BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Landasan Pendidikan Anak
Setiap usaha,
kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan mempunyai
tujuan landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan
anak sebagai usaha untuk membentuk manusia, harus mempunyai landasan ke mana
kegiatan dan perumusan tujuan pendidikan anak itu dihubungkan.
Landasan itu
terdiri dari Al-Qur’an dan Sunnah yang dikembangkan dalam bentuk ijtihad. Kemudian landasan tersebut juga dikembangkan
dan bentuk undang-undang negara yaitu UUD 1945. untuk memperjelas persoalan
tersebut, maka ada baiknya penulis menguraikan dasar pendidikan anak menurut
katagori masing-masing antara lain:
a.
Al-Qur’an
Al-Qur'an
ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi
Muhammad saw. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk
keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam
Al-Qur'an itu terdiri dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah
keimanan yang disebut dengan aqidah, yang berhubungan dengan ibadah disebut
syari’ah.
Ajaran-ajaran
yang berhubungan dengan wahyu tidak banyak dibicarakan dalam Al-Qur'an, tidak
sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa
amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia
dalam hubungannya dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan manusia sesamanya
(masyarakat), dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk
dalam ruang lingkup amal shaleh (syari’ah). Istilah-istilah yang biasa
digunakan dalam membicarakan ilmu tentang syari’at ini ialah:
a.
Ibadah untuk perbuatan langsung berhubungan dengan Allah.
b.
Mu’amalah untuk perbuatan yang berhubungan dengan selain Allah.
c.
Akhlak untuk tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti manusia, baik
pribadi maupun masyarakat.[1]
Pendidikan,
karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk
ke dalam ruang lingkup mua’amalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut
menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun
masyarakat.
Di
dalam Al-Qur'an terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan
dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca dalam
kisah Luqman mengajari anaknya dalam surat Luqman ayat 12 sampai 19 sebagai
berikut:
Artinya: Dan
sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah
kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika
Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
(Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Hai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Q.
S. Luqman: 12-19)
Cerita
ini menggariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman,
akhlak ibadah, sosial dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup
dan nilai tentang sesuatu kegiatan dan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan
pendidikan harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu, pendidikan
Islam harus mengunakan Al-Qur'an sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai
materi tentang pendidikan Islam.[2]
Dengan kata lain, pendidikan Islam harus berlandaskan ayat-ayat Al-Qur'an yang
penafsirannya dapat dilakukan berdasarkan ijtihad disesuaikan dengan perubahan
dan perkembangan zaman.
b.
Hadits
As-Sunnah
ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah SWT. Yang dimaksud
dengan pengakuan ialah kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui
Rasulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan.
As-Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur'an. Seperti Al-Qur'an,
As-Sunnah juga berisi tentang aqidah dan syari’ah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman)
untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat
menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Untuk itu, Rasul menjadi
guru dan pendidik utama. Beliau sendiri mendidik, pertama dengan menggunakan
rumah Al-Arqam ibn Abi Al-Arqam, kedua dengan memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar baca tulis, ketiga dengan
mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang baru masuk Islam. Semua itu adalah
pendidikan dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat Islam.[3]
Oleh
karena itu, Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia
muslim. Sunnah selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah
sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk sunnah
yang berkaitan dengan pendidikan.
c.
UUD 1945
Pendidikan
adalah usaha untuk mendidik manusia agar ia mampu menjalani kehidupannya baik
dalam kehidupan berbangsa maupun dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, dalam
UUD 1945 dijelaskan bahwa “Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam maupun di luar sekolah dan
berlangsung seumur hidup.”[4]
Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa proses pembelajaran wajib
diterima setiap manusia Indonesia seumur. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan salah satu usaha yang dilakukan
secara sadar dalam mengembangkan kemampuan dan kepribadian.
Di
sisi lain, pendidikan juga perlu diberikan kepada semua bangsa Indonesia,
apalagi semua bangsa Indonesia memperoleh hak yang sama dalam memperoleh
pendidikan dan pengajaran. Hal ini sesuai pula dengan UUD 1945 bahwa “setiap
warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran yang sama”.[5]
Ini berarti dalam proses pendidikan dan pengajaran, negara tidak memperlakukan
rakyatnya secara semena-mena, bahkan diberikan hak yang sama dalam menuntut
ilmu pengetahuan.
B.
Prinsip-Prinsip Pendidikan Terhadap Anak
Secara umum
prinsip pendidikan mempunyai pengertian suatu haluan untuk bertindak dalam
usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan pendidikan
anak, strategi dapat diartikan sebagai pola-pola kegiatan ayah-anak dalam
perwujudan pendidikan agama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[6]
Belajar mengajar
merupakan suatu proses untuk membimbing anak untuk menjadi orang yang berguna
bagi agama, nusa dan bangsa. Oleh karena itu, manusia membutuhkan pendidikan
secara optimal agar mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan
tetapi, kegiatan pengajaran tersebut mempunyai prinsip tersendiri dalam usaha
mencapai tujuan pengajaran. Namun demikian, prinsip-prinsip pendidikan semua
pendidikan sama saja, termasuk terhadap prinsip pendidikan anak.
Hal tersebut
dikarenakan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan sengaja
diciptakan. Orang tua yang menciptakan guna membelajarkan anak didik. Orang tua
yang mengajar dan anak didik yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi
ini lahirlah interaksi edukatif dengan memanfaatkan keluarga sebagai mediumnya.
Di sana semua
bentuk pendidikan diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengetahuan
yang telah ditetapkan sebelum pengajaran dilaksanakan.
Sebagai orang
tua tentunya sudah menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai
kondisi belajar mengajar yang dapat mengantarkan anak-anak kepada kebaikan. Di
sini tentu saja tugas orang tua berusaha menciptakan suasana yang menggairahkan
dan menyenangkan bagi anaknya.
Oleh karena itu,
memberikan pengetahuan agama bagi seorang anak menghendaki hadirnya sejumlah
prinsip pendidikan. Sebab belajar tidak selamanya memerlukan seorang guru.
Cukup banyak aktifitas yang dilakukan seseorang anak di luar dari keterlibatan
guru. Belajar di rumah cenderung menyendiri dan tidak terlalu banyak
mengharapkan bantuan dari orang lain, apalagi aktifitas itu berkenaan dengan
kegiatan membaca sebuah buku.
Sebenarnya semua
halnya yang menyangkut dengan memberikan pendidikan kepada anak pada hakikatnya
merupakan suatu proses, yaitu mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di
sekitar anak-anak, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong anak-anak melakukan
belajar. Oleh karena itu, Nana Sudjana menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya
mengajar adalah proses memberikan bimbingan/bantuan kepada anak didik dalam
melakukan proses belajar”.[7]
Oleh karena itu,
sebagai upaya pengaturan kegiatan belajar mengajar anak, maka Adi Suardi sebagaimana
yang dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein menerangkan ciri-ciri
pembelajaran sebagai berikut:
1.
Pembelajaran
memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk anak dalam suatu perkembangan tertentu.
2.
Ada
suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
3.
Kegiatan
pendidikan ditandai dengan penggarapan metode yang khusus.
4.
Ditandai
dengan aktifitas anak sebagai konsekwensi, bahwa anak merupakan syarat mutlak
bagi berlangsungnya kegiatan belajar.
5.
Dalam
kegiatan belajar orang tua harus berperan sebagai pembimbing.
6.
Dalam
kegiatan belajar membutuhkan kedisiplinan.[8]
Melihat realitas
tersebut di atas, maka di sini penulis merumuskan prinsip-prinsip pendidikan
anak sebagai berikut:
1.
Memelihara
dan membesarkan anak. Inilah prinsip paling sederhana
dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup
manusia.
2.
Melindungi
dan menjamin kesamaan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai penyakit dan
dari penyelewengan kehidupan dan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah
hidup dan agama yang dianutnya.
3.
Memberikan
pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki
pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkinyg dapat dicapainya.
4.
Membahagiakan
anak baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup
muslim.[9]
Dari keterangan
di atas, maka dapat digambarkan bahwa dalam menerapkan pendidikan anak juga
harus menggunakan prinsip yang sama dengan pendidikan lainnya, karena pada
dasarnya para ahli pendidikan belum merumuskan prinsip yang khusus untuk
masing-masing model pendidikan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan
pendidikan, maka digunakan prinsip pendidikan yang berlaku secara umum guna
tercapainya tujuan pendidikan tersebut.
C.
Tujuan Pendidikan Anak
Tujuan
dari melaksanakan pendidikan anak untuk memberikan pengetahuan tentang pelajaran
agama Islam yang diajarkan untuk memahami, menghayati, dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Pengetahuan agama termasuk salah pengetahuan terpenting
dalam mengembangkan wawasan keagamaan anak, karena dengan adanya pendidikan
agama, anak dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan langsung dengan pengabdian
manusia kepada Khaliknya.
Oleh karena itu,
secara garis besar, pendidikan anak mempunyai tujuan sebagai berikut:
a.
Untuk
mengenal hubungan manusia dengan Allah SWT (Hablumminallah).
Hubungan
vertikal antara manusia dengan Khaliknya mencakup dari segi aqidah yang
meliputi: iman kepada Allah, iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada
kitab-kitab-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman
kepada qadha qadar-Nya.[10]
b.
Untuk mengenal hubungan manusia dengan manusia
(Hablumminannas).
Pengetahuan yang
diajarkan meliputi: akhlak dalam pergaulan hidup sesama manusia, kewajiban
membiasakan berakhlak yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain, serta
menjauhi akhlak yang buruk.[11]
c.
Untuk
mengenal hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Pengetahuan
tentang hubungan manusia dengan alam sekitarnya meliputi akhlak manusia
terhadap alam lingkungannya, baik lingkungan dalam arti luas, maupun makhluk hidup selain manusia, yaitu binatang
dan tumbuh-tumbuhan.[12]
Proses penyaluran
ilmu pengetahuan mempunyai fungsi dan peranannya yang amat luas, baik di dalam
tujuan pokok maupun dalam tujuan sementara. Karena hal tersebut menyangkut
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT sudah sejak awal menjadi ciri dan unsur
pokok umat manusia.
Iman dapat
diartikan dengan “keyakinan yang mantap akan adanya keesaan-Nya,
sifat-sifat-Nya, syari’at serta keputusan-Nya, Maha Pencipta segalanya Dialah
satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya, tiada Tuhan selain
Dia”.[13]
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa:
عن
أبى عمرو وقيل أبى عمرة سفيان بن عبدالله رضي الله عنه قال قالت يارسول الله قل لى فى الإلام قولا أسأل عنه أحدا غيرك، قال:
قل أمنت بالله، ثم استقم (رواه مسلم)[14]
Artinya: Abu
Amar atau Abu Amrah Aufan bin Abdullah Rasulullah saw berkata: wahai
Rasulullah, katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang tidak akan
pernah aku tanyakan kepada selain engkau”. beliau bersabda, “katakanlah aku
beriman kepada Allah, kemudian beristiqamah”. (H. R. Muslim)
Namun
demikian konsep iman yang dibicarakan dalam bacaan pada umumnya mengacu pada
masalah berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltut, yang
dimaksud dengan keimanan “mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi
saw dan para sahabatnya; disebut “taqwa” karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi
saw; disebut muslimin, karena mereke berpegang di atas al-haq (kebenaran),
tidak berselisih dalam agama, mereka terkumpul pada para imam al-haq, dan
mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama”.[15]
Karena itu
mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka mereka disebut dengan ahlul hadits, ahlul
autsar, ahlul ‘ittiba’, thaifah al-mansurah (kelompok yang dimenangkan), dan
firqah an-najah (golongan yang selamat).[16]
Oleh karena itu, mempelajari aqidah akhlak merupakan suatu kewajiban bagi kaum
muslimin yang hendak beriman kepada secara teguh kepada Allah SWT.
Demikian juga
dengan akhlak sebagian dari pelajaran pokok yang diajarkan dalam aqidah akhlak
menyangkut masalah-masalah akhlak dan moralitas dengan mengangkat cerita-cerita
kesabaran dan ketabahan Nabi Saw dalam menghadapi segala macam cobaan, maka
dapatlah diketahui pembinaan akhlak dan moralitas merupakan hal yang sangat
diutamakan disetiap masyarakat sejak dahulu sampai sekarang, terutama dalam
upaya pembinaan manusia seutuhnya dan pembentukan sumber daya manusia yang
berkualitas.
D. Sejarah Lahirnya TPA
Seiring dengan
perjalanan hidup manusia yang beragama dan menginginkan yang terbaik dalam
hidupnya dan generasi penerus bangsa dan agama serta dipengaruhi oleh faktor
penduduk Indonesia
mayoritas beragama Islam. “Umat Islam Indonesia
terus berkembang sejak mula penyebarannya yang dibawa oleh para pedagang Muslim
yang berasal dari Arab, Gujarat dan Persia ”.[17]
Ajaran Islam mudah
diterima oleh bangsa Indonesia ,
karena berdasarkan beberapa hal, yaitu :
1.
Agama Islam tidak sempit dan
tidak berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah dituruti oleh segala
golongan umat manusia.
2.
Sedikit
tugas dan kewajiban dalam Islam.
3.
Penyiaran
Islam itu dilakukan secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
4.
Penyiaran
Islam itu dilakukan dengan cara bijaksana dan cara sebaik-baiknya.
Di
samping faktor mayoritas, secara sosio religius pun umat Islam Indonesia
menunjukkan keunggulannya, dimana bangunan tempat beribadah umat Islam berupa
mesjid dan mushalla didirikan dimana-mana, yang jumlahnya lebih dari 500 ribu.
Namun harus diakui pula, bahwa umat Islam Indonesia hanya dibanggakan dari segi
kuantitas, secara kualitas kondisi umat Islam Indonesia sangat memprihatinkan.
Hal
ini terjadi disebabkan sebagian umat Islam Indonesia menjadi Muslim karena
lingkungan dan keturunan, sedangkan pengalaman, pemahaman dan penghayatan
terhadap ajaran Islam itu sendiri masih kurang dan hal itu dapat dilihat
melalui kemampuan memahami ajaran kitab sucinya masih sangat kurang.
Menurut
sumber terpercaya, penyandang buta huruf Al-Qur'an dari tahun ke tahun makin
meningkat amat cepat, dari 17 % di tahun 1950 (lima tahun setelah merdeka)
menjadi 70 % di sekitar tahun 1980-an.[19]
Untuk
itu, dilakukanlah usaha dan upaya oleh para pemimpin umat Islam dan mereka yang
terpanggil untuk ikut bertanggung jawab atas nasib umat Islam dalam rangka
peningkatan kemampuan baca tulis Al-Qur'an dan peningkatan penghayatan dan
pengamalan Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari.
Di
antara usaha dan upaya yang dirintis tersebut adalah dengan didirikannya Taman
Pengajian Al-Qur'an (TPA), sebenarnya Taman Pengajian Al-Qur'an jauh sebelum
Indonesia merdeka sudah berkembang, terutama di pedesaan, namun pelaksanaannya
berbeda dengan yang sekarang. Kebisaaan masyarakat Indonesia sebelum merdeka
mempelajari Al-Qur'an pada waktu sore dan di antara Maghrib-Isya, dan tempat
pelaksanaannya hampir di setiap mesjid atau surau (menasah) dan di rumah-rumah.
Kebiasaan
yang baik ini mulai menghilang dari warna kehidupan umat Islam Indonesia, hal
itu sangat dirasakan pada era 70 sampai 80-an.[20]
Hal
tersebut disebabkan karena :
1.
Mulai
kurangnya kesadaran orang tua/masyarakat akan pentingnya belajar mengajar
Al-Qur'an. Hal ini ditandai dengan menghilangnya tradisi pengajian sore, atau
antara Maghrib dan Isya. Kini tradisi itu mulai berganti dengan tradisi
menonton televisi bagi para anak-anak sehingga perhatian terhadap pendidikan
membaca Al-Qur'an mulai berkurang seiring dengan perkembangan teknologi
terutama perkembangan pertelevisian.
2. Lemahnya sistem pendidikan agama pada jalur pendidikan
formal (SD, SLTP, SLTA). Hal ini antara lain karena sempitnya jam pelajaran
agama, sedangkan materi yang diajarkan cukup luas yaitu meliputi aqidah,
ibadah, syari’ah, akhlak, sejarah/tarikh dan ilmu tajwid.
3.
Anak-anak
dan remaja nampak jenuh dengan pola pengajian model lama (tradisional). Hal ini
disebabkan karena pendekatan yang digunakan masih pola dan metode lama, dengan
kata lain belum ditemukan metode baru guna mempercepat dan menarik minat orang
untuk belajar Al-Qur'an. Sementara serangan budaya dari luar terus berdatangan
lewat tontonan dan bacaan yang menarik, terutama lewat media cetak dan
elektronik.[21]
Pada
kondisi seperti inilah muncul orang-orang sebagai pelopor di bidang pengajaran
baca tulis Al-Qur'an, seperti KH. As’ad Humam, pengasuh tim tadarus AMM
(Angkatan Mesjid dan Mushalla) di Yogyakarta dengan metode Iqra’, KH. Dahlan Salim di Semarang dengan metode
Qir’ati, Muhajir Sulthan di Surabaya dengan metode Al-Barqy dan nama-nama lain
yang menyebar di seluruh pelosok tanah air adalah tokoh-tokoh penemu metode
praktis dan efektif serta menarik yang dapat dijadikan alternatif baru dalam
rangka kegiatan belajar mengajar baca tulis Al-Qur'an. Mereka aktif
memperkenalkan hasil temuannya tersebut.[22]
E. Metode
yang Diterapkan di TPA
Metode berasal dari
dua kata yaitu meta yang artinya melalui dan hodos yang artinya jalan atau
cara. Jadi metode artinya suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan.[23]
Dari pengertian di
atas maka dalam mencapai tujuan instruksional, guru perlu mengenal dan
mengetahui jenis-jenis metode mengajar. Di samping itu, guru juga perlu
menetapkan metode mana yang dipandang tepat untuk mencapai tujuan instruksional
yang telah ditetapkan.
Beberapa metode
mengajar dapat digunakan dalam interaksi belajar mengajar. Namun perlu diingat
di antara sekian banyak metode pengajaran tidak ada satupun yang dapat disebut
sebagai metode yang terbaik maupun sebagai metode yang jelek. Hal ini
disebabkan karena semua metode mempunyai kebaikan dan kelemahan masing-masing.
Kelebihan dan kekurangan itu bergantung kepada :
1.
Jenis bahan yang diajarkan,
2.
Siswa yang dihadapi,
3.
Situasi dan kondisi pada waktu
proses belajar mengajar berlangsung,
4.
Tujuan yang akan dicapai,
5.
Alat Bantu pengajaran yang akan
digunakan.[24]
Di
antara metode-metode mengajar adalah sebagai berikut :
1)
Metode ceramah
Metode
ceramah yaitu metode mengajar yang menitikberatkan pada penuturan kata-kata
secara lisan dari guru dengan murid, atau dengan kata lain metode ceramah
merupakan metode mengajar dengan dialog satu arah yaitu guru yang aktif
sedangkan siswa bersifat pasif.
Penerapan
metode ini adalah sebagai berikut :
a.
Dilakukan
pada saat KBM Klasikal, yaitu klasikal awal, klasikal kelompok, privat atau
klasikal lainnya.
b.
Sebaiknya
didukung oleh alat bantu berupa gambar, bagan atau sketsa, alat peraga dan alat
bantu lainnya.
c.
Bahan
pengajaran yang dapat disajikan dengan metode ceramah umumnya adalah bahan
pengajaran yang menurut pemahaman sikap, seperti materi adab (doa-doa dan adab
harian), ilmu tajwid, Dinul Islam dan penerapanshalat dan sebagainya.[25]
2)
Metode diskusi
Metode diskusi yaitu
suatu metode mengajar dengan menekankan kegiatan kelompok dalam memecahkan
masalah untuk mengambil kesimpulan.
Langkah-langkah
penggunaan metode diskusi :
a.
Ustadz/ustadzah
mengemukakan masalah yang akan didiskusikan dan memberikan pengarahan
seperlunya mengenai cara-cara pemecahannya. Dapat pla pokok masalah yang akan
didiskusikan itu ditentukan bersama-sama oleh ustadz dan santri. Yang penting
judul atau masalah yang akan didiskusikan itu harus dirumuskan sejelas-jelasnya
agar dapat dipahami baik-baik oleh setiap santri.
b.
Dengan
pimpinan ustadz-ustadzah para santri membentuk kelompok-kelompok diskusi,
memilih pimpinan diskusi (ketua), sekretaris (pencatat), pelapor (kalau perlu),
mengatur tempat duduk, ruangan, sarana dan sebagainya.
c.
Para santri
berdiskusi di dalam kelompoknya masing-masing. Sedangkan ustadz-ustadzah
berkeliling dari kelompok 1 ke kelompok yang lain, (kalau ada lebih dari satu
kelompok). Menjaga ketertiban serta memberikan dorongan dan bantuan sepenuhnya
agar setiap anggota kelompok berpartisipasi aktif dan agar diskusi berjalan
lancar. Setiap anggota kelompok harus tahu persis apa yang akan didiskusikan
dan bagaimana caranya berdiskusi. Diskusi harus berjalan dalam suasana bebas,
setiap anggota harus tahu bahwa hak bicaranya sama.
d.
Kemudian
tiap kelompok melaporkan hasil diskusinya. Hasil-hasilnya yang dilaporkan itu
ditanggapi oleh semua santri (terutama dari kelompok lain). Ustadz-ustadzah
memberi ulasan atau penjelasan terhadap laporan-laporan tersebut.
e.
Akhirnya
para santri mencatat hasil (hasil-hasil) diskusi, dan ustadz-ustadzah
mengumpulkan laporan hasil diskusi dari tiap-tiap kelompok sesudah para santri
mencatatnya untuk ”File” kelas.[26]
3)
Metode tanya jawab
Yaitu suatu metode
pengajaran dimana guru bertanya sedangkan murid-murid menjawab tentang bahan
materi yang diperolehnya.
Penerapannya
adalah sebagai berikut :
a.
Metode ini
diterapkan pada saat privat (individual) atau pada saat pendekatan klasikal
kelompok dari privat.
b.
Pola
interaksi tanya jawab dapat dilakukan dengan cara bervariasi.
1.
Pada saat
KBM klasikal
-
guru
bertanya dan santri menjawab secara perorangan.
-
Santri
dirangsang untuk bertanya dan membuat
pertanyaan.
2.
Saat KBM
individual/privat.
-
guru
bertanya dan santri menjawab
-
santri
dirangsang untuk bertanya dan membuat pertanyaan
c.
Metode tanya
jawab dapat digunakan untuk semua bahan pengajaran
d.
Minat santri
untuk berani bertanya dan berani menjawab atau mengemukakan pendapatnya, dapat
dirangsang dengan memberikan ”hadiah pujian” bagi anak yang berani tampil
bertanya dan anak yang bisa memberikan jawaban dengan benar[27]
4)
Metode
pemberian tugas (resitasi)
Metode
ini sering disebut metode pekerjaan rumah, yaitu metode dimana murid diberikan
tugas di
luar jam pelajaran.
5)
Metode demonstrasi dan eksperimen
Metode demonstrasi
adalah metode mengajar dimana guru atau orang lain yang sengaja diminta atau
murid sendiri yang memperlihatkan kepada seluruh kelas suatu proses, misalnya
cara pengambilan air wudhu’ dan lain-lain.
Metode eksperimen
adalah metode mengajar dimana guru dan murid bersama-sama mengerjakan sesuatu
sebagai bahan latihan praktis dari apa yang teah dipelajari, misalnya murid
mengerjakan penyelenggaraan shalat jum’at, dan lain-lain.
6)
Metode sosio
drama dan bermain peranan
Sosio drama adalah
metode mengajar dengan mendemonstrasikan cara bertingkah laku dalam hubungan
social, sedangkan bermain peranan menekankan kenyataan dimana para murid
diikutsertakan dalam permainan peranan di dalam mendemonstrasikan sesuatu
masalah.
7)
Metode proyek
Adalah suatu metode
mengajar dimana bahan pelajaran diorganisasikan sedemikian rupa sehingga
merupakan suatu keseluruhan atau kesatuan bulat yang bermakna dan mengandung
suatu pokok masalah.
8)
Metode latihan (drill)
Untuk memperoleh suatu
ketangkasan atau suatu keterampilan terhadap sesuatu yang telah dipelajari,
diperlukan latihan-latihan dengan cara mengulang yang pernah dipelajari.
Dari beberapa metode
yang telah disebutkan di atas, maka dalam pelaksanaan pengajaran terutama
pengajaran di TPA, maka perlu dipertimbangkan metode yang cocok dengan situasi
yang dihadapi. Dalam pelaksanaannya terkadang harus dikombinasikan berbagai
macam metode, guna mencapai tujuan yang diharapkan.
Metode yang diterapkan
di TPA sekarang ini dalam rangka pemberantasan buta huruf tulis baca Al-Qur'an
adalah menggunakan kaidah Iqra’ di samping kaidah lainnya Untuk tingkat
awal/dasar. Metode (kaidah iqra’) ini disusun oleh ustadz H. As’ad Humam
(Pengasuh Team Tadarus Angkatan Muda Mesjid dan Mushalla Yogyakarta)
berdasarkan pengalaman mengajar Al-Qur'an sejak tahun 1950, melalui uji coba
dan penyelidikan yang mendalam.
1.
Bacaan langsung (tanpa analisa
dan dieja)
Peserta didik
(pelajar) tidak dikenalkan terlebih dahulu dengan huruf-huruf hijaiyah, tetapi langsung menyebut atau
membunyikan huruf yang sudah berharkat (berbaris).
2.
Penyajian bertahap dengan buku
pedoman
Pengajaran kaidah
Iqra’ yang terdiri dari enam jilid. Dimana masing-masing jilid mengandung
pedoman pengajaran, pokok bahasan dan latihan terpadu. Sehingga ustadz/ah tidak
perlu membuat latihan sendiri.
3.
CBSA
Teknik pengajaran buku
Iqra’ menggunakan sistem CBSA (Cara Belajar Santri Aktif). Dalam praktek
pengajaran, Ustadz/ah cukup memperkenalkan pokok pelajaran/tajuk dan contoh
sekedarnya. Setelah itu santri membaca sendiri latihannya.
4.
Tallaqi Musyafahah (penekanan
makharijul huruf)
Dalam mengajarkan
Al-Qur'an dengan kaidah Iqra’ santri harus melihat bibir, lisan ustadz/ah
membunyikan huruf-huruf Al-Qur'an secara tepat/fasih (ada penekanan makharijul
huruf).
5.
Mengutamakan pendekatan
individual
Perbedaan kemampuan
santri dijadikan pertimbangan supaya santri yang lebih cerdas dapat lebih cepat
menyelesaikan pelajaran agar tidak menimbulkan kejenuhan. Sementara santri yang
agak lambat tidak merasakan pemaksaan.
6.
Asistensi/tenaga pembantu
Santri yang lebih
tinggi tingkatan pencapaiannya dapat dijadikan tenaga pembimbing bagi santri
lainnya. Untuk meringankan tugas ustadz/ah. Karena setiap santri yang telah
mencapai tingkatan tertentu dapat membimbing santri tingkatan yang lebih
rendah.
7.
Praktis
Tujuan kaidah ini adalah dapat mempercepat dan
mempermudah peserta didik dalam membaca Al-Qur'an dengan benar.
8.
Sistematis
Bahan pelajaran
disusun lengkap, terencana, terarah dan bertahap.
9.
Variatif
Sejak awal pengajaran
membaca telah dikenalkan variasi bacaan, baik variasi bunyi, maupun variasi
irama (panjang-pendek).
10. Komunikatif
Ungkapan teguran dan
bimbingan yang akrab kepada santri terdapat dalam tiap-tiap tahap pelajaran.[28]
Selanjutnya setelah
santri menguasai cara membaca Al-Qur'an secara tepat dan benar dilanjutkan
dengan tadarus Al-Qur'an diikuti dengan pelajaran ilmu tajwid secara sederhana
serta hafalan ayat-ayat pilihan.
F.
Peran dan Fungsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Agama Anak
Peranan orang
tua sangat strategis, sesuai dengan perkembangan zaman. Apalagi saat ini di
mana pengaruh teknologi informasi yang semakin kental. Dalam hal ini, peran
orang tua sangat penting sebab kondisi dasar dari sebuah generasi dimulai dari
sebuah keluarga. Menurut Endang Saefuddin Anshari, keluarga adalah suatu sistem
kehidupan masyarakat yang terkecil dibatasi oleh adanya keturunan atau disebut
juga umat, akibat adanya kesamaan agama.[29]
Sebagaimana
orang tua atau pendidik, kita harus sadar bahwa lingkungan yang paling
bertanggung jawab terhadap pendidikan anak adalah keluarga, di samping sekolah.
Berhasil tidaknya pendidikan juga sangat bergantung pada lingkungan yang
menumbuhkan dan mengembangkan anak-anak. Sebab keteladanan lebih efektif
dibandingkan nasehat berupa ucapan atau indoktrinasi. Tanpa keteladanan,
rasanya sulit menjadi generasi yang senantiasa berpegang teguh pada Al-Qur’an
dan hadits Nabi yang kelak akan meneruskan cita-cita Islam.[30]
Posisi orang tua
sangat berarti bagi pembinaan subjek didik, karena dituntut untuk mengedepankan
sosok anak yang muslim. Islam juga menutut agar orang tua benar memberikan
pengawasan yang intensive terhadap segala aktifitas yang dilakukan anak untuk
menentang kemungkinan berprilaku yang negatif, sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat
at-Tahrim ayat 6 sebagai berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR... (التحريم: ٦)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
(Q. S. at-Tahrim: 6)
Seorang ibu
memegang peranan yang sangat penting dalam mendidik anak di lingkungan
keluarga. Ibu merupakan guru pertama dan utama dalam memberikan pendidikan
kepada anaknya. Selain ibu, ayahpun mempunyai tanggung jawab yang sangat besar
dalam memberikan pendidikan kepada anak.
Dari uraian di
atas, penulis memahami bahwa di dalam keluarga harus dilakukan kerjasama yang
baik untuk mencapai anggota keluarga yang serasi dan terpadu saling isi mengisi
sehingga menimbulkan keakraban di dalam keluarga. Dengan modal tersebut
peningkatan prestasi anak akan lebih mudah dilakukan.
Bahkan, secara
kongkrit manusia sebagai makhluk biologis, sosiologis dan makhluk psikologis.
Sebagai makhluk psikologis manusia memerlukan pemenuhan dari keseluruhan
kebutuhan psikologisnya, antara lain manusia punya kebutuhan akan rasa ingin
tahu. Pemenuhan akan kebutuhan psikologis itu adalah sebagai salah satu tujuan
dari hidup manusia. Guna terpenuhi tujuan hidup dimaksud perlu adanya
usaha-usaha ke arah itu. Usaha tersebut senantiasa dilandasi oleh suatu
kekuatan yang dinamakan dengan motivasi.
Dalam kaitannya
dengan belajar, maka peranan orang tua sangat menentukan. Oleh karena itu,
suatu hal yang tidak dapat diabaikan oleh orang tua dalam membelajarkan
anaknya. Tanpa adanya motivasi orang tua hasil belajar anak tidak akan sesuai
dengan apa yang telah diharapkan sebelumnya. Untuk itu orang tua perlu
mengupayakan berbagai usaha untuk dapat membangkitkan motivasi anaknya dalam
belajar. Bila motivasi anak dalam belajar sudah timbul, maka usaha pencapaian
hasil belajar mudah tercapai.
Menurut Sardiman
A. M. motivasi sebagai suatu kekuatan atau dorongan yang melatarbelakangi
seluruh aktifitas manusia dalam hidupnya. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan
proses belajar mengajar sangat perlu terlebih dahulu diciptkana atau
ditumbuhkan situasi yang dapat menimbulkan motivasi individu yang belajar.[31]
Dalam kaitan ini
perlu diketahui cara dan jenis menumbuhkan motivasi. Namun demikian orang tua
mesti berhati-hati dalam menumbuhkan motivasi bagi kegiatan belajar anaknya.
Sebab jika salah menempatkan cara menumbuhkan motivasi dapat berakibat tidak
menguntungkan terhadap perkembangan pendidikan agama anaknya.
[1]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. V, (Jakarta : Bumi Aksara,
2004), hal. 20.
[3]Herry Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Yokyakarta: Logos
Wanan Ilmu, 1999), hal. 56.
[4]UUD 1945, hal. 27.
[5]UUD 1945, hal. 59.
[6]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar,
hal. 5.
[7]Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. II,
(Bandung: Sinar Baru, 1991), hal. 29.
[8]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar,
(Jakarta : Bumi
Aksara, 2002), hal. 46-49.
[9]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 38.
[10]Ahmad Amin, Etika dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1992), hal. 2.
[13]Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, (Beirut:
Wasyirkah al-Halabi al-Babi, 1953), hal. 122.
[14]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. II,
(Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 85.
[15]Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, (Mesir:
Dar al-Kutub, t.t.), hal. 65.
[17]Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Proyek Peningkatan, Peta Taman
Pengajian Al-Qur'an Tahun 1994/1995, hal. 4.
[18]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 1995), hal. 57.
[19] Ditjen Bimas Islam, Peta Taman Pengajian Al-Qur'an…, hal. 5.
[21]Subari, Supervisi Pendidikan dalam
Rangka Perbaikan Situasi Belajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal. 17.
[23]Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 1997), hal. 99.
[25]Ismed Syarif Ahmad, Metodologi
Pengajaran, (Jakarta: Roda Pengetahuan, 1984), hal. 12.
[26]Suryosubroto B., Proses Belajar
Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 181.
[27]Ismed Syarif Ahmad, Metodologi ..., hal.
12.
[28]As’ad Humam, Pedoman …, hal.
18.
[29]Endang Saefuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran
tentang Islam dan Umatnya, (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 185.
[30]Abdul Mustaqim, Menjadi Orang Tua Bijak, (Bandung : Mizan, 2005), hal. 22-23.
[31]Sudirman A. M., Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara,
1990), hal. 53.
0 Comments
Post a Comment