keadilan
gender. Untuk mengikis pandangan-pandangan yang meragukan kemandirian
perempuan, perempuan harus mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya
secara maksimal. Sebisa mungkin, perempuan harus hadir dalam setiap ranah
strategis yang memungkinkan dirinya untuk mengekspresikan kualitas yang di
miliki. Dunia kerja ataupun jabatan publik yang hanya dimonopoli laki-laki
perlahan harus diwarnai oleh perempuan agar lebih dinamis.[4]
Seperti gagasan Anne Phillips, ide tentang politik
kehadiran perempuan (The Politics of Presence) patut kita apresiasi.
Gagasan ini menuntut adanya jumlah representasi yang setara antara perempuan
dan laki-laki di dalam lembaga politik formal. Untuk mendorong kemandirian
perempuan, perlu juga diperhatikan bahwa opresi yang dialami tidak hanya atas
dasar gender. Selain penindasan berbasis gender, perempuan secara potensial
juga mengalami penindasan berbasis ras, agama, kelas, ataupun yang lainnya. Artinya,
perjuangan gerakan perempuan juga meniscayakan keterlibatan pihak lain yang memiliki
kesamaan visi. Meminjam bahasanya, gerakan perempuan adalah gerakan
transformasi menuju masyarakat yang adil dan setara dimana hubungan sosialnya
dibangun tanpa alas dominasi[5].
Oleh karenanya, selain ia harus berdiri pada level liberasi dari segala bentuk penindasan,
baik struktural, kelas, personal, etnis maupun yang lainnya. Selain itu,
semestinya ia dapat merubah sistem dari yang patriarkhal itu menjadi lebih
terbuka serta adil dan setara gender.
Pustaka
Cidesindo, 1998), hal. 45.
0 Comments
Post a Comment