Larangan Kawin Dengan Wanita Musyrik
BAB II
Larangan Kawin Dengan Wanita Musyrik
A. Tujuan Perkawinan
Islam memandang pernikahan bukan
sebagai sarana untuk mencapai kenikmatan lahiriah semata,tetapi bagian dari
pemenuhan naluri yang didasarkan pada aturan Allah (bernilai ibadah). Tujuannya
sangat jelas, yaitu membentuk keluarga yang sakinah (tenang), mawaddah
(penuh cinta), dan rahmah (kasih sayang) sebagaimana yang dijelaskan
Allah SWT dalam Al – qur’an surat Ar-Rum ayat 21:
ومن ءايته أن خلق لكم من
أنفسكم أزوجا لنسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن فى ذلك لأيت لقوم يتفكرون)
الروم: ٢١(
Artinya: Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Rum: 21).
Didalam surat Ar-raad ayat 38 juga di sebutkan:
ولقد
أىسلنا رسلا من قبلك وجعلنا لهم أزواجا وذرية وما كان لرسول أن يأتى بأتة إلابإذن
الله لكل أجل كتاب ) الرعد: ٣٨(
Artinya: Dan
Sesungguhnya kami Telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah.
bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu) (QS. Ar- Raad: 38)
Dan juga terdapat
dalam surat An-Nahl
ayat 72 Allah berfirman:
والله
جعل لكم من أنفسكم أزواجا وجعل لكم من أزواجكم بنين وحفدة ورزقكم من الطيبات
أفبالبتاطل يؤمنون وبنعمت الله هم يكفرون ) النحل :٧٢(
Artinya: Allah
menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki
dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah
?" (QS. An-Nahl: 72).
Di dalam surat Al-Hujurat ayat
13 Allah berfirman:
ياأيها
الناس إنا خلقناكم من ذكروأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل رفوا إن أكرمكم عند الله
أتقاكم إن الله عليم خبير )الحجرات:١٣(
Artinya: Hai
manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal (Qs.
Al-Hujurat: 13)
Dari ayat diatas, dapatlah
kita ketahui bahwa membina rumah tangga sangatlah penting dalam hidup ini agar
mencapai kebahagian didunia dan diakhirat. yang lebih penting dari itu adalah
bagaiman kita membangun rumah tangga yang ideal dan harmonis sebagai mana yang
di contohkan Rasulullah dalam kehidupannya dalam membina rumah tangga untuk
menjadi contoh teladan bagi kita.
Rumah tangga merupakan azas
kebudayaan dan pembentuk gaya pemikiran seorang anak. Pengetahuan, pemikiran,
pandangan, dan filsafat hidupnya, sikap yang di ambil dalam menghadapi situasi
dan kondisi tertentu, kebiasaan bahasa, dialek, dan tata nilai yang di terima
anak, berasal dari rumah tangga. Rumah tangga merupakan sarana terpenting guna
mewariskan kebudayaan sosial dan membentuk para individu agar memiliki cara
berfikir dan cara pandang khas dalam kehidupan. Semangat dan kondisi kebudayaan
mereka berasal dari kebudayaan yang ada di dalam rumah tangganya. Betapa banyak
optimisme dan pesimisme akan kehidupan ini, keahlian akan penemuan dan inovasi,
muncul dari rumah tangga.
Dengan begitu, pernikahan akan mampu
memberikan kontribusi bagi kesatabilan dan ketentraman masyarakat, karena kaum
pria dan wanita dapat memenuhi naluri seksualnya secara benar dan sah. Berbeda dengan pandangan Barat yang memandang interaksi dalam bentuk
pernikahan adalah hal yang kolot dan terbelakang. Dalam pandangan mereka, kalau dapat
memenuhi hasrat seksualnya dengan melacur, hidup bersama tanpa nikah, dan
sebagainya, maka hal itu sah saja. Akibatnya dalam tatanan masyarakat Barat, lembaga pernikahan telah runtuh
dan dipandang sebagai pembelenggu kebebasan. Wajar jika kemudian praktek
perzinaan secara massal (pelacuran), perselingkuan, perkosaan, pelecehan
seksual, homoseksualitas, lesbianisme, dan aborsi dianggap lumrah. Lebih dari
itu, pernikahan dalam Islam adalah bagian dari proses keberlangsungan generasi
manusia secara universal.
Kita dapat melihat, upaya sebagian
manusia untuk meruntuhkan dan menganggap rendah pernikaan, berujung pada
kegoncangan keluarga, orang takut atau kalau menikah takut punya anak, praktek
aborsi marak. Dalam level negara, kita lihat struktur kependudukan (demografis)
suatu bangsa dapat mengalami kekurangan atau minim anak dan generasi muda serta
overload generasi renta (kasus Perancis dan Jerman). Ini jelas berbahaya bagi kelangsungan
negara tersebut. Selain itu, tingginya angka perceraian mendorong maraknya pola
orangtua tunggal (single parent).
Perkawinan
merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang
penting, di antaranya adalah: Pembentukan sebuah keluarga yang di dalamnya
seseorangd apat menemukan kedamaian pikiran. Orang yang tidak kawin bagaikan
seekor burung tanpa sarang. Perkawinan merupakan perlindungan bagi seseorang
yang merasa seolah-olah hilang di belantara kehidupan; orang dapat menemukan
pasangan hidup yang akan berbagi dalam kesenangan dan penderitaan. Diantara
tujuan pernikahan dalam Islam adalah :
1. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia
yang asasi.
Pernikahan
adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu
dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan). Bukan dengan cara yang amat
kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang seperti: berpacaran, kumpul
kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang
jauh dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk membentengi ahlak yang luhur.
Sasaran
utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya ialah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji yang telah
menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang
pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara
pemuda dan pemudi dari kerusakan serta melindungi masyarakat dari kekacauan.
3. Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami.
Dalam
Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian). Jika
suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 229:
الطلق مرتان؛ فإمساك بمعروف أوتسريح بإحسن ؛ ولا يحل لكم أن
تأخذواممآ ءاتيتموهن شبئا إلا ان يخافآ الا يقيما حدود الله؛ فإن خفتم ألا يقيما
حدود الله فلا جناح عليهما فيها افتدت به؛ تبك حدود الله فلا تعتدوها؛ ومن يتعد
حدود الله فأولئك هم الظلمون ) البقرة: ٢٢٩(
Artinya: Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali,
setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (َQs.Al-Baqarah : 229).
Yakni
keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk
(kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah.
Sebagaimana yang disebutkan dalam lanjutan ayat di atas:
فإن طلقها تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره فإن طلقها فلا
جناح عليهما أن يترا جعا إن يقيما حدود الله وتلك حدود الله يبينها لقوم يعلمون) البقرة: ٢٣٠(
Artinya: Kemudian
jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya hingga dinikahkan dengan suami yang lain. Kemudian
jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami yang pertama dan istri) untuk nikah kembali, jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada
kaum yang (mau) mengetahui”.( Qs. Al-Baqarah: 230).
Jadi
tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at
Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan
syari’at Islam adalah wajib.
Dengan penjelasan tersebut terjawab jugalah hikmah
yang terkandung dalam sabda Nabi Besar Muhammad saw. bahwa, “Di bawah telapak
kaki ibu terdapat surga bagi anak-anak mereka.” Dapat dipastikan bahwa ibu-ibu
yang dimaksudkan oleh beliau SAW. adalah ibu-ibu yang beriman dan beramal
shalih sebab mereka itu merupakan calon-calon ahli surga atau calon-calon
bidadari surgawi.
Para
suami yang memiliki kesadaran akan kewajiban mereka untuk berusaha menjadikan
istri-istri mereka dan anak-anak perempuan mereka sebagai calon-calon “bidadari
surgawi” maka, insya Allah, mereka tidak akan berani melakukan pengkhianatan
terhadap janji yang telah mereka ucapkan kepada istri mereka pada waktu
melakukan pernikahan (aqad nikah).
Demikian pula sebaliknya, insya Allah, tidak akan
ada seorang istri pun yang akan melakukan pengkhianatan terhadap suami mereka,
sebab jika mereka melakukan pengkhianatan terhadap suami mereka maka mereka
bukan saja tidak layak menjadi calon “bidadari surgawi”, bahkan mereka akan
menjadi penghuni jahannam.
B. Hikmah Perkawinan
Dalam Islam
Keluarga dalam Islam adalah
perintah agama yang berusaha untuk diwujudkan oleh setiap manusia beriman. Ia juga kesempurnaan akhlak manusia yang dicoba-raih oleh setiap
pribadi. Pernikahan mengandung beberapa hikmah yang memesona dan sejumlah
tujuan luhur. Seorang manusia—laki-laki maupun perempuan—pasti bisa merasakan
cinta dan kasih sayang dan ingin mengenyam ketenangan jiwa dan kestabilan
emosi. Allah S.W.T. berfirman, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir."
Dalam pandangan Islam, keluarga atau
rumah tangga merupakan gerbang utama dan pertama yang membukakan pengetahuan
atas segala sesuatu yang dipahami oleh anak-anak. Keluarga-lah yang memiliki
andil besar dalam menanamkan prinsip-prinsip keimanan yang kokoh sebagai dasar
bagi si anak untuk menjalani aktivitas hidupnya. Berikutnya, mengantarkan dan
mendampingi anak meraih dan mengamalkan ilmu setingggi-tingginya dalam koridor
taqwa. Jadi keluarga harus menyadari memiliki beban tanggung jawab yang pertama
untuk membentuk pola akal dan jiwa yang Islami bagi anak. Singkatnya, keluarga
sebagai cermin keteladanan bagi generasi baru.”8
Seseorang laki-laki maupun
perempuan dalam naungan keluarga akan menikmati perasaan memiliki kehormatan
diri dan kesucian dan mengenyam keluhuran budi pekerti. Rasulullah S.A.W. bersabda:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءاة فليتزوج ومن لم يستطع فعليه
بالصوم فإنه له وجاء.)
رواه البخارى(
Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara
kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih
menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa
yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya”. (HR. Bukhari).”9
Dari itu, ada dua catatan penting yang perlu kita garis bawahi:
- Insting seksual yang menginginkan lawan jenis bukanlah kekurangan yang harus dihilangkan dari diri manusia, namun ia adalah keniscayaan fitrah yang perlu diarahkan dengan jalan dipraktikkan dalam koridor manhaj Ilahi dan sebatas untuk mewujudkan ketenangan jiwa, serta menjauhkan masalah dan penyakit. Islam tidak mengenal pengebirian insting seksual. Islam juga bukan pendukung seks bebas. Masyarakat moderen di sekitar kita dewasa ini melepas-bebaskan syahwat mereka secara liar di mana nilai-nilai moral yang luhur, kehormatan diri, dan rasa malu tak lagi diperhatikan. Yang mengerti akan kesakralan nilai-nilai adiluhung tersebut hanyalah kaum Muslimin.
- Wasiat Rasulullah S.A.W. bagi mereka yang tak mampu menanggung konsenkuensi pernikahan untuk berpuasa sepatutnya tidak diartikan sebagai upaya untuk mengalangi keberlangsungan hidup insting seksual. Sebab, hal itu sama sekali bukan maksud dan tujuan dari hadis Rasulullah S.A.W. di atas. Namun, hikmah luhur yang terkandung di dalamnya adalah bahwasanya puasa merupakan wadah seorang Muslim untuk belajar arti kesabaran, ketabahan, keinginan yang cerdas dan kesadaran beragama.
Dengan demikian, kita bisa katakan, bahwa pernikahan
mempunyai tujuan besardan asasi sebagai sarana melanggengkan hikmah utama di
dalamnya. Yakni, kelangsungan ras manusia dan membangun peradaban dunia. Allah
S.W.T. berfirman, "Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis
kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan
cucu-cucu." Oleh karena itu, seorang wanita sangat direkomendasikan untuk
menjadi sosok yang wadûd dan walûd. Maksudnya, ia harus punya cinta, kasih
sayang, dan kesetiaan, di samping potensi besar untuk melahirkan keturunan.
Dengan kedua predikat tersebut, ia pun telah mengumpulkan dua kebaikan.
Karena hikmah luhur inilah,
pembentukan keluarga merupakan sunnah para Nabi, doa para Rasul, dan harapan
kaum muttaqîn. Allah S.W.T. telah mengkaruniakan keluarga
dan keturunan kepada para Nabi-Nya. Allah berfirman, "Dan sesungguhnya
Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada
mereka istri-istri dan keturunan." Anak menjadi warta gembira Ilahi untuk
junjungan kita Ibrâhîm a.s. Allah berfirman, "Dan sesungguhnya
utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan
membawa kabar gembira." Warta gembira itu dibentangkan setelah satu ayat
berikutnya melaui firman-Nya, "Dan isterinya berdiri (di sampingnya) lalu
dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran)
Ishak dan sesudah Ishak (lahir pula) Ya'qub."
Ishâq ini adalah sosok anak yang alim yang pewartaannya
diperuntukkan bagi Sârah setelah sebelumnya Ibrâhîm menerima berita gembira
tentang kelahiran puteranya yang berhati lembut, yaitu Ismâ'îl, yang terlahir
dari Hâjar. Al-Qur'an telah
merentangkan suri teladan melalui Zakariâ a.s. tatkala menunaikan shalat malam
dan memanjatkan doa kepada Tuhannya, "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku
telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa
dalam berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap
mawaliku sepeninggalanku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka
anugerahilah aku dari Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan
mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub, dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang
yang diridhai."
Allah mengabulkan permohonan Zakariâ. Datanglah warta
gembira baginya, "Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira
kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami
belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia."
Al-Qur'an mengajari kita doa hamba-hamba Allah Yang Maha
Penyayang yang merupakan barisan makluk-Nya terpilih, yang berbunyi, "Ya
Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." Bila doa ini kita cermati, tampak bahwa
hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang tidak puas hanya dengan menjadi
orang-orang yang bertakwa saja. Mereka juga memohon agar diri mereka dan
keturunan mereka menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa. Inilah doa yang
niscaya membuat diri kita berambisi tinggi meraih karunia Allah. Oleh karena itu, jika kita meminta, kita
mesti meminta surga Firdaus tertinggi.”10
Yang menakjubkan, jika ayat-ayat al-Qur'an dicermati
akan ditemukan bahwa keluarga bersangkutpautan dengan pahala surga dan siksa
neraka. Tentang para penghuni surga, Allah S.W.T. berfirman, "Dan
orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam
keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada
mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka," dan "(yaitu) surga 'Adn yang mereka
masuk kedalamnyabersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya,
istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat
mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima
shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu."
Sedangkan menyangkut penghuni neraka, Allah S.W.T.
berfirman, "(Kepada malaikat diperintahkan): 'Kumpulkanlah orang-orang
yang zalim bersama teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu
mereka sembah selain Allah; maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke
neraka'." Ayat-ayat tersebut menandaskan pentingnya hubungan secara akidah
dan akhlak antara keluarga dan anak-anaknya.
Akan tetapi, jika kita ditanya tentang pengertian firman
Allah S.W.T., "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar." , akan kita jelaskan
bahwa seluruh kehidupan ini harus diperuntukkan bagi Allah dan dijalani karena
Allah. Kehidupan ini kita jalani bukan untuk menumpuk emas dan perak, bukan
juga untuk membangga-banggakan kedudukan dan anak. Namun, kehidupan adalah
kesempatan yang dibentangkan untuk membekali diri dengan bekal terbaik dan
pesangon takwa.
Islam menganjurkan kaum Muslimin untuk memiliki kekayaan
bukan karena kekayaan itu, namun haruslah didasari atas keinginan untuk meraih
ridha Ilahi. Al-Qur'an yang mulia sudah menjelaskan kepada kita patokan umum
untuk mengarungi kehidupan dunia ini melalui kisah Qârûn ketika memperoleh
nasihat dari kaum ulama di zamannya. Al-Qur'an menuturkan:
ان قرون كان من قوم
موسى فبغى عليهم وءاتينه من الكنوز ما ان مفاتحه لتنوا بالعصبة أولى القوة إذ قال
له قومه لا تفرح إن الله لايحب الفرحين ,وابتمغ فيما ءاتئك الله الدار الاخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما احسن الله إليك ولا تبغ الفساد فى الارض إن الله لا يحب المفسدين, قال إنما أوتيته, على
علم عندى أولم يعلم أن الله قد أهلك من قبله, من القرون من هو أشد منه قوة وأكثر
جمعا ولايسئل عن ذنوبهم المجرمون , فخرج على قومه فى
زينته؛ قال الذين يريدون الحيوة الدنيا يليت لنا مثل مآ أوتي قرون إنه لذو حظ عظيم
,
وقال الذين أوتوا العلم ويلكم ثواب الله خير لمن ءامن وعمل صلحا ولا يلقها إلا
الصبرون ,
فخسفنا به وبداره الأرض فما كان له من فئة ينصرونه من دون الله وما كان من
المنتصرين )القصاص: ٨١-٧٥(
Artinya: Sesungguhnya Qârûn adalah termasuk kaum
Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan
kepadanya perbendaharaaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh
sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya:
'Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianm075. Dan Kami datangkan dari tiap-tiap umat seorang saksi, lalu Kami
berkata "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu", maka tahulah mereka
bahwasanya yang hak itu kepunyaan Allah dan lenyaplah dari mereka apa yang
dahulunya mereka ada-adakan. Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka
ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya
perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah
orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya:
"Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang terlalu membanggakan diri". Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. Karun berkata:
"Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada
padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak
mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa
itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Karun
kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki
kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah
diberikan kepada Karun ; sesungguhnya ia
benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". Berkatalah orang-orang
yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah
adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak
diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar". Maka Kami
benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam
bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab
Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).(Qs.
Al-Qashash : 75-81)
Atas dasar inilah kita memahami ayat tersebut. Harta dan
anak-anak dipandang oleh al-Qur'an sebagai hiasan kehidupan dunia. Al-Qur'an
membolehkan umat Islam untuk memiliki keduanya dan bekerja keras untuk meraih
keduanya dalam batasan-batasan syara' serta dengan usaha manusiawi yang tak
semena-mena, tanpa harus melampaui batas, bermegah-megahan, ataupun menimbulkan
kerusakan di muka bumi.
Ketika jiwa manusia berpaling dari manhaj Ilahi, fitnah
harta akan timbul dari penumpukannya yang melalui jalan tidak halal dan
penggunaannya untuk hal-hal yang tidak diperkenankan agama. Fitnah anak-anak
juga akan muncul dengan jauhnya mereka dari kebaikan, penyimpangan moral
mereka, dan pelanggaran mereka terhadap keharaman-keharaman yang telah
ditetapkan Allah. Namun, apabila anak-anak tumbuh dan terdidik di atas manhaj Islami
dan mengetahui keutamaan lalu menapaki jalan-jalan kebaikan, maka anak-anak seperti
itu merupakan kemuliaan dan kebanggaan bagi kedua orang tua. Rasulullah S.A.W. bersabda:
وعن
أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع له أو ولد صالح يدعو له) رَوَاهُ مُسلِمٌ.(
Artinya: Jika anak cucu Adam meninggal dunia, maka
seluruh amalnya akan terputus kecuali tiga perkara: sedekah yang pahalanya terus
mengalir, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang selalu mendoakannya. (HR.
Muslem)”11
Secara ringkas dapatlah kita simpulkan bahwa hikmah
perkawinan adalah sebagai berikut:
- Memelihara kelangsungan jenis manusia.
- Untuk melanjutkan dan memelihara keturunan.
- Menjadi media menyalurkan dorongan-doronganalami melalui saluran yang sehat dan bertanggungjawab.
- Memberikan ketengan jiwa.
- Memelihara masyarakat dari kemerosotan moral.
- Menghaluskan rasa keibuan dan kebapakan.
C. Larangan Kawin
Dengan Wanita Musyrik
Perkawinan (pernikahan) merupakan sarana untuk
melahirkan generasi umat manusia yang mempunyai tugas kekhalifahan untuk
memakmurkan bumi.10 Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk mewujudkan
rumah tangga yang rukun, penuh cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah wa
al-rahmah)." Kehidupan seperti ini merupakan kebutuhan yang telah
menajadi fitrah atau naluri setiap manusia. Oleh karena itu, Islam memberikan
perhatian yang cukup besar terhadap masalah perkawinan ini, termasuk pernikahan
antar umat yang berbeda agama atau pernikahan lintas agama.
Pernikahan
lintas agama yang dimaksud adalah pernikahan yang dilakukan antara seseorang
yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dengan orang non-Muslim, baik yang
dikategorikan sebagai orang musyrik maupun ahli kitab. Masalah pernikahan
lintas agama ini selalu menjadi bahan perdebatan dikalangan ulama,12 hal ini
karena perbedaan perspektif dalam memahami ayat-ayat atau teksteks agama yang
melarang pernikahan orang Muslim dengan orang musyrik. Meskipun
pernikahn lintas agama ini tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang, namun fenomena
semacam ini terns berkembang.
Perkawinan
beda agama pada dasarnya dilarang oleh agama Islam, meskipun secara tekstual
ada ayat al-qur'an yang membolehkannya. Namun menurut
para ulama ayat ini merupakan dispensasi bersyarat; yakni boleh seorang pria
muslim menikah dengan wanita ahlul kitab dengan syarat kualitas iman pria
tersebut sudah kuat. Artinya iman mereka sudah berkualitas. Sebab dari
pernikahan ini mengandung resiko yang sangat besar, yaitu dapat menyeret pria
muslim pindah agama dan terjadi perceraian.
Pelarangan ini merupakan tindakan
preventif agar tidak terjadi pemurtadan dan perceraian.Walaupun di akui
dari pernihan ini bisa dijadikan strategi da'wah untuk mengajak
wanita musrikah menganut ajaran Islam. Tetapi pada kenyataannya strategi
ini digunakan oleh kaum kristiani untuk menikahi wanita muslimah. Dan akhirnya
terjadilah pengkristenan muslim lewat pernikahan.
Tetapi jika pria muslim melakukan tindakan yang sama seperti kaum kristiani
tersebut, dikhawatirkan muslim itu menjadi murtad atau keluar dari Islam
disebabkan terpengaruh oleh istrinya. Selain itu pun anak-anak yang dihasilkan
dari pernikahan ini akan menjadi masalah dalam hukum kewarisan. Sebab itulah
para ulama melarang pernikahan ini guna mencegah terjadinya resiko yang lebih
besar meskipun ada sedikit manfaatnya. Dalam kaidah fiqih dijelaskan bahwa
mencegah datangnya madarat yang lebih besar itu harus di utamakan ketimbang
mengambil maslahat yang sedikit.
Perkawinan
beda agama pada dasarnya dilarang oleh agama Islam, meskipun secara tekstual
ada ayat al-qur'an yang membolehkannya. Namun menurut para ulama ayat ini
merupakan dispensasi bersyarat; yakni boleh seorang pria muslim menikah dengan
wanita ahlul kitab dengan syarat kualitas iman pria tersebut sudah kuat.
Artinya iman mereka sudah berkualitas. Sebab dari pernikahan ini mengandung
resiko yang sangat besar, yaitu dapat menyeret pria muslim pindah agama dan
terjadi perceraian.”12
Tetapi
jika pria muslim melakukan tindakan yang sama seperti kaum kristiani tersebut,
dikhawatirkan muslim itu menjadi murtad atau keluar dari Islam disebabkan
terpengaruh oleh istrinya. Selain itu pun anak-anak yang dihasilkan dari
pernikahan ini akan menjadi masalah dalam hukum kewarisan. Sebab itulah para
ulama melarang pernikahan ini guna mencegah terjadinya resiko yang lebih besar
meskipun ada sedikit manfaatnya. Dalam kaidah fiqih dijelaskan bahwa mencegah
datangnya madarat yang lebih besar itu harus di utamakan ketimbang mengambil
maslahat yang sedikit.
Agama Islam tidak
memperkenankan pria muslim kawin dengan wanita musyrik,sebagaimana dijelaskan
dalam firman Allah dalam surat
Al – baqarah ayat 221:
ولا
تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولا تنكحوا
المشركين حتى يؤمنوا ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم )
البقرة: ٢٢١(
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari
orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.(Qs. Al-baqarah: 221)
Nash diatas dengan
jelas melarang mengawini wanita musyrik.Demikian juga pendapat para ulama
menegaskan demikian. Larangan perkawinan
antar pemeluk agama
yang berbeda itu agaknya
dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga.
Perkawinan baru akan langgeng
dan tenteram jika terdapat
kesesuaian pandangan hidup
antar suami dan istri, karena
jangankan perbedaan agama,
perbedaan budaya, atau bahkan
perbedaan tingkat pendidikan
antara suami dan istri pun tidak
jarang mengakibatkan kegagalan
perkawinan.
Memang ada ayat yang membolehkan perkawinan antara
pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab
(Ahli Al-Kitab), tetapi
kebolehan itu bukan saja sebagai
jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena seorang
Muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah
Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang
biasanya lebih kuat dari wanita --jika beragama Islam-- dapat mentoleransi dan
mempersilakan Ahl Al-Kitab
menganut dan melaksanakan syariat
agamanya.
Perkawinan antara
seorang pria muslim dengan wanita musyrikah menurut seorang ahli tafsir Ibnu Jarir Al-Tabrani dan Muhammad Abduh –
boleh dilaksanakan oleh pria muslim.
Menurutnya bahwa musyrikah yang dilarang dikawin itu ialah musyrikah dari
bangsa Arab saja, karena mereka bangsa Arab pada saat turunnya al-Qur'an tidak
mengenal kitab suci dan mereka menyembah
berhala.oleh karena itulah seorang muslim boleh menikah dengan wanita musyrikah
dari bangsa non Arab, seperti Cina, India, Jepang yang di duga dahulu mereka
memiliki kitab suci atau serupa dengan kitab suci, seperti pemeluk agama budha,
konghucu, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan percaya ada hidup sesudah
mati. Pendapat inipun kemudian di tentang oleh jumhur ulama yang menyatakan
bahwa semua musyrikah baik dari bangsa Arab ataupun bangsa non Arab, selain
ahlul kitab, yakni Yahudi dan Kristen tidakboleh dikawin. Apapun agama wanita
tersebut selain dari Islam tetap perkawinannya tidak boleh.
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1). Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara
pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi
membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul
kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah
ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud
dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab
yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi
Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab
Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini
wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah
boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang
ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan
mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab
zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab
zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2). Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini
mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh
mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau
negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi
wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang
kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya,
maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak
melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan
pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika
dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka
diharamkan.
3). Mazhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat
bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita
ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani
keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya,
sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab
ini adalah :
(1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel , dan
bukan bangsa lainnya.
(2). Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS.
Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan
Nasrani bangsa Israel .
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani
adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad
selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan,
tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an
diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak
sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4. Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang
perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita
musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan
masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu
Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah
Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel .
Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani
sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa Perkawinan lintas
agama antara muslim dan muslimah dengan non muslim musyrik pada hakikatnya
diharamkam menurut ajaran Islam (Jumhur Ulama). Namun terdapat perbedaan
pendapat jika perkawinan itu antara seorang muslimah dengan ahli kitab (Yahudi
dan Nasrani). Sedangkan antara seorang muslim dengan seorang perempuan ahli
kitab sebagian pendapat membolehkan karena laki-laki berperan dan dapat
memengaruhi perempuan dalam suatu keluarga. Penulis sependapat dengan Putusan
MUI tahun 1980 yang berpendapat seperti di atas.13
D. Hikmah Larangan
Kawin Dengan Wanita Musyrik.
Larangan perkawinan antar
pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilator belakangi oleh harapan akan
lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan
langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan
istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan
perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang
mengakibatkan kegagalan perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan
antara pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan
itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi
juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi Allah pembawa
ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari wanita –jika
beragama Islam– dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan
melaksanakan syariat agamanya, seperti firman allah didalam al-qur’an:
لكم دينكم ولي دين) الكافرون:٦(
ِArtinya: Bagi kamu agamamu dan bagiku
agamaku (Qs. Al-Kafirun: 6).
Ini berbeda dengan Ahl Al-Kitab yang tidak mengakui
Muhammad Saw. sebagai nabi. Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama
yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga berbeda
pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum
tersebut hingga kini. Walaupun penulis cenderung berpendapat bahwa ayat
tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan
Kristen, namun yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu,
adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai “wal muhshanat
minal ladzina utul kitab”. Kata al-muhshnnat di sini berarti wanita-wanita
terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan
mengagungkan Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata utuw
yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi
terhormat. Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab,
sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran
Yahudi dan Kristen.
Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan
kaidah syar’iyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab
kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan
terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami Muslim
–berdasarkan hak kepemimpinan yang disandangnya– untuk mendidik anak-anak dan
keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini non-Muslimah
yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan
harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam.
Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang
istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah
praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan,
kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik
istri. Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang dilukiskan di
atas tidak terpenuhi –sebagaimana sering terjadi pada masa kini– maka ulama
sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang
tadinya membolehkan.
Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan
non-Muslim karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan
yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan
seorang pria Muslim, dengan wanita Ahl Al-Kitab harus pula tidak dibenarkan
jika dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Namun di sisi lain sekelompok golongan yang menamakan
dirinya inklusif-pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan
keselamatan sendiri-sendiri, memiliki konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan,
sehingga tidak bisa dikatakan mana agama yang benar atau agama yang sesat,
mengenai hukum perkawinan beda agama menurut mereka adalah boleh. Kelompok ini
mendasarkan argumentasinya pada ayat suci Al - quran yakni dalam surat al-Maidah ayat 5,
yang berbunyi sebagai berikut :
اليوم
أحل لكم الطيبت؛ وطعام الذين أوتوا الكتب حل لكم وطعامكم حل لهم؛ والمحصنت من
المؤمنت والمحصنت من الذين أوتوا الكتب من قبلكم إذآ ءاتيتموهن أحورهن محصنين غير
مسفحين ولا متخذى أخذان؛ ومن يكفر بالإيمن فقد حبط عمله وهو فى الأخرة من الخسرين) المائدة:٥(
Artinya: Pada hari Ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab,
dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita
yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.( Qs.
al-Maidah: 5)
Menurut mereka ayat ini merupakan ayat Madinah yang
diturunkan setelah ayat yang melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik,
sehingga mereka beriman, ayat ini dapat disebut ayat revolusi karena secara
eksplisit menjawab beberapa keraguan masyarakat muslim pada masa itu, karena
pada ayat yang diturunkan sebelumnya, yaitu QS. Al-Baqarah : 221
menggunakan istilah musyrik yang bisa dimaknai untuk seluruh non muslim. Namun
pada ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi)
untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim. Maka menurut kelompok ini
ayat ini berfungsi sebagai nasikh terhadap ayat sebelumnya.
Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya
Abdullahi Ahmed An-Naim dalam buku Dekonstruksi Syari’ah mengatakan bahwa
larangan dan pengharaman perkawinan antar agama ini karena dependensi wanita
kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks
sekarang dimana seorang wanita dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan
tanggung jawab yang sama didepan hukum, sehingga larangan itu tetap berlaku.”14
8 Khairiyah Husain Thaha, Konsep Ibu Teladan: Kajian
Pendidikan Islam,(Surabaya: Risalah Gusti, 2002),hal.67
9 Aidh
al-Qarni, Bulughul Maram Hadits Pilihan Hukum (terj.Zacky Mubarak,),
cet. I, (Jakarta
timur: Qisthi Press, 2006) , hal. 285.
11 Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin (terj. Agus Hasan Hasri),
cet. II ( Surabaya: Duta Ilmu, 2004), hal: 181.
12 Muhammad Thalib, Membangun
Keluarga Islami, (Yokyakarta: Pro-U
Media, 2008)hal. 14
13 Asnawi Ihsan, Warna-Warni
Hukum Perkawinan Beda Agama, http:// asnawiihsan. blokspot.com/2007/03/, di
akses pada 1 Mei 2008.