Pendidik Menurut Pendidikan Islam
BAB II
LANDASAN TEORITIS TENTANG MENDIDIK
A. Pendidik
Menurut Pendidikan Islam
Dalam konteks pendidikan Islam
“pendidik” sering disebut dengan murabbi,
mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid. Kelima istilah tersebut
mempunyai tempat tersendiri menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan
dalam konteks Islam. Di samping itu, istilah pendidik kadang kala disebut
melalui gelarnya, seperti istilah guru, ustadh,
dan syaikh.[1] Berikut ini
akan dijelaskan pengertian kelima istilah pendidik tersebut di atas, yakni:
Pertama, kata murabbi berasal dari kata dasar Rabb. Tuhan sebagai Rabb al-‘alamin dan Rab
an-nas, yakni yang menciptakan, mengajar dan memelihara alam seisinya
termasuk manusia. Manusia sebagai khalifah-Nya diberi tugas menumbuh kembangkan
kreativitasnya agar mampu mengkreasi, mengatur dan memelihara alam seisinya.
Dilihat dari pengertian ini, maka tugas murabbi
adalah mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus
mengatur dan memelihara hasil kreasinya.
Murabbi adalah seorang da’i
yang membina mad’u dalam halaqah. Ia bertindak sebagai qiyadah (pemimpin), walid (orang tua), dan shohabah
(sahabat) bagi mad’unya. Peran yang
multi fungsi itu menyebabkan seorang murabbi
perlu memiliki berbagai keterampilan, antara lain keterampilan memimpin,
mengajar, membimbing, dan bergaul. Biasanya, keterampilan tersebut akan
berkembang sesuai dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman seseorang
sebagai murabbi.[2]
Peran murabbi berbeda dengan peran ustadh, muballigh atau penceramah pada tataran dakwah ‘ammah. Jika peran mubaligh
titik tekannya pada penyampaian materi-materi Islam secara menarik dan meyentuh
hati, maka murabbi memiliki peran
yang lebih kompleks daripada muballigh.
Murabbi perlu melakukan hubungan yang
intensif dengan mad’unya. Ia perlu
kenal “luar dalam” mad’unya melalui
hubungan yang dekat dan akrab. Ia juga memiliki tanggung jawab untuk membantu
permasalahan mad’unya sekaligus
bertindak sebagai pembina mental,
spritual, dan (bahkan) jasmani mad’unya.
Peran ini relatif tidak ada pada diri seorang muballigh. Karena itulah, mencetak murabbi sukses lebih sulit daripada mencetak muballigh sukses.
Dalam
skala makro, keberadaan murabbi
sangat penting bagi keberlangsungan perjuangan Islam. Dari tangan murabbi lahir kader-kader dakwah yang
tangguh dan handal memperjuangkan Islam. Jika dari tangan muballigh lahir orang-orang yang “melek” terhadap pentingnya Islam
dalam kehidupan, maka murabbi melanjutkan kondisi “melek” tersebut menjadi
kondisi terlibat dan terikat dalam perjuangan Islam.
Urgensi murabbi dalam perjuangan Islam bukan
hanya retorika belaka, tapi sudah dibuktikan dalam sejarah panjang umat Islam.
Dimulai oleh Nabi Muhammad Saw. sendiri ketika beliau menjadi murabbi bagi para sahabatnya. Kemudian
dilanjutkan dengan para ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (terbelakang) sampai
akhirnya dipraktekkan oleh berbagai harakah (gerakan) Islam di seluruh belahan
dunia hingga saat ini. Tongkat esatefet perjuangan Islam tersebut dilakukan
oleh para murabbi yang sukses membina
kader-kader dakwah yang tangguh. Pada intinya, umat Islam tidak mungkin
mencapai cita-citanya jika dari tubuh umat Islam itu sendiri belum lahir
sebanyak-banyaknya murabbi handal
yang ikhlas mengajak umat untuk memperjuangkan Islam. Keutamaan murabbi mengingat begitu pentingnya
peran murabbi dalam keberlangsungan
eksistensi umat dan dakwah, sudah seharusnya kita memiliki keseriusan untuk
mencetak murabbi-murabbi sukses.
Kedua, mu’allim berasal dari kata ‘Allama (mengajar). Dalam kamus besar
mempunyai dua arti, pertama: ahli
agama, guru agama, penunjuk jalan. Kedua,
perwira kapal yang berijazah.[3] Mu’allim juga dapat berarti menangkap
hakikat sesuatu. Dalam setiap ‘ilm
terkandung dimensi teoritis dan dimensi amaliah. Ini mengandung makna bahwa
seorang mu’allim dituntut untuk mampu
menjelaskan hakikat ilmu pengetahuan yang diajarkannya, serta menjelaskan
dimensi teoritis dan praktisnya, dan berusaha membangkitkan peserta didik untuk
mengamalkannya. Allah mengutus Rasul-Nya antara
lain agar beliau mengajarkan (ta’lim)
kandungan al-kitab dan al-hikmah, yakni kebijakan dan kemahiran
melaksanakan hal yang mendatangkan manfaat dan menampik mudharat. Ini mengandung makna bahwa seorang mu’allim dituntut untuk mampu mengajarkan kandungan ilmu
pengetahuan dan al-hikmah atau
kebijakan, dan kemahiran melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupannya
yang bisa mendatangkan manfaat dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi mudharat.
Ketiga, al-mu’addib (isim fa’il), berasal dari akar kata ‘addaba. Kata adab diartikan sebagai al-‘adabu yang berarti pendidikan, yaitu mendidik manusia agar
beradab. Dinamai ‘adaban, karena
mendidik manusia kepada hal-hal yang terpuji dari hal-hal yang tercela. Sedang
asal al-‘adab adalah ad-du’a yang memiliki arti panggilan
atau ajakan. Lebih lanjut kata ‘ad-daba
muradif (sinonim) dengan kata ‘al-lama
yang berarti mendidik atau mengajar. Al-mu’addib,
lebih tepat digunakan untuk menunjuk istilah pendidik adab atau akhlak, sebab
hanya terbatas pada kegiatan penghalusan sikap agar berakhlak baik. Sasarannya
adalah hati dan tingkah laku atau ranah afektif dan psikomotorik. Mu’addib arti
harfiahnya orang yang beradab atau guru adab. Mu’addib berasal dari kata adab, yang berarti moral, etika dan adab
atau kemajuan (kecerdasan kebudayaan) lahir dan batin.[4] Kata
peradaban (Indonesia) juga berasal dari kata dasar adab, sehingga mu’addib adalah orang
yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban yang
berkualitas di masa depan.
Keempat, mudarris adalah julukan profesional untuk seorang mu’id atau asisten profesor yang
bertugas membantu mahasiswa menjelaskan hal-hal sulit mengenai kuliah yang
diberikan profesornya.[5]
Dilihat dari pengertian ini, maka
tugas mudarris adalah berusaha
mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas
kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat, minat,
dan kemampuannya. Pengetahuan dan keterampilan seseorang akan cepat usang
selaras dengan percepatan kemajuan IPTEK dan perkembangan zaman, sehingga
pendidik dituntut untuk memiliki kepekatan intelektual dan informasi, serta
memperbaharui pengetahuan dan keahlian secara berkelanjutan, agar tidak cepat
usang.
Kelima, mursyid adalah sebutan untuk seorang
guru pembimbing dalam dunia thariqah,
yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya yang terus bersambung sampai kepada guru mursyid Shahibuth Thariqah yang muasal
dari Rasulullah Saw. untuk mentalqin zikir/wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya
(murid).[6] Mursyid mempunyai kedudukan yang penting
dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak
saja merupakan seorang pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan
lahiriyyah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus
dalam kemaksiatan. Ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya
agar bisa wusul (terhubung) dengan
Allah SWT. karena ia merupakan wasilah
(perantara) antara murid dengan Allah SWT. demikian keyakinan yang terdapat di
kalangan ahli thariqah.
Oleh karena itu, jabatan ini tidak dipangku
oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting
ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci.
Syaikh
Muhammad Amin Al-Kurdy, seorang penganut thariqah
Naqsyabandiyah yang bermadzhab Syafi’i dalam kitabnya Tanwirul Qulub Fi Muamalati ‘Allamil Ghuyub menyatakan, bahwa yang
dinamakan Mursyid itu adalah orang
yang sudah mencapai derajat Rijalul Kamal,
seorang yang sudah sempurna dalam syariat dan hakikat menurut Al-Qur’an, sunnah
dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya
dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi
darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad Saw. yang
bersumber dari Allah SWT. dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun
ijazah untuk menyampaikan pelajaran zikir kepada orang lain.
Seorang mursyid yang diakui keabsahannya itu
sebenarnya tidak boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin menduduki
jabatan itu karena didorong oleh nafsu belaka. Mursyid yang arif yang memiliki sifat-sifat dan kesungguhan seperti
yang tersebut di atas itulah yang diperbolehkan memimpin suatu thariqah.
Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan
Allah SWT., juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk
menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid
yang tidak mempunyai mursyid yang
benar diatasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syaitan. Seseorang
tidak boleh melakukan irsyad
(bimbingan) zikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang
sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar
dan sampai kepada Rasulullah SAW.
Istilah
pendidik kadang kala disebut juga dengan gelarnya, seperti: guru, ustadh, syaikh. Berikut ini akan dijelaskan pengertian ketiga istilah gelar
tersebut, yakni:
Pertama, guru dalam
bahasa ‘arab disebut al-‘alim (jamaknya
‘ulama) atau al-mu’allim, yang berarti orang yang mengetahui. Dalam al-qur’an,
istilah yang menunjuk pada pengertian guru adalah al-‘alim atau al-mu’allim.
Kata al-‘alim diungkap dalam bentuk
jamak, yaitu al-‘aalimun. Kata ‘aalimun tersebut mengacu pada guru yang
tidak hanya mampu menyampaikan pelajaran, tetapi juga mampu memahami hikmah
yang ada di balik ilmu tersebut, sehingga mampu memanfaatkannya bagi
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia dan mendorongnya mengagungkan kekuasaan Tuhan, sehingga ia tunduk dan patuh
kepada-Nya.[7]
Kedua, ustadh itu adalah sesuai dengan pengertian yang ada dalam kamus,
orang yang paham tentang agama Islam.[8] Ustadh yang berarti guru agama, kalau
seorang guru besar (profesor) disebut ustadh jami’, atau seorang yang mendapat gelar Doktor penghargaan
disebut Ustadhiah Fakhriah (Doktor
Honoris Causa).
Ketiga, syaikh merupakan suatu gelar kehormatan para ulama dan orang saleh.
menurut Qalaqshandi asal kata syaikh
berarti orang tua, digunakan untuk gelar ahli ilmu dan kebaikan untuk memberi
penghormatan pada mereka sebagaimana dihormatinya orang tua.[9]
Syaikh mempunyai beberapa syarat, yaitu: orang Islam, orang ‘alim, dan sudah
berumur tua.[10] Jadi, syaikh adalah seorang mukmin yang
memahami agama, menempuh jalan rohani, mengetahui seluk beluk dan berbagai
kesulitan dari jalan itu serta mempunyai irsyad (memberi bimbingan atau
petunjuk) hingga ia mampu membimbing jiwa-jiwa yang ingin berpaling kepada-Nya.
Salah satu tugas syaikh adalah membebaskan murid-muridnya
dari pembatasan dunia kebendaan yang sempit dan hawa nafsunya sendiri yang
menyababkan mereka tertabiri dari menyaksikan keindahan dunia. Hal itu
memungkinkan karena seorang syaikh
mempunyai kekuatan mata batin yang membuatnya mampu mengetahui setiap gerak
gerik maupun tipu muslihat hawa nafsu manusia.[11]
Perlu kita ketahui bahwa pendidik
pertama dan utama adalah orang tua sendiri. Mereka berdua yang bertanggung
jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena sukses tidaknya
anak sangat tergantung pengasuhan, perhatian, dan pendidikannya. Kesuksesan
anak kandung merupakan cerminan atas kesuksesan orang tua juga.
Firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَا يُؤْمَرُونَ) التحريم : ٦ )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.(QS. At-Tahrim: 6)
Sebagai pendidik pertama dan utama
terhadap anak-anaknya, orang tua tidak selamanya memiliki waktu yang leluasa
dalam mendidik anak-anaknya. Selain karena kesibukan kerja, tingkat efektivitas
dan efesiensi pendidikan tidak akan baik jika pendidikan hanya dikelola secara
alamiah. Dalam konteks ini, anak lazimnya dimasukkan ke dalam lembaga sekolah,
yang karenanya, definisi pendidik di sini adalah mereka yang memberikan
pelajaran peserta didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di
sekolah. Penyerahan peserta didik ke lembaga sekolah bukan berarti melepaskan
tanggung jawab orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama, tetapi orang
tua tetap mempunyai saham yang besar dalam membina dan mendidik anak
kandungnya.[12]
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa istilah pendidik dalam pendidikan Islam mencakup lima istilah
utama, yaitu: murabbi, muallim, muaddib,
mudarris, dan mursyid. Pemakaian
istilah-istilah ini mempunyai tempat dan arti tersendiri. Istilah pendidik
dalam pendidikan Islam juga sering dipakai dengan penyebutan gelarnya, seperti:
guru, ustadh, dan syaikh.
B. Syarat-Syarat
Pendidik
Menjadi guru berdasarkan
tuntutan hati nurani tidaklah semua orang dapat melakukannya, karena orang
harus merelakan sebagian besar dari seluruh hidup dan kehidupannya mengabdi
kepada Negara dan bangsa guna mendidik anak didik menjadi manusia susila yang
cakap, bertanggung jawab atas pembangunan dirinya dan pembangunan bangsa dan
Negara.
Menjadi guru menurut Syaiful Bahri
Djamarah dan kawan-kawan tidak sembarangan, tetapi harus memenuhi empat
persyaratan.[13] seperti
disebutkan di bawah ini:
1. Takwa kepada Allah SWT
Guru, sesuai dengan fungsi ilmu
pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak didik agar bertakwa kepada Allah,
jika ia sendiri tidak bertakwa kepada-Nya. Sebab ia adalah teladan bagi anak
didiknya sebagaimana Rasulullah Saw. menjadi teladan bagi umatnya. Sejauh mana
seorang guru mampu memberi teladan yang baik kepada semua anak didiknya, sejauh
itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi
penerus bangsa yang baik dan mulia.
2. Berilmu
Ijazah bukan semata-mata secarik
kertas, tetapi suatu bukti, bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan
dan kesanggupan tertentu yang diperlukannya untuk suatu jabatan.
Guru pun harus mempunyai ijazah
agar ia diperbolehkan mengajar. Kecuali dalam keadaan darurat, misalnya jumlah
anak didik sangat meningkat, sedang jumlah guru jauh dari mencukupi, maka
terpaksa menyimpang untuk sementara, yakni menerima guru yang belum berijazah.
Tetapi dalam keadaan normal ada patokan bahwa makin tinggi pendidikan guru
makin baik pendidikan dan pada gilirannya makin tinggi pula derajat masyarakat.
3. Sehat jasmani
Kesehatan jasmani kerapkali
dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi guru. Guru
yang mengidap penyakit menular, umpamanya, sangat membahayakan kesehatan
anak-anak. Di samping itu, guru yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar.
Kita kenal ucapan “mens sana in corpore
sano”, yang artinya “dalam tubuh yang sehat terkandung jiwa yang sehat”.
Walaupun pepatah itu tidak benar secara keseluruhan, akan tetapi kesehatan
badan sangat mempengaruhi semangat bekerja. Guru yang sakit-sakitan kerapkali
terpaksa absen dan tentunya merugikan anak didik.
4. Berkelakuan baik
Budi pekerti guru penting dalam
pendidikan watak anak didik. Guru harus menjadi teladan, karena anak-anak
bersifat suka meniru. Di antara fungsi pendidikan yaitu membentuk akhlak yang
mulia pada diri pribadi anak didik dan ini hanya mungkin bisa dilakukan jika
pribadi guru berakhlak mulia pula. Guru yang tidak berakhlak mulia tidak
mungkin dipercaya untuk mendidik. Akhlak mulia dalam ilmu pendidikan Islam
adalah akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti dicontohkan oleh
pendidik utama, Nabi Muhammad Saw. Di antara akhlak mulia guru tersebut adalah
mencintai jabatannya sebagai guru, bersikap adil terhadap semua anak didiknya,
berlaku sabar dan tenang, berwibawa, gembira, bersifat manusiawi, bekerjasama
dengan guru-guru lain, dan bekerjasama dengan masyarakat.
Guru adalah orang yang bertanggung
jawab mencerdaskan kehidupan anak didik. Pribadi susila yang cakap adalah yang
diharapkan ada pada diri setiap anak didik. Tidak ada seorang guru pun yang
mengharapkan anak didiknya menjadi sampah masyarakat. Untuk itulah guru dengan
penuh dedikasi dan loyalitas berusaha membimbing dan membina anak didik agar di
masa mendatang menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Setiap hari
guru meluangkan waktu demi kepentingan anak didik. Bila suatu ketika ada anak
didik yang tidak hadir di sekolah, guru menanyakan kepada anak-anak yang hadir,
apa sebabnya dia tidak hadir ke sekolah.
Anak didik yang sakit, tidak bergairah belajar, terlambat masuk sekolah, belum
menguasai bahan pelajaran, berpakaian sembarangan, berbuat yang tidak baik,
terlambat membayar uang sekolah, tak punya pakaian seragam, dan sebagainya,
semuanya menjadi perhatian guru.
Karena besarnya tanggung jawab
guru terhadap anak didiknya, hujan dan panas bukanlah menjadi penghalang bagi
guru untuk selalu hadir di tengah-tengah anak didiknya. Guru tidak pernah
memusuhi anak didiknya meskipun suatu ketika ada anak didiknya yang berbuat
kurang sopan pada orang lain. Bahkan dengan sabar dan bijaksana guru memberikan
nasihat bagaimana cara bertingkah laku yang sopan pada orang lain. Karena profesinya
sebagai guru adalah berdasarkan panggilan jiwa, maka bila guru melihat anak
didiknya senang berkelahi, meminum minuman keras mengisap ganja, datang ke
rumah-rumah bordil dan sebagainya, guru merasa sakit hati. Siang atau
malam selalu memikirkan bagaimana caranya agar anak didiknya itu dapat dicegah
dari perbuatan yang kurang baik, asusila, dan amoral.
1. Tentang umur, harus sudah dewasa
Tugas mendidik adalah tugas yang
amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang, jadi menyangkut nasib
seseorang. Oleh karena itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung jawab.
Itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa. Di Negara kita,
seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau dia sudah kawin.
Menurut ilmu pendidikan adalah 21 tahun bagi lelaki dan 18 tahun bagi
perempuan. Bagi pendidik asli, yaitu orang tua anak, tidak dibatasi umur
minimal bila mereka telah mempunyai anak, maka mereka boleh mendidik anaknya.
Dilihat dari segi ini, sebaiknya umur kawin ialah 21 bagi lelaki dan minimal 18
bagi perempuan.
2. Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani
Jasmani yang tidak sehat akan
menghambat pelaksana pendidikan, bahkan dapat membahayakan anak didik bila
mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang gila berbahaya juga bila ia
mendidik. Orang idiot tidak mungkin mendidik karena ia tidak akan mampu
bertanggung jawab.
3. Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli
Ini penting sekali bagi pendidik,
termasuk guru. Orang tua di rumah sebenarnya perlu sekali mempelajari
teori-teori ilmu pendidikan. Dengan pengetahuannya itu diharapkan ia akan lebih
berkemampuan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah. Sering
kali terjadi kelainan pada anak didik disebabkan oleh kesalahan pendidikan di
dalam rumah tangga.
4. Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini amat penting dimiliki
untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain mengajar. Bagaimana guru akan
memberikan contoh-contoh kebaikan bila ia sendiri tidak baik perangainya.
Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam mendidik selain mengajar, dedikasi
tinggi diperlukan juga dalam meningkatkan mutu mengajar.
Untuk dapat melakukan peranan dan
melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya, guru memerlukan syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat inilah yang akan membedakan antara guru dengan manusia-manusia
lain pada umumnya. Adapun syarat-syarat menjadi guru itu dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa kelompok, yaitu: Pertama, persyaratan administratif. Kedua,
persyaratan teknis. Ketiga, persyaratan psikis. Keempat,
persyaratan fisik. [15]
1.
Persyaratan administratif
Syarat-syarat administratif ini
antara lain meliputi: soal kewarganegaraan (warga Negara Indonesia), umur
(sekurang-kurangnya 18 tahun), berkelakuan baik, mengajukan permohonan. Di
samping itu masih ada syarat-syarat lain yang telah ditentukan sesuai dengan
kebijakan yang ada.
2.
Persyaratan teknis
Dalam persyaratan teknis ini ada
yang bersifat formal, yakni harus berijazah pendidikan guru. Hal ini mempunyai
konotasi bahwa seseorang yang memiliki ijazah pendidikan guru itu dinilai sudah
mampu mengajar. Kemudian syarat-syarat yang lain adalah menguasai cara dan
teknik mengajar, terampil mendesain program pengajaran serta memiliki motivasi
dan cita-cita memajukan pendidikan/pengajaran.
3.
Persyaratan psikis
Berkaitan dengan kelompok persyaratan
psikis, antara lain: sehat rohani, dewasa dalam berpikir dan bertindak, mampu
mengendalikan emosi, sabar, ramah dan sopan, memiliki jiwa kepemimpinan,
konsekuen dan berani bertanggung jawab, berani berkorban dan memiliki jiwa
pengabdian. Di samping itu, guru juga dituntut untuk bersifat pragmatis dan
realistis, tetapi juga memiliki pandangan yang mendasar dan filosofis.
Guru harus juga mematuhi norma dan nilai yang berlaku serta memiliki semangat
membangun. Inilah pentingnya bahwa guru itu harus memiliki panggilan hati
nurani untuk mengabdi demi anak didik.
4.
Persyaratan fisik
Persyaratan fisik ini antara lain
meliputi: berbadan sehat, tidak memiliki cacat tubuh yang mungkin mengganggu
pekerjaannya, tidak memiliki gejala-gejala penyakit yang menular. Dalam
persyaratan fisik ini juga menyangkut kerapian dan kebersihan, termasuk
bagaimana cara berpakaian. Sebab bagaimanapun juga guru akan selalu dilihat,
diamati dan bahkan dinilai oleh para siswa atau anak didiknya.
Dari berbagai persyaratan yang
telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa guru menempati bagian “tersendiri”
dengan berbagai ciri kekhususannya, apalagi kalau dikaitkan dengan tugas keprofesiannya. Sesuai dengan tugas keprofesiannya, maka sifat dan persyaratan
tersebut secara garis besar dapat dilihat dalam beberapa aspek yang lebih luas,
yaitu: Aspek kematangan jasmani, aspek kematangan rohani, dan aspek kematangan
kehidupan sosial.[16]
1.
Aspek kematangan jasmani
Aspek kematangan jasmani dapat
dilihat dari perkembangan biologis dan usia. Pada umumnya dikatakan sudah
dewasa jasmani, kalau seseorang itu sudah Aqil baligh. Aqil baligh dari bahasa
Arab yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berusia 15 tahun ke atas. Jadi
kalau guru dipersyaratkan usia 18 tahun, berarti sudah memenuhi persyaratan
kematangan jasmaniah. Mengenai batas usia 15 tahun ke atas ini dilihat
dari pengertian biologis adalah saat orang dinilai telah mencapai kematangan
jasmani, yang dipandang sudah dapat membangun rumah tangga sendiri. Sampai
sekarang ukuran biologis dengan akil balig sebagai tanda kematangan atau
kedewasaan itu masih tetap dipakai, walaupun sebenarnya tingkat budaya manusia
sudah mengalami perubahan dan perkembangan. Tetapi dalam kenyataannya ukuran
biologis ini kalau dikaitkan dengan ukuran yang lain masih belum memadai.
Bahkan bagi Indonesia
juga jarang seorang yang sudah mencapai usia 15 tahun, terus mampu berumah
tangga. Jadi walaupun masih tetap dipakai, ukuran biologis itu, namun kenyataan
dalam kehidupan masyarakat masih jarang dipakai sebagai kriteria kedewasaan.
2.
Aspek kematangan rohani
Lain halnya dengan kematangan
jasmani yang ditandai dengan dicapainya akil balig, kematangan/kedewasaan dalam
arti rohani mungkin sangat bervariasi/berbeda-beda antara masyarakat/bangsa
yang satu dengan masyarakat/bangsa yang lain. Hal ini karena dipengaruhi oleh
sikap tingkah laku dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Pada masyarakat
yang taraf kebudayaannya relatif rendah, maka pencapaian tingkat “kedewasaan”
(menurut pandangan masyarakatnya) tidak terlalu sulit/berbelit-belit, bila
dibanding dengan lingkungan masyarakat yang tuntutan budayanya lebih maju.
Dengan perkataan lain, kriteria untuk menentukan kedewasaan seseorang di
lingkungan masyarakat yang budayanya relatif lebih rendah, lebih sederhana,
sedang untuk masyarakat yang lebih maju lebih tinggi dan kompleks.
Perlu ditambahkan bahwa yang
merupakan kematangan/kedewasaan rohani itu termasuk antara lain: sudah matang
dalam bertindak dan berpikir, sehingga sikap dan penampilannya menjadi semakin
mantap. Menghargai dan mematuhi norma serta nilai‑nilai moral yang berlaku.
Seseorang yang dikatakan dewasa harus juga memiliki jiwa kepemimpinan dan dapat
dicontoh oleh orang lain terutama yang ingin menuju ke tingkat kedewasaannya.
Bersifat sabar, disiplin, sopan dan ramah. Hal yang penting, adalah dapat
mengendalikan gejolak emosionalnya. Orang dewasa senantiasa tidak emosional,
tetapi lebih rasional, bijak dan realistis dalam berbagai tindak dan
perbuatannya. Tumbuh kesadaran untuk membangun diri pribadi, keluarga dan
masyarakat pada umumnya.
Sifat atau ciri-ciri tersebut
sudah barang tentu akan membawa konsekuensi atau akan mencakup kepada
persoalan hidup seseorang itu secara luas. Sebagai contoh misalnya orang yang
sudah dewasa harus sanggup hidup dan berdiri sendiri. Hidup dan berdiri sendiri
ini akan menuntut konsekuensi-konsekuensi yang luas dan kompleks, seperti
misalnya harus mampu memenuhi kebutuhan ekonomis, kebahagiaan diri. Untuk
memenuhi kebutuhan ini, manusia harus bekerja keras dengan kemampuan, keterampilan,
perasaan dan potensi-potensi yang lain.
3.
Kematangan kehidupan sosial
Aspek kematangan sosial senantiasa
berhubungan dengan kehidupan sosial, atau kehidupan bersama antar manusia.
Untuk dapat bergaul dengan sesama manusia dituntut adanya kemampuan
berinteraksi dan memenuhi beberapa persyaratan. Sebagai contoh harus dapat
saling menghargai, saling tenggang rasa, saling tolong menolong, dapat dan mau
membela kepentingan bersama. Itu semua adalah sikap yang harus dimiliki
seseorang, kalau seseorang itu hidup bersama di dalam masyarakat. Seseorang
yang belum memiliki sikap seperti dikemukakan di atas, dinilai belum dewasa
secara sosial. Seseorang itu boleh dikatakan masih seperti anak-anak, karena
masih ambisius, mementingkan diri sendiri (individualistis).
Kedewasaan sosial kiranya tidak
datang tiba-tiba secara kodrati, tetapi bisa datang berangsur-angsur, melalui
latihan dan keterampilan, bergaul, berinteraksi dengan sesamanya. Kehidupan
sosial dari tahap yang paling awal sampai pada tahap-tahap kematangannya, akan
berjalan terus. Makin maju kebudayaan suatu masyarakat, makin banyak pula
pengalaman yang diperoleh. Hal ini berarti akan semakin memupuk tingkat
kematangan sosial bagi seseorang. Itulah sebabnya untuk menjadi dewasa secara
sosial harus banyak berlatih, dan belajar melalui pergaulan serta berinteraksi
dengan lingkungannya.
Perlu ditambahkan bahwa kedewasaan
seseorang juga ditandai dengan perkembangan rasa tanggung jawab. Apabila sifat
atau ciri-ciri tersebut sudah dimiliki dan diterapkan secara baik tanpa
merugikan orang lain, boleh dikatakan orang itu sudah memiliki rasa tanggung
jawab. Jadi soal tanggung jawab ini akan dapat dinilai, apabila dalam konteks
hubungan hidup bersama dengan orang lain, walaupun rasa tanggung jawab itu
muncul dari diri seseorang. Dalam kaitan ini seringkali kata tanggung jawab itu dirangkai dengan kata
susila, “tanggung jawab susila”.
Kata-kata “tanggung jawab susila” ini memiliki makna yang sangat dalam dan
mutlak bagi kehidupan bangsa Indonesia .
Sebab rangkaian kata-kata itu menyangkut persoalan values, dalam artian values
yang menghiasi kehidupan masyarakat. Kalau kata tanggung jawab tidak
berkonotasi dengan values, tidak
dirangkai dengan kata susila (walau mungkin tidak eksplisit), dapat ditafsirkan sesuka hati oleh setiap orang yang
merasa memiliki kepentingan. Sebagai contoh seorang pencuri atau pencopet,
karena merasa bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya, maka akan bekerja
keras untuk dapat mencuri atau mencopet sesuatu yang merupakan milik orang lain.
Atau mungkin seorang tuna susila terpaksa melakukan pekerjaan zina, karena
ingin mendapatkan imbalan materi demi tanggung jawab hidupnya, entah untuk
membiayai hidup keluarga atau malah ada yang mengatakan untuk biaya studinya.
Sifat atau ciri-ciri kedewasaan
sebagaimana diuraikan di atas, benar-benar menjadi prasyarat bagi setiap guru.
Konsisten dengan sebutan bahwa guru adalah dipandang sebagai orang yang telah
dewasa, maka sifat-sifat tersebut harus dimiliki oleh setiap guru. Dengan
demikian, untuk menjadi tenaga guru yang betul-betul sebagai tenaga profesional di bidang kependidikan,
sebenarnya belum cukup hanya dengan modal ijazah guru, tetapi harus ditambah
dengan kemampuan-kemampuan teknis operasional serta persepsi-persepsi
filosofis, terutama yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan berinteraksi dengan
pihak lain. Jadi harus ditegaskan bahwa di dalam kegiatan interaksi dengan
pihak lain atau interaksi belajar-mengajar itu tidak sekadar membutuhkan keterampilan
teknis, tetapi juga memahami nilai-nilai filosofis, menghayati tentang hakikat
manusia, “siapa dia guru”, dan “siapa mereka siswa”. Kalau semua ini disadari
oleh semua pihak (guru maupun siswa), maka interaksi belajar-mengajar yang
berintikan pada kegiatan motivasi itu akan berjalan lancar dan optimal.
Berdasarkan pembahasan di atas
dapat disimpulkan bahwa setiap pendidik
mempunyai peranan penting dalam pendidikan. Untuk itu diperlukan
berbagai syarat yang menyangkut dengan profesinya.
Di antara syarat-syarat tersebut, yaitu: takwa kepada Allah, berilmu, sehat
jasmani dan rohani, berkelakuan baik, memiliki kemampuan mengajar,
berkesusilaan dan berdedikasi tinggi. Jadi secara garis besarnya tentang
syarat-syarat pendidik dapat di kelompokkan ke dalam empat bagian, yaitu:
persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan psikis, dan
persyaratan fisik.
C. Fungsi
dan Kegunaan Pendidikan
Fungsi
pendidikan dalam Islam adalah: pertama, Untuk membentuk akhlak yang
mulia, karena akhlak inti pendidikan Islam untuk mencapai akhlak yang sempurna
harus melalui pendidikan. Kedua, Persiapan untuk kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat. Pendidikan agama bukan hanya
menitikberatkan pada keagamaan
saja, atau pada keduniaan saja tetapi pada kedua-duanya. Ketiga,
Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat atau lebih dikenal
dengan prefosionalisme. Fungsi ini adalah menyiapkan pelajar dari segi
propesionalisme, teknikal dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi
tertentu, dan keterampilan pekerjaan agar dapat mencari rezeki dalam hidup di
samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan. Keempat, menumbuhkan
semangat ilmiyah pada pelajar dan memuaskan keingin tahuan (curiosity) dan
memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.[17] Adapun
Secara psikologi fungsi pendidikan agama
Islam adalah:
- Pendidikan akal dan persiapan pikiran, Allah menyuruh
manusia untuk merenungkan kejadian langit dan bumi agar dapat beriman
kepada Allah.
- Menumbuhkan
potensi-potensi dan bakat-bakat terutama pada manusia karena Islam adalah
agama fitrah sebab ajarannya tidak asing dari tabi'at manusia,
bahkan ia adalah fitrah yang manusia diciptakan sesuai dengannya.
3.
Menaruh perhatian pada kekuatan dan
potensi generasi muda dan mendidik
mereka sebaik-baiknya, baik lelaki maupun perempuan.
- Berusaha untuk menyeimbangkan segala
potensi-potensi dan bakat-bakat
manusia.[18]
Di dalam Al-qur'an fungsi pendidikan adalah: pertama,
mengarahkan manusia agar menjadi
khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan
tugas-tugas memakmurkan dan mengelola
bumi sesuai dengan kehendak Tuhan. Kedua, mengarahkan manusia
agar seluruh
pelaksanaan
tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada
Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan. Ketiga,
membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia
memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk
mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahan. Keempat, mengarahkan
manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak menyalahkan fungsi
kekhalifahannya. Kelima, mengarahkan manusia agar dapat mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Fungsi pendidikan Islam telah
ditetapkan didalam Al-Qur’an yaitu untuk membawa penganutnya agar mencapai
kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kebahagian yang bersifat material dan
spiritual, begitu juga fungsi pendidikan Islam sejalan dengan fungsi hidup
manusia yaitu untuk mengabdi diri secara penuh kepada Allah SWT sebagai
pencipta alam semesta. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Az-Zariyat ayat 56
berbunyi:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات: ٥٦)
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (Qs. Al-Dzariyat: 56).
Ayat di atas
dapat dipahami bahwa fungsi Allah menciptakan jin dan manusia adalah hanya
untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, melalui ketaatan dalam mengerjakan
perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an,
dan meninggalkan segala larangannya. Fungsi inilah yang akan mengarahkan
manusia untuk meraih bahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti.
Menurut Hasan
Langgulung fungsi pendidikan Islam dapat di bagi kepada dua bagian yaitu fungsi
umum dan fungsi khusus pendidikan Islam.[19] Mengenai fungsi
umum pendidikan Islam Hasan Langgulung menyimpulkan lima fungsi umum fungsi
pendidikan Islam yaitu:
1. Untuk
mengadakan pembentukan akhlak yang mulia, kaum muslimin dari dulu sampai
sekarang setuju bahwa pendidikan akhlak adalah inti pendidikan islam dan bahwa
mencapai akhlak yang sempurna adalah fungsi pendidikan yang sebenarnya.
2. Persiapan untuk
kehidupan dunia dan akhirat, pendidikan Islam bukan menitik beratkan pada
keagamaan saja atau pada keduniaan saja, tetapi pada keduanya.
3. Persiapan untuk
mencapai rezeki dan pemeliharaan disegi manfaat, atau lebih terkenal sekarang
ini dengan nama fungsi vokasionak dan propesional.
4. Menumbuh
semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan keingin tahuan dan memungkin ia
mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.
5. Menyiapkan
pelajar dari propesional, tehnikal dan pertukangan supaya dapat menguasaai
profesi tertentu dan ketrampilan tertentu agar dapat mencari rezeki dlam hidup,
disamping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.[20]
Sedangkan fungsi
khusus pendidikan Islam Hasan Langgulung membagi beberapa fungsi yaitu:
1. Memperkenal
pada generasi muda akan aqidah Islam, dasar-dasarnya, asal usul, ibdah dan
cara-cara melaksanakan dengan betul, dengan membiasakan mereka berhati memenuhi
aqidah-aqidah agama, menghormati syiar Islam.
2. Menumbuhkan
kesadaran yang betul pada diri pelajar terhadap agama termasuk prinsip-prinsip
dan dasar-dasar akhlak yang mulia.
3. Menanam
keimanan kepada Allah SWT pencipta alam dan kepada malaikat, rasul-rasulnya,
kitab-kitab dan hari akhir berdasarkan kepada faham kesadaran dan perasaan.
4. Menumbuh minat
generasi muda untuk menambah pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan
dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
5. Menanamkan rasa
cinta dan penghargaan kepada Al-Qur’an dengan membacanya yang baik, memahami
dan mengamalkannya ajaran-ajarannya.
6. Menumbuh rasa
bangga terhadap sejarah dan kebudayaan Islam dan pahlawan-pahlawannya dan
mengikuti jejak mereka.
7. Menumbuh rasa
rela, obtimis, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong
menolong atas kebaikan dan ketaqwaan.
8. Mendidik
naluri, motivasi dan keinginan generasi muda dan menguatkannya dengan aqidah
dan nilai-nilai dan membiasakan mereka menahan motivasinya mengatur emosi dan
membingbingnya dengan baik.
9. Menanamkan iman
kepada Allah pada diri mereka, perasaan dan keagamaan, semangat keagamaan,
akhlak kepada diri mereka dan menyuburkan hati mereka dengan rasa cinta, zikir,
taqwa dan takut kepada Allah.
10.
Membersihkan hati mereka dari rasa dengki, hasad, iri
hati, benci, kekerasan, mendhalimi, egoisme, tipuan, khianat, perpecahan dan
perselisihan.
Menurut
Muhammad Quthb, pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu
berdsarkan nilai-nilai moral Islam. Menurut Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa:
hakikat pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya. Akal dan hatinya,
rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam
menyiap manusia untuk hidup baik dalam keadaan masyarakat dengan segala
kebaikan dan kejahatannya.[21] Sedangkan
menurut Sayyed Husen Nasr, memandang pendidikan harus memperdulikan seluruh
wujud manusia, laki-laki dan perempuan yang diupayakan untuk dididik, bukan
hanya pikirannya saja tetapi seluruh wujud pribadi orang tersebut.[22]
Menurut Zakiah
Deradjat, fungsi pendidikan itu terbagi pada empat bagian yaitu fungsi umum, fungsi
akhir, fungsi sementara dan fungsi operasional.[23]
Fungsi umum fungsi
yang hendak di capai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran
maupun dengan cara lain. Fungsi ini meliputi semua aspek kemanusiaan yang
meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Fungsi
pendidikan harus dikaitkan dengan fungsi pendidikan nasional Negara. Tempat
pendidikan Islam itu dilaksanakan dan harus dikaitkan dengan fungsi
intitusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan Islam.
Fungsi akhir
pendidikan Islam adalah agar dapat menjadi insal kamil sampai menghadap
tuhannya dan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebab pengetahuan
agama tidah hanya mengajarkan pengetahuan agama dan melatih ketrampilan dan
melaksakan ibadah, akan tetapi jauh lebih luas adri pada itu. Agama Islam berfungsi
membentuk kepribadian seseorang yang sesuai dengan ajaran Islam. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran ayat 102:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم
مُّسْلِمُونَ (آل
عمران: ١٠٦)
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Q. S. Ali-Imran ayat:
102).
Sedangkan fungsi sementara dari
pendidikan Islam adalah fungsi yang di capai dengan sejumlah kegiatan
pendidikan tertentu. Satu unit pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah
disediakan dan diperkirakan akan mencapai fungsi tertentu yang disebut dengan fungsi
operasional. Dalam pendidikan formal ini
disebut dengan fungsi intruksional yang selanjutnya dikembangkan menjadi fungsi
umum dan fungsi khusus. Menurut Muhammad Fadhli Al-Djamali yang dikutip oleh M.
Arifin menyatakan bahwa:
Fungsi pendidikan Islam adalah
menanamkan ma’rifat (kesadaran) dalam diri manusia terhadap diri sendiri selaku
hamba Allah dan kesadaran selaku anggota masyarakat yang memiliki tanggung
jawab social terhadap pembinaan masyarakat serta mananamkan kemampuan manusia
untuk mengelola. Manfaat alam sekitar ciptaan Allah bagi kepentingan
kesejahteraan manusia dan kegiatan ibadah kepada khalik pencipta alam itu
sendiri.[24]
D. Kompetensi
Pendidik
W. Robert Houston mendefinisikan
kompetensi dengan “competence ordinarily
is defined as adequacy for a task or as possessi on of require knowledge, skill
and abilities” (suatu tugas yang dituntut oleh jabatan seseorang).[25] Definisi ini
mengandung arti bahwa calon pendidik perlu mempersiapkan diri untuk menguasai
sejumlah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan khusus yang terkait dengan profesi keguruannya, agar ia dapat
menjalankan tugasnya dengan baik, serta dapat memenuhi keinginan dan harapan
peserta didiknya.
Di samping itu, ia mampu
mengimplementasikan nilai-nilai yang diajarkan, sebagai penganut Islam yang
patut dicontoh dalam ajaran Islam dan bersedia menularkan pengetahuan dan nilai
Islam pada pihak lain. Untuk mengenal posisi profesional pendidik, ada baikya kita lihat stratifikasi tenaga
kerja. Secara sederhana, tenaga kerja dapat distratifikasikan ke dalam empat
macam, yaitu pekerja terampil, teknisi terampil, teknisi ahli, dan elit profesional. Pekerja terampil disiapkan
untuk terampil melaksanakan tugas yang sifatnya operasional dan tidak banyak
membutuhkan pemikiran, karena sifatnya teknis-mekanistik. Teknisi terampil
memiliki pengetahuan dasar teori, sehingga sedikit banyak memiliki wawasan
dasar dari pelaksanaan tugasnya. Teknisi ahli mampu menjelaskan dan
mempertanggung jawabkan alternatif atau putusan yang dipilih, sedangkan elit profesional memiliki kemampuan lebih
dari teknisi ahli.
Dari uraian tersebut, dapat
dipahami bahwa pendidik Islam yang profesional
harus memiliki kompetensi-kompetensi yang lengkap, meliputi: Pertama,
penguasaan materi al-Islam yang
komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang
yang menjadi tugasnya. Kedua, penguasaan strategi (mencakup pendekatan,
metode, dan teknik) pendidikan Islam, termasuk kemampuan evaluasinya. Ketiga,
pengusaan ilmu dan wawasan kependidikan. Keempat, memahami
prinsip-prinsip dalam menafsirkan hasil penelitian pendidikan, guna keperluan
pengembangan pendidikan Islam masa depan. Kelima, memiliki kepekaan
terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung
kepentingan tugasnya.
Dari hasil telaah tersebut, dapat
diformulasikan asumsi yang melandasi keberhasilan pendidik, yakni: “pendidik
akan berhasil menjalankan tugasnya apabila mempunyai kompetensi personal-religious, social-religious dan profesional-religious”.[26] Kata religious selalu dikaitkan dengan
tiap-tiap kompetensi, karena menunjukkan adanya komitmen pendidik dengan ajaran
Islam sebagai kriteria utama, sehingga segala masalah pendidikan dihadapi,
dipertimbangkan dan dipecahkan, serta ditempatkan dalam perspektif Islam.
1. Kompetensi personal-religious
Kemampuan dasar (kompetensi) yang
pertama bagi pendidik adalah menyangkut kepribadian agamis, artinya pada
dirinya melekat nilai-nilai lebih yang hendak ditransinternalisasikan kepada
peserta didiknya. Misalnya nilai kejujuran, amanah, keadilan, kecerdasan,
tanggung jawab, musyawarah, kebersihan, keindahan, kedisiplinan, ketertiban dan
sebagainya. Nilai tersebut perlu dimiliki pendidik sehingga akan terjadi
transinternalisasi (pemindahan penghayatan nilai-nilai) antara pendidik dan
peserta didik, baik langsung maupun tidak langsung, atau setidak-tidaknya
terjadi transaksi (alih tindakan) antara keduanya.
2. Kompetensi social-religious
Kemampuan dasar kedua bagi
pendidik adalah menyangkut kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial
selaras dengan ajaran dakwah Islam. Sikap gotong-royong, tolong-menolong,
egalitarian (persamaan derajat antara manusia), sikap toleransi dan sebagainya
juga perlu dimiliki oleh pendidik muslim Islam dalam rangka transinternalisasi sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan
peserta-peserta didik.
3. Kompetensi profesional-religious
Kemampuan dasar ketiga ini menyangkut kemampuan
untuk menjalankan tugas keguruannya secara profesional,
dalam arti mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu
mempertanggung jawabkan berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam
perspektif Islam.
Dalam versi yang-berbeda,
kompetensi pendidik dapat dijabarkan dalam beberapa kompetensi sebagai
berikut: Pertama, mengetahui hal-hal yang perlu diajarkan, sehingga ia
harus belajar dan mencari informasi tentang materi yang diajarkan. Kedua,
menguasai keseluruhan bahan materi yang akan disampaikan pada peserta didiknya.
Ketiga, mempunyai kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan
menghubungkannya dengan konteks komponen-komponen lain secara keseluruhan
melalui pola yang diberikan Islam tentang bagaimana cara berpikir (way of thinking) dan cara hidup (way of life) yang perlu dikembangkan
melalui proses edukasi. Keempat, mengamalkan terlebih dahulu informasi
yang telah didapat sebelum disajikan pada peserta didiknya. Kelima,
mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan. Keenam,
memberi hadiah (tabsyir/reward) atau
hukuman sesuai dengan usaha dan upaya dicapai peserta didik dalam rangka
memberikan persuasi dan motivasi dalam proses belajar. Kompetensi pendidik yang
tidak kalah pentingnya adalah memberikan uswah
hasanah dan meningkatkan kualitas dan profesionalitasnya
yang mengacu pada masa depan tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan,
misalnya gaji, pangkat, kesehatan, kepada peserta didik dan lingkungannya.[27]
Guru sebagai tenaga profesional di bidang kependidikan, di
samping memahami hal-hal yang bersifat filosofis dan konseptual,
juga harus mengetahui dan melaksanakan hal-hal yang bersifat teknis. Hal-hal
yang bersifat teknis ini, terutama kegiatan mengelola dan melaksanakan
interaksi belajar-mengajar. Di dalam kegiatan mengelola interaksi belajar
mengajar, guru paling tidak harus memiliki dua modal dasar, yakni kemampuan
mendesain program dan keterampilan mengomunikasikan program itu kepada anak
didik. Dua modal ini telah terumuskan di dalam sepuluh kompetensi guru, dan
memang mengelola interaksi belajar mengajar itu sendiri merupakan salah satu
kemampuan dari sepuluh kompetensi guru. Sehubungan dengan itu, maka pada
pembahasan tentang pengelolaan interaksi belajar mengajar berikut ini akan diuraikan
“sepuluh kompetensi guru” sebagai sumber dan dasar umum atau sarana pendukung
serta microteaching sebagai program
latihan dan “beberapa komponen keterampilan mengajar” sebagai kegiatan pelaksanaan
interaksi belajar-mengajar.
Dalam pendidikan guru dikenal
adanya “Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi”. Mengenai kompetensi guru ini,
ada berbagai model cara mengklasifikasikannya. Untuk program S1 salah satunya
dikenal adanya “sepuluh kompetensi guru” yang merupakan profil kemampuan dasar
bagi seorang guru. Sepuluh kompetensi guru itu meliputi: menguasai bahan,
mengelola program belajar mengajar, mengelola kelas, menggunakan media/sumber,
menguasai landasan kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai
prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, mengenal fungsi dan program
layanan bimbingan dan penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi
sekolah serta memahami prinsip-prinsip dan hasil penelitian pendidikan guna
keperluan pengajaran. [28]
1.
Menguasai bahan
Sebelum guru itu tampil di depan
kelas untuk mengelola interaksi belajar mengajar, terlebih dahulu harus sudah
menguasai bahan apa yang dikontakkan dan sekaligus bahan-bahan apa yang dapat
mendukung jalannya proses belajar mengajar. Dengan modal penguasaan bahan, guru
akan dapat menyampaikan materi pelajaran secara dinamis. Dalam hal ini yang
dimaksud “menguasai bahan” bagi seorang guru, akan mengandung dua lingkup
penguasaan materi, yakni:bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah dan menguasai
bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
Menguasai bahan bidang studi dalam
kurikulum sekolah, yang dimaksudkan dalam hal ini guru harus menguasai bahan sesuai
dengan materi atau cabang ilmu pengetahuan yang dipegangnya, sesuai dengan
yang tertera dalam kurikulum sekolah. Sebagai contoh: Akidah Akhlak, Sejarah
Islam, Geografi, Figh Islam, Biologi dan seterusnya. Kemudian agar dapat
menyampaikan materi itu lebih mantap dan dinamis, guru juga harus menguasai
bahan pelajaran lain yang dapat memberi pengayaan serta memperjelas dari
bahan-bahan bidang studi yang dipegang guru tersebut. Misalnya untuk mengajar
bidang studi Figh Islam, guru juga harus menguasai bahan-bahan yang lain
seperti Sejarah Islam dan Akidah Akhlak. Bahkan kalau kita lihat secara makro,
guru tidak cukup itu. Guru harus juga menguasai materi-materi yang lain,
misalnya yang berkaitan dengan PBM.
2.
Mengelola program belajar-mengajar
Guru yang kompeten, juga harus
mampu mengelola program belajar-mengajar. Dalam hal ini ada beberapa langkah
yang harus ditempuh oleh guru. Langkah-langkah itu adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan fungsi instruksional/pembelajaran
Sebelum mulai mengajar, guru perlu
merumuskan fungsi yang akan dicapai. Fungsi instruksional atau fungsi
pembelajaran ini penting karena dapat dijadikan pedoman atau petunjuk praktis
tentang sejauhmana kegiatan belajar mengajar itu harus dibawa. Dengan perumusan
fungsi instruksional secara benar akan dapat memberikan pedoman atau arah bagi
siswa atau warga belajar dalam menyelesaikan materi kegiatan belajarnya. Fungsi
instruksional akan senantiasa menjadi hasil atau perubahan tingkah laku,
kemampuan dan keterampilan yang diperoleh setelah siswa mengikuti kegiatan
belajar. Oleh karena itu, tugas guru harus dapat merumuskan fungsi
instruksional itu secara jelas dan benar.
b. Mengenal dan dapat menggunakan proses intruksional yang tepat
Guru yang akan mengajar biasanya
menyiapkan segala sesuatunya secara tertulis dalam suatu persiapan mengajar,
prosedur atau langkah-langkah yang harus ditempuh dalam kegiatan
belajar-mengajar. Guru harus dapat menggunakan dan memenuhi langkah-langkah
dalam kegiatan belajar-mengajar itu. Sebagai contoh setelah merumuskan fungsi,
kemudian mengembangkan alat evaluasi, merumuskan kegiatan belajar dan begitu
seterusnya sampai tahap pelaksanaan. Untuk itu semua perlu didesain.
c. Melaksanakan program belajar mengajar
Dalam hal ini guru berturut-turut
melakukan kegiatan pretest,
menyampaikan materi pelajaran, mengadakan post-test
dan perbaikan. Dalam kegiatan penyampaian materi guru perlu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1) menyampaikan materi dan pelajaran dengan tepat dan jelas.
2) pertanyaan yang dilontarkan cukup merangsang untuk berpikir, mendidik
dan mengenai sasaran.
3) memberi kesempatan atau menciptakan kondisi yang dapat memunculkan
pertanyaan dari siswa.
4) terlihat adanya variasi dalam pemberian materi dan kegiatan.
5) guru selalu memerhatikan reaksi atau tanggapan yang berkembang pada diri
siswa baik verbal maupun nonverbal.
6) memberikan pujian atau penghargaan bagi jawaban-jawaban yang tepat bagi
siswa dan sebaliknya mengarahkan jawaban yang kurang tepat.
d. Mengenal kemampuan anak didik
Dalam mengelola program belajar
mengajar, guru perlu mengenal kemampuan anak didik. Sebab bagaimanapun juga
setiap anak didik memiliki perbedaan-perbedaan karakteristik tersendiri,
termasuk kemampuannya. Dengan demikian, dalam suatu kelas akan terdapat
bermacam-macam kemampuan. Hal ini perlu dipahami oleh guru agar dapat mengelola
program belajar-mengajar dengan tepat.
e. Merencanakan dan melaksanakan program remidial
Dalam suatu proses belajar
mengajar tentu saja dikandung suatu harapan agar seluruh atau setidak-tidaknya
sebagian besar siswa dapat berhasil dengan baik. Namun kenyataannya sering tidak
demikian. Salah satu usaha untuk mencapai hal itu adalah dengan pengembangan
prinsip belajar tuntas atau mastery
learning. Belajar tuntas adalah suatu sistem belajar yang mengharapkan
sebagian besar siswa dapat menguasai fungsi instruksional umum (basic learning objectives) dari suatu
satuan atau unit pelajaran secara tuntas. Untuk dianggap tuntas diperlukan
standar norma atau ketentuan yang tertentu. Misalnya dalam sistem pengajaran
modul, ditetapkan bahwa 85% dari populasi siswa harus menguasai sekurang-kurangnya
75% dari fungsi-fungsi instruksional yang akan dicapai. Apabila standar norma
itu sudah dipenuhi, maka modul dapat beralih ke nomor berikutnya.
Untuk menguasai (mastery) suatu bahan/materi pelajaran
diperlukan waktu yang berbeda-beda bagi setiap siswa. Apabila waktu yang
disediakan cukup dan pelayanannya tepat, setiap siswa akan mampu menguasai
bahan/materi pelajaran yang diberikan kepadanya. Pemikiran inilah yang
mendasari adanya program remidial; yaitu suatu kegiatan perbaikan bagi siswa
yang belum berhasil dalam belajarnya (belum mastery).
Dalam suatu proses belajar mengajar yang ideal akan mengandung dua macam
kegiatan yaitu, pengayaan bagi siswa yang sudah berhasil menguasai suatu satuan
atau unit pelajaran di satu pihak, dan perbaikan bagi yang belum berhasil di
lain pihak.
Kegiatan perbaikan biasanya
dilaksanakan pada saat‑saat setelah diadakan evaluasi. Evaluasi itu sendiri
dapat dilaksanakan pada:
1) awal serangkaian pelajaran atau sebelum pelajaran dimulai (berupa tes
prasyarat, tes diagnostik, atau pre test).
2) bagian akhir pada serangkaian pelajaran atau suatu pelajaran pokok (post test).
3) saat setelah suatu ujian yang terdiri dari beberapa satuan pelajaran
selesai atau pada akhir suatu catur wulan/ semester (berupa tes unit atau tes
sumatif).
Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam kegiatan perbaikan, ialah:
a) sifat kegiatan perbaikan.
b) jumlah siswa yang memerlukan.
c) tempat untuk memberikan.
d) waktu untuk diselenggarakan.
e) orang yang harus memberikan.
f) metode yang digunakan.
g) sarana atau alat yang dipergunakan.
h) tingkat kesulitan belajar siswa.
Langkah-langkah yang ditempuh
dalam memecahkan kesulitan belajar secara umum ialah sebagai berikut:
(1) Diagnose, meliputi:
(a) identifikasi kasus.
(b) lokalisasi jenis dan sifat kesulitan.
(c) menetapkan faktor penyebab kesulitan.
(2) Prognose, yaitu mengadakan estimasi tentang
kesulitan.
(3) Terapi, yaitu menemukan berbagai
kemungkinan dalam rangka penyembuhan kesulitan.
3. Mengelola kelas
Untuk mengajar suatu kelas, guru
dituntut mampu mengelola kelas, yakni menyediakan kondisi yang kondusif untuk
berlangsungnya proses belajar mengajar. Kalau belum kondusif, guru harus
berusaha seoptimal mungkin untuk membenahinya. Oleh karena itu, kegiatan
mengelola kelas akan menyangkut “mengatur tata ruang kelas yang memadai untuk
pengajaran” dan “menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi”.
Mengatur tata ruang kelas
maksudnya guru harus dapat mendesain dan mengatur ruang kelas sedemikian rupa
sehingga guru dan anak didik itu kreatif, Misalnya bagaimana mengatur meja dan
tempat duduk, menempatkan papan tulis, tempat meja guru, bahkan bagaimana pula
harus mengatur hiasan di dalam ruangan kelas. Di samping itu semua, kelas
harus selalu dalam keadaan bersih.
Kemudian yang berkaitan dengan
menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi, maksudnya guru harus mampu
menangani dan mengarahkan tingkah laku anak didiknya agar tidak merusak suasana
kelas. Kalau sekiranya terdapat tingkah laku anak didik yang kurang serasi,
misalnya nakal, mengantuk atau mengganggu teman lain, guru harus dapat
mengambil tindakan yang tepat, menghentikan tingkah laku anak tadi, kemudian
mengarahkan kepada yang lebih produktif. Dalam hal ini secara konkret ada
beberapa langkah yang dapat diambil oleh guru, yakni:
a. langkah-langkah siswa yang sudah sesuai dengan fungsi perlu dikembangkan
dengan memberi dukungan yang positif.
b. guru mengambil tindakan yang tepat bila siswa menyimpang dari tugas.
c. sikap siswa yang keras ditanggapi dengan memadai dan tenang.
d. guru harus selalu memperhatikan dan memperhitungkan reaksi-reaksi yang
tidak diharapkan.
4. Menggunakan media/sumber
Berikut ini adalah beberapa
langkah yang perlu diperhatikan oleh guru dalam menggunakan media, yaitu:
a. mengenal, memilih dan menggunakan sesuatu media. Hal ini perlu selektif,
karena dalam menggunakan sesuatu media itu juga harus mempertimbangkan
komponen-komponen yang lain dalam proses belajar mengajar, misalnya apa materi
dan bagaimana metodenya.
b. membuat alat-alat bantu pelajaran yang sederhana. Maksudnya agar mudah
didapat dan tidak menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda.
c. menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar
mengajar. Misalnya untuk kegiatan penelitian, eksperimen, dan lain-lain.
d. menggunakan buku pegangan/buku sumber. Buku sumber perlu lebih dari satu
kemudian ditambah buku-buku lain yang menunjang.
e. menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar. Bahkan dalam hal
ini guru juga dituntut dapat mengelola perpustakaan agar dapat memberikan
kemudahan bagi anak didiknya.
f. menggunakan unit microteaching
dalam program pengalaman lapangan. Hal ini menempati posisi yang cukup
strategis.
5. Menguasai landasan-landasan kependidikan
Pendidikan adalah serangkaian
usaha untuk pengembangan bangsa. Pengembangan bangsa itu akan dapat diwujudkan
secara nyata dengan usaha menciptakan ketahanan nasional dalam rangka mencapai
cita-cita bangsa. Mengingat hal itu, maka sistim pendidikan akan diarahkan
kepada perwujudan keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara pengembangan
kuantitas dan pengembangan kualitas serta antara aspek lahiriah dan aspek
rohaniah. Itulah sebabnya pendidikan nasional kita dirumuskan sebagai usaha
sadar untuk membangun manusia Indonesia
seutuhnya.
Dalam pelaksanaannya rumusan yang
telah ditetapkan dalam GBHN dan sekaligus telah memberikan arah itu akan
dijabarkan, melalui berbagai kebijakan pendidikan di bidang pendidikan yang
dalam hal ini ditangani Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pemerintah menetapkan
berbagai kebijaksanaan yang akan melandasi dan memedomani
langkah-langkah/proses pendidikan di berbagai lembaga pendidikan, termasuk
kegiatan guru.
Dengan demikian jelas, guru
sebagai salah satu unsur manusiawi dalam kegiatan pendidikan harus memahami
hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan nasional baik dasar, arah/fungsi dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pelaksanaannya seperti telah diuraikan di atas.
Dengan memahami itu semua guru akan memiliki landasan berpijak dan keyakinan
yang mendorong cara berpikir dan bertindak edukatif di setiap situasi dalam
usaha mengelola interaksi belajar mengajar. Tindakan edukatif itu didasari
oleh satu konsep bahwa manusia pada hakikatnya berhak menerima pendidikan.
Melalui pendidikan inilah akan diciptakan a
fully function person, manusia yang berperan secara komprehensif, manusia
seutuhnya atau manusia yang selaras, serasi dan seimbang dalam pengembangan
jasmani maupun rohani. Konsep ini harus selalu memotivasi guru dalam kegiatan
mengelola proses belajar mengajar.
6. Mengelola interaksi belajar mengajar
Di dalam proses belajar mengajar,
kegiatan interaksi antara guru dan siswa merupakan kegiatan yang cukup dominan.
Kemudian di dalam kegiatan interaksi antara guru dan siswa senantiasa menuntut
komponen yang serasi antara komponen yang satu dengan yang lain. Serasi dalam
hal ini berarti komponen-komponen yang ada pada kegiatan proses belajar
mengajar itu akan saling menyesuaikan dalam rangka mendukung pencapaian fungsi
belajar bagi anak didik. Jelasnya, proses interaksi antara guru dan siswa tidak
semata-mata hanya tergantung cara atau metode yang dipakai, tetapi
komponen-komponen yang lain juga akan mempengaruhi keberhasilan interaksi
belajar mengajar tersebut.
Ada beberapa komponen dalam
interaksi belajar mengajar. Komponen-komponen itu misalnya guru, siswa, metode,
alat/teknologi, sarana, dan fungsi. Untuk mencapai fungsi instruksional,
masing-masing komponen itu akan saling merespon dan mempengaruhi antara yang
satu dengan yang lain. Sehingga tugas guru adalah bagaimana harus mendesain
dari masing-masing komponen agar menciptakan proses belajar mengajar yang lebih
optimal. Dengan demikian guru selanjutnya akan dapat mengembangkan interaksi
belajar mengajar yang lebih dinamis untuk mencapai fungsi yang diharapkan.
7. Menilai prestasi siswa untuk kepentingan
pengajaran
Selanjutnya untuk memperlancar
kegiatan pengelolaan interaksi belajar mengajar, masih juga diperlukan
kegiatan sarana-sarana pendukung yang lain, termasuk antara lain mengetahui
prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran. Setiap siswa itu pada hakikatnya
memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan semacam
ini dapat membawa akibat perbedaan-perbedaan pada kegiatan yang lain, misalnya
soal kreativitas, gaya
belajar bahkan juga dapat membawa akibat perbedaan dalam hal prestasi belajar
siswa. Persoalan ini perlu diketahui oleh guru. Sehingga dapat mengambil
tindakan-tindakan instruksional yang lebih tepat dan memadai.
Berkaitan dengan hal tersebut,
maka salah satunya guru harus mampu menilai prestasi siswa untuk kepentingan
pengajaran. Dengan mengetahui prestasi belajar siswa, apalagi secara
individual, seperti telah disinggung di atas, guru akan dapat mengambil
langkah-langkah instruksional yang konstruktif. Bagi guru yang bijaksana dan
memahami karakteristik siswa akan menciptakan kegiatan belajar mengajar yang lebih
bervariasi serta akan memberikan kegiatan belajar yang berbeda antara siswa
yang berprestasi tinggi dengan siswa yang berprestasi rendah. Sebagai contoh
ada langkah pengayaan bagi siswa yang berprestasi tinggi dan akan mencarikan
kegiatan belajar tertentu bagi siswa yang berprestasi rendah seperti remidi dan kegiatan-kegiatan lain yang
dapat meningkatkan prestasi siswa.
[3] M.
Nasir, Kajian Sederhana terhadap Gelar
Pemberian Ummat, (online), 18 April (2008), http://www.waspada.co.id/index.
[4] Ode
Abdurrachman, Profesionalisasi Ulama, (online),
7 April (2006), http://info
lepas.blogspot.com.
[5] Ibid.,
hal. 3.
[7]
Agus Pahrudin, Guru dalam Perspektif
Pendidikan Islam,(online), 24 Desember (2004), http://guruperspektif.htm
[9]Miftahul
Huda, Konsep Pendidikan Islam, (online), 2 Desember (2008), http://drmiftahulhudauin.multiply.com
[15]
Sardiman, A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar
Mengajar, Cet. XII, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 126.
[16] Ibid., hal. 127-132.
[18]Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
(Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995). hal. 61.
[19] Hasan Langgulung, Manusia dan
Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Fikra, 1995), hal, 59.
[21] Warul Walidin dkk, Peranan Ulama
Dalam Pelaksanaan Syariat Islam Diprovinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (Pemerintah di provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam: Cahaya Ilmu, 2006), hal. 18.
[23]
Zakiah Deradjat, Ilmu Pendidikan Islam,
Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 30-32.
[26]
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran
Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya,
(Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal. 173.
[27]
Saefuddin AM, Desekularisasi Pemikiran:
Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 130.