Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Larangan Kawin Dengan Wanita Musyrik


BAB II
Larangan Kawin Dengan Wanita Musyrik


A.    Tujuan Perkawinan
            Islam memandang pernikahan bukan sebagai sarana untuk mencapai kenikmatan lahiriah semata,tetapi bagian dari pemenuhan naluri yang didasarkan pada aturan Allah (bernilai ibadah). Tujuannya sangat jelas, yaitu membentuk keluarga yang sakinah (tenang), mawaddah (penuh cinta), dan rahmah (kasih sayang) sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT dalam Al – qur’an surat Ar-Rum ayat 21:
ومن ءايته أن خلق لكم من أنفسكم أزوجا لنسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن فى ذلك لأيت لقوم يتفكرون) الروم: ٢١(
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Rum: 21).

            Didalam surat Ar-raad ayat 38  juga di sebutkan:
ولقد أىسلنا رسلا من قبلك وجعلنا لهم أزواجا وذرية وما كان لرسول أن يأتى بأتة إلابإذن الله لكل أجل كتاب ) الرعد: ٣٨(
Artinya: Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu) (QS. Ar- Raad: 38)

            Dan juga terdapat dalam surat An-Nahl ayat 72 Allah berfirman:
والله جعل لكم من أنفسكم أزواجا وجعل لكم من أزواجكم بنين وحفدة ورزقكم من الطيبات أفبالبتاطل يؤمنون وبنعمت الله هم يكفرون ) النحل :٧٢(
Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS. An-Nahl: 72).

            Di dalam surat Al-Hujurat ayat 13  Allah berfirman:
ياأيها الناس إنا خلقناكم من ذكروأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل رفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير )الحجرات:١٣(
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. Al-Hujurat: 13)

Dari ayat diatas, dapatlah kita ketahui bahwa membina rumah tangga sangatlah penting dalam hidup ini agar mencapai kebahagian didunia dan diakhirat. yang lebih penting dari itu adalah bagaiman kita membangun rumah tangga yang ideal dan harmonis sebagai mana yang di contohkan Rasulullah dalam kehidupannya dalam membina rumah tangga untuk menjadi contoh teladan bagi kita.
Rumah tangga merupakan azas kebudayaan dan pembentuk gaya pemikiran seorang anak. Pengetahuan, pemikiran, pandangan, dan filsafat hidupnya, sikap yang di ambil dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu, kebiasaan bahasa, dialek, dan tata nilai yang di terima anak, berasal dari rumah tangga. Rumah tangga merupakan sarana terpenting guna mewariskan kebudayaan sosial dan membentuk para individu agar memiliki cara berfikir dan cara pandang khas dalam kehidupan. Semangat dan kondisi kebudayaan mereka berasal dari kebudayaan yang ada di dalam rumah tangganya. Betapa banyak optimisme dan pesimisme akan kehidupan ini, keahlian akan penemuan dan inovasi, muncul dari rumah tangga.           
            Dengan begitu, pernikahan akan mampu memberikan kontribusi bagi kesatabilan dan ketentraman masyarakat, karena kaum pria dan wanita dapat memenuhi naluri seksualnya secara benar dan sah. Berbeda dengan pandangan Barat yang memandang interaksi dalam bentuk pernikahan adalah hal yang kolot dan terbelakang. Dalam pandangan mereka, kalau dapat memenuhi hasrat seksualnya dengan melacur, hidup bersama tanpa nikah, dan sebagainya, maka hal itu sah saja. Akibatnya dalam tatanan masyarakat Barat, lembaga pernikahan telah runtuh dan dipandang sebagai pembelenggu kebebasan. Wajar jika kemudian praktek perzinaan secara massal (pelacuran), perselingkuan, perkosaan, pelecehan seksual, homoseksualitas, lesbianisme, dan aborsi dianggap lumrah. Lebih dari itu, pernikahan dalam Islam adalah bagian dari proses keberlangsungan generasi manusia secara universal.
            Kita dapat melihat, upaya sebagian manusia untuk meruntuhkan dan menganggap rendah pernikaan, berujung pada kegoncangan keluarga, orang takut atau kalau menikah takut punya anak, praktek aborsi marak. Dalam level negara, kita lihat struktur kependudukan (demografis) suatu bangsa dapat mengalami kekurangan atau minim anak dan generasi muda serta overload generasi renta (kasus Perancis dan Jerman). Ini jelas berbahaya bagi kelangsungan negara tersebut. Selain itu, tingginya angka perceraian mendorong maraknya pola orangtua tunggal (single parent).
           Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting, di antaranya adalah: Pembentukan sebuah keluarga yang di dalamnya seseorangd apat menemukan kedamaian pikiran. Orang yang tidak kawin bagaikan seekor burung tanpa sarang. Perkawinan merupakan perlindungan bagi seseorang yang merasa seolah-olah hilang di belantara kehidupan; orang dapat menemukan pasangan hidup yang akan berbagi dalam kesenangan dan penderitaan. Diantara tujuan pernikahan dalam Islam adalah :
1. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi.
      Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan). Bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang seperti: berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang jauh dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk membentengi ahlak yang luhur.
           Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan serta melindungi masyarakat dari kekacauan.
3. Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami.
           Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian). Jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 229:
الطلق مرتان؛ فإمساك بمعروف أوتسريح بإحسن ؛ ولا يحل لكم أن تأخذواممآ ءاتيتموهن شبئا إلا ان يخافآ الا يقيما حدود الله؛ فإن خفتم ألا يقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيها افتدت به؛ تبك حدود الله فلا تعتدوها؛ ومن يتعد حدود الله فأولئك هم الظلمون ) البقرة: ٢٢٩(
Artinya: Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (َQs.Al-Baqarah : 229).

           Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam lanjutan ayat di atas:
فإن طلقها تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره فإن طلقها فلا جناح عليهما أن يترا جعا إن يقيما حدود الله وتلك حدود الله يبينها لقوم يعلمون) البقرة: ٢٣٠(
Artinya:  Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dinikahkan dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk nikah kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.( Qs. Al-Baqarah: 230).

           Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.   
           Dengan penjelasan tersebut terjawab jugalah hikmah yang terkandung dalam sabda Nabi Besar Muhammad saw. bahwa, “Di bawah telapak kaki ibu terdapat surga bagi anak-anak mereka.” Dapat dipastikan bahwa ibu-ibu yang dimaksudkan oleh beliau SAW. adalah ibu-ibu yang beriman dan beramal shalih sebab mereka itu merupakan calon-calon ahli surga atau calon-calon bidadari surgawi.
           Para suami yang memiliki kesadaran akan kewajiban mereka untuk berusaha menjadikan istri-istri mereka dan anak-anak perempuan mereka sebagai calon-calon “bidadari surgawi” maka, insya Allah, mereka tidak akan berani melakukan pengkhianatan terhadap janji yang telah mereka ucapkan kepada istri mereka pada waktu melakukan pernikahan (aqad nikah).
           Demikian pula sebaliknya, insya Allah, tidak akan ada seorang istri pun yang akan melakukan pengkhianatan terhadap suami mereka, sebab jika mereka melakukan pengkhianatan terhadap suami mereka maka mereka bukan saja tidak layak menjadi calon “bidadari surgawi”, bahkan mereka akan menjadi penghuni jahannam.  
B.    Hikmah Perkawinan Dalam Islam
Keluarga dalam Islam adalah perintah agama yang berusaha untuk diwujudkan oleh setiap manusia beriman. Ia juga kesempurnaan akhlak manusia yang dicoba-raih oleh setiap pribadi. Pernikahan mengandung beberapa hikmah yang memesona dan sejumlah tujuan luhur. Seorang manusia—laki-laki maupun perempuan—pasti bisa merasakan cinta dan kasih sayang dan ingin mengenyam ketenangan jiwa dan kestabilan emosi. Allah S.W.T. berfirman, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
Dalam pandangan Islam, keluarga atau rumah tangga merupakan gerbang utama dan pertama yang membukakan pengetahuan atas segala sesuatu yang dipahami oleh anak-anak. Keluarga-lah yang memiliki andil besar dalam menanamkan prinsip-prinsip keimanan yang kokoh sebagai dasar bagi si anak untuk menjalani aktivitas hidupnya. Berikutnya, mengantarkan dan mendampingi anak meraih dan mengamalkan ilmu setingggi-tingginya dalam koridor taqwa. Jadi keluarga harus menyadari memiliki beban tanggung jawab yang pertama untuk membentuk pola akal dan jiwa yang Islami bagi anak. Singkatnya, keluarga sebagai cermin keteladanan bagi generasi baru.”8
Seseorang laki-laki maupun perempuan dalam naungan keluarga akan menikmati perasaan memiliki kehormatan diri dan kesucian dan mengenyam keluhuran budi pekerti. Rasulullah S.A.W. bersabda:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءاة فليتزوج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء.) رواه  البخارى(
Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (HR. Bukhari).”9

Dari itu, ada dua catatan penting yang perlu kita garis bawahi:
  1. Insting seksual yang menginginkan lawan jenis bukanlah kekurangan yang harus dihilangkan dari diri manusia, namun ia adalah keniscayaan fitrah yang perlu diarahkan dengan jalan dipraktikkan dalam koridor manhaj Ilahi dan sebatas untuk mewujudkan ketenangan jiwa, serta menjauhkan masalah dan penyakit. Islam tidak mengenal pengebirian insting seksual. Islam juga bukan pendukung seks bebas. Masyarakat moderen di sekitar kita dewasa ini melepas-bebaskan syahwat mereka secara liar di mana nilai-nilai moral yang luhur, kehormatan diri, dan rasa malu tak lagi diperhatikan. Yang mengerti akan kesakralan nilai-nilai adiluhung tersebut hanyalah kaum Muslimin.
  2. Wasiat Rasulullah S.A.W. bagi mereka yang tak mampu menanggung konsenkuensi pernikahan untuk berpuasa sepatutnya tidak diartikan sebagai upaya untuk mengalangi keberlangsungan hidup insting seksual. Sebab, hal itu sama sekali bukan maksud dan tujuan dari hadis Rasulullah S.A.W. di atas. Namun, hikmah luhur yang terkandung di dalamnya adalah bahwasanya puasa merupakan wadah seorang Muslim untuk belajar arti kesabaran, ketabahan, keinginan yang cerdas dan kesadaran beragama.
Dengan demikian, kita bisa katakan, bahwa pernikahan mempunyai tujuan besardan asasi sebagai sarana melanggengkan hikmah utama di dalamnya. Yakni, kelangsungan ras manusia dan membangun peradaban dunia. Allah S.W.T. berfirman, "Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu." Oleh karena itu, seorang wanita sangat direkomendasikan untuk menjadi sosok yang wadûd dan walûd. Maksudnya, ia harus punya cinta, kasih sayang, dan kesetiaan, di samping potensi besar untuk melahirkan keturunan. Dengan kedua predikat tersebut, ia pun telah mengumpulkan dua kebaikan.
Karena hikmah luhur inilah, pembentukan keluarga merupakan sunnah para Nabi, doa para Rasul, dan harapan kaum muttaqîn. Allah S.W.T. telah mengkaruniakan keluarga dan keturunan kepada para Nabi-Nya. Allah berfirman, "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan." Anak menjadi warta gembira Ilahi untuk junjungan kita Ibrâhîm a.s. Allah berfirman, "Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira."  Warta gembira itu dibentangkan setelah satu ayat berikutnya melaui firman-Nya, "Dan isterinya berdiri (di sampingnya) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan sesudah Ishak (lahir pula) Ya'qub."
Ishâq ini adalah sosok anak yang alim yang pewartaannya diperuntukkan bagi Sârah setelah sebelumnya Ibrâhîm menerima berita gembira tentang kelahiran puteranya yang berhati lembut, yaitu Ismâ'îl, yang terlahir dari Hâjar.         Al-Qur'an telah merentangkan suri teladan melalui Zakariâ a.s. tatkala menunaikan shalat malam dan memanjatkan doa kepada Tuhannya, "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalanku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub, dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai."
Allah mengabulkan permohonan Zakariâ. Datanglah warta gembira baginya, "Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia."
Al-Qur'an mengajari kita doa hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yang merupakan barisan makluk-Nya terpilih, yang berbunyi, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa."  Bila doa ini kita cermati, tampak bahwa hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang tidak puas hanya dengan menjadi orang-orang yang bertakwa saja. Mereka juga memohon agar diri mereka dan keturunan mereka menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa. Inilah doa yang niscaya membuat diri kita berambisi tinggi meraih karunia Allah. Oleh karena itu, jika kita meminta, kita mesti meminta surga Firdaus tertinggi.”10
Yang menakjubkan, jika ayat-ayat al-Qur'an dicermati akan ditemukan bahwa keluarga bersangkutpautan dengan pahala surga dan siksa neraka. Tentang para penghuni surga, Allah S.W.T. berfirman, "Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka,"  dan "(yaitu) surga 'Adn yang mereka masuk kedalamnyabersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu."
Sedangkan menyangkut penghuni neraka, Allah S.W.T. berfirman, "(Kepada malaikat diperintahkan): 'Kumpulkanlah orang-orang yang zalim bersama teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah; maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka'." Ayat-ayat tersebut menandaskan pentingnya hubungan secara akidah dan akhlak antara keluarga dan anak-anaknya.
Akan tetapi, jika kita ditanya tentang pengertian firman Allah S.W.T., "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar." , akan kita jelaskan bahwa seluruh kehidupan ini harus diperuntukkan bagi Allah dan dijalani karena Allah. Kehidupan ini kita jalani bukan untuk menumpuk emas dan perak, bukan juga untuk membangga-banggakan kedudukan dan anak. Namun, kehidupan adalah kesempatan yang dibentangkan untuk membekali diri dengan bekal terbaik dan pesangon takwa.
Islam menganjurkan kaum Muslimin untuk memiliki kekayaan bukan karena kekayaan itu, namun haruslah didasari atas keinginan untuk meraih ridha Ilahi. Al-Qur'an yang mulia sudah menjelaskan kepada kita patokan umum untuk mengarungi kehidupan dunia ini melalui kisah Qârûn ketika memperoleh nasihat dari kaum ulama di zamannya. Al-Qur'an menuturkan:
ان قرون كان من قوم موسى فبغى عليهم وءاتينه من الكنوز ما ان مفاتحه لتنوا بالعصبة أولى القوة إذ قال له قومه لا تفرح  إن الله لايحب الفرحين ,وابتمغ فيما ءاتئك الله الدار الاخرة  ولا تنس نصيبك من الدنيا  وأحسن كما احسن الله إليك  ولا تبغ الفساد فى الارض  إن الله لا يحب المفسدين, قال إنما أوتيته, على علم عندى أولم يعلم أن الله قد أهلك من قبله, من القرون من هو أشد منه قوة وأكثر جمعا  ولايسئل عن ذنوبهم المجرمون , فخرج على قومه فى زينته؛ قال الذين يريدون الحيوة الدنيا يليت لنا مثل مآ أوتي قرون إنه لذو حظ عظيم , وقال الذين أوتوا العلم ويلكم ثواب الله خير لمن ءامن وعمل صلحا ولا يلقها إلا الصبرون , فخسفنا به وبداره الأرض فما كان له من فئة ينصرونه من دون الله وما كان من المنتصرين   )القصاص:  ٨١-٧٥(
Artinya: Sesungguhnya Qârûn adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: 'Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianm075. Dan Kami datangkan dari tiap-tiap umat seorang saksi, lalu Kami berkata "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu", maka tahulah mereka bahwasanya yang hak itu kepunyaan Allah dan lenyaplah dari mereka apa yang dahulunya mereka ada-adakan. Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri". Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar". Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).(Qs. Al-Qashash : 75-81)

Atas dasar inilah kita memahami ayat tersebut. Harta dan anak-anak dipandang oleh al-Qur'an sebagai hiasan kehidupan dunia. Al-Qur'an membolehkan umat Islam untuk memiliki keduanya dan bekerja keras untuk meraih keduanya dalam batasan-batasan syara' serta dengan usaha manusiawi yang tak semena-mena, tanpa harus melampaui batas, bermegah-megahan, ataupun menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Ketika jiwa manusia berpaling dari manhaj Ilahi, fitnah harta akan timbul dari penumpukannya yang melalui jalan tidak halal dan penggunaannya untuk hal-hal yang tidak diperkenankan agama. Fitnah anak-anak juga akan muncul dengan jauhnya mereka dari kebaikan, penyimpangan moral mereka, dan pelanggaran mereka terhadap keharaman-keharaman yang telah ditetapkan Allah. Namun, apabila anak-anak tumbuh dan terdidik di atas manhaj Islami dan mengetahui keutamaan lalu menapaki jalan-jalan kebaikan, maka anak-anak seperti itu merupakan kemuliaan dan kebanggaan bagi kedua orang tua. Rasulullah S.A.W. bersabda:
وعن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع له أو ولد صالح يدعو له) رَوَاهُ مُسلِمٌ.(
Artinya: Jika anak cucu Adam meninggal dunia, maka seluruh amalnya akan terputus kecuali tiga perkara: sedekah yang pahalanya terus mengalir, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang selalu mendoakannya. (HR. Muslem)”11

Secara ringkas dapatlah kita simpulkan bahwa hikmah perkawinan adalah sebagai berikut:
  1. Memelihara kelangsungan jenis manusia.
  2. Untuk melanjutkan dan memelihara keturunan.
  3. Menjadi media menyalurkan dorongan-doronganalami melalui saluran yang sehat dan bertanggungjawab.
  4. Memberikan ketengan jiwa.
  5. Memelihara masyarakat dari kemerosotan moral.
  6. Menghaluskan rasa keibuan dan kebapakan.
C.    Larangan Kawin Dengan Wanita Musyrik
Perkawinan (pernikahan) merupakan sarana untuk melahirkan generasi umat manusia yang mempunyai tugas kekhalifahan untuk memakmurkan bumi.10 Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang rukun, penuh cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah wa al-rahmah)." Kehidupan seperti ini merupakan kebutuhan yang telah menajadi fitrah atau naluri setiap         manusia. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap masalah perkawinan ini, termasuk pernikahan antar umat yang berbeda agama atau pernikahan lintas agama.
      Pernikahan lintas agama yang dimaksud adalah pernikahan yang dilakukan antara seseorang yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dengan orang non-Muslim, baik yang dikategorikan sebagai orang musyrik maupun ahli kitab. Masalah pernikahan lintas agama ini selalu menjadi bahan perdebatan dikalangan ulama,12 hal ini karena perbedaan perspektif dalam memahami ayat-ayat atau teksteks agama yang melarang pernikahan orang Muslim dengan orang musyrik. Meskipun pernikahn lintas agama ini tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang, namun fenomena semacam ini terns berkembang.
      Perkawinan beda agama pada dasarnya dilarang oleh agama Islam, meskipun secara tekstual ada ayat al-qur'an yang membolehkannya. Namun menurut para ulama ayat ini merupakan dispensasi bersyarat; yakni boleh seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab dengan syarat kualitas iman pria tersebut sudah kuat. Artinya iman mereka sudah berkualitas. Sebab dari pernikahan ini mengandung resiko yang sangat besar, yaitu dapat menyeret pria muslim pindah agama dan terjadi perceraian.
      Pelarangan ini merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi pemurtadan  dan perceraian.Walaupun di akui dari pernihan ini bisa dijadikan strategi da'wah untuk mengajak   wanita musrikah menganut ajaran Islam. Tetapi pada kenyataannya strategi ini digunakan oleh kaum kristiani untuk menikahi wanita muslimah. Dan akhirnya terjadilah pengkristenan muslim lewat pernikahan.
                Tetapi jika pria muslim melakukan tindakan yang sama seperti kaum kristiani tersebut, dikhawatirkan muslim itu menjadi murtad atau keluar dari Islam disebabkan terpengaruh oleh istrinya. Selain itu pun anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan ini akan menjadi masalah dalam hukum kewarisan. Sebab itulah para ulama melarang pernikahan ini guna mencegah terjadinya resiko yang lebih besar meskipun ada sedikit manfaatnya. Dalam kaidah fiqih dijelaskan bahwa mencegah datangnya madarat yang lebih besar itu harus di utamakan ketimbang mengambil maslahat yang sedikit.
           Perkawinan beda agama pada dasarnya dilarang oleh agama Islam, meskipun secara tekstual ada ayat al-qur'an yang membolehkannya. Namun menurut para ulama ayat ini merupakan dispensasi bersyarat; yakni boleh seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab dengan syarat kualitas iman pria tersebut sudah kuat. Artinya iman mereka sudah berkualitas. Sebab dari pernikahan ini mengandung resiko yang sangat besar, yaitu dapat menyeret pria muslim pindah agama dan terjadi perceraian.”12
           Tetapi jika pria muslim melakukan tindakan yang sama seperti kaum kristiani tersebut, dikhawatirkan muslim itu menjadi murtad atau keluar dari Islam disebabkan terpengaruh oleh istrinya. Selain itu pun anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan ini akan menjadi masalah dalam hukum kewarisan. Sebab itulah para ulama melarang pernikahan ini guna mencegah terjadinya resiko yang lebih besar meskipun ada sedikit manfaatnya. Dalam kaidah fiqih dijelaskan bahwa mencegah datangnya madarat yang lebih besar itu harus di utamakan ketimbang mengambil maslahat yang sedikit.
           Agama Islam tidak memperkenankan pria muslim kawin dengan wanita musyrik,sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam surat Al – baqarah ayat 221:
ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ) البقرة: ٢٢١(
Artinya:  Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.(Qs. Al-baqarah: 221)

           Nash diatas dengan jelas melarang mengawini wanita musyrik.Demikian juga pendapat para ulama menegaskan demikian. Larangan perkawinan  antar  pemeluk  agama  yang  berbeda  itu agaknya  dilatarbelakangi  oleh  harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru  akan  langgeng  dan  tenteram jika  terdapat  kesesuaian  pandangan  hidup  antar  suami dan istri, karena jangankan  perbedaan  agama,  perbedaan  budaya, atau  bahkan  perbedaan  tingkat  pendidikan  antara suami dan istri pun tidak  jarang  mengakibatkan  kegagalan  perkawinan.
           Memang  ada ayat yang membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab  (Ahli  Al-Kitab),  tetapi  kebolehan  itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah  Nabi  Allah  pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari wanita --jika beragama Islam--  dapat mentoleransi  dan  mempersilakan  Ahl  Al-Kitab  menganut  dan melaksanakan syariat agamanya.
            Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita musyrikah menurut seorang ahli tafsir  Ibnu Jarir Al-Tabrani dan Muhammad Abduh – boleh  dilaksanakan oleh pria muslim. Menurutnya bahwa musyrikah yang dilarang dikawin itu ialah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena mereka bangsa Arab pada saat turunnya al-Qur'an tidak mengenal kitab suci  dan mereka menyembah berhala.oleh karena itulah seorang muslim boleh menikah dengan wanita musyrikah dari bangsa non Arab, seperti Cina, India, Jepang yang di duga dahulu mereka memiliki kitab suci atau serupa dengan kitab suci, seperti pemeluk agama budha, konghucu, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan percaya ada hidup sesudah mati. Pendapat inipun kemudian di tentang oleh jumhur ulama yang menyatakan bahwa semua musyrikah baik dari bangsa Arab ataupun bangsa non Arab, selain ahlul kitab, yakni Yahudi dan Kristen tidakboleh dikawin. Apapun agama wanita tersebut selain dari Islam tetap perkawinannya tidak boleh.
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1). Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2). Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
3). Mazhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
(1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
(2). Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4. Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa Perkawinan lintas agama antara muslim dan muslimah dengan non muslim musyrik pada hakikatnya diharamkam menurut ajaran Islam (Jumhur Ulama). Namun terdapat perbedaan pendapat jika perkawinan itu antara seorang muslimah dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Sedangkan antara seorang muslim dengan seorang perempuan ahli kitab sebagian pendapat membolehkan karena laki-laki berperan dan dapat memengaruhi perempuan dalam suatu keluarga. Penulis sependapat dengan Putusan MUI tahun 1980 yang berpendapat seperti di atas.13
D.    Hikmah Larangan Kawin Dengan Wanita Musyrik.
Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilator belakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari wanita –jika beragama Islam– dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan melaksanakan syariat agamanya, seperti firman allah didalam al-qur’an:
لكم دينكم ولي دين) الكافرون:٦(
ِArtinya: Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (Qs.  Al-Kafirun: 6).
Ini berbeda dengan Ahl Al-Kitab yang tidak mengakui Muhammad Saw. sebagai nabi. Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga berbeda pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun penulis cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen, namun yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu, adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai “wal muhshanat minal ladzina utul kitab”. Kata al-muhshnnat di sini berarti wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata utuw yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran Yahudi dan Kristen.
Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan kaidah syar’iyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami Muslim –berdasarkan hak kepemimpinan yang disandangnya– untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik istri. Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang dilukiskan di atas tidak terpenuhi –sebagaimana sering terjadi pada masa kini– maka ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkan.
Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan non-Muslim karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan seorang pria Muslim, dengan wanita Ahl Al-Kitab harus pula tidak dibenarkan jika dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Namun di sisi lain sekelompok golongan yang menamakan dirinya inklusif-pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, memiliki konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan, sehingga tidak bisa dikatakan mana agama yang benar atau agama yang sesat, mengenai hukum perkawinan beda agama menurut mereka adalah boleh. Kelompok ini mendasarkan argumentasinya pada ayat suci Al - quran yakni dalam surat al-Maidah ayat 5, yang berbunyi sebagai berikut :
اليوم أحل لكم الطيبت؛ وطعام الذين أوتوا الكتب حل لكم وطعامكم حل لهم؛ والمحصنت من المؤمنت والمحصنت من الذين أوتوا الكتب من قبلكم إذآ ءاتيتموهن أحورهن محصنين غير مسفحين ولا متخذى أخذان؛ ومن يكفر بالإيمن فقد حبط عمله وهو فى الأخرة من الخسرين) المائدة:٥(
Artinya: Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.( Qs. al-Maidah: 5)

Menurut mereka ayat ini merupakan ayat Madinah yang diturunkan setelah ayat yang melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman, ayat ini dapat disebut ayat revolusi karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan masyarakat muslim pada masa itu, karena pada ayat yang diturunkan sebelumnya, yaitu QS. Al-Baqarah : 221 menggunakan istilah musyrik yang bisa dimaknai untuk seluruh non muslim. Namun pada ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi) untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim. Maka menurut kelompok ini ayat ini berfungsi sebagai nasikh terhadap ayat sebelumnya.
Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim dalam buku Dekonstruksi Syari’ah mengatakan bahwa larangan dan pengharaman perkawinan antar agama ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang dimana seorang wanita dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama didepan hukum, sehingga larangan itu tetap berlaku.”14


8 Khairiyah Husain Thaha, Konsep Ibu Teladan: Kajian Pendidikan Islam,(Surabaya: Risalah Gusti, 2002),hal.67


9 Aidh al-Qarni, Bulughul Maram Hadits Pilihan Hukum (terj.Zacky Mubarak,), cet. I, (Jakarta timur: Qisthi Press, 2006) , hal. 285.

               10 Abu Mohd Rosyid Ridho, Wanita Sholihah: Ciri-ciri dan Fungsinya, (Medan: Hikmah, 1985 ),hal. 89

11 Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin (terj. Agus Hasan Hasri), cet. II ( Surabaya: Duta Ilmu, 2004), hal: 181.

12 Muhammad Thalib, Membangun Keluarga  Islami, (Yokyakarta: Pro-U Media, 2008)hal. 14

13 Asnawi Ihsan, Warna-Warni Hukum Perkawinan Beda Agama, http:// asnawiihsan. blokspot.com/2007/03/, di akses pada 1 Mei 2008.

14 Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah (Terj) (Bandung: Mizan.2001), hal 122.