Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengaruh Negatif Perkawinan dengan Wanita Musyrikah Dalam Tinjauan Pendidikan Islam


A.    Pengaruh Negatif Perkawinan dengan Wanita Musyrikah Dalam Tinjauan Pendidikan Islam

Pengaruh Negatif Perkawinan dengan Wanita Musyrikah Dalam Tinjauan Pendidikan Islam

Rumah tangga merupakan azas kebudayaan dan pembentuk gaya pemikiran seorang anak. Pengetahuan, pemikiran, pandangan, dan filsafat hidupnya, sikap yang di ambil dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu, kebiasaan bahasa, dialek, dan tata nilai yang di terima anak, berasal dari rumah tangga. Rumah tangga merupakan sarana terpenting guna mewariskan kebudayaan sosial dan membentuk para individu agar memiliki cara berfikir dan cara pandang khas dalam kehidupan. Semangat dan kondisi kebudayaan mereka berasal dari kebudayaan yang ada di dalam rumah tangganya. Betapa banyak optimisme dan pesimisme akan kehidupan ini, keahlian akan penemuan dan inovasi, muncul dari rumah tangga. Pelajaran politik pertama, di pelajari seorang anak dari rumah tangganya. cara pandang dan prilaku orang tua dalam masalah kebebasan, kepartaian, pengelompokan, undang-undang dan peraturan, ketentraman dan mobilisasi social, hubungan nasional dan internasional, serta pemerintahan dan evolusi sosial. Sangat berpengaruh pada proses pembentukan pola berfikir dan sikap seorang anak.
Betapa banyak sikap positif dan negatif seseorang terhadap suatu hal yang merupakan akibat dari dictum atau doktrin yang di tanamkan dalam rumah tangga. Anak-anak, bahkan pemuda, dalam berbagi perkara merupakan juru bicara dari bentuk pemikiran orang tua mereka. Mereka hanya memegang kuat-kuat apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar. Apabila melihat orang tuanya cenderung pada kelompok pemerintahan dan politik tertentu, seorang anak niscaya akan menjadi seperti itu.
Penerimaan ataupun penolakan dalam pandangan positif atau negatif seorang anak terhadap jenis aktifitas dan pekerjaan tertentu, sebagian besar berasl dari berbagai sikap dan doktrin orang tauanya dalam lingkunagn keluarga. Seorang ayah yang selalu mengungkapkan perasaan letih atas pekerjaan sehari-harinya atau seorang ibu yang merasa benci terhadap jenis pekerjaan suaminya, dengan sendirinya akan membentuk benih permusuhan dan kebencian di hati sang anak terhadap jenis penerjaan tersebut.
Islam merupakan agama yang sangat menganjurkan nilai-nilai universal seperti keadilan, persatuan, persaudaraan, perdamaian dan nilai-nilai universal lainnya. Menurut kalangan Islam liberal ayat-ayat universal dan partikular, dan nilai-nilai universalitas Islam terkandung di dalam ayat-ayat al-Quran yang bersifat universal. Nilai-nilai ini harus ditegakkan oleh setiap Muslim, sehingga apabila ada perbedaan antara ayat universal dengan ayat partikular maka yang harus dimenangkan adalah ayat-ayat yang universal. Hal ini untuk menegakkan tujuan Islam yang sebenarnya, yaitu untuk menjaga kemaslahatan manusia. Kemaslahatan (al- rnashlahah)”[1] Sebagai maqashid al-syari'ah merupakan dasar pembentukan hukum Islam harus diprioritaskan sebagai sarana untuk menegakkan nilai-nilai universal Islam. Bahkan kalangan JIL membolehkan amandemen teks teks agama nash bila bertentangan dengan kemaslahatan masyarakat. Mereka mengeluarkan beberapa kaidah yang biasa disebut dengan ushul fiqih liberal yang diciptakan oleh Abdul Moqisth Ghazali: a) Al-Ibrah bi al-maqashid,a bi al-alfazh (yang menjadi patokan hukum adalah maksud tujuan syariat, bukan ungkapannya. b) Jawaz naskh nushush bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat); c) Tanqih nushush bi 'aql al-mujtama' (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik)”[2]
Berpijak pada pandangan universalisme Islam di atas maka tidak ada alasan yang melarang pernikahan antar umat beragama, bila di dalamnya akan mendatangkan mashlahat. Nilai mashalahat ini dapat dilihat dari perspektif akal manusia pada umumnya. Jika menurut pandangan akal manusia secara mayoritas itu baik, karena di dalamnya mengandung maslahat, maka hal itu merupakan maslahat.
Padahal kalau hanya berdasarkan nilai kemasiahatan, di dalam maslahat ada standar yang diperhitungkan syara' bagi maslahat dan mafsadat yang menjadi dasar tasyri' umum, sehingga dapat meneakup individu dart masyarakat secara bersamaan, clan menimbang antara kebutuhan yang segera dais yang tidak segera. Karena itu, tidak dianggap sebagai maslahat kecuali sesuatu yang dipandang, oleh syara' sebagai suatu maslahat. Hal ini untuk mencegah dari kekacauan standar pribadi, sehingga yang menjadi standar adalah syara'.”[3] Kriteria-kriteria untuk menentukan mashlahat menurut syara' adalah: Pertama, memprioritaskan tujuantujuan syarai. Kedua, tidak bertentangan dengan AI-Quran. Ketiga, tidak bertentangan dengan al-Sunnah. Keempat, tidak bertentangan dengan prisip qiyas dan Kelima, memperhatikan kepentingan umum yang lebih besar.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya. Namun harus terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik., atau kah antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik.  Apa bila terjadi perkwinan antara seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non Muslim baik ahli al- kitab atau musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah bahwa ulama fiqh sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan ini.[4] Hal ini sebagaimana dilansir dalam firman Allah dalamsurat al-Baqarah ayat 221:
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ) البقرة: ٢٢١(
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.( Qs. al-Baqarah ayat 221)

Demikian tegas dan pastinya Islam meletakkan hukum bagi perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non muslim, menurut mereka seandainya terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada agamanya, maka perkawinan ini harus dibatalkan.
Demikian juga halnya bila perkawinan itu dilakukan oleh seorang laki-laki muslim dengan seorang wanita non-muslim, baik Ahlul Kitab atau musyrik. Menurut Ibnu Umar perkawinan antara seorang pria muslim dengan ahlul kitab maka hukumnya haram sama haramnya dengan mengawini wanita musyrik, alasannya adalah karena wanita ahlul kitab juga telah berlaku syirik dengan menuhankan Nabi Isa. Alasan lain yang mengharamkan perkawinan jenis ini adalah karena ayat yang membolehkannya yaitu Q.S. Al-Maidah : 5 telah dianulir dengan Q.S. Al-Baqarah : 221.
Yang mengharamkan pernikahan seorang laki-laki muslim dengan ahlul kitab adalah karena laki-laki yang berkedudukan sebagai suami adalah memegang pimpinan dan kendali dalam rumah tangganya, ia adalah teladan dalam pembinaan akhlaq Islam dalam keluarganya, ia juga harus mampu menunjukkan keluhuran agama Islam dalam lingkungannya khususnya untuk anak dan isterinya. Tetapi Al-Sabuni menegaskan bahwa apabila dihawatirkan suami dan anak-anaknya akan terkena pengaruh agama isterinya yang kitabiyah, maka nikah dengan kitabiyah ini hukumnya haram.
Menanggapi masalah ini bahwa kebolehan nikah dengan wanita kitabiyah adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama selain agama samawi.
2) Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshanat (memelihara kehormatan dirinya dari perbuatan zina)
3) Bukan wanita kitabiyah yang kaumnya berstatus musuh dengan kaum muslimin.
            Dari keterangan diatas dapatlah kita lihat bahwa pernikahan dengan wanita musyrik merupakan sesuatu yang diharamkan. Perkawinan dengan wanita musyrik dapat membawa dampak negative terhadap keluarga dalam tinjauan pendidikan seperti dalam mendidik anak-anak tidak adanya kesaman persepsi sehingga dapat mengganggu perkembangan anak dan terjadi kegamangan dalam dalam persoalan akidah Islamiah anak didik. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan merupakan bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran ukuran Islam.[5]
Selain dari pada itu dalam proses pendidikan harus adanya sumber yang sama dalam pembinaan. Bahasa yang Senada dengan itu, menurut Chabib Thoha pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek pandidikan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits.[6]




[1] Rusli, Perkawinan Antar-Agama dan Masalahnya,( Bandung: Pionir Jaya. 1986 ),hal. 29.

[2] Syech Abdurrahman bin Nashir Ash-Sha’adi, Taisiirul Karim Ar-Rahman Fii Tafsiir Kalam Al-Mannan, Cet. I, (Beirut: Jam’iyyah Ihya at-Turats Al-Islami, 2001), hal. 280.

[3] Musthafa Ahmad AI-Zarqa,  al-istishlah wa al-Mashalih al-Mursalah, (Damaskus: Dar al- Qalam, 1988), hal, 39-40.

[4] Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah (terj. Mahyuddin Syaf 1990), (Bandung: Al-Ma’arif, 2000), hal.  95.
[5] Ibid,  hal. 21.

[6] Ibid, hal. 99.