Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Akhlak


BAB II
DASAR-DASAR TEORITIS TENTANG AKHLAK


A.       Pengertian Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab dengan kata dasarnya “خلق، يخلق، خلوقا, yang memiliki arti perbuatan baik. Namun secara terminologi akhlak ialah segala suatu yang berhubungan dengan perbuatan baik dan buruk.[1]
Namun demikian, banyak filosof Islam yang membicarakan tentang akhlak, salah satunya adalah Ibnu Maskawaih memberikan definisi akhlak, agar dapat dijadikan tolok ukur dalam kehidupan umat Islam. Menurut Ibnu Maskawaih akhlak sebagai berikut:
حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية [2]
Artinya: “Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan fikiran lebih dahulu”.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa akhlak merupakan keadaan jiwa yang dapat mendorong seseorang untuk melaksanakan segala amal baik. Apalagi jiwa merupakan sebuah immateri yang ada di dalam tubuh manusia telah dibersihkan dari noda dan dosa oleh Allah SWT.
Melihat definisi akhlak yang digambarkan Ibnu Maskawaih sangat sejalan dengan pengertian yang ditawarkan oleh Imam al-Ghazali yang menjelaskan akhlak adalah:
الخلق عبارة عن هيئة فى النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر وروية[3]
Artinya: Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan fikiran.
Dari kutipan di atas, Imam al-Ghazali menerangkan bahwa akhlak adalah suatu sifat yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatannya tanpa dilandasi oleh pertimbangan. Artinya setiap perbuatan yang baik tidak diperlukan pertimbangan fikiran, karena perbuatan tersebut memang sangat dianjurkan oleh Allah SWT dalam segala aspek kehidupan manusia.
Pengertian akhlak yang diberikan oleh Ahmad Amin sangat berbeda dengan pengertian tersebut di atas. Dalam hal ini Ahmad Amin menjelaskan bahwa:
عرف بعضهم الخلق بأنه عادة الإرادة يعنى أن الإرادة اذا اعتادت شيئا فعادتها هي المسماة بالخلق[4]
Artinya: Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat difahami bahwa kehendak ialah ketentuan beberapa keinginan manusia setelah bimbang, sedangkan kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kedua kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan yang besar inilah yang dinamakan akhlak.
Melihat kenyataan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa di antara ketiga tokoh tersebut terjadi perbedaan dan persamaan dalam memberikan pengertian akhlak. Antara Ibnu Maskawaih dengan Imam Al-Ghazali terjadi persamaan, karena keduanya sama-sama mengambil jiwa sebagai lapangan akhlak. Sedangkan terjadi perbedaan Ibnu Maskawaih dengan Ahmad Amin karena beliau mengambil lapangan akhlak hanya pada kehendak semata, sehingga yang mempengaruhi seseorang berakhlak baik atau buruk hanya pada kehendaknya saja.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian akhlak dapat diambil menurut kehendak dan pandangan masing-masing tokoh, sehingga menyebabkan berbeda pandangan. Namun demikian tujuan mereka tetap sama yaitu berkisar antara perbuatan yang baik dan jahat.

B.        Pandangan Islam Tentang Akhlak
Berbicara pada tatanan akhlak tentu tidak dapat dipisahkan dengan manusia sebagai sosok ciptaan Allah yang sangat sempurna. Akhlak adalah mutiara hidup yang membedakan makhluk manusia dengan makhluk hewan. Manusia tanpa akhlak akan hilang derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia, menjadi turun ke mertabat hewani. Manusia yang telah lari dari sifat insaniyahnya adalah sangat berbahaya dari binatang buas.
Di dalam surat at-Tin ayat 4-6 mengajarkan bahwa:
لقد خلقنا الإنسان فى أحسن تقويم، ثم رددنه أسفل سافلين، إلا الذين أمنوا وعملوا الصالحات فلهم اجر غير ممنون (التين: ٤-٦)
Artinya: “Sesunguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka); kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, amal bagi mereka pahala yang tidak putus-putus (Q. S. at-Tin: 4-6)[5]
Keterangan ayat di atas menggambarkan bahwa manusia dapat saja rendah derajatnya melebihi binatang apabila tidak berakhlak. Akhlak merupakan salah satu jalan manifestasi dari keimanan, serta usaha untuk mengaplikasi iman dan Islam secara langusung
Dikatakan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Muqasyafatul Qulub, bahwa Allah telah menciptakan makhluk-Nya manusia atas tiga katagori, yaitu:
1.      Allah menciptakan malaikat dan kepadanya diberikan akal tidak diberikan nafsu
2.      Allah menjadikan hewan tidak lengkap dengan akal, tetapi diberikan nafsu syahwat.
3.      Allah menjadikan manusia lengkap dengan akal dan nafsu.[6]
Oleh karena itu, barang siapa yang nafsunya dapat mengalahkan akal, maka hewan melata misalnya lebih baik darinya. Sebaliknya bila manusia dengan akalnya dapat mengalahkan nafsunya, maka derajatnya setingkat dengan malaikat.
Menurut Ahmad Amin akhlak ialah pendidikan yang bertujuan untuk memberikan pengertian tentang baik dan buruk dan menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam hubungan sesamanya.[7]
Lebih dari itu mengenai akhlak Ahmad Hamid Yunus menjelaskan bahwa: akhlak adalah pendidikan yang diterima untuk mengetahui keutamaan-keutamaan dan mengikutinya hingga terisi dengannya dan tentang keburukan dan cara menghindarinya hingga jiwa kosong darpadanya.[8]
Sebenarnya akhlak sangat urgen bagi manusia. Urgensi akhlak ini tidak saja dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perseorangan, tetapi juga dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bahkan dapat dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhlak adalah mustika yang membedakan makhluk manusia dengan hewan. Manusia tanpa akhlak adalah manusia yang telah “membinatang”, sangat berbahaya. Ia akan lebih jahat dan buas dari binatang buas sendiri.[9]
Dengan demikian, jika akhlak telah lenyap dari masing-masing manusia, kehidupan ini akan kacau balau, masyarakat menjadi berantakan. Orang tidak lagi peduli soal baik dan buruk.
Dalam memberikan pendidikan akhlak kepada seorang anak manusia tidak pernah terjadi perbedaan, karena pendidikan ini selalu berpedoman secara langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Apalagi para ulama tasawuf berpedoman pada ayat dan hadits yang sama, sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan bagaimana cara melaksanakan amal ibadah kepada Allah yang dimanifestasikan dengan iman.[10]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa mempelajari akhlak merupakan kewajiban bagi kaum muslimin yang hendak mengabdikan diri secara teguh kepada Allah SWT, karena dengan berakhlak, maka hal tersebut juga termasuk bagian dari manifestasi iman kepada Allah SWT.
Dengan keimanan yang kuat, seorang muslim selalu akan berbuat baik dan menjauhkan diri dari prilaku jahat, kapanpun dan dimanapun, baik ketika dilihat orang lain ataupun tidak. Di sinilah letak rahasianya, mengapa ajaran Islam dalam bidang akhlak punya kekuatan yang tangguh.
Dengan demikian, dalam Islam, orang berakhlak karena keimanannya kepada Tuhan. Oleh karena itu, Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya bahwa iman terhadap ketauhidan kepada Allah SWT adalah ajaran yang paling penting dan aspek yang fundamental, sehingga kekuatan Islam berdiri di atas fondasi yang kokoh.

C.       Pembinaan Akhlak Menurut Pandangan Islam
Dalam pembinaan akhlak perlu diperhatikan beberapa aspek yang mendukung proses pembinaan tersebut. Sebab pembinaan akhlak ialah usaha menanamkan akhlak yang utama, budi pekerti yang luhur dalam jiwa anak manusia sejak kecil hingga ia dewasa sampai mampu berusaha dengan tenaga sendiri. Namun demikian semua hal itu tidak cukup ditanamkan saja, tetapi perlu dipupuk dengan baik. Menanamkan sesuatu dalam jiwa seseorang, berupa akhlak atau budi pekerti yaitu dengan cara memberikan petunjuk dan nasihat yang berguna sehingga ajaran yang mereka terima tidak mengambang, tetapi benar-benar meresap ke dalam jiwa mereka. Apabila sudah menyatu, maka ia akan terbiasa mengamalkan perbuatan yang utama tersebut.
Melihat kenyataan tersebut, maka dalam pembinaan akhlak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam akhlak, di antaranya:
1.      Arti pembinaan Akhlak
Berbicara pembinaan akhlak sama dengan tujuan pendidikan karena banyak sekali dijumpai  pendapat para ahli yang mengatakan tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan akhlak. Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa “pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam.[11]
Keterangan di atas, menyebutkan bahwa Muhammad Athiyah menyamakan tujuan pendidikan akhlak dengan tujuan pendidikan Islam secara umum. Hal tersebut memang benar adanya, karena antara tujuan pendidikan Islam dengan tujuan akhlak tidak dapat dipisahkan sama sekali.
Bahkan Ahmad D. Marimba menjelaskan bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah, sebagai hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam.[12]
Jika mencermati keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa pembinaan akhlak mempunyai arti sebagai tujuan hidup akhir muslim, karena pembinaan akhlak mempunyai tujuan untuk menyerahkan diri kepada Allah sebagai hamba-Nya dalam mengamalkan setiap amal perbuatan.
Sementara itu bagi Ibnu Maskawaih sendiri menawarkan pembinaan akhlak dengan merumuskan bahwa pendidikan merupakan media harmoni bagi daya-daya yang dimiliki manusia, yaitu pertama daya kebinatangan (al-nafs al-bahimiyyah) sebagai daya paling rendah, kedua, daya berani (al-nafs al-Syajaiyyah) sebagai daya pertengahan; dan ketiga daya berfikir (al-nafs al-nathiqiyyah) sebagai daya tertinggi.[13]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa daya kebinatangan merupakan daya terendah manusia yang memiliki kecenderungan kepada hal-hal negatif. Daya kebinatangan mencerminkan pribadi yang egois, anarkis, dan hedonis. Jika hidup manusia diprioritaskan kepada kekenyangan, maka pembentukan pribadi yang disinari cahaya kemulyaan tidak saja aspek metarial tetapi juga turut mencerminkan aspek moral dan spiritual.
Dalam hal tersebut Madlor Ahmad menjelaskan bahwa tujuan hidup muslim adalah mengabdikan diri kepada Allah dengan mengamalkan budi pekerti luhur dalam kehidupannya.[14]
Mengabdikan diri adalah upaya memperhambakan diri seseorang untuk menyembah-Nya sesuai peraturan yang telah digariskan dalam Islam. Kewajiban manusia untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT, karena manusia lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk hewaniah.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan yang dikemukakan mudlor Ahmad masih sesuai dengan pendidikan Islam dan pendapat yang dikemukakan para ahli pendidikan dewasa ini, sehingga penerapan akhlak tawaran Ibnu Maskawaih masih relevan dengan kondisi saat ini.
Dilihat dari segi arti pendidikan akhlak Ibnu Maskawaih menukilkan bahwa pendidikan akhlak dapat diartikan tujuan hidup.[15] Karena itu, untuk mencapai tujuan hidup maka dianjurkan untuk belajar pendidikan akhlak agar tujuan hidup tersebut dapat tercapai.
2.      Metode Pendidikan Akhlak
Penerapan suatu metode dalam setiap situasi pengajaran haruslah mempertimbangkan dan memperhatikan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang dapat mempertinggi mutu dan efektifitas suatu metode tertentu. Kalau tidak, maka bukan saja akan berakibat proses pengajaran terhambat, akan tetapi akan berakibat lebih jauh, yaitu tidak tercapai tujuan pengajaran sebagaimana yang telah ditetapkannya. Namun demikian dalam proses pendidikan akhlak tidak ditetapkan metode khusus, tetapi metode-metode yang berlaku umum diterapkan dalam pengajaran akhlak. Adapun metode tersebut adalah:
a.      Metode Hiwar
Hiwar (dialog) ialah “percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah kepada satu tujuan, sehingga kedua pihak dapat bertukar pendapat tentang suatu perkara tertentu“.[16]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami metode hiwar merupakan pengajaran agama Islam yang memfokuskan diri dalam bentuk pertukaran pandangan antara si siswa dengan gurunya atau sebaliknya. Bila dilihat secara seksama, metode ini mempunyai kesamaan dengan metode tersebut adalah metode tanya jawab dan metode diskusi.
Dalam pendidikan Islam, kisah mempunyai fungsi edukatif yang tidak dapat diganti dengan bentuk lain selain bahasa. Hal ini disebabkan kisah “Qur’ani dan Nabawi memiliki beberapa keistimewaan yang membuat dampak psikologis dan edukatif yang sempurna, rapih, dan jauh jangkauannya seiring dengan perjalanan zaman
b.      Metode Amtsal
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat dalam bentuk amtsal (perumpamaan) dalam rangka mendidik umatnya.[17] Demikian juga dalam proses pelaksanaan pendidikan sangat banyak perumpamaan-perumpamaan yang harus diberikan oleh seorang guru.
c.      Metode ‘Ibrah dan Mau’izah
‘Ibrah adalah suatu metode yang digunakan untuk melakukan pertimbangan dari kejadian-kejadian yang ada dalam Al-Qur’an. Sedangkan mau’izah adalah “metode yang pnekanannya kepada memperkuat ingatan terhadap kejadian-kejadian yang telah lalu, khususnya mengenai kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an”.[18]
Berdasarkan kutipan di atas, maka Ibnu Maskawaih cenderung memakai metode amtsal, karena pola pemikiran akhlak yang diterapkannya sesuai dengan Al-Qur'an dan hadits. Ibnu Maskawaih mengambil metode tersebut sebagai usaha untuk memberikan gambaran yang tepat kepada setiap orang yang ingin memperbaiki akhlaknya.

D.       Peran Akhlak dalam Kehidupan Sehari-Hari
Ajaran yang dibawakan oleh nabi-nabi sejak awal hingga lahirnya agama Islam, selalu menjaga martabat kemanusiaan agar tidak mengalami penurunan yang mengakibatkan menyamai martabat binatang. Tetapi apa yang dikhawatirkan oleh nabi-nabi, betul-betul terjadi di kalangan manusia, di mana mereka saling merusak dirinya dengan berbagai macam kedhaliman bahkan nabinya juga dimusuhi, dengan alasan bahwa dialah yang menghalang-halangi kebebasan mereka melakukan hal-hal yang dikehendakinya.
عن أبى هريرة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أعمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا (رواه أبو داود)[19]
Artinya: Tidak ada sesuatu amalan yang berat timbangan pada hamba daripada akhlak yang baik (H. R. Abu Daud)
وماخلقت الجن والإنسان الا ليعبدون (الذرية: ٥٦)
Artinya: Dan tidak Aku menciptakan jin dan manusia melainkan mereka hanyalah untuk menyembah-Ku (adz-Dzariyat: 56)
Dilihat dari seruan nabi dalam Al-Qur'an yang selalu mengajak umatnya menyembah Allah, karena keadannya manusia saat itu sudah terlalu sesat dalam kemusyrikan, bahkan sudah terlampau jauh dari kedudukan manusia sebagai hamba Allah, sehingga makin bergeser dari kedudukannya sebagai khalifah di bumi ini, yang seharusnya bertugas untuk menyembah-Nya, serta untuk memakmurkan dunia beserta seluruh penghuninya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui peranan akhlak dalam Islam, maka perlu diuraikan bahwa ada tiga macam sendi Islam yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya sehingga kualitas seorang muslim selalu dapat diukur dengan pelaksanaannya terhadap ketiga macam sendiri tersebut, yang mencakup:
1.        Masalah aqidah, yang meliputi enam macam rukun iman, dengan kewajiban beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat-Nya, dan qadar baik serta qadar buruk yang telah ditentukan-Nya.
2.        Masalah syari’ah, yang meliputi pengabdian hamba terhadap Tuhan-Nya, yang dapat dilihat pada rukun Islam yang lima, dengan kewajiban mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan ibadah haji di Baitullah. Dan muamalah juga termasuk masalah syari’ah yang meliputi perkawinan, pewarisan, hubungan perkonomian, masalah ketatanegaraan, perlindungan hak-hak dan kewajiban manusia dan sebagainya.
3.        Masalah ihsan, yang meliputi hubungan baik terhadap Allah SWT, terhadap sesama manusia serta terhadap seluruh makhluk di dunia ini.[20]

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa akhlak merupakan suatu hal yang sentral dalam kehidupan manusia yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Hanya manusialah yang dituntut untuk berakhlak mulia di antara makhluk ciptaan Allah SWT lainnya. Hal ini dituntut dari manusia,
karena ia di samping diciptakan dalam bentuk dan rupanya yang terindah, juga diberikan akal untuk memilih, menilai dan membandingkan antara baik, buruk atau benar dan salah dalam kehidupannya.
Hal tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah saw sebagai berikut:
عن عائشة رصي الله عنها قال رسول الله ضلى الله عليه وسلم: مازال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت انه سيورثه (رواه البخارى)[21]
Artinya: Dari Aisyah ra. Berkata Rasulullah saw bahwa:  tidak henti-hentinya Jibril menyuruh aku berbuat baik kepada tetangga, hingga sangka (merasa) bahwa tetangga itu akan dijadikan ahli waris (HR. al-Bukhari)
Berkenaan dengan hadits tersebut di atas, maka dapat difahamai bahwa akhlak yang mulia bertetangga yang baik itu akan mendatangkan kebaikan. Hal tersebut dalam hadits ini secara rasio dapat diterima, karena akhlak yang baik akan mendapatkan banyak kawan dan disukai orang sehingga semua kesulitan dapat dipecahkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peranan akhlak dalam kehidupan umat manusia sangat penting, karena akhlak merupakan salah satu pengetahuan yang mengatur secara langsung hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya.

E.        Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak
Dalam meningkatkan pembinaan akhlak di sebuah lingkungan masyarakat, tentunya dipengaruhi oleh beberapa hal yang berhubungan erat dengan peningkatan akhlak antara lain adalah:
Menurut Thoha ada tiga faktor yang mempengaruhi meningkatkanpembinaan akhlak, yaitu:
a.    Faktor Psikologis
Akhlak seseorang dalam kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh keadaan psikologis atau kejiwaan. Pengalaman mental merupakan salah satu faktor bagi seorang guru adalah menilai dan menanggapi suatu masalah. Kondisi psikologis yang sedang tenang akan menghasilkan fikiran yang rasional, sehingga prestasi yang diharapkan benar-benar tinggi. Bila kondisi seseorang sedang senang ia akan berpikir yang baik mengenai tata krama dalam masyarakat .[22]
b.    Faktor Keluarga
Keluarga yang merupakan tempat pertama kali anak belajar segala sesuatu. Pola pikiran orang tua secara perlahan-lahan akan ikut juga mewarnai pola pikiran anaknya. Bila orang tua memandang segala sesuatu masalah dari sudut pandang yang positif dan objektif, hal itu akan berpengaruh pada pola pikir anaknya dimasa mendatang.[23]
c.    Faktor Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang juga merupakan salah satu faktor pembentukan akhlak pada diri seorang anak.
            Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembinaan akhlak sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain:
1.     Faktor psikologis, termasuk emosional, keluarga dan lingkungan.
2.     Faktor karakteristik guru yang pada dasarnya berbeda dan unik dari guru lain.
3.     Faktor penilaian guru itu sendiri terhadap objek yang diamati berdasarkan hasil pembinaan, kebiasaan dan ketentuan yang berlaku dalam lingkungan tempat guru itu tumbuh dan berkembang.[24]
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembinaan akhlak juga meliputi:
a.      Tujuan Yang Hendak Dicapai
Setiap mata pelajaran tentunya mempunyai tujuan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Misalnya pada tujuan pengajaran tafsir al-Qur'an dan hadits berbeda dengan tujuan pelajaran akhlak. Dan pelajaran tauhid berbeda tujuannya dengan pelajaran fiqh, demikian juga sebaliknya.
Oleh karena itu tujuan umum maupun tujuan khusus dari masing-masing pelajaran memiliki perbedaan dan tekanannya masing-masing, maka implikasinya dalam pemilihan metode guru hendaklah mampu melihat perbedaan-perbedaan tersebut dan membawanya ke dalam situasi pemilihan riset metode yang dianggap paling tepat dan serasi untuk diterapkan.[25]
Berdasarkan keterangan di atas, menandakan bahwa penerapan metode pengajaran agama Islam harus disesuaikan dengan materi pelajaran yang akan diberikan, karena hanya dengan cara demikian barulah tujuan yang dikehendaki akan tercapai.
b.      Kemampuan Guru
Efektif tidaknya suatu metode juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru yang memakainya, di samping kepribadian guru memang cukup dominant pengaruhnya, misalnya seorang guru A oleh karena mahir dan cerdik dalam berbicara sehingga setiap pendengar menjadi terkesan dan terpukau dengan pembicaraannya, maka metode ceramah menjadi pilihan utama di samping metode lain sebagai pendukungnya. Akan tetapi metode ceramah tersebut akan menjadi tidak efektif bagi seorang guru yang pendiam dan tidak menguasai teknik-teknik metode ceramah yang baik.[26]
Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dipahami bahwa kemampuan guru sangat berperan untuk memilih metode yang sesuai dengan materi pelajaran yang diberikan. Jika metode yang digunakan tidak sesuai, maka proses belajar mengajar tidak akan berhasil. Oleh karena itu, kemampuan guru memegang peranan penting dalam menciptakan keberhasilan belajar mengajar.
c.      Anak Didik
Hal yang perlu diperhatikan pula dalam penggunaan metode adalah anak didik, karena guru berhadapan dengan makhluk hidup yang bernama anak didik itu, atau siswa dengan potensi dan fitrah yang dimilikinya memberi kemungkinan sekaligus harapan untuk berkembang dengan baik ke arah pribadi yang sempurna.[27]
Pada fitrahnya memang setiap individu anak didik itu telah diberikan hidayah kebaikan (berupa ketauhidan dan keimanan) oleh Allah SWT. Akan tetapi iman dan tauhid itu dapat saja berubah ke arah kelunturan apabila tidak disiram dan dipupuk dengan pendidikan dan bimbingan ke jalan menuju ke arah keimanan dan Islam. Guru di samping itu juga berhadapan dengan anak didik yang masing-masing memiliki perbedaan kemampuan, kecerdasan, karakter, latar belakang sosial ekonomi dan perbedaan tingkat usia antara satu dengan yang lain selamanya berbeda selama siswa berada dalam kelas. Oleh karena itu untuk mendukung hal tersebut diperlukan mengajar dengan kearifan sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahlu ayat 25 sebagai berikut:
ادع  إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين (النحل: ١٢٥)
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Q. S. an-Nahlu: 125)[28]

Tujuan Al-Qur’an mengajarkan manusia berdasarkan ajaran hikmah agar manusia lebih mudah dalam memahami dan menerima yang diberikan tersebut, sebab manusia pada dasarnya sudah memiliki fitrahnya untuk berbuat baik.
Sesuai dengan tujuan tersebut di atas, maka Ibnu Maskawaih menginformasikan pendidikan akhlak adalah menanamkan akhlak yang utama, seperti budi pekerti luhur dalam jiwa anak-anak, sejak kecil sampai ia mampu hidup dengan usaha dan tenaganya sendiri. Namun demikian semua itu tidak cukup ditanamkan saja, tetapi juga perlu dipupuk. Menanamkan sesuatu dalam jiwa anak, berupa akhlak, budi pekerti yaitu dengan cara memberikan petunjuk yang benar dan nasehat yang berguna, sehingga ajaran yang mereka terima tidak mengambang, tetapi benar-benar meresap ke dalam jiwanya.[29]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa Ibnu Maskawaih memulai pendidikan akhlaknya semenjak belum dewasa, karena pada usia tersebut anak-anak masih mampu meresapi apa yang disampaikan oleh gurunya. Bahkan dengan usia kanak-kanak semua kebiasaan yang baik dapat diaplikasikannya sampai ia dewasa.
Sementara itu bagi Ibnu Maskawaih sendiri menawarkan konsep pendidikan akhlak dengan merumuskan bahwa pendidikan merupakan media harmoni bagi daya-daya yang dimiliki manusia, yaitu pertama daya kebinatangan (al-nafs al-bahimiyyah) sebagai daya paling rendah, kedua, daya berani (al-nafs al-Syajaiyyah) sebagai daya pertengahan; dan ketiga daya berfikir (al-nafs al-nathiqiyyah) sebagai daya tertinggi.[30]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa daya kebinatangan merupakan daya terendah manusia yang memiliki kecenderungan kepada hal-hal negatif. Daya kebinatangan mencerminkan pribadi yang egois, anarkis, dan hedonis.


[1]Fachruddin HS., Berkenalan dengan Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 1

[2]Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Terj. Farid Ma’ruf, Cet. V, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal. 3
[3] Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t., hal. 133

[4]Ahmad Amin, Etika…, hal. 3
[5]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyeke Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an, 1990), hal. 532

[6]Imam al-Ghazali, Muqasyafatul Qulub, (Dar al-Kutub: Mesir, 1961), hal. 246

[7]Ahmad Amin, Etika dalam Islam, Terj. Farid MA’aruf (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal. 98

[8]Ahmad Hamid Yunus, Dairah al-Ma’arif, Jil. III, (Cairo: Al-Asy'ariah-Sya’ab, t.t.), hal. 436

[9]Zainal Abidin Ahmad, Pendidikan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 89

[10]Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.), hal. 65

[11]Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 115

[12]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980), hal. 48
[13]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hal. 54
[14]Mudlor Ahmad, Etika Islam, (Surabaya: Pustaka Setia, 1999), hal. 30

[15]Ibnu Maskawaih, , hal. 31
[16]Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, cet. II, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hal. 113
[17]Ibid., hal. 121

[18]Ibid., hal. 124
[19]Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 173
[20]Mahmud Syaltut, Aqidah dan Syari’ah, Terj. KH. Ali Yafie, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1990), hal. 55

[21]Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Dina, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 237
[22]Thoha, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 55

[23]Ibid., hal. 56

[24]Ibid, hal. 56
[25]Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, hal. 7

[26]Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Cet. V, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hal. 33

[27]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 39
[28]Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur'an, 1989), hal.
[29]Abdullah Zaki al-Kaaf, Membentuk Moral; Mempersiapkan Generasi Islami, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 203

[30]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hal. 54