BAB II
Latar Belakang Pemikiran
Haidar Putra Daulay
A. Latar Belakang Internal
1. Latar Belakang Keluarga
“Haidar Putra Daulay lahir pada 4
Maret 1955 di Lubuk Alung, Sumatera Barat, dan dibesarkan dalam lingkungan
keluarga yang agamis. Haidar Putra Daulay besar dilingkungan Islam modern”[1].
Tetapi, Haidar Putra Daulay justru merasa asyik dalam tradisi Islam
tradisional. Anak ke tiga dari enam bersaudara ini dibesarkan oleh Ibu dan
Ayah. Ibunya bernama Ramlah dan Ayahnya bernama Daulay. Ibunya mengajar sebagai
guru agama dan Ayahnya berpropesi sebagai tukang kayu dan pedagang
kecil-kecilan yaitu pedagang kopra dan cengkeh. “Meski kehidupan keluarga Haidar
Putra Daulay dalam kondisi sulit, namun Ayah Haidar Putra Daulay ingin
anak-anaknya harus tetap bersekolah, karena Ayah dan Ibu Haidar Putra Daulay sadar
bahwa menuntut ilmu itu warisan yang paling besar yang bisa diberikan kepada
anak-anaknya”[2].
Beberapa tahun kemudian, “setahun
setelah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Tarbiyah, tepatnya 13 Maret 1983, Haidar
Putra Daulay menyunting gadis pilihannya, Ipah Farihah, yang berasal dari Kota
Hujan”[3].
Ipah lahir di Bogor 19 Agustus 1959, yang dikenalnya ketika menjadi aktivis
kampus. Ipah adalah adik kelas Haidar Putra Daulay di Fakultas Tarbiyah, dan
pernah aktif di HMI cabang Ciputat. Tidak lama berhubungan dan saling mengenal,
akhirnya mereka sepakat untuk membangun rumah tangga.
Dari pernikahan itu, “keluarga Haidar
Putra Daulay dan Ipah dikarunia empat orang anak, yaitu Raushan Fikri Husada,
Firman El-Amny, Muhammad Subhan, dan Emily Sakina. Dalam kesehariannya, Haidar
Putra Daulay adalah sosok seorang Ayah yang rajin mengasuh buah hatinya”[4].
Anaknya yang paling kecil lahir sebulan sebelum Reformasi. Anak yang terakhir
ini yang paling ditunggu-tunggu oleh Haidar Putra Daulay dan Ipah, karena
satu-satunya putri setelah tiga kakaknya putra. Bagi Haidar Putra Daulay dan
Ipah anak-anaknya adalah anugerah dan amanah Allah Swt.
Dalam menjalani keluarga yang sakinah
mereka bekerja sama mengasuh anak-anaknya yang masih kecil dan kadang juga
melayani panggilan kakaknya yang masih duduk dibangku TK. “Hal yang menarik
dalam perjalanan keluarga Haidar Putra Daulay yaitu ketika Haidar Putra Daulay menuntut
ilmu di negeri Paman Sam, sang istri juga dibawa serta, hidup mereka di sana
membutuhkan biaya yang tidak sedikit, mengharap dari gaji dan beasiswa saja
tidak cukup, lalu mereka bekerja seperti kebanyakan mahasiswa Indonesia lainnya
di sana”[5].
Setelah beberapa tahun mengarungi
bahtera rumah tangga, keluarga Haidar Putra Daulay terus membimbing
anak-anaknya untuk menjadi manusia yang bermanfaat, caranya dengan menumbuhkan
minat baca pada anak-anak. Dalam menjalani hidup Haidar Putra Daulay mengaku
tidak memiliki personifikasi idola, Haidar Putra Daulay hanya menjalankan
prinsip hidup yang dipilihnya tanpa menentukan target yang akan dicapai.
Dan sampai detik ini keluarga Haidar
Putra Daulay hidup rukun dan menjadi keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah.
2. Latar Belakang Pendidikan
“Pada awalnya
sesungguhnya Haidar Putra Daulay tidaklah terobsesi atau bercita-cita mengeluti
studi keislaman”[6].
Sebab, dia lebih berminat memasuki bidang kependidikan umum di IKIP. Namun, itu
semua adalah desakan Ayahnya yang menyuruh Haidar Putra Daulay masuk ke IAIN
sehingga dia kini dikenal sebagai tokoh intelektual Islam masa depan.
Menurut Haidar Putra Daulay perjalanan
hidupnya mengalir begitu saja seperti air. Sikap intelektual Haidar Putra
Daulay bertumbuh alami dari awal seiring dengan komunitas diskusi yang
dimasukinya, ketika masih mahasiswa komunitas intelektualnya adalah forum
diskusi mahasiswa ciputat (formasi), kemudian HMI dilingkungan ciputat, lalu
meningkat ke LP3ES, bahkan sampai ke LPI sebelum melang-lang buana
kemancanegara sekarang daya nalar intelektualnya dibutuhkan dimana-mana sebagai
rujukan untuk memecahkan berbagai persoalan Bangsa.
“Haidar Putra Daulay kini dikenal
pula sebagai Profesor yang ahli sejarah Islam dan nilai-nilai hidup Nabi
Muhammad Swt.”[7]. Haidar
Putra Daulay lulus dari Fakultas Tarbiyah, IAIN Jakarta pada tahun 1982 dan Haidar
Putra Daulay menjadi dosen pascasarjana, Fakultas Tarbiyah dan Adab. IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kemudian “pada tahun 1986 Haidar Putra Daulay memperoleh
beasiswa Fullbright scholarship untuk
melanjutkan study ke Columbia University, Amerika serikat”[8]. Haidar Putra Daulay memperoleh
gelar MA pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah pada tahun 1998.
Kemudian memenangkan mahasiswa Columbia
President Fellowship dari kampus yang sama, dan memperoleh gelar MA lain di
tahun 1989.
Kemudian
“gelar Master of Philosophy (Mphi) ditahun 1990, serta doktor Philosophy Degree (PhD) ditahun 1992. Kembali ke Jakarta, ditahun
1993 Haidar Putra Daulay mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia
Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam”[9]. Kembali melanglang buana,
pada tahun 1994–1995 dia mengunjungi Southeast
Asian. Sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College. Dan dari memperoleh ilmu di perguruan tinggi
kini Haidar Putra Daulay dikenal sebagai tokoh intektual yang tangguh untuk
memicu perkembangan Islam di masa yang akan datang.
3. Karya-karya yang di Hasilkan
Karya-karya yang di hasilkan oleh Haidar
Putra Daulay antara lain sebagai berikut:
1. Pendidikan
Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia, terbit tahun 2004.
2. Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, terbit tahun 2001.
3. Historisitas
Dan Eksistensi Pesantren, Sekolah Dan Madrasah, terbit Tahun 2001.
4. Dinamika
Pendidikan Islam, terbit tahun 2004.
4.
Karir yang
dicapai
Selain aktif
sebagai pemakalah dalam berbagai seminar tingkat nasional dan internasional, Haidar
Putra Daulay juga menulis banyak artikel dan esei di berbagai media massa,
nasional maupun internasional. Dengan mengguluti dunia tersebut Haidar Putra
Daulay mendapat prestasi, karir-karir yang telah dicapai Haidar Putra Daulay antara
lain sebagai berikut[11]:
1. Wartawan Panji
Masyarakat
2. Dosen Pasca
Sarjana Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah.
3. Guru Besar
Sejarah Fakultas Tarbiyah Adab IAIN Jakarta
4. Pembantu Rektor
1 IAIN Jakarta
5. Rektor IAIN
Jakarta
6. Profesor Fellow
Di Universitas Melbourne, Australia
7. Anggota Dewan
Penyantun Internasional Islamic University Islamabad, Pakistan.
Selain
karir yang dicapai tersebut Haidar Putra Daulay juga mempunyai kegiatan lain di
antaranya sebagai berikut:
1. Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah
IAIN Jakarta
2. Ketua Umum HMI Cabang Ciputat
3. Anggota SC SEASREP
4. Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI)
5. Himpunan Indonesia untuk Pengembangan
Ilmu-Ilmu Sosial
6. Anggota the Internasional Association of
Historian of Asia
7. Dosen Tamu University of Philippines dan
University Malaya
8. Anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Quran
9. Anggota Dewan Redaksi Islamika
10. Pemimpin
Redaksi Studia Islamika
11. Wakil
Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat IAIN Jakarta
12. Anggota
Redaksi Jurnal Qquranic Studies, SOAS/University of London
13. Anggota
Redaksi Jurnal Ushuludin University Malaya, Kuala Lumpur[12]
B.
Latar Belakang
Eksternal
1.
Kondisi Sosial
Politik
Secara umum,
“tahun 2001 menunjukkan sejumlah kecenderungan sosial politik, yang sebagian
besar merupakan kontinuitas, sebagian besar kecenderungan itu tampaknya akan
terus mewarnai perkembangan sosial politik pada 2002 dan bahkan pada
selanjutnya menjelang pemilu 2004”[13]. Tetapi jelas,
“perkembangan sosial politik juga sedikit banyak dipengaruhi dinamika politik
Indonesia secara keseluruhan dan bahkan dengan dinamika politik Internasional
yang baik langsung maupun tidak”[14].
Fragmentasi politik Indonesia kembali menemukan momentumnya, fragmentasi
dan sosial politik akan semakin meluas dan eskalatif
pula dikalangan masyarakat luas.
Fragmentasi
politik itu terlihat jelas pada semakin mengemukanya konflik-konflik, friksi
dan perpecahan di dalam sejumlah parpol. yang paling terbuka terlihat melanda
beberapa parpol Islam atau berbasiskan massa muslim khususnya PPP dan PKB. Dari
segi ini terbukti “bahwa Islam dan Ukhuwah Islamiyah yang selalu diklaim
sebagai dasar dan orientasi partai tidak dapat dijadikan faktor untuk mencegah
terjadinya konflik dan perpecahan”[15].
Istilah “sosial
politik atau pendidikan politik sebagaimana sering digunakan di Indonesia
kelihatannya bukanlah suatu terma atau konsep yang lazim digunakan dalam
kajian-kajian politik kontemporer”[16]. Keengganan menggunakan istilah
pendidikan politik agaknya berkaitan dengan konotasi negatif yang melekat pada
dirinya. Pendidikan politik sama dengan propoganda yang bertujuan membangun
dukungan bagi kebijakan-kebijakan penguasa, bahkan dalam kasus-kasus tertentu,
sosialisasi politik yang semula bersifat persuasif
dapat berubah menjadi koersi atau pemaksaan fisik.
Sosial
politik mengacu kepada proses dimana individu-individu memperoleh sikap dan
perasaan terhadap sistem politik dan terhadap peranan mereka di dalamnya,
sosial politik adalah proses induksi seseorang kedalam kebudayaan politik
“sistem dan lembaga pendidikan merupakan salah satu dari institusi terpenting
dalam sosial politik terutama sejak seorang anak didik mulai memperoleh
pendidikan sampai ia mencapai kedewasaan”[17]. pencapaian
dalam pendidikan kelihatannya merupakan memberikan dampak demografis
terpenting terhadap sikap dan tingkah laku politik.
Arah
orientasi politik yang ditanamkan melalui pendidikan formal pada umumnya
selaras dengan ideologi Negara, sistem politik atau kebijaksanaan pemerintah
yang menguasai lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Dalam negara-negara yang
menganut sistem politik dan ideologi demokrasi bisa di harapkan bahwa orientasi
politik yang dikembangkan melalui berbagai lembaga sosial-kemasyarakatan-termasuk
pendidikan-adalah pengembangan sistem politik, proses politik, dan kebudayaan
politik demokratis. secara sepintas berbagai kelompok dalam masyarakat
melakukan fait-a-compli terhadap
lembaga politik, ekonomi, sosial dan bahkan keagamaan.
Sekian
banyak kejadian yang dialami “setiap pemimpin politik dan sosial harus berada
dalam sebuah komunitas sosial politik dan menjadi pemimpin dengan sekaligus
mewarisi masa silam komunitasnya”[18].
Kompleksitas yang sama juga terlihat jelas kesesuaian antara implikasi-implikasi
pendidikan dengan lembaga-lembaga dan pengaruh lainnya yang berdampak terhadap
sosialisasi politik. Dengan demikian jelas bahwa aktivisme politik bukanlah
fenomena yang sederhana tetapi merupakan satu variabel saja dari berbagai
variabel lainnya yang kait mengkait satu sama lain.
“Kesadaran
sejarah muslim-plus tradisi penulisan sejarah awal Islam, dibangkitkan
Al-Qur’an dan Hadis Nabi”[19].
Selanjutnya Haidar Putra Daulay mendapat pujian karena berhasil membahas
persoalan siyasah (politik) dan syari’ah hukum Islam, khususnya dalam
kaitannya dengan perkembangan historiografi atau penulisan sejarah dalam
tradisi kaum muslimin. Haidar Putra Daulay membahas pula tentang historiografi
Indonesia kontemporer, dalam dasawarsa terakhir ini Haidar Putra Daulay mencatat
beberapa perkembangan penting dalam historiografi Indonesia, kemudian Haidar
Putra Daulay mengkaji ulama perempuan dalam sejarahnya yang dipandangnya masih
sangat langka. Kajian sejarah biografi ulama perempuan masih sangat jarang
dilakukan oleh sejarawan (Islam) begitu juga Haidar Putra Daulay mengupas
beberapa pandangan kalangan orientalis tentang sejarah Islam, buku-buku
karangan barat dikupas Haidar Putra Daulay dengan teliti, analisis, dan kritis.
2. Kondisi Intelektual
Pengertian sederhana tentang
“intelektual adalah anggota-anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya pada
pengembangan ide-ide orisinal dan terikat dalam pencarian pemikiran-pemikiran
kreatif”[20].
Kaum intelektual menjadi orang-orang yang tidak pernah puas menerima kenyataan
apa adanya. Mereka senantiasa mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada suatu
saat dalam hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi dan luas.
Beberapa
karakteristik dasar yang membedakan kaum intelektual dengan anggota masyarakat lainnya.
“Karakteristik itu terutama terletak pada penggunaan intelek, akal pikiran
bukan untuk hal-hal yang bersifat praktis, tetapi lebih berorientasi pada
pengembangan ide-ide”[21].
Kaum intelektual mampu berfikir bebas dalam artian mencakup pengamatan yang
cermat terhadap gejala-gejala disuatu lingkungan, pemahaman tentang sebab-sebab
gejala itu dan korelasinya dengan gejala lain.
Insan
intelektual dengan beberapa kualifikasi bukanlah monopoli produk sekolah atau
lebih khusus lagi perguruan tinggi. Umat Islam Indonesia memajukan
ajaran-ajaran Islam di Indonesia, umat Islam Indonesia mengalami
keterbelakangan dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
“perbenturan umat Islam Indonesia dengan pendidikan dan kemajuan Barat
memunculkan kaum intelektual baru yang sering juga sering disebut cendikiawan
sekuler. Kaum intelektual sebagian besar adalah hasil pendidikan Barat yang
terlatih berpikir secara Barat”[22].
Karena dalam proses pendidikan mereka mengalami cuci otak dari hal-hal yang
berbau Islam. Akibatnya, mereka terasing dan teralienasi dari ajaran-ajaran
Islam dan masyarakat muslim sendiri.
Karena
itulah kemudian muncul gagasan dikalangan umat Islam Indonesia untuk
menciptakan ulama intelektual dan intelektual ulama. Atau dengan kata lain, agar
ulama intelektual atau intelektual ulama dapat dijumpai pada diri seseorang.
“Pengetahuan dan penghayatan Islam dikalangan masyarakat Islam pada umumnya
belum pula menggembirakan konflik dan pertentangan sangat mudah terjadi hanya
karena masalah-masalah khilafiah yang kecil”[23]. Dalam buku
karangan–karangan Haidar Putra Daulay lebih banyak menekankan pada Pendidikan
Islam di Indonseia.
Dalam pandangan
Haidar Putra
Daulay Pendidikan Islam telah dimulai di Indonesia sejak masuknya Islam ke
wilayah ini. Pendidikan Islam mulanya berlangsung di daerah-daerah pesisir
pantai. Mereka berdagang sambil mengajarkan agama Islam setelah masyarakat
Muslim terbentuk kemudian di bangun masjid sebagai tempat ibadah dan
mengajarkan pendidikan Islam melalui ceramah, membaca Al-Qur'an dan
lain-lainnya. selanjutnya muncullah lembaga pendidikan yang khusus untuk proses
pembelajaran yang disebut pesantren.
Menurut Haidar
Putra Daulay, “lembaga pendidikan Islam terdiri dari 3 bentuk, Pertama,
lembaga pendidikan informal yaitu yang berlangsung di rumah tangga. Kedua,
lembaga pendidikan non formal yang berlangsung di masyarakat. Ketiga,
lembaga pendidikan formal yang berlangsung di sekolah. Khusus lembaga
pendidikan formal ada empat jenis bentuknya, yakni pesantren, sekolah, madrasah,
dan perguruan tinggi”[24].
3. Tokoh yang Mempengaruhinya
Dari pertama Haidar
Putra Daulay memasuki dunia perkembangan jiwa intelektualnya yang sangat
berpengaruh pada tekatnya yang begitu besar yaitu orang tua Haidar Putra Daulay
selalu ada dorongan berusaha untuk memiliki etos kerja dan bersungguh-sungguh
mengerjakan sesuatu tidak mau setengah-setengah, itu support dari orang tuanya,
Kemudian
tokoh kedua yang mempengaruhi Haidar
Putra Daulay yaitu Buya Hamka, Haidar Putra Daulaybanyak belajar mencoba
mengambil hikmah tentang sikapnya yang moderat, toleran, juga berpijak pada
prinsip. Selain itu “tokoh percaturan intelektualisme Islam nusantara yaitu
Syeikh Abdush Shamad Al-Palibani yang merupakan tokoh yang mempengaruhi Haidar
Putra daulay”[25].
Beliau menilai Al-Palimbani sebagai sosok yang memiliki kontribusi penting bagi
pertumbuhan Islam di dunia Melayu. Ia bahkan juga bersaham besar bagi nama
Islam di Nusantara berkaitan kiprah dan kontribusi intelektualitasnya di dunia
Arab, khususnya semasa ia menimba ilmu di Mekah.
Ada
dua tokoh lagi yang mempengaruhi beliau selain Buya Hamka yaitu guru besar
pemikiran politik Islam Prof Dr Din Syamsuddin, dan guru besar tafsir Prof Dr
Nasaruddin Umar.
C. Metode (corak) berpikir Haidar Putra Daulay
Haidar Putra
Daulay adalah “tokoh yang tidak pernah diam, obsesinya yang besar untuk
mengubah pemikiran Islam di Indonesia, telah pula ditorehkan melalui
karya-karya geniusnya”[26].
Baik dalam bentuk tulisan artikel dan esei yang dimuat diberbagai media massa
maupun sejumlah buku yang pernah di terbitkannya.
Pandangan
keagamaan yang lebih apresiatif terhadap
ritual ibadah dan diwarnai dengan tasawuf ternyata lebih semarak dan kaya.
Dalam menjalani kesibukan sehari-hari, misalnya Haidar Putra Daulay senantiasa
berupaya melaksanakan prinsip-prinsip qanaah. sikap merasa puas dan sudah cukup
dengan apa yang ada tanpa harus menjadi pasif alias tetap melaksanakan
aktivitas sebaik-baiknya. Aktivisme tetap dipegangnya sementara qanaah
dibutuhkan sebagai pengimbang agar tidak ngoyo sehingga akhirnya stres.
Haidar
Putra Daulay juga sangat percaya kepada takdir bahwa perjalanan hidup kita
tidak bisa direncanakan karena Allah Swt. jualah yang menetapkan semuanya, yang
bisa kita lakukan adalah apa yang sudah menjadi tanggung jawab kita dengan
sebaik-baiknya, Haidar Putra Daulay yakin betul kalau prinsip itu kita
jalankan.
“Metode
pemikiran Haidar Putra Daulay tentang pendidikan adalah suatu proses dimana
suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan
untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien”[27]. Haidar Putra Daulay juga
menegaskan bahwa “pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau
negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu”[28]. dalam penilaian kembali secara kritis
terhadap pendidikan nasional pada masa orde baru khususnya terlihat sejumlah
masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan.
Karena
kemampuam intelektualnya yang sangat pesat beliau sering menghiasi berbagai
media karena analisisnya yang memang tajam. Jadi tidak heran kalau dia sering
dijadikan nara sumber bagi wartawan yang menginginkan berita aktual dan patut
untuk disimak, semua itu menunjukkan kalau pemikiran Haidar Putra Daulay yang kini menjabat
sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, memang jernih, akurat dan
tajam.
“Pengalaman
keislaman Haidar Putra Daulay yang lebih intens setelah Haidar Putra Daulay dengan
yakin mempelajari tradisi ulama dan kecenderungan intelektual mereka”[29]. Haidar
Putra Daulaytidak hanya berkhidmat pada kehidupan sosial tetapi memegang
prinsip yang kuat, sebab Haidar Putra Daulay berkewajiban membimbing dan
membina disemua kalangan terutama mahasiswa, karena tugas membutuhkan jiwa
pengabdian yang tulus dan murni, mengingat mahasiswa berada pada posisi yang strategis dalam masyarakat. Mereka
adalah penyambung lidah rakyat terhadap pemerintahan, pengingat gerakan moral
juga wadah pembelajaran politik masyarakat, selain itu yang terpenting mereka
adalah penerus sekaligus harapan Bangsa.
Haidar
Putra Daulay tetap optimistis
terhadap gerakan mahasiswa, namun disisi lain Haidar Putra Daulay menyayangkan
banyaknya kalangan akademisi yang
disebutnya sebagai the best human
recourses, banyak yang terjun ke politik praktis. Karena bagaimanapun
objektivitasnya masih sangat dibutuhkan di dunia akademis. Hak politik pribadi seseorang tidak harus diekspresikan
dengan keterlibatan langsung dalam politik. Masih banyak garapan kaum
intelektual dalam pemberdayaan masyarakat.
Menurut
Haidar Putra Daulay “cita-cita bukanlah hal krusial dalam hidup lebih-lebih
bersifat obsesi. Baginya, prinsip hidup lebih penting dari pada cita-cita.
karena itu bakal perjalanan hidupnya ada komitmen dalam menjalankan prinsip”[30].
Apa yang dikerjakan hari ini lebih baik dari hari kemaren. Dalam berprinsip, Haidar
Putra Daulay agaknya ingin meneladani hadis Nabi Muhammad Saw yang menjelaskan
tentang “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain”.
Dengan menjalankan prinsip
sebaik-baiknya maka pencapaian terhadap sesuatu hanyalah merupakan implikasi
dari komitmen tersebut. Bukan merupakan suatu keinginan dan tidak mengherankan
jika Haidar Putra Daulay yang mengaku tidak punya cita-cita, justru menjadi
figur yang dicita-citakan seseorang.
“Pemikiran
Islam juga merupakan dasar penting dalam pendidikan Islam, Dalam hal ini hasil
pemikiran para ulama, filosof, cendikiawan muslim, khususnya dalam pendidikan
menjadi rujukan penting pengembangan pendidikan Islam”[31]. Pemikiran mereka ini pada
dasarnya merupakan refleksi terhadap ajaran-ajaran pokok Islam. Terlepas dari
hasil refleksi itu apakah berupa adealisasi atau kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam, yang jelas warisan pemikiran
Islam ini mencerminkan dinamika Islam dalam menghadapi kenyataan-kenyataan
kehidupan yang terus berubah dan berkembang. Karena itu terlepas pula dari
keragaman warisan pemikiran Islam tersebut, ia dapat di perlakukan secara
positif dan kreatif untuk pengembangan pendidikan Islam.
[1]Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005), hal. 251.
[2] WWW. Ilmu
pengetahuan. Com. 23-6-2011, jam. 16.00
[3] Nata, Tokoh-Tokoh..., hal. 276.
[5] Ibid., hal. 276.
[7] Ibid..., hal. 275.
[9]Ibid., .hal. 251.
[11] Ibid., hal. 251.
[13] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2007) hal. 42.
[16] Ibid., hal. 76 .
[28] Ibid., hal. 69.
[30]Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam, (Bandung: Cita
Pustaka Media, 2004), hal. 252.
0 Comments
Post a Comment