BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN KOMSEPTUAL
A. Pengertian Akhlak Anak
Menurut etimologi, kata akhlak dari bahasa Arab ( (اخلاقbentuk
jamak dari mufratnya khuluk ( (اخلاقyang berarti budi pekerti. Sinonimnya etik
dan moral, budi pekerti terdiri dari dua kata, “budi” adalah yang ada pada
manusia, yang berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pikiran.
“pekerti’ ialah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasan
hati behavior. Jadi “budi pekerti” merupakan perpaduan dari hasil rasio dan
rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.[1]
Namun
demikian, banyak filosof Islam yang membicarakan tentang akhlak, salah satunya
adalah Ibnu Maskawaih memberikan definisi akhlak, agar dapat dijadikan tolok
ukur dalam kehidupan umat Islam. Menurut Ibnu Maskawaih akhlak sebagai berikut:
حال
للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية.
Artinya: “Keadaan
jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
melalui pertimbangan fikiran lebih dahulu”.[2]
Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa akhlak merupakan keadaan jiwa
yang dapat mendorong seseorang untuk melaksanakan segala amal baik. Apalagi
jiwa merupakan sebuah immateri yang ada di dalam tubuh manusia telah
dibersihkan dari noda dan dosa oleh Allah SWT.
1.
Pengertian Pendidikan Akhlak Anak
Berbicara masalah lapangan pendidikan
akhlak anak hampir sama dengan ruang
lingkup pendidikan Islam, yaitu bukan sekedar proses pengajaran (face to
face), tetapi mencakup segala usaha
penanaman (internalisasi) nilai-nilai Islam ke dalam diri subjek didik. Usaha
tersebut dapat dilaksanakan dengan mempengaruhi, membimbing, melatih,
mengarahkan, membina dan mengembangkan kepribadian subjek didik. “Tujuannya
adalah agar terwujudnya manusia muslim
yang berilmu, beriman dan beramal salih. Usaha-usaha tersebut
dapat dilaksanakan secara
langsung ataupun secara tidak langsung”.[3]
Keterangan tersebut di atas, dapat
diidentifikasikan bahwa pendidikan akhlak diberikan agar dapat terwujud
kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Artinya, melalui
pemahaman akhlak yang benar, maka seorang anak manusia mampu memanifestasikan
nilai akhlaknya ke dalam kehidupan sehari-hari sebagai jalan mencari
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam bahasa Arab pendidikan
diistilahkan dengan tarbiyah, istilah ini berarti mengasuh, memelihara,
membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi
hasil-hasil yang sudah matang. Pemahaman
yang lebih rinci mengenai tarbiyah ini
harus mengacu kepada substansial yaitu pemberian pengetahuan, pengalaman
dan kepribadian. Karena itu pendidikan
Islam harus dibangun dari perpaduan istilah 'ilm
atau 'allama (ilmu, pengajaran). 'adl (keadilan), 'amal (tindakan), haqq
(kebeenaran atau ketetapan hubungan dengan
yang benar dan nyata, nuthq
(nalar), nafs (jiwa), qalb (hati), 'aql (pikiran atau
intelek), meratib dan darajat (tatanan hirarkhis), ayat
(tanda-tanda atau symbol), tafsir dan
ta'wil (penjelasan dan penerangan), yang secara keseluruhan terkandung
dalam istilah adab.[4]
Secara keseluruhan definisi yang
bertemakan pendidikan akhlak itu mengacu
kepada suatu pengertian bahwa yang
dimaksud dengan pendidikan akhlak adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan
membina peserta didik yang dilakukan
secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran
Islam. Tujuan ini secara herarkhis bersifat ideal bahkan universal. Tujuan
tersebut dapat dijabarkan pada tingkat yang lebih rendah lagi, menjadi tujuan yang bercorak nasional, institusional,
terminal, klasikan, perbidang studi, berpokok ajaran, sampai dengan setiap kali
melaksanakan kegiatan belajar mengajar.[5]
Kutipan di atas memberikan pengertian
bahwa sebenarnya pendidikan akhlak merupakan salah satu upaya yang dilakukan
oleh seorang guru dalam rangka membimbing serta mengarahkan anak didik agar
dapat mengerti bagaimana seharusnya hidup yang sesuai dengan ajaran Islam yang
benar. Usaha ini ditempuh dengan kerangka kegiatan proses belajar mengajar,
terutama dalam bidang pendidikan akhlak.
Dalam hadits Rasulullah saw juga
disebutkan sebagai berikut:
عليه وسلم: إن الله تعن أبى هريرة رصي
الله عنه قال رسول الله ضلى الله الى إختارلكم الاسلام د ينا فاكرموه بحس الخلق والسخاء فأنه لا
يكمل الا بهما (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, Berkata Rasulullah saw
bahwa: Allah telah memilih agama Islam untuk kamu, hormatilah agama dengan
akhlak dan sikap dermawan, karena Islam itu tidak akan sempurna kecuali adalah
akhlak dan sikap kedermawanan.[6]
Berdasarkan
keterangan hadits di atas, maka dapat dipahami bahwa akhlak merupakan salah
satu landasan utama ditegakkan agama Islam. Hal ini dibuktikan dari tujuan
diutusnya Rasulullah saw untuk memperbaiki akhlak manusia. Oleh karena itu,
bagi orang yang belum mengamalkan akhlak mulia belum dapat dikatakan Islamnya
telah sempurna. Akan tetapi sebaliknya, orang yang telah mengamalkan akhlak
mulia, maka orang tersebut dapat dikatagorikan sebagai umat Islam sejati.
Apabila
dikaitkan hadits tersebut dengan pengertian pendidikan akhlak sangat erat hubungannya.
Sebab hadits tersebut mengajarkan manusia untuk menghormati agama dengan akhlak
dan sikap dermawan. Sementara itu, sikap kedermawanan merupakan salah satu
implementasi dari pendidikan akhlak, karena sikap dermawan adalah bagian dari
akhlak yang terpuji.
2.
Pengertian Akhlak Menurut Konsep Islam
Pada
tatanan akhlak tentu tidak dapat dipisahkan dengan manusia sebagai sosok
ciptaan Allah yang sangat sempurna. Akhlak adalah mutiara hidup yang membedakan
makhluk manusia dengan makhluk hewan. Manusia tanpa akhlak akan hilang derajat
kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia, menjadi turun ke
mertabat hewani. Manusia yang telah lari dari sifat insaniyahnya adalah sangat
berbahaya dari binatang buas.
Di
dalam surat at-Tin ayat 4-6 mengajarkan bahwa:
لقد خلقنا الإنسان فى أحسن تقويم، ثم
رددنه أسفل سافلين، إلا الذين أمنوا وعملوا الصالحات فلهم اجر غير ممنون (التين:
٤-٦)
Artinya:
“Sesunguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya;
kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka);
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, amal bagi mereka
pahala yang tidak putus-putus (Q. S. at-Tin: 4-6)
Keterangan
ayat di atas menggambarkan bahwa manusia dapat saja rendah derajatnya melebihi
binatang apabila tidak berakhlak. Akhlak merupakan salah satu jalan manifestasi
dari keimanan, serta usaha untuk mengaplikasi iman dan Islam secara langsung
a.
Menurut Imam Al-Ghazali
Imam al-Ghazali menjelaskan akhlak adalah:
الخلق عبارة عن هيئة فى النفس راسخة عنها
تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر وروية.
Artinya: Akhlak
ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan fikiran.[7]
Dari
kutipan di atas, Imam al-Ghazali menerangkan bahwa akhlak adalah suatu sifat
yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatannya tanpa dilandasi oleh
pertimbangan. Artinya setiap perbuatan yang baik tidak diperlukan pertimbangan
fikiran, karena perbuatan tersebut memang sangat dianjurkan oleh Allah SWT
dalam segala aspek kehidupan manusia.
Dikatakan
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Muqasyafatul Qulub, bahwa Allah telah
menciptakan makhluk-Nya manusia atas tiga katagori, yaitu:
1.
Allah menciptakan malaikat dan
kepadanya diberikan akal tidak diberikan nafsu
2.
Allah menjadikan hewan tidak
lengkap dengan akal, tetapi diberikan nafsu syahwat.
3.
Allah menjadikan manusia lengkap
dengan akal dan nafsu.[8]
Oleh
karena itu, barang siapa yang nafsunya dapat mengalahkan akal, maka hewan
melata misalnya lebih baik darinya. Sebaliknya bila manusia dengan akalnya
dapat mengalahkan nafsunya, maka derajatnya setingkat dengan malaikat.
b.
Menurut Ibnu Maskawaih
Telah
banyak filosof Islam yang membicarakan tentang akhlak, salah satunya adalah
Ibnu Maskawaih memberikan definisi akhlak, agar dapat dijadikan tolak ukur
dalam kehidupan umat Islam. Menurut Ibnu Maskawaih akhlak sebagai berikut:
حال
للنبس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية
Artinya: “Keadaan
jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
melalui pertimbangan fikiran lebih dahulu”[9]
Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa akhlak merupakan keadaan jiwa
yang dapat mendorong seseorang untuk melaksanakan segala amal baik. Apalagi
jiwa merupakan sebuah immateri yang ada di dalam tubuh manusia telah
dibersihkan dari noda dan dosa oleh Allah SWT.
Sementara
itu bagi Ibnu Maskawaih sendiri menawarkan pendidikan akhlak dengan merumuskan
bahwa pendidikan merupakan media harmoni bagi daya-daya yang dimiliki manusia,
yaitu pertama daya kebinatangan (al-nafs al-bahimiyyah) sebagai daya
paling rendah, kedua, daya berani (al-nafs al-Syajaiyyah) sebagai
daya pertengahan; dan ketiga daya berfikir (al-nafs al-nathiqiyyah)
sebagai daya tertinggi.[10]
Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa daya kebinatangan merupakan daya terendah manusia yang memiliki kecenderungan
kepada hal-hal negatif. Daya kebinatangan mencerminkan pribadi yang egois,
anarkis, dan hedonis. Jika hidup manusia diprioritaskan kepada kekenyangan,
maka pembentukan pribadi yang disinari cahaya kemulyaan tidak saja aspek
metarial tetapi juga turut mencerminkan aspek moral dan spiritual.
Dalam
hal tersebut Ibnu Maskawaih menjelaskan bahwa tujuan hidup muslim adalah mengabdikan
diri kepada Allah dengan mengamalkan budi pekerti luhur dalam kehidupannya.[11]
Mengabdikan
diri adalah upaya memperhambakan diri seseorang untuk menyembah-Nya sesuai
peraturan yang telah digariskan dalam Islam. Kewajiban manusia untuk
mengabdikan diri kepada Allah SWT, karena manusia lebih tinggi derajatnya
dibandingkan dengan makhluk hewaniah.
Berdasarkan
keterangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan yang
dikemukakan Ibnu Maskawaih masih sesuai dengan pendidikan Islam dan pendapat
yang dikemukakan para ahli pendidikan dewasa ini, sehingga penerapan akhlak
tawaran Ibnu Maskawaih masih relevan dengan kondisi saat ini.
Dilihat
dari segi arti pendidikan akhlak Ibnu Maskawaih menukilkan bahwa pendidikan
akhlak dapat diartikan tujuan hidup.[12]
Karena itu, untuk mencapai tujuan hidup maka dianjurkan untuk belajar
pendidikan akhlak agar tujuan hidup tersebut dapat tercapai.
Lebih
dari itu mengenai pendidikan akhlak Ahmad Hamid Yunus menjelaskan bahwa:
pendidikan akhlak adalah pendidikan yang diterima untuk mengetahui
keutamaan-keutamaan dan mengikutinya hingga terisi dengannya dan tentang
keburukan dan cara menghindarinya hingga jiwa kosong darpadanya.[13]
Sebenarnya
akhlak sangat urgen bagi manusia. Urgensi akhlak ini tidak saja dirasakan oleh
manusia dalam kehidupan perseorangan, tetapi juga dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, bahkan dapat dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akhlak adalah mustika yang membedakan makhluk manusia dengan hewan. Manusia
tanpa akhlak adalah manusia yang telah “membinatang”, sangat berbahaya. Ia akan
lebih jahat dan buas dari binatang buas sendiri.[14]
Dengan
demikian, jika akhlak telah lenyap dari masing-masing manusia, kehidupan ini
akan kacau balau, masyarakat menjadi berantakan. Orang tidak lagi peduli soal
baik dan buruk.
Dalam memberikan pendidikan akhlak kepada seorang anak
manusia tidak pernah terjadi perbedaan, karena pendidikan ini selalu berpedoman
secara langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Apalagi para ulama tasawuf
berpedoman pada ayat dan hadits yang sama, sehingga tidak terjadi perbedaan
pandangan dalam menentukan bagaimana cara melaksanakan amal ibadah kepada Allah
yang dimanifestasikan dengan iman.[15]
Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa mempelajari akhlak merupakan
kewajiban bagi kaum muslimin yang hendak mengabdikan diri secara teguh kepada
Allah SWT, karena dengan berakhlak, maka hal tersebut juga termasuk bagian dari
manifestasi iman kepada Allah SWT.
Dengan
keimanan yang kuat, seorang muslim selalu akan berbuat baik dan menjauhkan diri
dari prilaku jahat, kapanpun dan dimanapun, baik ketika dilihat orang lain
ataupun tidak. Di sinilah letak rahasianya, mengapa ajaran Islam dalam bidang
akhlak punya kekuatan yang tangguh.
Dengan demikian, dalam Islam, orang berakhlak karena
keimanannya kepada Tuhan. Oleh karena itu, Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya
bahwa iman terhadap ketauhidan kepada Allah SWT adalah ajaran yang paling
penting dan aspek yang fundamental, sehingga kekuatan Islam berdiri di atas
fondasi yang kokoh.
B. Peran Akhlak dalam Kehidupan Anak
Ajaran
yang dibawakan oleh nabi-nabi sejak awal hingga lahirnya agama Islam, selalu
menjaga martabat kemanusiaan agar tidak mengalami penurunan yang mengakibatkan
menyamai martabat binatang. Tetapi apa yang dikhawatirkan oleh nabi-nabi,
betul-betul terjadi di kalangan manusia, di mana mereka saling merusak dirinya
dengan berbagai macam kedhaliman bahkan nabinya juga dimusuhi, dengan alasan
bahwa dialah yang menghalang-halangi kebebasan mereka melakukan hal-hal yang
dikehendakinya.
عن أبى هريرة قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: أعمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا (رواه أبو داود)
Artinya: Tidak ada
sesuatu amalan yang berat timbangan pada hamba daripada akhlak yang baik (H. R.
Abu Daud)
Dilihat
dari seruan nabi dalam Al-Qur'an yang selalu mengajak umatnya menyembah Allah,
karena keadannya manusia saat itu sudah terlalu sesat dalam kemusyrikan, bahkan
sudah terlampau jauh dari kedudukan manusia sebagai hamba Allah, sehingga makin
bergeser dari kedudukannya sebagai khalifah di bumi ini, yang seharusnya
bertugas untuk menyembah-Nya, serta untuk memakmurkan dunia beserta seluruh
penghuninya.
Oleh
karena itu, untuk mengetahui peranan akhlak dalam Islam, maka perlu diuraikan
bahwa ada tiga macam sendi Islam yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
lainnya sehingga kualitas seorang muslim selalu dapat diukur dengan
pelaksanaannya terhadap ketiga macam sendiri tersebut, yang mencakup:
1.
Masalah aqidah, yang meliputi enam macam rukun
iman, dengan kewajiban beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat-Nya, dan qadar baik serta qadar
buruk yang telah ditentukan-Nya.
2.
Masalah syari’ah, yang meliputi pengabdian hamba
terhadap Tuhan-Nya, yang dapat dilihat pada rukun Islam yang lima, dengan
kewajiban mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan ibadah haji di Baitullah. Dan
muamalah juga termasuk masalah syari’ah yang meliputi perkawinan, pewarisan,
hubungan perkonomian, masalah ketatanegaraan, perlindungan hak-hak dan
kewajiban manusia dan sebagainya.
3.
Masalah ihsan, yang meliputi hubungan baik
terhadap Allah SWT, terhadap sesama manusia serta terhadap seluruh makhluk di
dunia ini.[16]
Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa akhlak merupakan suatu hal yang
sentral dalam kehidupan manusia yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Hanya
manusialah yang dituntut untuk berakhlak mulia di antara makhluk ciptaan Allah
SWT lainnya. Hal ini dituntut dari manusia,
karena ia di
samping diciptakan dalam bentuk dan rupanya yang terindah, juga diberikan akal
untuk memilih, menilai dan membandingkan antara baik, buruk atau benar dan
salah dalam kehidupannya.
Hal
tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah saw sebagai berikut:
عن عائشة رصي الله عنها قال رسول الله ضلى
الله عليه وسلم: مازال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت انه سيورثه (رواه البخارى)
Artinya: Dari
Aisyah ra. Berkata Rasulullah saw bahwa:
tidak henti-hentinya Jibril menyuruh aku berbuat baik kepada tetangga,
hingga sangka (merasa) bahwa tetangga itu akan dijadikan ahli waris (HR.
al-Bukhari)[17]
Berkenaan
dengan hadits tersebut di atas, maka dapat difahamai bahwa akhlak yang mulia
bertetangga yang baik itu akan mendatangkan kebaikan. Hal tersebut dalam hadits
ini secara rasio dapat diterima, karena akhlak yang baik akan mendapatkan
banyak kawan dan disukai orang sehingga semua kesulitan dapat dipecahkan.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peranan akhlak dalam kehidupan
umat manusia sangat penting, karena akhlak merupakan salah satu pengetahuan
yang mengatur secara langsung hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan
manusia dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya.
C. Alat dan Metode Pembinaan Akhlak Anak Usia 5-12 Tahun
1. Alat Pembinaan Akhlak Anak
Alat merupkan suatu media yang objektif, sebagai saluran yang menghubungkan
antara ide dengan ummat. Suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam
mencapai suatu tujuan. Dalam membimbing anak perlu alat yang benar-benar
berkesan terhadap diri anak sehingga menimbulkan perubahan-perubahan yang
positif. Alat atau media tersebut dapat digolongkan lima bagian, seperti
berikut:
a.
Alat lisan atau tulisan
Alat atau media ini yang mrnggunakan bahasa atau ucapan, termasuk dalam
bentuk ini seperti; pidato, sekolah, radio, diskusi, nasehat, musyawarah,
bertukar pikiran dan obralan secara bebas, yang semuanya dilakukan dengan lidah
atau suara. Menggunakan alat lisan, langsung dapat didengar dan langsung
berhadapan dengan sasarannya.
b.
Alat/Media tulisan
Alat atau media ini dalam bentuk tulisan atau lambang-lambang yang
mewujudkan perhatian. Biasanya dipublisir dalam bentuk majalah, surat kabar,
buku-buku, bulleting, atau apa saja yang berhubungan dengan tulisan. Hanya
bedanya dengan alat lisan, dimana alat tulisan dapat mengulangi berulang kali
tentang ajaran tertentu sehingga dapat dipahami serta dimengerti dengan
sebaik-baiknya oleh anak, remaja dan masyarakat.
c.
Alat dan media lukisan
Termasuk dalam alat ini gambar-gambar hasil seni lukis. Media bentuk ini
banyak digunakan untuk menggambarkan sesuatu maksud ajaran yang mau disampaikan
kepada orang lain. Termasuk juga komik bergambar yang sangat digemari oleh
anak-anak dewasa ini.
d.
Alat/media audio visual (media
panggung atau campuran)
Dalam alat ini tergabung antara alat lisan dengan tulisan dan alat gerak.
Suatu cara penyampaian yang sekaligus merangsang penglihatan dan pendengaran.
Media lisan campur gerak seperti terdapat pada telivisi, media lisan, tulisan
campur gerak seperti terdapat pada film.
e.
Media Akhlak
Satu cara penyampaian langsung dalam bentuk perbuatan yang nyata, seperti
pembangunan mesjid, sekolah, poliklinik, peternakan dan menziarahi orang sakit
serta kunjungan kerumah-rumah bersilaturrahmi dan sebagainya.[18]
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, alat-alat
tersebut di atas adalah alat yang cepat sekali mempengaruhi dan sangat ampuh.
Oleh karena itu, para orang tua, guru hendaklah memahami tentang alat atau
media ini. Semua itu menuntun para pembimbing untuk menggunakannya dengan hikmah
kebijaksanaan dan dengan demikian pembinaan moral anak dapat mencapai sasaran.
Pembinaan moral anak tidak saja
berlaku dewasa ini yakni, setelah adanya pengaruh alat-alat teknologi modern.
Tetapi bimbingan dan pembinaan tersebut telah terwujud (ada) pada masa
kerasulan Nabi Muhammad SAW. Untuk mendidik ummatnya berakhlak mulai dalam
setiap aspek kehidupannya nabi, telah menggunakan alat yang ada pada waktu itu,
sesuai dengan tempat dan keadaan.
2. Metode Pembinaan Pendidikan Akhlak
a. Pengertian Metode
Dalam sejarah pendidikan Islam dapat kita ketahui bahwa para pakar
pendidikan muslim dalam berbagai situasi
dan kondisi yang berbeda. Telah menerapkan berbagai metode pendidikan maupun
pengajaran. Begitu banyak metode-metode yang Al-Qur’an sendiri mengandung
berbagai metode di dalamnya yang menjadi pegangan bagi setiap manusia yang mau
mempergunakannya.
Namun sebelum kita membahas lebih jauh tentang metode pembinaan pendidikan
akhlak ini, penulis terlebih dahulu menjelaskan pengertian tentang metode yang
baik digunakan dalam melaksanakan pembinaan watak seseorang anak.
Dalam pengertian, kata ‘metode” berasal
dari bahasa Greek yang terdiri dari “meta” yang berarti “melalui” dan
‘hodos” yang berrti “jalan” jadi metode berarti “jalan yang dilalui”.[19]
Dari pengertian di atas dapat kita ambil pengertian bahwasanya arti metode
adalah jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu kita
harus berhati-hati untuk melalui jalan yang akan kita tempuh. Demikian juga
dengan orang tua, guru dan masyarakat dalam melaksanakan pembinaan, pendidikan
akhlak terhadap seseorang anak harus mempunyai metode yang tepat yang dapat
mempengaruhi anak, sehingga apa yang diharapkan akan terwujud.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. H.M Arifin, M.Ed
Metode dapat juga diartikan sebagai “cara” yang mengandung pengertian yang
fleksibel (lentur) sesuai kondisi dan situasi dan mengandung implakasi
“mempengaruhi” serta saling ketergantungan antara pendidikan dan anak didik.
Disini antara pendidikan berada dalam proses kebersamaan yang menuju ke arah
tujuan tertentu.[20]
b. Motode yang digunakan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwasanya dalam menggunakan
metode haruslah digunakan metode yang tepat jika ingin mencapai tujuan. Disini
penulis ingin mencoba membahas tentang beberapa metode contoh teladan, metode
bimbingan dan penyuluhan, metode hukuman, serta metode hadiah yang penulis
anggap penting dalam pelaksaan pembinaan pendidikan yang hampir bersamaan meski
nantinya perlu pemahaman di sana sini. Adapun metode-metode tersebut antara
lain:
1.
Metode contoh teladan
Setiap orang tertentu saja menginginkan anaknya menjadi orang yang baik dan
berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Oranh tua yang baik adalah orang tua yang
mampu mengarahkan anaknya kepada tujuan yang diinginkannya. Tujuan tersebut
akan tercapai bila ia menerima semua yang baik-baik dari orang tuanya, mulai
dari makanan yang ia makan, pendidikan yang ia terima sampai sikap kedua orang
tua yang dijadikan sebagai panutan dalam menghadapi kehidupan di masa depan.
Di sini penulis sengaja meletak “contoh teladan” sebagai metode pertama
yang harus dilaksanakan oleh orang tua dalam membina akhlak anak. Hal ini
sengaja penulis angkat berdasarkan fakta dan realita yang terjadi dalam
masyarakat kita. Seorang anak akan cendrung bersikap seperti apa yang ia lihat
sekitarnya, sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya
Ulumuddin:
Metode untuk melatih anak adalah salah satu dari hal-hal
yang amat penting. Anak adalah yang terpercayakan kepada orang tuanya. Hatinya
masih murni laksanakan permata yang sangat berharga, sederhana dan bersih dari
ukiran yang digoreskan kepadanya dan ia akan cenderung ke arah manapun dengan
sifat-sifat yang baik pada dirinya dan akan memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat[21].
Dari
uraian di atas dapat kita ketahui dengan jelas bahwasanya pribadi yang baik
maupun yang buruk yang terdapat pada si anak memang merupakan kodrat pada
manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, betapa bahayanya bila tidak baik, padahal
orang lain menirunya, terlebih lagi jika anak meniru perbuatan buruk orang
tuanya.
Sehubungan
dengan itu, Dr. Zakiah Drarajat menyatakan:
Tidak mungkin kita mengharap anak
kita menjadi orang yang taat bersama, seorang anak juga tidak akan mempunyai
moral yang baik, jika orang tuanya tidak memberi contoh yang baik, karena
anak-anak lebih mudah terpengaruh oleh tindakan-tindakan orang dewasa dari pada
nasehat-nasehat atau petunjuk-petunjuk.[22]
Dari
ungkapan di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa sanya sudah seharusnya kita
memberikan contoh yang baik kepada anak-anak kita, jika kita menginginkan mereka
tumbuh menjadi orang yang baik.
Hendaknya
sebagai orang tua kita mencontoh bagaimana Luqman memberi pelajaran kepada
anaknya, hal tersebut dapat kita lihat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
wr èÁ?
{ ¨$Z=9 wr ·J? û Ú{#
$mB
(
b) !$# w
=t @. A$FC qù .
Artinya: Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. ( Q.S. Luqman: 18)
Dengan
membaca surat Luqman trsebut hendaknya menjadi suatu pelajaran bagi kita
bagaimana sebenarnya cara yang terbaik dalam memberikan pendidikan kepada anak.
Berilah
contoh teladan terlebih dahulu sebelum ia disuruh dengan ajakan atau perintah,
terlebih lagi dalam hal perintah mengerjakan ibadah kepada Allah. Jika orang
tua tidak melakukan shalat, puasa, akan sulit menyuruh anak untuk
mengerjakannya. Akan tetapi, jika si anak sudah terlebih dahulu melihat contoh
yang baik dari orang tuanya, akan mudah bagi kita untuk membimbing dan
mengarahkan anak tersebut.
Sebagaimana
Rasulullah SAW, telah memberikan contoh teladan yang baik bagi ummatnya, mulai
dari budi pekerti yang mulia sampai pada cara-cara beribadah dan bersikap sabar
dalam menghadapi segala cobaan. Dengan mengikuti contoh-contoh yang diberikan
Rasulullah SAW. Insya Allah apa yang menjadi harapan bagi kita akan tercipta
kebahagiaan di dunia yang akan dirasakan oleh si anak dan orang tuanya sendiri.
Andai kata saja banyak orang tua yang mampu memberikan yang terbaik untuk
anak-anaknya pastilah masyarakat tidak mengalami keresahan kenakalan remaja.
2.
Metode bimbingan dan penyuluhan
Metode ini sering kita dengar dengan metode guidance and conselling,
karena di dalamnya terdapat tidak hanya nasehat tetapi juga arahan dan
bimbingan yang diberikan akan arti kasih sayang yang sebenarnya bagi seorang
anak.
Menurut pribadi penulis, orang tua tidak hanya memberi contoh teladan saja
kepada anaknya, tetapi di samping itu juga anak perlu dibimbing dan diberi
pengarahan. Contoh tanpa bimbingan belum lengkap, begitu juga halnya seperti rumah
tanpa atap atau beratap tapi tanpa didinding. Menyuruh anak melakukan shalat,
puasa, sedangkan ayah dan ibu tidak pernah melakukannya akan sulit sekali,
karena kemungkinan si anak akan bertanya “kenapa hanya ia yang harus
mengerjakan shalat, sementara ayah dan ibu tidak”. Begitu juga kalau ayah dan
ibu tidak peninggalkan shalat, bahkan tidak pernah memberitahukan untuk apa
shalat/puasa dilaksanakan. Hal tersebut membuat si anak seperti orang buta yang
pernah mendengar nama singa, tetapi tidak tahu pasti seperti apa singa itu
sebenarnya.
Jadi di samping contoh yang diberikan orang tua, bimbingan dan
penyuluhanpun perlu diberikan. Dr. Zakiah Drajat mengatakan:
Untuk membina anak agar mempunyai
sifat-sifat terpuji tindaklah mungkin dengan melakukan yang baik yang
diharapkan nanti dia akan mempunyai sifat-sifat itu dan menjauhi sifat-sifat
tercela. Kebiasaan dan latihan itulah yang membuat dia cenderung untuk
melakukan yang baik dan meninggalkan yang kurang baik. Demikian juga halnya
pendidikan agama, semakin kecil umur sianak hendaknya semakin banyak latihan
dan pembiasaan pada agama yang dilakukan pada anak. Dan semakin bertambah umur
sianak hendaknya semakin bertambah pula penjelasan dan pengertian tentang agama
itu diberikan sesuai dengan perkembangan kecerdasannya.[23]
3.
Metode hukuman
Perlu juga diperhatikan bahwa metode hukuman mempunyai jenis-jenis hukuman
yaitu positif dan negatif. Hukuman positif itu dilakukan dengan cara memberikan
peringatan yang bersifat mendidik dan mengerti oleh anak. Contohnya mengawasi
anak agar ia selalu waspada terhadap perbuatannya seperti menghukumnya dengan
memberikan tugas-tugas pekerjaan rumah atau dengan mengulangi
pelajaran-pelajaran di sekolah. Adapun jenis hukuman yang negatif itu dilakukan
dengan cara menakut-nakuti anak, cercaan, memukul dan membunuhnya, indakan itu
akan menyebabkan ia berdusta serta melakukan hal yang beruk, sifat-sifat itu
menjadi kebiasaan atau perangainya, maka akan mengakibatkan mental dan jiwa
anak akan rusak.
Namun tidak usah kita ragukan lagi bahwa hinggga sekarang masih banyak
orang tua beranggapan bahwa anak yang selalu tunduk dan melaksanakan dengan
tanpa pamrih dan tanpa membantah, mereka merupakan anak ideal yang patut untuk
ditonjolkan sebagai anak teladan. Harus diketahui bahwa anak-anak yang
mempunyai sikap demikian adalah suatu ketidakwajaran dan menyalahi naluri
bawaannya yang harus tumbuh dan berkembang secara bebas dan merdeka.
Metode hukuman ini Dewa Kutut Sukardi dalam bukunya Psikologi Populer
Bimbingan Perkembangan Jiwa Anak mengatakan bahwa:
Ahli-ahli ilmu pendidikan modern
seepakat bahwa keputusan dan ketaatan yang berlebihan merupakan suatu hasil
dari pelaksanaan dan hasil dari sistem pendidikan yang menggunakan kekerasan
dan ancaman, akan tumbuh dan berkembang pribadi yang lemah dan gampang menyerah
pada nasib dan tidak memiliki inisiatif. Maka secara langsung mereka tidak
berani mengembangkan kepribadiaannya sendiri serta selalu dihantui oleh pola
berfikir orang lain. Tujuannya dalam segala gerak dan aktivitasnya adalah untuk
memuaskan orang lain walaupun untuk itu mereka mengorbankan idenya sendiri,
harga dirinya dan kepribadiannya.[24]
Sebagian
orang brpendapat, penanganan masalah ini bisa dilaksanakan dengan kekerasan,
disiplin yang ketat, bila perlu harus dikenakan sanksi hukuman. Kalau kita
teliti lebih mendalam lagi, hukum yang dilaksanakan dengan keras itu hanya
cocok apabila dikenakan bagi anak-anak yang memiliki sikap yang keras, berani
dan berandalan.
Dalam
masalah hukuman dilaksanakan dengan kekerasan ini Dewa Ketut Sukardi
menambahkan:
Ahli yang lain mengatakan
bagaimana juga tindakan kekerasan yang ditujukan pada anak-anak, apabila
nantinya akan menimbulkan kesakitan pada jasmani, merupakan suatu tuindakan
kejam yang menimbulkan efek negatif baik ditinjau secara fisik maupun mental.
Ada juga ahli yang menekankan bahwa menjatuhkan sanksi bagi anak yang berandal,
haruslah dicari sumbernya dari anak itu sendiri. Dengan kebijaksanaan orang
tualah keberandalan seorang anak dapat diatasi.[25]
Dalam
hal menghadapi yang demikian orang tua harus waspada, pengawasan harus
diperketat sebab apabila seorang anak sudah mulai bersekolah, maka secara
langsung dia sudah terpengaruh oleh dunia luar. Di sekolah mereka dengan bebas
akan bergaul dengan teman-teman yang terdiri dari lingkungan yang berbeda,
terdiri pula dari latar kehidupan yang beraneka ragam. Hal tersebut yang sering
membuat anak berubah dari baik menjadi anak yang susah diatur dan anak tersebut
sudah menjatuhkan martabat orang tuanya.
Menurut penulis, melaksanakan
hukuman dengan cara kekerasan bukanlah suatu pembinaan yang baik, tetapi justru
membawa efek yang negatif bagi anak. Jadi dalam memberikan hukuman haruslah
dilihat tingkatan ilmu anak dan sejauh mana kesalahan yang diperbuat sianak.
Melalui penelitian yang dilakakan oleh Brobrophi dan Ekerson terhadap usia
Sekolah Dasar, katanya: “Teguran yang sederhana itu bisa mencapai perubahan
tingkah laku yang efektif dari pada ancaman hukuman yang berat”.[26]
Kesimpulan yang dapat ditarik dari
uraian di atas adalah setiap orang tua, guru di sekolah dan anggota masyarakat
ingin menegakkan tata tertib, peraturan menyaksikan seseorang atau beberapa
orang anak yang melanggar peraturan, maka terhadapnya wajib memberikan sanksi
hukuman yang harus dipikirkan dengan matang apakah tindakan anda tersebut tidak
akan menimbulkan efek yang negatif terhadap anak. Maka dari itu, hukuman yang
diberikan haruslah bersifat mendidik dan dimengerti oleh anak.
4.
Metode hadiah
Dalam
melaksanakan pembianaan akhlak pada anak, sekali-kali waktu perlu juga
diberikan hadiah terhadap prestasi yang dicapai si anak maupun terhadap sikap
dan perbuatan baik yang dilakukannya. Hadiah yang diberikan tersebut tindakan
harus berupa suatu benda, tetapi dapat juga berupa pujian maupun yang
membangkitkan gairah belajar dan anak merasa dihargai.
Namun
demikian, memberikan hadiah dan pujian ini janganlah terlalu berlebihan, karena
hal yang demikian itu akan membuat anak besar kepala, sekali ia tidak diberikan
hadiah maka ia akan menuntut ataupun merajut. Jadi hendaknya orang tua dalam
memberikan hal-hal yang demikian tidak berlebihan, baik hadiah yang diberikan
berupa benda ataupun pujian, karena bisa jadi hadiah tersebut digunakan anak
untuk memeras orang tuanya. Begitu pula halnya dengan pujian, apabila si anak
terlalu sering dipuji, ia akan merasa paling the best.
D. Fungsi Pendidikan Akhlak Anak
Fungsi umum pendidikan dan pengajaran
dalam Islam ialah menjadikan manusia
sebagai abdi atau hamba Allah, agama Islam merupakan risalah samawi yang
diturunkan kepada seluruh manusia sejak detik-detik pertama turunnya Islam.
Tujuan strategis ini, sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:
ان هو
الا ذكر للعالمين (التكوير: ٢٧)
Artinya: "Al-Qur'an tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta
alam." (at-Takwir: 27).
Bahkan sebelum turun ayat ini keharusan
da'wah merupakan tugas untuk memperingatkan seluruh manusia terhadap kufur dan
syirik serta menyuruh mereka supaya mengagungkan
dan membesarkan asma Allah, dengan meneladani Muhammad sebagai
rasul.[27]
Dari kutipan di atas, maka difahami
bahwa ayat tersebut memberikan peringatan kepada manusia agar selalu
mengagungkan asma Allah SWT dan meneladani Nabi Muhammad saw, karena Nabi
Muhammad saw merupakan orang yang paling baik akhlaknya, sehingga patut untuk
diteladani.
Di samping itu secara rinci fungsi
pendidikan akhlak[28]
adalah: pertama, Untuk membentuk akhlak yang mulia, karena akhlak inti
pendidikan Islam untuk mencapai akhlak yang sempurna harus melalui pendidikan. Kedua,
Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam bukan
hanya menitikberatkan pada keagamaan saja, atau pada keduniaan saja
tetapi pada kedua-duanya. Ketiga, Persiapan untuk mencari rezeki dan
pemeliharaan segi manfaat atau lebih dikenal dengan prefosionalisme. Tujuan ini
adalah menyiapkan pelajar dari segi propesionalisme, teknikal dan pertukangan
supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan keterampilan pekerjaan agar dapat
mencari rezeki dalam hidup di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.
Keempat, menumbuhkan semangat ilmiyah pada pelajar dan memuaskan keingin
tahuan (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu
sendiri.
Secara psikologi fungsi pendidikan akhlak adalah:
1.
Pendidikan akal dan persiapan pikiran, Allah
menyuruh manusia untuk merenungkan kejadian langit dan bumi agar dapat beriman
kepada Allah.
2.
Menumbuhkan
potensi-potensi dan bakat-bakat terutama pada manusia karena Islam adalah agama
fitrah sebab ajarannya tidak asing dari tabi'at manusia, bahkan ia adalah
fitrah yang manusia diciptakan sesuai dengannya.
3.
Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda dan mendidik mereka
sebaik-baiknya, baik lelaki maupun perempuan.
4.
Berusaha untuk menyeimbangkan segala
potensi-potensi dan bakat-bakat manusia.[29]
Di dalam al-Qur'an fungsi pendidikan
akhlak adalah: pertama, mengarahkan
manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya,
yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengelola bumi sesuai dengan kehendak Tuhan. Kedua,
mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi
dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut
terasa ringan dilaksanakan. Ketiga, membina dan mengarahkan potensi
akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan
yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung tugas pengabdian dan
kekhalifahan. Keempat, mengarahkan manusia agar berakhlak mulia,
sehingga tidak menyalahkan fungsi kekhalifahannya. Kelima, mengarahkan
manusia agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[30]
Dari ilustrasi di atas terlihat jelas
bahwa empat tujuan pendidikan tersebut harus dimanifestasikan dalam kehidupan
manusia, karena keempat tujuan tersebut merupakan landasan pokok yang harus
dijalankan oleh segenap manusia agar mampu memotivasi sikapnya sebagai khalifah
di muka bumi.
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak Anak
Dalam meningkatkan pembinaan akhlak di sebuah lingkungan masyarakat, tentunya
dipengaruhi oleh beberapa hal yang berhubungan erat dengan peningkatan akhlak
antara lain adalah:
Menurut Thoha ada tiga faktor yang mempengaruhi meningkatkan pembinaan
akhlak, yaitu:
a.
Faktor Psikologis
Akhlak seseorang
dalam kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh keadaan psikologis atau kejiwaan.
Pengalaman mental merupakan salah satu faktor bagi seorang guru adalah menilai
dan menanggapi suatu masalah. Kondisi psikologis yang sedang tenang akan
menghasilkan fikiran yang rasional, sehingga prestasi yang diharapkan
benar-benar tinggi. Bila kondisi seseorang sedang senang ia akan berpikir yang
baik mengenai tata krama dalam masyarakat .[31]
b.
Faktor Keluarga
Keluarga yang
merupakan tempat pertama kali anak belajar segala sesuatu. Pola pikiran orang
tua secara perlahan-lahan akan ikut juga mewarnai pola pikiran anaknya. Bila
orang tua memandang segala sesuatu masalah dari sudut pandang yang positif dan
objektif, hal itu akan berpengaruh pada pola pikir anaknya dimasa mendatang.[32]
c.
Faktor Kebudayaan
Kebudayaan dan
lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang juga merupakan salah satu faktor
pembentukan akhlak pada diri seorang anak.
Berdasarkan penjelasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa pembinaan akhlak sangat dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain:
1. Faktor
psikologis, termasuk emosional, keluarga dan lingkungan.
2. Faktor
karakteristik guru yang pada dasarnya berbeda dan unik dari guru lain.
3. Faktor
penilaian guru itu sendiri terhadap objek yang diamati berdasarkan hasil
pembinaan, kebiasaan dan ketentuan yang berlaku dalam lingkungan tempat guru
itu tumbuh dan berkembang.[33]
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi pembinaan akhlak juga meliputi:
a.
Tujuan Yang Hendak Dicapai
Setiap
mata pelajaran tentunya mempunyai tujuan yang berbeda-beda antara satu dengan
lainnya. Misalnya pada tujuan pengajaran tafsir al-Qur'an dan hadits berbeda
dengan tujuan pelajaran akhlak. Dan pelajaran tauhid berbeda tujuannya dengan
pelajaran fiqh, demikian juga sebaliknya.
Oleh
karena itu tujuan umum maupun tujuan khusus dari masing-masing pelajaran
memiliki perbedaan dan tekanannya masing-masing, maka implikasinya dalam
pemilihan metode guru hendaklah mampu melihat perbedaan-perbedaan tersebut dan
membawanya ke dalam situasi pemilihan riset metode yang dianggap paling tepat
dan serasi untuk diterapkan.[34]
Berdasarkan
keterangan di atas, menandakan bahwa penerapan metode pengajaran agama Islam
harus disesuaikan dengan materi pelajaran yang akan diberikan, karena hanya
dengan cara demikian barulah tujuan yang dikehendaki akan tercapai.
b.
Kemampuan Guru
Efektif
tidaknya suatu metode juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru yang
memakainya, di samping kepribadian guru memang cukup dominant pengaruhnya,
misalnya seorang guru A oleh karena mahir dan cerdik dalam berbicara sehingga
setiap pendengar menjadi terkesan dan terpukau dengan pembicaraannya, maka
metode ceramah menjadi pilihan utama di samping metode lain sebagai
pendukungnya. Akan tetapi metode ceramah tersebut akan menjadi tidak efektif
bagi seorang guru yang pendiam dan tidak menguasai teknik-teknik metode ceramah
yang baik.[35]
Berdasarkan
gambaran di atas, maka dapat dipahami bahwa kemampuan guru sangat berperan
untuk memilih metode yang sesuai dengan materi pelajaran yang diberikan. Jika
metode yang digunakan tidak sesuai, maka proses belajar mengajar tidak akan
berhasil. Oleh karena itu, kemampuan guru memegang peranan penting dalam
menciptakan keberhasilan belajar mengajar.
c.
Anak Didik
Hal
yang perlu diperhatikan pula dalam penggunaan metode adalah anak didik, karena
guru berhadapan dengan makhluk hidup yang bernama anak didik itu, atau siswa
dengan potensi dan fitrah yang dimilikinya memberi kemungkinan sekaligus
harapan untuk berkembang dengan baik ke arah pribadi yang sempurna.[36]
Pada
fitrahnya memang setiap individu anak didik itu telah diberikan hidayah
kebaikan (berupa ketauhidan dan keimanan) oleh Allah SWT. Akan tetapi iman dan
tauhid itu dapat saja berubah ke arah kelunturan apabila tidak disiram dan
dipupuk dengan pendidikan dan bimbingan ke jalan menuju ke arah keimanan dan Islam.
Guru di samping itu juga berhadapan dengan anak didik yang masing-masing
memiliki perbedaan kemampuan, kecerdasan, karakter, latar belakang sosial
ekonomi dan perbedaan tingkat usia antara satu dengan yang lain selamanya
berbeda selama siswa berada dalam kelas. Oleh karena itu untuk mendukung hal
tersebut diperlukan mengajar dengan kearifan sesuai dengan firman Allah dalam
surat an-Nahlu ayat 25 sebagai berikut:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم
بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين (النحل: ١٢٥)
Artinya: Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Q. S. an-Nahlu: 125)
Tujuan
Al-Qur’an mengajarkan manusia berdasarkan ajaran hikmah agar manusia lebih
mudah dalam memahami dan menerima yang diberikan tersebut, sebab manusia pada
dasarnya sudah memiliki fitrahnya untuk berbuat baik.
Sesuai
dengan tujuan tersebut di atas, maka Ibnu Maskawaih menginformasikan pendidikan
akhlak adalah menanamkan akhlak yang utama, seperti budi pekerti luhur dalam
jiwa anak-anak, sejak kecil sampai ia mampu hidup dengan usaha dan tenaganya
sendiri. Namun demikian semua itu tidak cukup ditanamkan saja, tetapi juga
perlu dipupuk. Menanamkan sesuatu dalam jiwa anak, berupa akhlak, budi pekerti
yaitu dengan cara memberikan petunjuk yang benar dan nasehat yang berguna,
sehingga ajaran yang mereka terima tidak mengambang, tetapi benar-benar meresap
ke dalam jiwanya.[37]
Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa Ibnu Maskawaih memulai pendidikan
akhlaknya semenjak belum dewasa, karena pada usia tersebut anak-anak masih
mampu meresapi apa yang disampaikan oleh gurunya. Bahkan dengan usia
kanak-kanak semua kebiasaan yang baik dapat diaplikasikannya sampai ia dewasa.
Sementara
itu bagi Ibnu Maskawaih sendiri menawarkan konsep pendidikan akhlak dengan
merumuskan bahwa pendidikan merupakan media harmoni bagi daya-daya yang
dimiliki manusia, yaitu pertama daya kebinatangan (al-nafs al-bahimiyyah)
sebagai daya paling rendah, kedua, daya berani (al-nafs al-Syajaiyyah)
sebagai daya pertengahan; dan ketiga daya berfikir (al-nafs
al-nathiqiyyah) sebagai daya tertinggi.[38]
Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa daya kebinatangan merupakan daya terendah manusia yang memiliki kecenderungan
kepada hal-hal negatif. Daya kebinatangan mencerminkan pribadi yang egois,
anarkis, dan hedonis.
[1]Rachmat Djatnika, Sistem Etika
Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), hal. 26
[2]Ahmad Amin, Etika (Ilmu
Akhlak), Terj. Farid Ma’ruf, Cet. V, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal. 3
[3]M. Nasir Budiman, Pendidikan
Dalam Persepektif Al-Qur'an, (Jakarta: Madani Press, 2001), hal. 1.
[4]Khursyid Ahmad,
Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, terj. A.S Robith (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1992), hal. 14.
[5]Abudin Nata, Metodologi Studi
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), hal. 292.
[6]Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa
al-Dina, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 236
[7]Imam al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, (Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 133
[8]Mansur Ali Rajab, Ta’ammulat
fi Falsafati Akhlak, (Dar al-Kutub: Mesir, 1991), hal. 246
[10]Ibnu Maskawaih, , Tahzibul
Akhlaq wa Thathirul A’raq, (Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 54
[13]Ahmad Hamid Yunus, Dairah
al-Ma’arif, Jil. III, (Cairo: Al-Asy'ariah-Sya’ab, t.t.), hal. 436
[14]Zainal Abidin Ahmad, Pendidikan
Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 89
[15]Mahmud Syaltut, Aqidah wa
Syari’ah, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.), hal. 65
[16]Mahmud Syaltut, Aqidah dan
Syari’ah, Terj. KH. Ali Yafie, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1990), hal. 55
[17]Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa
al-Dina, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 237
[18] Fachruddi HS, Membentuk Moral
Bimbingan Al-Qur’an, (Jakarta: Bina Aksara, 1985, hal. 103
[19]M. ARIF, Filsafat Pendidikan
Islam, Cet. II (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 79
[22]Zakiah Drajat, Kesehatan
Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 108
[23]Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa
Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 62
[24]Dewa Ketut Sukardi, Psikologi
Populer Bimbingan Perkembangan Jiwa Anak, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1987), hal. 91
[26]Abdurrahman Shaleh, Teori-teoriPendiduikan
Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal. 220.
[27]Abdul Fatah Jalal, Azas-azas
Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 119.
[28]Azis Abbas, Filsafat
Pendidikan, (Jakarta: Sumber Widya, 1995), hal. 71.
[31]Thoha, Filsafat Pendidikan,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 55
[34]Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metodologi
Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, hal. 7
[35]Ahmad Tafsir, Metodologi
Pengajaran Agama Islam, Cet. V, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hal.
33
[36]Zakiah Daradjat, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 39
[37]Abdullah Zaki al-Kaaf, Membentuk
Moral; Mempersiapkan Generasi Islami, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal.
203
0 Comments
Post a Comment