Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kompetensi Pendidik Menentukan Keberhasilan Pendidikan Islam


A.    Kompetensi Pendidik Menentukan Keberhasilan Pendidikan Islam   

Untuk menjadi pendidik yang profesional tidaklah mudah, karena ia harus memiliki berbagai kompetensi-kompetensi keguruan. Kompetensi dasar (basic competency) bagi pendidik ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot potensi dasar dan kecenderungan yang dimilikinya,  karena potensi itu merupakan tempat dan bahan untuk memproses semua pandangan sebagai bahan untuk menjawab semua rangsangan yang datang darinya. Potensi dasar ini adalah milik individu sebagai hasil dari proses yang tumbuh karena adanya anugerah dan inayah dari Allah Swt.[1]
W. Robert Houston mendefinisikan kompetensi dengan “competence ordinarily is defined as adequacy for a task or as possessi on of require knowledge, skill and abilities” (suatu tugas yang dituntut oleh jabatan seseorang).[2] Definisi ini mengandung arti bahwa calon pendidik perlu mempersiapkan diri untuk menguasai sejumlah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan khusus yang terkait dengan profesi keguruannya, agar ia dapat menjalankan tugasnya dengan baik, serta dapat memenuhi keinginan dan harapan peserta didiknya.
Di samping itu, ia mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang diajarkan, sebagai penganut Islam yang patut dicontoh dalam ajaran Islam dan bersedia menularkan pengetahuan dan nilai Islam pada pihak lain.
Untuk mengenal posisi profesional pendidik, ada baikya kita lihat stratifikasi tenaga kerja. Secara sederhana, tenaga kerja dapat distratifikasikan ke dalam empat macam, yaitu pekerja terampil, teknisi terampil, teknisi ahli, dan elit profesional. Pekerja terampil disiapkan untuk terampil melaksanakan tugas yang sifatnya operasional dan tidak banyak membutuhkan pemikiran, karena sifatnya teknis-mekanistik. Teknisi terampil memiliki pengetahuan dasar teori, sehingga sedikit banyak memiliki wawasan dasar dari pelaksanaan tugasnya. Teknisi ahli mampu menjelaskan dan mempertanggung jawabkan alternatif atau putusan yang dipilih, sedangkan elit profesional memiliki kemampuan lebih dari teknisi ahli.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa pendidik Islam yang profesional harus memiliki kompetensi-kompetensi yang lengkap, meliputi: Pertama, penguasaan materi al-Islam yang kompre­hensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang­-bidang yang menjadi tugasnya. Kedua, penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode, dan teknik) pendidikan Islam, termasuk kemampuan evaluasinya. Ketiga, pengusaan ilmu dan wawasan kependidikan. Keempat, memahami prinsip-prinsip dalam menafsirkan hasil penelitian pendidikan, guna keperluan pengembangan pendidikan Islam masa depan. Kelima, memiliki kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya.
Dari hasil telaah tersebut, dapat diformulasikan asumsi yang melandasi keberhasilan pendidik, yakni: “pendidik akan berhasil menjalankan tugasnya apabila mempunyai kompetensi personal-religious, social-religious dan profesional-religious”.[3] Kata religious selalu dikaitkan dengan tiap-tiap kompetensi, karena menunjukkan adanya komitmen pendidik dengan ajaran Islam sebagai kriteria utama, sehingga segala masalah pendidikan dihadapi, dipertimbang­kan dan dipecahkan, serta ditempatkan dalam perspektif Islam.
1.     Kompetensi personal-religious
Kemampuan dasar (kompetensi) yang pertama bagi pendidik adalah menyangkut kepribadian agamis, artinya pada dirinya melekat nilai-nilai lebih yang hendak ditransinternalisasikan kepada peserta didiknya. Misalnya nilai kejujuran, amanah, keadilan, kecerdasan, tanggung jawab, musyawarah, kebersihan, keindahan, kedisiplinan, ketertiban dan sebagainya. Nilai tersebut perlu dimiliki pendidik sehingga akan terjadi transinternalisasi (pemindahan penghayatan nilai-nilai) antara pendidik dan peserta didik, baik langsung maupun tidak langsung, atau setidak-tidaknya terjadi transaksi (alih tindakan) antara keduanya.
2.     Kompetensi social-religious
Kemampuan dasar kedua bagi pendidik adalah menyangkut kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran dakwah Islam. Sikap gotong-royong, tolong-menolong, egalitarian (persamaan derajat antara manusia), sikap toleransi dan sebagainya juga perlu dimiliki oleh pendidik muslim Islam dalam rangka transinternalisasi sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan peserta-peserta didik.
3.     Kompetensi profesional-religious
Kemampuan dasar ketiga ini menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugas keguruannya secara profesional, dalam arti mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggung jawabkan berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.
Dalam versi yang-berbeda, kompetensi pendidik dapat dijabar­kan dalam beberapa kompetensi sebagai berikut: Pertama, mengetahui hal-hal yang perlu diajarkan, sehingga ia harus belajar dan mencari informasi tentang materi yang diajarkan. Kedua, menguasai keseluruhan bahan materi yang akan disampaikan pada peserta didiknya. Ketiga, mempunyai kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan menghubungkannya dengan konteks komponen-komponen lain secara keseluruhan melalui pola yang diberikan Islam tentang bagaimana cara berpikir (way of thinking) dan cara hidup (way of life) yang perlu dikembangkan melalui proses edukasi. Keempat, mengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah didapat sebelum disajikan pada peserta didiknya. Kelima, mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan. Keenam, memberi hadiah (tabsyir/reward) atau hukuman sesuai dengan usaha dan upaya dicapai peserta didik dalam rangka memberikan persuasi dan motivasi dalam proses belajar. Kompetensi pendidik yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan uswah hasanah dan meningkatkan kualitas dan profesionalitasnya yang mengacu pada masa depan tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan, misalnya gaji, pangkat, kesehatan, kepada peserta didik dan lingkungannya.[4]
Guru sebagai tenaga profesional di bidang kependidikan, di samping memahami hal-hal yang bersifat filosofis dan konsep­tual, juga harus mengetahui dan melaksanakan hal-hal yang bersifat teknis. Hal-hal yang bersifat teknis ini, terutama kegiatan mengelola dan melaksanakan interaksi belajar-mengajar. Di dalam kegiatan mengelola interaksi belajar mengajar, guru paling tidak harus memiliki dua modal dasar, yakni kemampuan mendesain program dan keterampilan mengomunikasikan program itu kepada anak didik. Dua modal ini telah terumuskan di dalam sepuluh kompetensi guru, dan memang mengelola interaksi belajar mengajar itu sendiri merupakan salah satu kemampuan dari sepuluh kompetensi guru. Sehubungan dengan itu, maka pada pembahasan tentang pengelolaan interaksi belajar mengajar berikut ini akan diuraikan “sepuluh kompetensi guru” sebagai sumber dan dasar umum atau sarana pendukung serta microteaching sebagai program latihan dan “beberapa komponen keterampilan mengajar” sebagai kegiatan pelaksa­naan interaksi belajar-mengajar.
Dalam pendidikan guru dikenal adanya “Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi”. Mengenai kompetensi guru ini, ada berbagai model cara mengklasifikasikannya. Untuk program S1 salah ­satunya dikenal adanya “sepuluh kompetensi guru” yang merupa­kan profil kemampuan dasar bagi seorang guru. Sepuluh kompetensi guru itu meliputi: menguasai bahan, mengelola program belajar mengajar, mengelola kelas, menggunakan media/sumber, menguasai landasan kependidikan, mengelola interaksi belajar­ mengajar, menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluh­an, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah serta memahami prinsip-prinsip dan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. [5]
1.     Menguasai bahan
Sebelum guru itu tampil di depan kelas untuk mengelola interaksi belajar mengajar, terlebih dahulu harus sudah mengua­sai bahan apa yang dikontakkan dan sekaligus bahan-bahan apa yang dapat mendukung jalannya proses belajar mengajar. Dengan modal penguasaan bahan, guru akan dapat menyampaikan materi pelajaran secara dinamis. Dalam hal ini yang dimaksud “mengua­sai bahan” bagi seorang guru, akan mengandung dua lingkup penguasaan materi, yakni:
a.      bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah.
b.     menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
Menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah, yang dimaksudkan dalam hal ini guru harus menguasai bahan se­suai dengan materi atau cabang ilmu pengetahuan yang dipegang­nya, sesuai dengan yang tertera dalam kurikulum sekolah. Seba­gai contoh: Akidah Akhlak, Sejarah Islam, Geografi, Figh Islam, Biologi dan seterusnya. Kemudian agar dapat menyampaikan materi itu lebih mantap dan dinamis, guru juga harus menguasai bahan pelajaran lain yang dapat memberi pengayaan serta memperjelas dari bahan-bahan bidang studi yang dipegang guru tersebut. Misalnya untuk mengajar bidang studi Figh Islam, guru juga harus menguasai bahan-bahan yang lain seperti Sejarah Islam dan Akidah Akhlak. Bahkan kalau kita lihat secara makro, guru tidak cukup itu. Guru harus juga menguasai materi-materi yang lain, misalnya yang berkaitan dengan PBM.
2.     Mengelola program belajar-mengajar
Guru yang kompeten, juga harus mampu mengelola prog­ram belajar-mengajar. Dalam hal ini ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh guru. Langkah-langkah itu adalah sebagai berikut:
a.      Merumuskan tujuan instruksional/pembelajaran
Sebelum mulai mengajar, guru perlu merumuskan tujuan yang akan dicapai. Tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran ini penting karena dapat dijadikan pedoman atau petunjuk praktis tentang sejauhmana kegiatan belajar mengajar itu harus dibawa. Dengan perumusan tujuan ins­truksional secara benar akan dapat memberikan pedoman atau arah bagi siswa atau warga belajar dalam menyele­saikan materi kegiatan belajarnya. Tujuan instruksional akan senantiasa menjadi hasil atau perubahan tingkah laku, kemampuan dan keterampilan yang diperoleh setelah siswa mengikuti kegiatan belajar. Oleh karena itu, tugas guru harus dapat merumuskan tujuan instruksional itu secara jelas dan benar.
b.     Mengenal dan dapat menggunakan proses intruksional yang tepat
Guru yang akan mengajar biasanya menyiapkan segala se­suatunya secara tertulis dalam suatu persiapan mengajar, prosedur atau langkah-langkah yang harus ditempuh dalam kegiatan belajar-mengajar. Guru harus dapat meng­gunakan dan memenuhi langkah-langkah dalam kegiatan belajar-mengajar itu. Sebagai contoh setelah merumuskan tujuan, kemudian mengembangkan alat evaluasi, merumuskan kegiatan belajar dan begitu seterusnya sampai tahap pelaksanaan. Untuk itu semua perlu didesain.
c.      Melaksanakan program belajar mengajar
Dalam hal ini guru berturut-turut melakukan kegiatan pretest, menyampaikan materi pelajaran, mengadakan post-test dan perbaikan. Dalam kegiatan penyampaian materi guru perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, menyampaikan materi dan pelajaran dengan tepat dan jelas. Kedua, pertanyaan yang dilontarkan cukup merangsang untuk berpikir, mendidik dan mengenai sasaran. Ketiga, memberi kesempatan atau menciptakan kondisi yang dapat memunculkan pertanyaan dari siswa. Keempat, terlihat adanya variasi dalam pemberian materi dan ke­giatan. Kelima, guru selalu memerhatikan reaksi atau tanggapan yang berkembang pada diri siswa baik verbal maupun non­verbal. Keenam, memberikan pujian atau penghargaan bagi jawaban-­jawaban yang tepat bagi siswa dan sebaliknya menga­rahkan jawaban yang kurang tepat.

d.     Mengenal kemampuan anak didik
Dalam mengelola program belajar mengajar, guru perlu me­ngenal kemampuan anak didik. Sebab bagaimanapun juga setiap anak didik memiliki perbedaan-perbedaan karakteris­tik tersendiri, termasuk kemampuannya. Dengan demikian, dalam suatu kelas akan terdapat bermacam-macam kemampuan. Hal ini perlu dipahami oleh guru agar dapat mengelola program belajar-mengajar dengan tepat.
e.    Merencanakan dan melaksanakan program remidial
Dalam suatu proses belajar mengajar tentu saja dikandung suatu harapan agar seluruh atau setidak-tidaknya sebagian besar siswa dapat berhasil dengan baik. Namun kenyataan­nya sering tidak demikian. Salah satu usaha untuk mencapai hal itu adalah dengan pengembangan prinsip belajar tuntas atau mastery learning. Belajar tuntas adalah suatu sistem be­lajar yang mengharapkan sebagian besar siswa dapat me­nguasai tujuan instruksional umum (basic learning objectives) dari suatu satuan atau unit pelajaran secara tuntas. Untuk dianggap tuntas diperlukan standar norma atau ketentuan yang tertentu. Misalnya dalam sistem pengajaran modul, di­tetapkan bahwa 85% dari populasi siswa harus menguasai sekurang-kurangnya 75% dari tujuan-tujuan instruksional yang akan dicapai. Apabila standar norma itu sudah dipenu­hi, maka modul dapat beralih ke nomor berikutnya.
Untuk menguasai (mastery) suatu bahan/materi pela­jaran diperlukan waktu yang berbeda-beda bagi setiap siswa. Apabila waktu yang disediakan cukup dan pelayanannya tepat, setiap siswa akan mampu menguasai bahan/materi pelajaran yang diberikan kepadanya. Pemikiran inilah yang mendasari adanya program remidial; yaitu suatu kegiatan perbaikan bagi siswa yang belum berhasil dalam belajarnya (belum mastery). Dalam suatu proses belajar mengajar yang ideal akan mengandung dua macam kegiatan yaitu, pengayaan bagi siswa yang sudah berhasil menguasai suatu satuan atau unit pelajaran di satu pihak, dan perbaikan bagi yang belum berhasil di lain pihak.
Kegiatan perbaikan biasanya dilaksanakan pada saat‑saat setelah diadakan evaluasi. Evaluasi itu sendiri dapat dilaksanakan pada:
Pertama, awal serangkaian pelajaran atau sebelum pelajaran dimulai (berupa tes prasyarat, tes diagnostik, atau pre test). Kedua, bagian akhir pada serangkaian pelajaran atau suatu pe­lajaran pokok (post test). Ketiga, saat setelah suatu ujian yang terdiri dari beberapa satu­an pelajaran selesai atau pada akhir suatu catur wulan/ semester (berupa tes unit atau tes sumatif).

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam kegiatan perbaikan, ialah:
Pertama, sifat kegiatan perbaikan. Kedua, jumlah siswa yang memerlukan. Ketiga, tempat untuk memberikan. Keempat, waktu untuk diselenggarakan. Kelima, orang yang harus memberikan. Keenam, metode yang digunakan. Ketujuh, sarana atau alat yang dipergunakan. Kedelapan, tingkat kesulitan belajar siswa.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam memecahkan kesulitan belajar secara umum ialah sebagai berikut:

Pertama, Diagnose, meliputi: identifikasi kasus, lokalisasi jenis dan sifat kesulitan, menetapkan faktor penyebab kesulitan. Kedua, Prognose, yaitu mengadakan estimasi tentang kesulitan. Ketiga, Terapi, yaitu menemukan berbagai kemungkinan dalam rangka penyembuhan kesulitan.

3.     Mengelola kelas
Untuk mengajar suatu kelas, guru dituntut mampu menge­lola kelas, yakni menyediakan kondisi yang kondusif untuk ber­langsungnya proses belajar mengajar. Kalau belum kondusif, guru harus berusaha seoptimal mungkin untuk membenahinya. Oleh karena itu, kegiatan mengelola kelas akan menyangkut “mengatur tata ruang kelas yang memadai untuk pengajaran” dan “menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi”.
Mengatur tata ruang kelas maksudnya guru harus dapat men­desain dan mengatur ruang kelas sedemikian rupa sehingga guru dan anak didik itu kreatif, Misalnya bagaimana mengatur meja dan tempat duduk, menempatkan papan tulis, tempat meja guru, bahkan bagaimana pula harus meng­atur hiasan di dalam ruangan kelas. Di samping itu semua, kelas harus selalu dalam keadaan bersih.
Kemudian yang berkaitan dengan menciptakan iklim belajar­ mengajar yang serasi, maksudnya guru harus mampu menangani dan mengarahkan tingkah laku anak didiknya agar tidak merusak suasana kelas. Kalau sekiranya terdapat tingkah laku anak didik yang kurang serasi, misalnya nakal, mengantuk atau meng­ganggu teman lain, guru harus dapat mengambil tindakan yang tepat, menghentikan tingkah laku anak tadi, kemudian mengarah­kan kepada yang lebih produktif. Dalam hal ini secara konkret ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh guru, yakni:
a.      langkah-langkah siswa yang sudah sesuai dengan tujuan perlu dikembangkan dengan memberi dukungan yang positif.
b.     guru mengambil tindakan yang tepat bila siswa menyim­pang dari tugas.
c.      sikap siswa yang keras ditanggapi dengan memadai dan tenang.
d.     guru harus selalu memperhatikan dan memperhitungkan reaksi-reaksi yang tidak diharapkan.
4.     Menggunakan media/sumber
Berikut ini adalah beberapa langkah yang perlu diperhatikan oleh guru dalam menggunakan media, yaitu:
Pertama, mengenal, memilih dan menggunakan sesuatu media. Hal ini perlu selektif, karena dalam menggunakan sesuatu media itu juga harus mempertimbangkan komponen-kom­ponen yang lain dalam proses belajar mengajar, misalnya apa materi dan bagaimana metodenya. Kedua, membuat alat-alat bantu pelajaran yang sederhana. Maksud­nya agar mudah didapat dan tidak menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda. Ketiga, menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar mengajar. Misalnya untuk kegiatan penelitian, eksperimen, dan lain-lain. Keempat, menggunakan buku pegangan/buku sumber. Buku sumber perlu lebih dari satu kemudian ditambah buku-buku lain yang menunjang. Kelima, menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar. Bahkan dalam hal ini guru juga dituntut dapat mengelola perpustakaan agar dapat memberikan kemudahan bagi anak didiknya. Keenam, menggunakan unit microteaching dalam program pengalam­an lapangan. Hal ini menempati posisi yang cukup strategis.

5.     Menguasai landasan-landasan kependidikan
Pendidikan adalah serangkaian usaha untuk pengembangan bangsa. Pengembangan bangsa itu akan dapat diwujudkan secara nyata dengan usaha menciptakan ketahanan nasional dalam rang­ka mencapai cita-cita bangsa. Mengingat hal itu, maka sistim pendidikan akan diarahkan kepada perwujudan keselarasan, ke­seimbangan dan keserasian antara pengembangan kuantitas dan pengembangan kualitas serta antara aspek lahiriah dan aspek rohaniah. Itulah sebabnya pendidikan nasional kita dirumuskan sebagai usaha sadar untuk membangun manusia Indonesia se­utuhnya.
Dalam pelaksanaannya rumusan yang telah ditetapkan dalam GBHN dan sekaligus telah mem­berikan arah itu akan dijabarkan, melalui berbagai kebijakan pendidikan di bidang pendidikan yang dalam hal ini ditangani Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pemerintah mene­tapkan berbagai kebijaksanaan yang akan melandasi dan memedomani langkah-langkah/proses pendidikan di berbagai lembaga pendidikan, termasuk kegiatan guru.
Dengan demikian jelas, guru sebagai salah satu unsur manusiawi dalam kegiatan pendidikan harus memahami hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan nasional baik dasar, arah/tujuan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pelaksanaannya seperti telah diuraikan di atas. Dengan memahami itu semua guru akan memiliki landasan berpijak dan keyakinan yang mendorong cara berpikir dan bertindak edukatif di setiap situasi dalam usaha mengelola interaksi belajar mengajar. Tindakan edukatif itu di­dasari oleh satu konsep bahwa manusia pada hakikatnya berhak menerima pendidikan. Melalui pendidikan inilah akan dicipta­kan a fully function person, manusia yang berperan secara komprehensif, manusia seutuhnya atau manusia yang selaras, serasi dan seimbang dalam pengembangan jasmani maupun rohani. Konsep ini harus selalu memotivasi guru dalam ke­giatan mengelola proses belajar mengajar.
6.     Mengelola interaksi belajar mengajar
Lima kompetensi sebagaimana telah diuraikan di atas, ada­lah dasar dan sarana pendukung bagi guru dalam melakukan kegiatan interaksi belajar mengajar. Agar mampu mengelola interaksi belajar mengajar, guru harus menguasai bahan/materi, mampu mendesain program belajar mengajar, mampu men­ciptakan kondisi kelas yang kondusif, terampil memanfaatkan media dan memilih sumber serta memahami landasan-landasan pendidikan sebagai dasar bertindak.
Di dalam proses belajar mengajar, kegiatan interaksi antara guru dan siswa merupakan kegiatan yang cukup dominan. Ke­mudian di dalam kegiatan interaksi antara guru dan siswa senantiasa menuntut komponen yang serasi antara komponen yang satu dengan yang lain. Serasi dalam hal ini berarti komponen-komponen yang ada pada kegiatan proses belajar mengajar itu akan saling menyesuaikan dalam rangka mendukung pencapaian tujuan belajar bagi anak didik. Jelasnya, proses interaksi antara guru dan siswa tidak semata-mata hanya tergantung cara atau metode yang dipakai, tetapi komponen-komponen yang lain juga akan mempengaruhi keber­hasilan interaksi belajar mengajar tersebut.
Ada beberapa komponen dalam interaksi belajar mengajar. Komponen-komponen itu misalnya guru, siswa, metode, alat/teknologi, sarana, dan tujuan. Untuk mencapai tujuan instruksional, masing-masing komponen itu akan saling merespon dan me­mpengaruhi antara yang satu dengan yang lain. Sehingga tugas guru adalah bagaimana harus mendesain dari masing-masing komponen agar menciptakan proses belajar mengajar yang lebih optimal. Dengan demikian guru selanjutnya akan dapat mengembangkan interaksi belajar mengajar yang lebih dinamis untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
7.     Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran
Selanjutnya untuk memperlancar kegiatan pengelolaan in­teraksi belajar mengajar, masih juga diperlukan kegiatan sarana-­sarana pendukung yang lain, termasuk antara lain mengetahui prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran. Setiap siswa itu pada hakikatnya memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan semacam ini dapat membawa akibat perbedaan-perbedaan pada kegiatan yang lain, misalnya soal kreativitas, gaya belajar bahkan juga dapat membawa akibat perbedaan dalam hal prestasi belajar siswa. Persoalan ini perlu diketahui oleh guru. Sehingga dapat mengambil tindakan­-tindakan instruksional yang lebih tepat dan memadai.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka salah satunya guru harus mampu menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran. Dengan mengetahui prestasi belajar siswa, apalagi secara individual, seperti telah disinggung di atas, guru akan dapat mengambil langkah-langkah instruksional yang konstruktif. Bagi guru yang bijaksana dan memahami karakteristik siswa akan menciptakan kegiatan belajar mengajar yang lebih bervariasi serta akan memberikan kegiatan belajar yang berbeda antara siswa yang berprestasi tinggi dengan siswa yang berprestasi rendah. Sebagai contoh ada langkah pengayaan bagi siswa yang berprestasi tinggi dan akan mencarikan kegiatan belajar tertentu bagi siswa yang berprestasi rendah seperti remidi dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat meningkatkan prestasi siswa.
Dalam hal ini secara konkret guru mengambil langkah-lang­kah sebagai berikut:
a.      Mengumpulkan data hasil belajar siswa. Dapat dilakukan ketika:
1)     Setiap kali ada usaha mengevaluasi selama pelajaran berlangsung.
2)     Pada akhir pelajaran.
b.     Menganalisis data hasil belajar siswa. Dengan langkah ini guru akan mengetahui:
1)     siswa yang menemukan pola-pola belajar yang lain.
2)     berhasil atau tidaknya siswa dalam belajar.
c.      Menggunakan data hasil belajar siswa. Dalam hal ini me­nyangkut:
1)     lahirnya feed back untuk masing-masing siswa dan ini perlu diketahui oleh guru.
2)     adanya feed back itu maka guru akan menganalisis dengan tepat follow up atau kegiatan-kegiatan beri­kutnya.
8.     Mengenal fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan di sekolah
Dalam tugas dan peranannya di sekolah guru juga sebagai pembimbing ataupun konselor/penyuluh. Itulah sebabnya guru harus mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan pe­nyuluhan di sekolah serta harus menyelenggarakan program laya­nan bimbingan di sekolah, agar kegiatan interaksi belajar menga­jarnya bersama para siswa menjadi lebih tepat dan produktif.
Bimbingan dan penyuluhan terdiri dua kata (“bimbingan” dan “penyuluhan”) yang masing-masing memiliki makna tersendiri yang cukup mendasar, walaupun operasionalnya masing-masing saling berkaitan sangat erat. Bimbingan merupakan bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada orang lain agar orang itu berdasarkan kemampuan intelegensinya mampu mengadakan penyesuaian diri yang layak, dapat memperkembangkan kemampuan mengadakan keputusan-ke­putusan sendiri dan mengarahkan jalan hidupnya. Diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, tampaknya bim­bingan akan lebih efektif dan efisien kalau dipadukan dan melalui kegiatan konseling. Konseling dalam hal ini diartikan sebagai, suatu hubungan dinamis yang bersifat pribadi antardua orang yang bersama-sama mendekati suatu permasalahan yang telah didefinisikan bersama. Itulah sebabnya ada prinsip-prinsip konseling yang dapat digunakan untuk mengembangkan program bimbingan dan penyuluhan di lembaga pendidikan/ sekolah, yakni:
a.      konseling/penyuluhan merupakan bantuan yang diberikan secara sengaja.
b.     prosesnya dilaksanakan melalui hubungan antarpersonal.
c.      sasaran konseling adalah konseli atau klien (anak didik), agar dapat mengatasi hambatan yang dialami pada proses perkembangannya.
d.     tujuannya memberikan tuntunan agar konseli atau klien ta­di mampu memilih dan menentukan cara-caranya sendiri untuk mengatasi hambatannya.
Prinsip-prinsip, tersebut sudah pasti harus dipahami oleh guru dalam rangka melaksanakan program bimbingan dan konseling. Perlu diketahui bahwa dalam penyelenggaraan program bimbingan dan penyuluhan tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat akademis seperti kognitif, efektif dan psikomotor, tetapi juga problem-problem pribadi yang memang memung­kinkan. Dengan demikian, anak didik dapat mengembangkan potensinya secara optimal, menjadi pribadi bermasyarakat yang dilandasi dengan rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan umum. Dengan demikian, guru di sekolah tidak hanya semata mata sebagai pembimbing dan membantu anak didik dalam hal pemecahan problema atau pelajaran, tetapi juga membantu menunjukkan jalan pemecahan persoalan pribadi anak didik yang mengganggu studi dan kegiatan hidup lainnya.
Sehubungan dengan itu, maka alangkah baiknya kalau setiap sekolah memiliki semacam badan atau organisasi yang menangani kegiatan bimbingan dan penyuluhan. Tugas dari organisasi ini adalah merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengendalikan program bimbingan dan penyuluhan. Di bawah pimpinan atau kepala sekolah, organisasi ini akan lebih tepat dikoordinasikan oleh seorang guru BP. Kemudian organisasi itu dapat merencanakan program dan menciptakan mekanisme yang melibatkan setiap guru. Di sam­ping itu, guru secara insidental tetap dapat melakukan kegiatan bimbingan dan konseling/penyuluhan tersebut.
9.     Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah
Guru di sekolah di samping berperan sebagai pengajar, pen­didik dan pembimbing juga sebagai administrator. Dengan demi­kian, guru harus mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah. Hal ini sebagai upaya pemuasan layanan terhadap para siswa. Administrasi sekolah berasal dari dua kata, administrasi dan sekolah. Administrasi dapat diartikan sebagai kegiatan penyu­sunan keterangan-keterangan secara sistematis dan pencatatan secara tertulis dengan maksud untuk memperoleh sesuatu ikhtisar mengenai keterangan-keterangan itu dalam keseluruhan dalam kaitannya satu sama lain. Jadi pengertian administrasi secara luas adalah suatu proses pemanfaatan semua sumber materil dan personal secara efektif untuk tujuan tertentu.
Dengan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan administrasi akan menyangkut persoalan yang cukup kompleks. Kegiatan itu tidak sekadar mengurus soal surat menyurat, tetapi menyangkut pula berbagai kegiatan misalnya pendataan personal, penyusunan jadwal, presensi siswa, pengisian rapor dan lain-lain. Keberhasilan dalam kegiatan-kegiatan ini jelas akan memberi kepuasan kepada para siswa. Kalau sudah demikian maka interaksi belajar mengajar itu akan lancar.


[1] Zainu, Seruan..., hal. 7

[2] Roestiyah NK., Masalah-masalah …, hal. 12.

[3] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal. 173.

[4] Saefuddin AM, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 130.
[5] Sardirman, Interaksi …, hal. 163-181.