Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Makna Pengembangan Dayah dan Kepribadian Santri

Makna Pengembangan Dayah dan Kepribadian Santri

BAB II
KEDUDUKAN DAYAH DALAM PENGEMBANGAN  KEPRIBADIAN SANTRI

A.    Makna Pengembangan Dayah dan Kepribadian Santri
Secara etimologi kata Dayah diambil dari unsur bahasa Arab yaitu dari kata zawiyah artinya buju rumah atau buju mesjid.[1] Buju rumah dimaksudkan dari pengertian ini adalah sudut atau pojok rumah. Dikatakan sudut atau pojok rumah bahwa pada zaman Rasulullah Saw., pengajaran dan penerangan tentang ilmu-ilmu agama kepada sahabat dan kaum muslimin sering beliau lakukan di sudut rumah atau di sudut mesjidnya. Setelah zaman Rasulullah Saw., kata zawiyah telah berkembang luas ke seluruh pelosok dunia Islam sampai ke Asia Tenggara. Dari perjalanan sejarah yang panjang kata zawiyah telah mengalami perubahan dialek sesuai dengan kapasitas daerah masing-masing.
Di Aceh, kata zawiyah diucapkan dengan sebutan dayah yang berarti tempat mengajarkan ilmu-ilmu agama. Dulu, orang Aceh sering menggunakan sudut, pojok atau serambi rumah dan mesjid untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat. Dilihat dari persamaan makna dengan daerah lain di Pulau Jawa, dayah dapat disetarakankan dengan pesantren. Kendatipun demikian ada beberapa perbedaan yang penting, di antaranya adalah pesantren merupakan suatu tempat yang dipersiapkan untuk memberikan pendidikan agama, sejak dari tingkat rendah sampai ke tingkat belajar lebih lanjut.[2]
Di samping pengajaran Dayah, juga dipakai sebagai tempat mengajarkan ilmu-ilmu agama oleh masyarakat Aceh. Namun perbedaan antara kedua istilah ini; dayah adalah tempat belajar agama bagi orang-orang yang telah dewasa. “Sementara pendidikan agama untuk anak-anak diberikan di Meunasah atau di rumah-rumah guru”.[3]
Ditinjau dari sarana, pendidikan agama tingkat rendah yang diberikan kepada anak-anak ini dapat dibagi dua bagian. Yang pertama pendidikan agama untuk anak laki-laki yang mengambil tempat di Meunasah dan pendidikan agama untuk anak perempuan di rumah-rumah guru atau tempat khusus. Meskipun demikian materi dan tujuannya sama.
Setelah anak-anak tamat belajar al-Quran dan telah mampu melaksanakan ibadah wajib, maka tugas terakhir dari pendidikan Meunasah atau rumah adalah mempelajari kitab agama yang ditulis dalam bahasa Arab-Jawi (Melayu) seperti Masailal Muhtadi. Tujuan ini memberi bekal bagi anak-anak yang akan melanjutkan studi lebih lanjut di dayah.
Pendidikan dayah terkenal dengan istilah meuranto atau meudagang.[4] Bagi anak-anak Aceh yang mempunyai minat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama lebih mendalam dapat dilakukan dengan cara meuranto atau meudagang ke berbagai dayah terkenal. Hal ini dilakukan setelah dia mampu mampu membaca al-Quran dan memahami cara-cara melakukan ibadah ketika dia belajar di Meunasah atau di rumah-rumah teungku. Dengan demikian fungsi Meunasah dan dayah akan sangat bernilai bagi masyarakat Aceh ketika dihubungkan dengan pengajaran ilmu-ilmu agama.
Dayah berasal dari kata “zawiyah yang bermakna sudut atau pojok telah berkembang pesat ke seluruh dunia Islam”[5]. Dari semua lembaga pendidikan agama yang berasal dari sudut atau pojok mesjid tersebut sempat berkembang menjadi Universitas seperti Universitas al-Azhar Kairo di Mesir. Mula-mula sebelum menjadi sebuah universitas yang besar pengajian di sudut-sudut mesjid dalam kurun waktu yang lama semakin hari semakin diminati oleh para kaum muslimin. Dengan demikian sarana belajar yang pertama dipakai di sudut mesjid ini berubah menjadi Universitas yang mampu menampung banyak santri di dalamnya. Mulai dari perkembangan ini Azhar University tidak hanya memberikan dan mengajarkan ilmu-ilmu keIslaman klasik bahkan juga mengajarkan teknologi informasi.
Di Aceh, pendidikan dayah telah diperkenalkan kepada masyarakat sejak beberapa abad sebelum kemerdekaan. Lembaga ini selain mengajarkan teknik membaca kitab-kitab agama bernuansa klasik yang bahasa Arab juga mengajarkan nilai-nilai universal dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan. Di sini telah lahir dan tercipta khas dayah bagi santri yang pernah mengecap pendidikan dayah yaitu memilki nilai-nilai lokal dan primordialnya. Nilai-nilai universal adalah nilai-nilai bersifat luas dan dianggap penting oleh masyarakat di dunia ini. Tetapi nilai-nilai lokal dan nilai-nilai primordial menurut guru saya, sangat terbatas pada masyarakat tertentu saja. Dalam konteks ini guru saya mengambil contoh sebuah Universitas yang asal-usul dari Barat, sekarang sudah diterima secara universal setelah sifat-sifatnya yang sagat lokal dan primordial dilepaskan. Sebalikanya dayah yang sudah diterima sebagai lembaga pendidikan yang universal di Asia Tenggara sejak zaman dulu, saat ini menjadi lembaga lokal yang hanya diminati oleh masyarakat yang terbatas.
Di era modernisasi dan industrilisasi yang pernah disebutkan guru saya sebelumnya, sifat-sifat lokal dan primordial akan menjadi kendala-kendala penting dalam perkembangan masyarakat. Guru saya melihat indikator ini terjadi pada dayah-dayah yang sangat tradisional yang membatasi ruang lingkup pelayanannya pada kelompok-kelompok terbatas saja. Tidak dapat dibantah bahwa lembaga-lembaga pendidikan pada mulanya lahir dari kebutuhan-kebutuhan terbatas, guru saya memisalkan ini seperti universitas-universitas di Barat yang pada mulanya lahir dari lingkungan Gereja. Tetapi lembaga-lembaga ini selanjutnya meluas keluar dari Gereja, karena di Barat ada sistem pemisahan antara negara dan Gereja. Dari pemisahan ini menurut guru saya, Universitas berkembang pesat menjadi lembaga yang besar dan diterima secara universal.
Pendidikan dayah telah mengajarkan ilmu-ilmu agama melalui telaahan dan bacaan kitab-kitab agama yang bernuansa klasik. Namun yang terpenting yang harus dimiliki dan diajarkan oleh dayah itu adalah pendidikan moral. Tanpa moral seorang santri tidak dapat dikatakan ulama walaupun ia memilki ilmu agama yang hadal. Di sinilah Nabi Muhammad saw., mengingatkan keberadaan moral melebihi ilmu yang dimilki oleh seseorang. Inti ajaran seperti inilah yang ditekankan pertama sekali ketika muncul pengajian di sudut-sudut mesjid yang berasal dari dayah atau zawiyah tersebut.[6]
Pengajaran moral di Dayah mempersiapkan genersi menjadi seorang ulama yang handal yang mampu mengdapi persoalan umat. Bahkan tidak sampai di sini, untuk menjadi ulama zaman, harus memahami dan mempelari pengetahuan umum di samping pengetahuan agama. Sistem ini telah dirintis dan diterapkan oleh Azhar university yang pertama sekali juga berangkat dari sudut-sudut mesjid.
Jika terjadi pemisahan antara pendidikan umum dan pendidikan agama di sebuah lembaga pendidikan kemungkinan besar akan menjadi seperti nasib Gereja di Barat sebagaimana dijelaskan guru saya sebelumnya, yakni hanya memikirkan agama sebagai suatu yang terbatas atau yang primordial. Sedangkan ilmu umum yang lebih mondial diserahkan kepada sekolah dan universitas-universitas. Bila ini terjadi, guru saya memprediksikan secara tidak sadar kita akan terjebak dalam ideologi sekuler. Ideologi sekulerisme memisahkan antara agama dan dunia, dan bila kita ikut menerima pemisahan ini dengan memberikan pendidikan agama pada dayah dan pendidikan umum pada sekolah kita pun sebenarnya sudah mengikuti faham sekuler. Jadi orang yang faham sekuler dalam pandangan guru saya bukanlah yang belajar dunia semata-mata, tetapi juga belajar agama semata-mata tanpa mengindahkan tanggung jawab dunia.
Kebutuhan masyarakat pada masa yang akan datang harus dijadikan dasar bagi pendidikan dayah di Aceh yang meliputi moral dan kebutuhan spritual. Nilai spiritual adalah nilai-nilai yang didapatkan karena kedekatannya dengan sang Khaliq. Nilai ini sangat berguna bagi penguatan kepribadian seorang manusia dalam menghadapi berbagai tantangan duniawi menuju kesejahteraan dan kedamaian bathin.
Kegagalan dalam membina aspek moral dan spiritual dalam pendidikan akan berefek pada merendahnya kualitas manusia yang akan dipersiapkan menjadi seorang pendidik atau ulama. Oleh karena itu, dayah yang berangkat dari sudut-sudut rumah, mesjid atau lanjutan dari pendidikan Meunasah di Aceh diharapkan dapat memberikan pencerahan dalam masalah ini. Masyarakat Aceh ke depan sangat mengharapkan Dayah Meunasah mampu melahirkan kader-kader ulama yang memiliki pikiran-pikiran bernas dan kapabilitas dalam menghadapi tantangan global.
Dalam perspektif Islam, istilah kepribadian (personality) dikenal dengan istilah al-syakhshiyah yang berasal dari kata syakhsh yang artinya “pribadi”. Kata itu kemudian diberi ya nisbah sehingga menjadi kata benda buatan (mashdar shina’iy) syakhshiyah yang berarti “kepribadian”.[7]
Namun dalam literatur keislaman, kata syakhshiyah kurang begitu dikenal, karena dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah tidak diketemukan istilah syakhshiyah, kecuali dalam beberapa hadits disebutkan istilah syakhsh yang berarti pribadi (person), bukan kepribadian (personality). Para filsuf maupun sufi lebih akrab menggunakan istilah akhlaq.
Akhlak adalah bentuk jamak dari kata khulq. Secara etimologis, akhlak berarti character, disposition dan moral konstitution. Al Ghazali berpendapat bahwa manusia memiliki citra lahiriah yang disebut dengan khalq, citra batiniah yang disebut dengan khulq. Secara etimologi, khulq memiliki arti gambaran atau kondisi kejiwaan seseorang tanpa melibatkan unsur lahirnya.
Islam membagi akhlak (karakter) menjadi: pertama, akhlak fitriyah, yaitu pembawaan yang melekat dalam fitrah seseorang, yang dengannya ia diciptakan, baik sifat fisik maupun sifat jiwa. Kedua, akhlak muktasabah, yaitu sifat yang semula tidak ada dalam sifat bawaan seseorang, namun di peroleh melalui lingkungan alam dan sosial, pendidikan, latihan, dan pengalaman.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya manusia sejak lahir telah memiliki kepribadian, dan hal itu bersifat alami, setelah itu baru lingkungan sosial yang membangun dan mengarahkan kepribadian tersebut, yang nantinya akan mempengaruhi manusia menjadi lebih kuat, melemah, atau mungkin malah tergantikan dengan kepribadian baru.
Hartati memberi batasan khulq dengan al-thab’u dan al-sajiyah. Maksud thab’u (karakter) adalah citra batin manusia yang menetap (al-sukun). Citra ini terdapat pada konstitusi (al-jibillah) manusia yang diciptakan oleh Allah sejak lahir. Sedangkan sajiyah adalah kebiasaan (‘adah) manusia yag berasal dari hasil integrasi antara karekter manusia dengan aktivitas-aktivitas yang diusahakan (al-muktasab). Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi suatu tingkah laku lahiriah dan ada juga yang masih terpendam.[8]
Definisi terakhir inilah yang lebih lengkap, karena khulq mencakup kondisi lahir dan batin manusia. Keinginan, minat, kecenderungan, dan pikiran manusia ada kalanya terwujud dalam suatu tingkah laku nyata, dan ada kalanya hanya terpendam di dalam batin dan tidak teraktualisasi dalam suatu tingkah laku nyata. Berdasarkan uraian ini, khulq memiliki ekuivalensi makna dengan personality.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat diambil pengertian bahwa kepribadian adalah merupakan hasil dari proses sepanjang hidup yang dilalui oleh seseorang yang berbeda-beda dalam menentukan tingkah laku yang sempurna baik jasmani maupun rohani. Pengembangan kepribadian itu ditentukan oleh pengetahuan seseorang, sehingga individu dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Proses pengembangan yang dialami oleh seseorang itu berbeda-beda, maka kepribadian tiap-tiap individupun berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga bersifat unik. Tidak ada kepribadian yang sama antara seorang dengan yang lainnya di dunia ini meskipun saudara kembar dari satu sel telur.
B.    Tujuan Pengembangan Dayah
Dayah, menurut catatan pakar pendidikan, merupakan lembaga pendidikan paling awal di Nusantara. Peran dan fungsi dayah dalam pembelajaran sosial telah menunjukkan prestasi yang patut dibanggakan pada masa lalu. Tidak sedikit ulama lahir sebagai hasil pembelajaran dayah yang berlangsung secara berkesinambungan sampai kini. Dalam konteks Aceh, dayah tidak saja sebagai pusat pendidikan Islam tetapi juga sebagai pusat dakwah dan pemberdayaan sosial yang amat penting. Sebagai pusat pendidikan, dayah merupakan pusat transformasi dan transmisi ilmu dari generasi ke generasi. Sebagai pusat dakwah, dayah telah menjadi pusat penyiaran agama kepada publik, sehingga kehadiran dayah benar-benar menyatu dengan kehidupan masyarakat. Dalam perkembangannya, dayah juga telah menjadi pusat pemberdayaan ekonomi umat, meskipun belum maksimal.
Dalam hal ini Abdul Qadir Djaelani menjelaskan bahwa:
Dalam kehidupan modern sekalipun dayah belum kehilangan peran dan fungsinya sebagai wadah atau kajian ilmu meskipun banyak lembaga pendidikan modern bermunculan. Dayah sebagai pusat pendidikan tradisional di Aceh masih tetap bertahan tanpa harus menanggalkan karakteristiknya yang unik. Keunikan pendidikan dayah, yang tetap ada sampai saat ini, dapat dilihat pada sistem pendidikannya yang konsisten. Fokus kajiannya adalah teks “Kitab Kuning”, yang berbahasa Arab gundul (tanpa syakal). Metode pembelajarannya pun unik, yaitu santri menyimak syarahan guru yang berpedoman pada kitab tertentu; dan terus berlanjut dari satu kitab ke kitab yang lain. Sistem pendidikan dayah tradisional hampir tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan sistem pendidikan sekolah atau dayah terpadu, yang cenderung mengadopsi metode dan perangkat modern. Berdasarkan kenyataan ini, mungkinkah sistem pendidikan dayah mampu bertahan di era modern, tanpa mengadaptasi dengan perkembangan dan kemajuan zaman? Pertanyaan ini akan dicoba jawab dalam tulisan ini dengan mengemukakan strategi pengembangan, prospek, dan tantangannya.[9]
Ada dua tradisi dayah yang sudah mengakar dalam sistem pembelajarannya adalah sebagai berikut:
Pertama, pola pendekatan yang mengembangkan metode pembelajaran yang lentur dan luwes dalam melakukan transformasi nilai-nilai keagamaan. Terbukti dalam sejarah, dayah mampu menjadi lembaga pemersatu dan bersama masyarakat terus bertransformasi. Kedua,  tradisi keilmuan yang integral, yaitu mempelajari suatu ilmu yang saling terkait dengan ilmui-ilmu lain. Tradisi ini dapat dikembangkan terus sehingga tidak ada lagi dikhotomi ilmu dalam tradisi keilmuan Islam.[10]
Dengan demikian, Dayah akan menjadi pelopor Islamisasi ilmu sehingga tidak ditemukan lagi perbedaan atau garis pemisah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Dan ketiga, arah pendidikan Dayah adalah tafaqquh fi al-Din sehingga melahirkan ulama-ulama yang handal dalam berbagai disiplin ilmu. Semangat keilmuan dayah dilandasi semangat keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian.
Di era modern, Dayah dapat mengdopsi inovasi teknologi untuk menopang kualitas pembelajaran. Perangkat teknologi informasi merupakan sarana paling penting dalam pengembangan sistem pendidikan dayah zaman kini dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral Qur’ani. Memang, tak dapat dipungkiri bahwa setiap inovasi teknologi pasti melahirkan dampak ganda, antara manfaat dan mudharat. Di sinilah dayah berperan untuk membuat filter atau tangkal agar inovasi teknologi dapat memberikan nilai positif dan konstruktif bagi kehidupan santri dan lingkungan sekitar. Bagaimanapun, pemanfaatan teknologi pada zaman ini merupakan suatu keniscayaan di mana setiap orang pasti tidak dapat memisahkan diri darinya. Sebab itu, sebagai subsistem dunia global, dayah sekurang-kurangnya dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi tersebut tanpa harus mereduksi nilai-nilai yang dianut selama ini. Untuk itu, diperlukan kepekaan dan ketajaman analisis dalam mengantsipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sebelum inovasi teknologi diaplikasikan.        
Peran dan fungsi dayah Aceh di masa lampau tidak sekedar pusat pembelajaran agama bagi masyarakat, melainkan lebih dari itu. Dayah juga berfungsi sebagai lembaga yang menghasilkan sejumlah alim ulama para pakar (cendekiawan). Oleh karenanya tak heran pada masa Sultan Iskandar Muda dan Ratu Safiatuddin bertahta, posisi ulama dalam kontribusinya di bidang pemerintahan sangatlah penting, yaitu sebagai penasihat bagi para pemimpin yang sedang menjalankan roda pemerintahan di Aceh.
Seiring dengan berkembangnya kemajuan dimana umumnya dayah tradisional mulai diperkaya dengan muatan-muatan pengetahuan umum, maka muncul dua kategori dayah. Pertama disebut dengan dayah modern, yaitu dayah yang telah dilengkapi dengan sekolah umum  dengan jenjang pendidikan tertentu (SMP dan SMU). Kedua, dayah yang murni hanya mengisi proses pembelajaran yang berpedoman pada pengajian Alquran, hadist serta beberapa kitab yang ditulis oleh para alim ulama terdahulu.
Dua model dayah yang ada saat ini mengaju pada pola pembelajaran tradisional dan pola pembelajaran modern, dimana pola pembelajaran tradisional mengacu pada pola-pola dan pengetahuan yang telah dianut oleh generasi terdahulu, sedangkan pola pembelajaran modern memodifikasi beberapa pengetahuan umum sebagai suplemen bagi pola pembelajaran tradisional. Adanya dua istilah yang kontras ini, yaitu “tradisional” dan “modern” telah merangsang pemikiran masyarakat secara umum bahwasanya pola pembelajaran modern pada suatu dayah lebih baik bila dibandingkan pola pembelajaran tradisional.     
C.    Metode Pengembangan Kepribadian    
Kepribadian merupakan organisasi dari faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologi yang mendasari perilaku individual. Kepribadian mencangkup kebiasaan-kebiasaan, sikap-sikap, dan lain-lainnya. Sifat khas yang dimiliki seseorang yang berkembang apabila berhubungan dengan orang lain atau melalui proses belajar terhadap lingkungan sosial. Kepribadian disebut juga ciri-ciri dan sifat-sifat khas yang mewakili sikap atau tabiat seseorang yang mencangkup pola-pola pemikiran dan perasaan, konsep diri, perangai, mentalitas, yang umumnya sejalan dengan kebiasaan umum.
Dasar-dasar pokok dari perilaku seseorang adalah faktor-faktor biologis dan faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian secara langsung, misalnya seseorang mempunyai cacat fisik dapat mempunyai sifat rendah diri. Faktor psikologis yang dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian adalah unsur temperamen, perasaan, keinginan, kemampuan belajar, dan sebagainya. Dengan ditunjang dengan faktor-faktor sosiologis yaiti sikap berperilaku sesuai dengan keinginan kelompoknya.
Keinginan setiap individu dalam suatu masyarakat akan berbeda dengan kepribadian dari kelompok lain. Pembentukan kepribadian bagi seseorang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat tempat individu tersebut menjadi anggotanya.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam pengembangan kepribadian adalah :
1.     Penanaman Disiplin Yang Membangun
Perilaku anak dibatasi dengan aturan dan tata tertib tertentu. Prasyarat aturang untuk membatasi anak haruslah yang: Konsisten (tidak berubah), Jelas, memperhatikan harga diri anak, beralasan dan dapat dimengerti, adanya hadiah berupa pujian bila aturan dilaksanakan dengan baik, ada hukuman jika aturan tidak dilaksanakan, Luwes (tidak kaku), melibatkan anak, tegas, dan tidak emosional.
2.     Meluangkan Waktu bersama
3.     Mengembangkan Sikap Saling Menghargai
4.     Memperhatikan dan Mendengarkan Pendapat Anak
5.     Membantu Mengatasi Masalah
6.     Melatih Anak Mengenal Diri dan Lingkungannya
7.     Mengembangkan Kemandirian
8.     Memahami Keterbatasan Anak.
9.     Menerapkan Nilai Agama Dalam Kehidupan Sehari – hari.[11]
Mengembangkan kepribadian anak dan mendidiknya merupakan hal yang sangat mutlak dilakukan oleh orang tua dan pendidik disekolah dengan tujuan bahwa anak tersebut kelak dapat dan mampu melakukan hal-hal diluar kemampuan orang lain baik secara individu maupun dalam sebuah kelompok bahkan dalam sebuah bangsa.                                       
D.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kepribadian
Kepribadian itu berkembang dan mengalami perubahan-perubahan, tetapi di dalam perkembangan makin terbentuklah pola-pola yang tetap, sehingga merupakan ciri-ciri yang khas dan unik bagi setiap individu. Menurut Agus Sujanto  faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, adalah:
Pertama, Faktor biologis, yaitu yang berhubungan dengan keadaan jasmani yang meliputi keadaan pencernaan, pernapasan, peredaran darah, kelenjar-kelenjar urat syaraf, dan lain-lain. Kedua, Faktor sosial, yaitu masyarakat yakni manusia-manusia lain di sekitar individu, adat istiadat, peraturan-peraturan, bahasa, dan sebagainya yang berlaku dalam masyarakat itu. Ketiga, Faktor kebudayaan, yaitu kebudayaan itu tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dan tentunya kebudayaan dari tiap-tiap tempat yang berbeda akan berbeda pula kebudayaannya. Perkembangan dan pembentukan kepribadian dari masing-masing orang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di mana anak itu dibesarkan.[12]
Sedangkan menurut Singgih D. Gunarsa, faktor-faktor yang membentuk kepribadian anak ada empat, yaitu: “Pertama, Peranan cinta kasih dalam pembinaan kepribadian. Kedua, Tidak menghina dan mengurangi hak anak. Ketiga, Perhatian pada perkembangan kepribadian. Keempat, Menghindari penggunaan kata kotor”.[13]
Masa kanak-kanak adalah masa yang paling peka bagi proses pembentukan kepribadian seseorang yang akan mewarnai sikap, perilaku. dan pandangan hidupnya kelak di kemudian hari. Sedangkan perkembangan kepribadian anak itu sendiri, dipengaruhi oleh lingkungan tempat anak itu hidup dan berkembang. Di antara faktor lingkungan yang paling berpengaruh bagi perkembangan kepribadian anak, adalah orang tua yang mengasuh dan membimbingnya beserta suasana kehidupan yang dibina. Dalam konteks lingkungan keluarga inilah, maka kehadiran orang tua akan turut mempengaruhi dan mewarnai proses pembentukan kepribadian anak selanjutnya.
Menurut Ngalim Purwanto ada beberapa alasan pentingnya orang tua, terutama ibu dan ayah bagi pembentukan kepribadian anak, yakni: Pertama, Pengaruh itu merupakan pengalaman yang pertama-tama. Kedua, Pengaruh yang diterima anak itu batas dan jumlahnya. Ketiga, Intensitas pengaruh itu tinggi karena berlangsung terus menerus siang dan malam. Keempat, Umumnya pengaruh itu diterima dalam suasana aman serta bersifat intim dan bernada emosional.[14]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepribadian anak dipengaruhi oleh banyak factor, dan salah satunya ialah peranan orang tua dalam rangka membimbing, mengarahkan, dan memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang sedang dihadapi oleh anak, karena orang tua merupakan orang yang paling dekat dengan anak-anak sehingga akan mudah untuk memahami kepribadiannya.
E.    Sarana dan Prasarana Pendukung dalam  Pengembangan Kepribadian
Secara umum, kepribadian itu pada dasarnya dibentuk oleh pendidikan, karena pendidikan menanamkan tingkah laku yang kontinyu dan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan, ketika ia dijadikan norma, kebiasaan itu berubah menjadi adat, membentuk sifat, sifat-sifat seseorang merupakan tabi’at atau watak, tabi’at rohaniah dan sifat lahir membentuk kepribadian. Hal ini, sesuai dengan definisi pendidikan, yaitu usaha sadar, teratur, dan sistematik yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan tabi'at sesuai dengan cita-cita pendidikan. Amir Daien Indrakusuma menegaskan bahwa kepribadian itu dapat dibentuk oleh pendidikan, dan pendidikan itu sendiri bersumber pada tiga pusat pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.[15]
Terbentuknya kepribadian pada diri seseorang, itu berlangsung melalui perkembangan yang terus menerus. Seluruh perkembangan itu, tampak bahwa tiap perkembangan maju muncul dalam cara-cara yang kompleks dan tiap perkembangan didahului oleh perkembangan sebelumnya. Ini berarti, bahwa  perkembangan itu tidak hanya kontiyu, tapi juga perkembangan fase yang satu diikuti dan menghasilkan perkembangan pada fase berikutnya.
Menurut Ahmad D. Marimba pembentukan kepribadian merupakan suatu proses yang terdiri atas tiga taraf[16], yaitu:
1.     Pembiasaan
Pembiasaan ialah latihan-latihan tentang sesuatu supaya menjadi biasa. Pembiasaan hendaknya ditanamkan kepada anak-anak sejak kecil, sebab pada masa itu merupakan masa yang paling peka bagi pembentukan kebiasaan. Pembiasaan yang ditanamkan kepada anak-anak, itu harus disesuaikan dengan perkembangan jiwanya.
Pendidikan yang diberikan kepada anak sejak kecil, merupakan upaya dalam rangka pembentukan kepribadian yang baik. Hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh M. Athiyah al-Abrasy bahwa para filosof Islam merasakan betapa pentingnya periode kanak-kanak dalam pendidikan budi pekerti, dan membiasakan anak-anak kepada tingkah laku yang baik sejak kecilnya. Mereka ini semua berpendapat bahwa pendidikan anak-anak sejak dari kecilnya harus mendapat perhatian penuh.[17]
Ibnu Qoyyim Al-Jauzi, sebagaimana dikutip oleh M. Athiyah al-Abrasy mengemukakan, bahwa pembentukan yang utama ialah waktu kecil, maka apabila seorang anak dibiarkan melakukan sesuatu (yang kurang baik) dan kemudian telah menjadi kebiasaannya, maka akan sukarlah meluruskannya. Tujuan utama dari kebiasaan ini, adalah penanaman kecakapan-kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu agar cara-cara yang tepat dapat dikuasai oleh siterdidik yang terimplikasi mendalam bagi pembentukan selanjutnya.[18]
2.     Pembentukan minat dan sikap
Dalam taraf kedua ini, pembentukan lebih dititikberatkan pada perkembangan akal (pikiran, minat, dan sikap atau pendirian.). Menurut Ahmad D. Marimba bahwa pembentukan pada taraf ini terbagi dalam tiga bagian[19], yaitu:
a.      Formil
Pembentukan secara formil, dilaksanakan dengan latihan secara berpikir, penanaman minat yang kuat, dan sikap (pendirian) yang tepat. Tujuan dari pembentukan formil ini adalah: Pertama, Terbentuknya cara-cara berpikir yang baik, dapat menggunakan metode berpikir yang tepat, serta mengambil kesimpulan yang logis. Kedua, Terbentuknya minat yang kuat, yang sejajar dengan terbentuknya pengertian. Minat merupakan kecenderungan jiwa ke arah sesuatu karena sesuatu itu mempunyai arti bukan karena terpaksa. Ketiga, Terbentuknya sikap (pendirian) yang tepat. Sikap terbentuk bersama-sama dengan minat. Sikap yang tepat, ialah bagaimana seharusnya seseorang itu bersikap terhadap agamanya, nilai-nilai yang ada di dalamnya, terhadap nilai-nilai kesulitan, dan terhadap orang lain yang berpendapat lain.
b.     Materil
Pembentukan materil sebenarnya telah dimulai sejak masa kanak-kanak, jadi sejak pembentukan taraf pertama, namun barulah pada taraf kedua ini (masa intelek dan masa sosial). Anak-anak yang telah cukup besar dan mampu menepis mana yang berguna dan mana yang tidak, harusnya dilatih berpikir kritis.
c.      Intensil
Pembentukan intensil yaitu pengarahan, pemberian arah, dan tujuan yang jelas bagi pendidikan Islam, yaitu terbentuknya kepribadian muslim. Untuk membentuk ke arah mana kepribadian itu akan dibawa, maka di samping pemberian pengetahuan juga tentang nilai-nilai. Jadi, bukan hanya merupakan pemberian perlengkapan, tetapi juga pemberian tujuan ke arah mana perlengkapan itu akan dibawa. Pada segi lain, pembentukan intensil ini lebih progresif lagi, yaitu nilai-nilai yang mengarahkan sudah harus dilaksanakan dalam kehidupan. Mungkin masih dengan pengawasan orang tua, tetapi lebih baik lagi jika atas keinsyafan sendiri.
3.     Pembentukan kerohanian yang luhur
Pada taraf ini, pembentukan dititikberatkan pada aspek kerohanian untuk mencapai kedewasaan rohaniah, yaitu dapat memilih, memutuskan, dan berbuat atas dasar kesadaran sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab, kecenderungan ke arah berdiri sendiri yang diusahakan pada taraf yang lalu, misalnya peralihan dari disiplin luar ke arah disiplin sendiri, dari menerima teladan ke arah mencari teladan, pada taraf ini diintensifkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang diberikan oleh orang tua dalam keluarga, baik dalam bentuk bimbingan, pendidikan, maupun perhatian merupakan salah satu upaya yang dapat membentuk kepribadian anak. Selain itu, terdapat pula cara lain yang dapat dipergunakan dalam membentuk kepribadian, yaitu pembiasaan, yang bertujuan untuk menanamkan kecakapan-kecakapan berbuat, mengucapkan sesuatu dengan tepat, dan dapat dikuasai oleh si anak serta mempunyai implikasi yang mendalam bagi pembentukan kepribadian pada tahap selanjutnya.



[1] Muhammad Idris Abdurrauf al-Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawi, (tp: 1350 H), hal. 272.

[2] Abdurrahman Saleh, dkk, Penyelenggaraan Pendidikan Formal di Pondok Pesantren, Proyek Pembinaan Bantuan Kependidikan Pondok Pesantren, 1984/1985, (Ditjen Bimbaga Islam Departemen Agama RI), hal. 11.
[3] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 192.

[4] Safwan Idris, Refleksi Pewaris Nilai-Nilai Budaya Aceh, Peta Pendidikan Dulu dan Sekarang, (Ar-Raniry, No. 73, 1998), hal. 58.
               [5] A. Hasjmy, Sejarah...., hal. 44.
[6] Saleh, Penyelenggaraan ..., hal. 15.
[7] Netty Hartati, et al. Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 124.
[8] Ibid., hal. 127.
[9] Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan PolitikIslam di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1994), hal. 33.

[10] Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren, Pesantren ditengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), hal. 22.
[11] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 33.
[12] Agus Sujanto, Psikologi Kepribadian, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), hal. 33.

[13] Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktik Anak, Remaja dan Keluarga, (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), hal. 112.

[14] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1990), hal. 162.
[15] Amir Daien Indrakusuma,  Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1973), hal. 108.

[16] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. Ke. VIII, (Bandung:  PT. Al-Ma'arif, 1989), hal. 88.

[17] M. Athiyah Al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 105-107.

[18] Ibid., hal. 107.

[19] Marimba, Pengantar ...., hal. 88.