Pengertian Pendidikan Ilmu Hadist
BAB II
PENDIDIKAN ILMU HADIST
A.
Pengertian Pendidikan Ilmu Hadist
Dalam hidup ini manusia tidak bisa
terlepas dari pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan Agama, karena
pendidikan itu sangat dibutuhkan dan menjadi perhatian orang dimana saja. Dalam
pengertian yang luas pendidikan dapat diartikan “sebagai sebuah proses dengan
metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan
cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan”.[1]
Pendidikan dapat membawa pembaharuan kondisi
hidup manusia lebih baik dari pada sebelumnya. Dengan demikian kita bisa
mengangkat nama baik keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini sudah menjadi tugas
dan kewajiban masyarakat, bangsa dan Negara untuk “melihat kelangsungan
pendidikan itu sendiri demi terwujudnya bangsa yang terhormat”.[2]
Meskipun
pendidikan merupakan fenomena dan usaha manusiawi yang pasti terselenggara
dimana pun manusia berada, namun fenomena dan usaha pendidikan memegang peranan
sentral dalam perkembangan individu dan umat manusia baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal tersebut,
pendidikan perlu didasarkan atas pemikiran yang matang, baik pikiran yang
bersifat teoritis maupun yang mengarah kepada pertimbangan praktis dalam rangka
mencapai hasil perkembangan dan pembudayaan manusia secara maksimal.
Pada dasarnya istilah pendidikan
tersebut memiliki pengertian yang sangat luas, sehingga sampai saat ini belum
ada keseragaman pengertian atau definisi pendidikan yang diberikan para ahli.
Masing-masing ahli pendidikan masih sangat dipengaruhi oleh pola pikirnya
masing-masing dalam memberikan pengertian pendidikan. Menurut Ahmad Tafsir
dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, menyebutkan bahwa
“pendidikan Islam adalah ilmu yang berdasarkan Islam yang berisi seperangkat
ajaran tentang kehidupan manusia, dan ajaran tersebut didasarkan pada Al-Qur'an
dan hadits”.[3]
Pendidikan merupakan kehidupan manusia
itu sendiri dan menjadi tuntunan hidupnya, apabila hasil yang diperoleh dalam
kehidupannya adalah produk pendidikan. Secara filosofis bahwa di dalam
pendidikan itu mengandung nilai-nilai yang sangat berharga dalam kehidupannya.
Bahkan dikatakan pendidikan itu mewariskan nilai-nilai kepada generasi. Di
sinilah pentingnya kelestarian, nilai dalam pendidikan sangat diutamakan.
Pewarisan nilai-nilai kepada generasi penerus tidak akan sampai kepada suatu
tujuan pendidikan bila tidak didasarkan kepada falsafah hidup dan sumber
pedoman kehidupan.
Berkenaan
dengan masalah tersebut di atas Wens Tainlain mengemukakan bahwa "Istilah paedagogigiek
(ilmu pendidikan) berasal dari kata yunani “pedagogues” dan dalam bahasa
latin pedagogues yang berarti pemuda yang bertugas mengantar anak
kesekolah serta menjaga anak itu agar ia bertingkah laku susila dan disiplin”.[4]
Berdasarkan
kutipan di atas dapatlah diketahui bahwa unsur membuat anak menjadi susila dan
beriman serta bertindak disiplin merupakan unsur yang dominant dalam membatasi
pengertian pendidikan. Sebab jika tidak menuju pada perbaikan susila dan
peningkatan kedisiplinan, bukan pendidikan namanya. Selain itu, John Dewey
dalam Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati lebih lanjut mengemukakan pengertian tentang
pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan (pedagogik) adalah proses
pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional.”[5]
Ajaran
Islam disyariatkan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang didasari
dengan kasih sayang dan rasa kebersmaan. Rasulullah sendiri pernah menjelaskan
bahwa dirinya diutuskan ke dunia ini untuk memperbaiki moral yang sudah rusak.
Islam bukanlah agama yang mementingkan akhirat saja, tetapi ajaran Islam dapat
mengembangkan kepentingan duniawi dan ukhrawi dalam mencapai keselamatan dan
kebahagiaan keduanya. Bahkan ajaran Islam tidak membedakan antara bangsa yang satu
dengan bangsa lain, antara satu manusia dengan manusia lainnya, kecuali tingkat
ketaqwaan yang lebih tinggi.
Bertolak
dari kutipan di atas dapatlah diketahui bahwa pengertian pendidikan itu
berkaitan erat dengan masalah proses pelaksanaan pendidikan secara praktis yang
berlangsung sehari-hari untuk membentuk keahlian dengan proses belajar
mengajar, yang membutuhkan intelektualitas.
Selanjutnya
dapatlah diketahui bahwa pendidikan itu adalah “upaya yang dilakukan secara
terarah, terpadu,sistematis untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaan
dalam berfikir, bertindak serta berprilaku yang baik dalam kehidupan mereka
sehari-hari sesuai dengan moral dan etika yang berlaku serta sesuai dengan
kaeda-kaedah pendidikan itu sendiri”.[6] Pengertian pendidikan
tersebut tidak terlepas dari maksud dan tujuan pendidikan itu sendiri yaitu
untuk meningkatkan kualitas pribadi dan masyarakat untuk mencapai kecerdasan
dan ketrampilan guna untuk meningkatkan harkat dan martabat serta untuk dapat
membangun diri dan masa depannya yang lebih cerah.
B.
Tujuan Pendidikan Ilmu Hadist
Risnayanty dalam bukunya ” Implementasi Pendidikan Agama Islam” mengemukakan 4 pakar Pendididkan
Agama Islam yang memberikan tanggapan tentang tujuan pendidikan Agama Islam,
diantaranya An-Nahlawy, Atiah Al- Abrasy’ Al-Jamili, dan Ibnu Khaldun.[7].
Adapun tujuan pendidikan nasional
sebagaimana ditentukan dalam Tap MPR NO. II/1993 adalah sebagai berikut.
Pendidikan nasional berdasarkan
Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
kecerdasan dan ketrampilan mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian
dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangun yang dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama
bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa.[8]
Pendidikan
menuntun segala kekuatan yang ada pada anak-anak agar ia tumbuh sebagai
individu dan sebagai anggota masyarakat yang bertanggungjawab. Pendidikan itu
merupakan suatu proses belajar mengajar, guna untuk menciptakan manusia yang
dapat berpikir ilmiah rasional, dan dapat berpikir kritis untuk memperbaiki
taraf hidupnya secara layak dan wajar.
Di dalam kurikulum MI tahun 2006, disebutkan tujuan umum
pembelajaran Hadits adalah sebagai berikut :
1.
Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap
pokok-pokok ilmu Hadits sehingga siswa mempunyai wawasan yang luas tentang
Hadits Nabi.
2.
Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keyakinan siswa
terhadap kandungan Hadits Nabi serta kemurnian dan kesempurnaan Hadits sebagai
pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Memberi pengetahuan dan motivasi agar siswa selalu
berpedoman pada Hadits Nabi, baik dalam hubungan antara dirinya dengan manusia
maupun alam, serta mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.[9]
Intinya, dalam pembelajaran hadits di Madrasah Aliyah
tersebut bertujuan agar peserta didik mengerti ajaran agama Islam yang
berhubungan dengan masalah yang dibicarakan, guru memberikan pengetahuan hadits
kepada peserta didik supaya peserta didik dapat mengarah kepada:
a. Kemantapan
membaca tanpa salah, sesuai dengan ketentuan membaca huruf Arab dan kemampuan
menghafalnya dengan mudah.
b. Kemampuan
memahami isi bacaan dengan sempurna, memuaskan akal, dan kemampuan menenangkan
jiwa.
c. Kemampuan
menerapkan ajaran Islam dalam menyelesaikan problem kehidupan sehari-hari.
d. Kemampuan
memperbaiki tingkah laku peserta didik melalui metode pengajaran yang tepat.[10]
Setiap masalah yang dibicarakan,
dalam arti dan maksud hadits, hendaklah selalu berorientasi kepada kenyataan
dan kebutuhan pada waktu tertentu. Yaitu kenyataan dan era yang tengah dihadapi
waktu pengajaran hadits diterimakan kepada peserta didik. Di samping itu, cara
dan kemungkinan pengalamannya harus dapat dipahami sehingga tujuan pengajaran
dapat dicapai.
Orientasinya tidak hanya itu,
masalah yang dibicarakan mesti membawa upaya-upaya peningkatan. Uraian-uraian
teks hadits yang disampaikan perlu dikemas dengan kata-kata yang menarik dan
diterima oleh akal sehat sesuai dengan jalan pikiran peserta didik yang
menerimanya. Isi dan orientasinya dapat mengikuti dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menghendaki uraian yang logis dan wajar. Yang
penting adalah bahwa isi ajaran yang terkandung dalam hadits ini jangan
dipisahkan dengan kenyataan.
Jelasnya, isi hadits yang diperoleh
dari pemahaman atas teks hadits harus diupayakan sejalan dengan kenyataan
empirik dan merangkul kenyataan sesuai dengan prinsip ajaran yang terkandung
dalam hadits itu. Hal itu tentu tidak mudah. Namun dengan latihan, kelincahan
menalar, memberi keterangan serta pembuktian yang dapat dilacak, ditambah
penguasaan pengetahuan yang komprehensif, akan dapat dicapai sesuai yang
dikehendaki.
C.
Metode Pendidikan Ilmu Hadist
Metode berasal dari Bahasa Yunani “Methodos’’ yang berarti cara atau
jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah,maka metode menyangkut
masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan[11].
Pengetahuan tentang metode-metode mengajar sangat di perlukan oleh para
pendidik, sebab berhasil atau tidaknya siswa belajar sangat bergantung pada
tepat atau tidaknya metode mengajar yang digunakan oleh guru.
Metode belajar yang mampu membangkitkan motif, minat atau gairah belajar
murid dan menjamin perkembangan kegiatan kepribadian murid adalah metode
diskusi. Metode diskusi merupakan suatu cara mengajar yang bercirikan oleh
suatu keterikatan pada suatu topik atau pokok pertanyaan atau problem. Di mana
para anggota diskusi dengan jujur berusaha mencapai atau memperoleh suatu
keputusan atau pendapat yang disepakati bersama[12].
Dalam metode diskusi guru dapat membimbing dan mendidik siswa untuk hidup dalam
suasana yang penuh tanggung jawab, msetiap orang yang berbicara atau
mengemukakan pendapat harus berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang dapat
diperanggungjawabkan. Jadi bukan omong kosong, juga bukan untuk menghasut atau
mengacau suasana. Menghormati pendapat orang lain, menerima pendapat yang enar
dan menolak pendapatb yang salah adalah ciri dari metode yang dapat dighunakan
untuk mendidik siswa berjiwa demokrasi dan melatih kemampuan berbicara siswa.
Agar suasana belajar siswa aktif dapat tercapai, maka diskusi dapat menggunakan
variasi model-model pembelajaran menarik dan memotivasi siswa. Dari sekan
banyak model pembelajaran yang ada, model pembelajaran jigsaw cocok untuk
digunakan dalam metode diskusi. Model pembelajaran jigsaw membantu murid untuk
mempelajari sesuatu dengan baik dan sekaligus siswa mampu menjadi nara sumber
bagi satu sama yang lain.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
metode diskusi adalah cara belajar atau mengajar yang melakukan tukar pikiran
antara murid dengan guru, murid dengan murid sebagai peserta diskusi.[13]”
Namun tidak semua kegiatan bertukar pikiran dapat dikatakan berdiskusi. Menurut
Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. diskusi pada dasarnya adalah suatu bentuk tukar
pikiran yang teratur dan terarah, baik dalam kelompok kecil atau besar, dengan
tujuan untuk mendapatkan suatu pengertian, kesepakatan, dan keputusan bersama
mengenai suatu masalah.[14]
Dalam
pengertian yang umum, metode adalah cara-cara penyampaian bahan pelajaran
kepada murid. Imamnsyah Ali Pane mengemukakan metode atau metodik adalah cara
yang sistematis yang digunakan oleh guru dalam menyajikan bahan pelajaran untuk
mencapai tujuan.[15]
Pengertian metode juga dikemukakan oleh Abu Ahmadi yang menyatakan bahwa
metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.[16] Menurut
Ramayulis, pengertian metode adalah “Langkah-langkah strategi dipersiapkan
untuk melakukan suatu pekerjaan.”[17]
Maka dari kutipan ini dapat disimpulkan bahwa metode adalah suatu cara dalam
melakukan atau mempersiapkan proses belajar mengajar. Berdasarkan keterangan di
atas, maka dapat dipahami bahwa metode adalah suatu cara sistematis yang digunakan
oleh guru dalam menyajikan bahan pelajaran untuk mencapai tujuan, yaitu
tujuan-tujuan yang diharapkan tercapai oleh siswa dalam kegiatan belajar. Dengan demikian, bahwa metode itu
merupakan suatu cara yang ditempuh dengan sistematis di mana dalam fungsinya
terletak suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai.
Selain itu ada
pula yang mengatakan bahwa metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji,
dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut.[18] Ada
lagi pendapat yang mengatakan bahwa metode sebenarnya berarti jalan untuk
mencapai tujuan.[19]
Jalan untuk mencapai tujuan itu bermakna ditempatkan pada posisinya sebagai
cara untuk menemukan, menguji, dan menyusun data yang diperlukan bagi
pengembangan ilmu atau tersistematisasikannya suatu pemikiran. Dengan
pengertian yang terakhir ini, metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk
mengolah dan mengembangkan suatu gagasan sehingga menghasilkan suatu teori
temuan. Dengan metode serupa itu, ilmu pengetahuan apapun dapat berkembang.
Dari pendekatan kebahasaan tersebut nampak bahwa metode
lebih menunjukkan kepada jalan dalam arti jalan yang bersifat non fisik. Yakni
jalan dalam bentuk ide-ide yang mengacu kepada cara yang mengantarkan seseorang
untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Namun demikian, secara terminologis atau
istilah kata metode bisa membawa kepada pengertian yang bermacam-macam sesuai
dengan konteksnya. Hasan Langgulung mengatakan, karena pelajaran agama
sebagaimana diungkapkan di dalam Al-Qur’an itu bukan hanya satu segi saja,
melainkan bermacam-macam, yaitu ada kognitifnya seperti tentang fakta-fakta
sejarah, syarat-syarat syah sembahyang, ada aspek afektifnya, seperti
penghayatan pada nilai-nilai keimanan dan akhlak, dan ada aspek psikomotorik
seperti praktek-praktek shalat, haji, dan sebagainya, maka metode untuk
mengajarkannya pun bermacam-macam, sehingga metode tarbiyah Islamiah itu
dapat diartikan sebagai metode pengajaran yang disesuaikan dengan materi atau
pelajaran yang terdapat dalam Islam itu sendiri.[20]
Di dalam proses belajar mengajar,
guru harus memiliki metode yang ditentukan agar siswa dapat belajar secara
efektif dan efisien serta sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Salah satu
langkahnya ialah harus menguasai teknik-teknik penyajian, atau biasanya sering
disebut dengan metode mengajar.
Omar Muhammad al-Tomy sebagaimana
dikutip dari buku Pengantar didaktik Metodik Proses Belajar
Mengajar mengemukakan bahwa:
Metode adalah semua aktivitas mengajar
dan belajar itu harus berdasarkan akhlak Islam yang mulia, metode yang
digunakan harus dapat membangkitkan semangat ajaran akhlak Islam, metode-metode
apapun dapat dipakai seperti metode diskusi, dialog, hafalan, ijtihad dan lain
sebagainya dapat dipakai, yang penting siswa itu menyadari bahwa mereka
berdialog dengan guru, berdiskusi secara bebas dengan gurunya tetapi mereka
juga harus ingat bahwa guru mereka harus dihormati dan dihargai.[21]
Demikian juga halnya dengan
pengajaran Ilmu
Hadits, dimana penggunaan metode mengajar harus berpedoman kepada tujuan yang
akan dicapai tanpa melupakan faktor siswa. Guru harus menggunakan metode yang
sesuai dengan situasi dan kondisi kelas saat berlangsungnya pelajaran tersebut.
Di samping itu, guru Hadits
sebaiknya menanamkan keyakinan, betapa pentingnya pelajaran tersebut, karena
pendidikan Islam bersumberkan pada al-Qur’an sesuai dengan tujuannya.
Memberikan pengetahuan Hadits kepada anak didik dan mampu mengarahkan kepada
pemantapan membaca dan memahami sabda Nabi secara menyeluruh, juga merupakan
intisari ajaran Islam yaitu apa yang termaktub dalam hadist. Sedangkan hadits dan sunah
Rasulullah merupakan penjelasan dari apa-apa yang dimaksud oleh al-Qur’an.[22]
Dalam penggunaan satu atau beberapa
metode maka harus diperhatikan syarat-syarat berikut :
Pertama, metode mengajar yang dipergunakan
harus dapat membangkitkan motif, minat, gairah belajar siswa. Kedua, metode mengajar yang dipergunakan harus dapat menjamin
perkembangan kegiatan kepribadian siswa. Ketiga, metode mengajar yang dipergunakan harus
dapat merangsang keinginan siswa untuk belajar lebih lanjut. Keempat, metode
mengajar yang dipergunakan harus mendidik murid dalam teknik belajar sendiri
dan cara memperoleh pengetahuan melalui usaha sendiri. Kelima, metode
mengajar yang dipergunakan harus dapat meniadakan penyajian yang bersifat
verbalitas dan menggantinya dengan pengalaman atau situasi yang nyata dan
bertujuan. Keenam, metode yang dipergunakan harus dapat menanamkan dan
mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikap utama yang diharapkan dalam kebiasaan
cara bekerja yang baik dalam kehidupan sehari-hari.[23]
Adapun cara-cara yang mudah dalam
pengajaran ilmu hadist
bagi siswa Madrasah Ibtidaiyah sebagai berikut :
Pertama, mengembangkan cara belajar dengan baik yang kemudian me-nimbulkan ilmu dirayah dan riwayah. Kedua, meneliti cara membaca al-Qur’an (qira’at) yang
telah berkembang mana yang sah dan sesuai serta mana yang tidak sesuai. Ketiga,
memberikan tanda-tanda baca dalam tulisan-tulisan mushaf sehingga mudah
dibaca dengan benar bagi mereka yang baru mempelajari ilmu7 hadist. Keempat,
memberikan tentang maksud dan
pengertian yang terkandung dalam hadist
yang diajarkan. Pada umumnya diajarkan penjelasan hadist yang diterima dan didengar dari nabi Muhammad yaitu berupa
hadits-hadits yang menjelaskan ayat-ayat yang bersangkutan.[24]
Menurut Abdurrahman al-Nahlawi, sebagaimana dikutip oleh.
Ahmad Tafsir dalam bukunya “Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam”, ada
beberapa metode yang dipergunakan dalam mendidik yang bukan hanya melewati
akal, melainkan langsung masuk ke dalam perasaan anak didik, melalui pendidikan
Ilmu Hadits. Metode-metode tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Metode hiwar (percakapan) Qurani
dan Nabawi
Hiwar ialah percakapan silih berganti
antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan
kepada suatu tujuan yang dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Dalam
percakapan itu bahan pembicaraan tidak dibatasi, dapat digunakan berbagai
konsep sains, seni, wahyu, hadits dan lain-lain. Kadang-kadang pembicaraan itu
sampai pada satu kesimpulan, kadang-kadang tidak ada kesimpulan karena salah
satu pihak tidak puas terhadap pendapat pihak lain. Yang manapun yang
ditemukan, hasilnya dari segi pendidikan tidak jauh berbeda, masing-masing
mengambil pelajaran untuk menentukan sikap bagi dirinya.
Hiwar mempunyai dampak yang dalam bagi
pembicara dan juga bagi pendengar pembicaraan itu. Itu disebabkan oleh beberapa
hal sebagai berikut:
- Hiwar itu berlangsung secara dinamis
karena kedua pihak terlibat langsung dalam pembicaraan, tidak membosankan.
Kedua pihak saling memperhatikan. Jika tidak memperhatikan, tentu tidak
dapat mengikuti jalan pikiran pihak lain. Kebenaran atau kesalahan masing-masing
dapat diketahui dan direspons saat itu juga, dan selanjutnya pembicaraan
berjalan terus. Topik-topik baru sering ditemukan dalam pembicaraan
seperti itu.
- Pendengar tertarik untuk
mengikuti terus pembicaraan itu karena ia ingin tahu kesimpulannya. Ini
biasanya diikuti dengan penuh perhatian, tampaknya tidak bosan dan penuh
semangat.
- Metode ini
dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa, yang
membantu mengarahkan seseorang menemukan sendiri kesimpulannya.
- Bila hiwar dilakukan dengan
baik, memenuhi akhlak tuntunan Islam, maka cara berdialog, sikap orang
yang terlibat, itu akan mempengaruhi peserta sehingga meninggalkan
pengaruh berupa pendidikan akhlak, sikap dalam berbicara, menghargai
pendapat orang lain, dan sebagainya.
Adapun kekurangan metode hiwar adalah sebagai berikut: a) Apabila terjadi perbedaan pendapat akan
banyak memakan waktu guna menyelesaikannya. b) Kemungkinan terjadi penyimpangan
perhatian anak didik terutama apabila terdapat jawaban yang kebetulan menarik perhatiannya,
tetapi bukan sasaran yang dituju. c) Kurang dapat secara cepat merangkum
bahan-bahan yang dipelajari. d) Memakan waktu yang lama.[25]
2.
Metode kisah Qurani dan Nabawi
Dalam
pendidikan Islam, terutama pendidikan agama Islam (sebagai suatu bidang studi),
kisah sebagai metode amat penting. Dikatakan amat penting, alasannya antara
lain sebagai berikut:
- Kisah dapat mengaktifkan dan
membangkitkan semangat siswa. Karena setiap anak didik akan senantiasa
merenungkan makna dan mengikuti berbagai situasi kisah sehingga anak didik
terpengaruh oleh tokoh dan topik kisah tersebut.
- Mengarahkan semua emosi
sehingga menyatu pada satu kesimpulan yang menjadi akhir cerita.
- Dapat mempengaruhi emosi,
seperti khauf, perasaan diawasi, rela, senang, benci, sehingga bergelora
dalam cerita.[26]
Adapun kekurangan-kekurangan dalam penggunaan metode kisah Qurani adalah sebagai berikut: a).
pemahaman siswa menjadi sulit ketika
kisah itu telah terakumulasi oleh masalah lain, b). bersifat
monoton dan dapat menjenuhkan siswa, c). Sering
terjadi ketidakselarasan isi cerita dalam kontek yang dimaksud sehingga
pencapaian tujuan sulit dicapai.[27]
Kisah Qur’ani bukanlah hanya
semata kisah atau semata-mata karya seni yang indah, ia juga suatu cara Tuhan
mendidik umat agar beriman kepada-Nya. Ditinjau dari dampak pedagogis, kisah Nabawi tidak
berbeda dari kisah Qurani. Akan tetapi bila ditinjau secara mendalam,
ternyata kisah Nabawi berisi rincian yang lebih khusus seperti
menjelaskan pentingnya keikhlasan dalam beramal, menganjurkan bersedekah dan
mensyukuri nikmat Allah.[28]
3.
Metode amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi
Metode ini
dapat juga digunakan oleh guru dalam mengajar. Pengungkapannya tentu saja sama
dengan metode kisah, yaitu dengan berceramah atau membaca teks. Kebaikan metode
ini antara lain sebagai berikut:
a. Mempermudah
siswa memahami konsep yang abstrak, ini terjadi karena perumpamaan itu
mengambil benda konkret seperti kelemahan tuhan orang kafir diumpamakan dengan
sarang laba-laba. Sarang
laba-laba memang lemah sekali, disentuh dengan lidi pun dapat rusak.
b. Perumpamaan dapat merangsang kesan
terhadap makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut. Seperti kata dharb dalam
surat
al-Baqarah: 26, dimaksudkan untuk mempengaruhi dan membangkitkan kesan,
seakan-akan si pembuat perumpamaan menjewer telinga pembaca dengannya
sehingga pengaruh jeweran itu meresap ke dalam kalbu.
c. Merupakan pendidikan agar bila
menggunakan perumpamaan haruslah logis dan mudah dipahami. Jangan sampai dengan
menggunakan perumpamaan malah pengertiannya kabur atau hilang sama sekali.
Perumpamaan harus memperjelas konsep, bukan sebaliknya. Keistimewaan
perumpamaan dalam al-Qur’an ialah natijah (konklusi) silogismenya justru
tidak disebutkan, yang disebutkan hanya premis-premisnya.
d. Amtsal Qurani
dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengarnya untuk berbuat amal baik dan menjauhi
kejahatan. Jelas hal ini amat penting dalampendidikan
Islam.[29]
4. Metode
Keteladanan
Dalam al-Qur’an kata teladan
diproyeksikan dengan kata uswah yang kemudian diberi sifat di belakangnya
seperti sifat hasanah yang berarti baik. Metode ini dianggap penting
karena aspek agama yang terpenting adalah akhlak yang termasuk dalam kawasan
afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku (behavioral).[30]
a. Metode pendidikan Islam berpusat
pada keteladanan. Yang memberikan teladan itu di lingkungan sekolah adalah
guru, kepala sekolah, dan semua aparat sekolah. Dalam pendidikan masyarakat,
teladan itu adalah pemimpin masyarakat. Dan dalam kehidupan keluarga adalah
ayah, ibu dan orang yang lebih tua.
b. Teladan untuk
guru-guru ialah Rasulullah SAW. Guru tidak boleh mengambil tokoh yang diteladani selain Rasul SAW.
Sebab, Rasul itulah teladan yang terbaik. Rasul meneladankan bagaimana kehidupan
yang dikehendaki Tuhan karena Rasul itu adalah penafsir ajaran Tuhan.[31]
Sebagaimana firman Allah dalam
ayat-Nya:
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً)
الأحزاب: ٢١(
Artinya: Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (Qs. al-Ahzâb: 21).
5. Metode
pembiasaan
Al-Qur’an dalam memberikan materi
pendidikan adalah kebiasaan yang dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini
termasuk merubah kebiasaan-kebiasaan yang negatif. “Al-Qur’an menjadikan kebiasaan itu
sebagai suatu metode pendidikan, mengubah seluruh sifat-sifat yang baik menjadi
kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu dengan mudah .
Kebiasaan yang digunakan oleh al-Qur’an tidak terbatas hanya kebiasaan yang
baik dalam perbuatan melainkan juga dalam bentuk perasaan dan pikiran”.[32]
Dalam proses belajar mengajar,
karena pembiasaan ini berintikan pengulangan, maka metode pembiasaan juga
berguna untuk menguatkan hafalan. Sehingga dengan seringnya mengulang, para
peserta didik akan lebih cepat menghafal materi pelajaran yang sedang
diajarkan. Bahkan Rasulullah pun sering mengulang-ulang berdoa dengan lafadz
yang sama, sehingga beliau hafal betul doa tersebut, dan para sahabatnya yang
mendengarkan doa itu pun juga hafal doa itu dengan sendirinya.
6. Metode
’ibrah dan mau’izah
Pendidikan Islam memberikan perhatian
khusus kepada metode ‘ibrah agar pelajar dapat mengambilnya dari
kisah-kisah dalam al-Qur’an, sebab kisah-kisah itu bukan sekedar sejarah,
melainkan sengaja diceritakan Tuhan karena ada pelajaran (’ibrah) yang
penting di dalamnya. “Adapun mau’izah, seperti ditafsirkan Rasyid Ridha,
adalah nasihat dengan cara menyentuh kalbu dan menggetarkan hati. Secara teori,
nasihat yang menggetarkan hati haruslah nasihat dengan menggunakan bahasa yang
menyentuh hati. Itu tidak mudah. Akan tetapi dengan keikhlasan dan
berulang-ulang, akhirnya nasihat itu akan dirasakan menyentuh kalbu
pendengarnya”.[33]
Begitu juga dalam proses
pembelajaran sehari-hari. Para peserta didik
dituntut untuk dapat mengambil ibrah atas apa yang mereka pelajari dari
kisah-kisah yang Allah ceritakan dalam al-Qur’an tersebut, sehingga itu
berbekas di hati mereka dan berpengaruh baik terhadap tingkah laku mereka.
7. Metode
targhib dan tarhib
Targhib adalah janji terhadap kesenangan,
kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Tarhib adalah ancaman karena
dosa yang dilakukan. Metode ini bertujuan agar orang mematuhi aturan Allah.
Tekanan targhib agar melakukan kebaikan, sedangkan tarhib agar
menjauhi kejahatan.
Targhib dan tarhib dalam pendidikan
Islam berbeda dengan metode ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Barat.
Perbedaan utamanya ialah targhib dan tarhib bersandarkan ajaran
Allah, sedangkan ganjaran dan hukuman bersandarkan hukum dan ganjaran duniawi.[34]
Maka dalam melaksanakan pendidikan,
hendaknya seorang guru lebih selektif dalam memilih hukuman yang akan diberikan
kepada peserta didik. Hukuman itu semestinya yang dapat mendidik mereka untuk
berubah dan memperbaiki diri untuk lebih baik. Begitu juga dengan ganjaran,
hendaknya yang dapat memotivasi peserta didik untuk terus berkembang dan lebih giat
lagi dalam proses belajar mengajar.
Adapun metode-metode mengajar al-Qur’an Hadits secara umum
yang sering dipraktekkan dalam proses belajar mengajar yang formal, serta
kelebihan dan kekurangannya masing-masing dapat dilihat pada penjelasan di
bawah ini :
1.
Metode
Ceramah
Metode ceramah adalah cara menyampaikan suatu pelajaran
tertentu dengan jalan penuturan secara lisan kepada anak didik atau khalayak
ramai. Dalam metode ini guru memegang peranan utama, jadi keberhasilan
pengajaran tergantung pada guru. Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW dan
para sahabat, dalam mengembangkan dan mendakwahkan agama Islam banyak
menggunakan dengan cara berceramah ini.[35]
Untuk mencapai hasil yang memuaskan dalam metode ini,
seorang guru harus menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
- Tujuan yang hendak dicapai atau
yang harus dipelajari oleh anak didik, harus dirumuskan dengan jelas.
- Menetapkan istilah-istilah atau
pengertian-pengertian yang akan dipergunakan dalam ceramahnya.
- Menyusun bahan ceramah dengan
teliti.
- Mengarahkan perhatian siswa
pada pokok masalah yang diceramahkan.
- Menanamkan
pengertian-pengertian dengan jelas.
- Mengadakan evaluasi untuk mengetahui apakah tujuan telah tercapai.[36]
2.
Metode
Tanya jawab
Metode tanya jawab dipergunakan untuk dapat mengetahui apakah
murid telah mengetahui fakta-fakta tertentu yang sudah diajarkan, atau apakah
proses pemikiran terdapat pada para murid. Dengan demikian guru dapat
mengetahui apabila murid belum mengerti, agar guru dapat mengulang kembali
sampai murid benar-benar mengerti. Jadi, metode tanya jawab lahir dari
ketidakpahaman siswa dalam memahami materi yang diterangkan guru atau siswa
lain yang memberikan argumentasinya.[37]
Dalam sejarah Islam, metode tanya jawab ini sering
diterapkan oleh Rasulullah SAW., misalnya ketika beliau mengutus sahabat Mu’az
ibn Jabal untuk menjadi hakim di negeri Yaman. Rasulullah SAW. bertanya kepada
Mu’az melalui sabdanya yang berbunyi;
كيف
تقضى إذا عرض لك قضاء؟ قال
أقضى بكـتاب الله
فإن لم أجد فبسنة
رسول الله فإن
لم أجد أجتهد رأيي ولا آلو.
فضرب رسول الله
على صدره وقال:
الحمد لله الذى وفّق
رسوله لما يرضى رسول
الله.
Artinya: “Bagaimana (Mu’az),
engkau memutuskan, apabila datang kepadamu suatu perkara? Mu’az menjawab: ‘Aku
putuskan berdasarkan kitab Allah. Jika aku tidak menemukan hukumnya dalam kitab
Allah, maka berdasarkan sunah Rasulullah. Dan jika aku tidak menemukan dalam
sunah Rasulullah, maka aku berijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan
mengabaikan (perkara itu).’ Lalu Rasul mengusap-usap pundak Mu’az seraya
bersabda: ‘segala puji bagi Allah yang mem-berikan taufik kepada utusan
Rasulullah kepada sesuatu yang diridhai oleh Rasulullah. (HR. Abu Daud).[38]
Adapun tujuan penggunaan metode tanya jawab adalah sebagai
berikut
: a). Untuk
merangsang anak didik agar perhatiannya terarah pada masalah yang dibicarakan,
b). Untuk mengarahkan proses pemikiran anak sebagai ulangan atau evaluasi
pelajaran yang telah diberikan, c). Untuk mengarahkan langkah-langkah berpikir
atau proses yang ditempuh dalam memecahkan soal/masalah, sehingga anak didik
berpikir secara sistematis.[39]
Metode ini sangat sesuai untuk
digunakan dalam pembelajaran al-Qur’an Hadits, sebab apabila ada hal yang
kurang dimengerti dapat ditanyakan langsung, metode tanya jawab ini benar-benar
mendorong anak didik untuk berani bertanya agar semua masalah yang ada dapat
diselesaikan.
3.
Metode
Diskusi
Metode diskusi adalah salah satu cara memecahkan persoalan
secara bersama-sama, dengan mengemukakan dan pertukaran pengetahuan yang ada
pada guru dengan murid, sehingga akan menemukan jawaban yang tepat. Metode
diskusi adalah cara yang baik untuk merangsang murid-murid berpikir dan
mengeluarkan pendapat sendiri, serta ikut mengembangkan pikiran dalam satu
masalah bersama.[40]
Metode diskusi ini pada umumnya akan membuat suasana kelas
lebih hidup, karena siswa lebih aktif dan bersemangat Di mana setiap siswa
mendapat kesempatan untuk mengemukakan pendapat mereka masing-masing. Jadi
metode diskusi ini merupakan proses pembelajaran yang menyebabkan terjadinya
interaksi antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa. Dalam pembelajaran al-Qur’an Hadits
metode ini sangat bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana ilmu yang telah
diajarkan dapat dikuasai oleh siswa, dan apabila terdapat perbedaan pendapat
dapat diselesaikan secara bersama-sama.
Dalam al-Qur’an, Allah menganjurkan kepada kita untuk
berdiskusi dan bermusyawarah secara baik dalam menghadapi berbagai masalah yang
dihadapi bersama, dalam ayat-Nya yang berbunyi :[41]
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ
لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ) آل عمران: ١٥٩(
Artinya:
Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut ter-hadap
mereka. Sekiranya kamu bersikeras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah me-reka, mohonlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawarah dengan me-reka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan te-kad, maka bertawakallah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah me-nyukai orang-orang
yang bertawakal kepada-Nya. (QS.
Ali Imran: 159).
Dalam
upaya menghidupkan proses pembelajaran yang efektif maka Tujuan penggunaan metode diskusi antara lain:
- Mendorong anak didik berpikir
dan mengeluarkan pendapatnya dengan dasar argumentasi yang kuat dan
akurat.
- Mendorong anak didik untuk
mengembangkan daya imajinasi dan intuitif serta daya pikir yang kritis.
- Mendorong anak didik
menyumbangkan buah pikirnya untuk memecahkan masalah bersama.
- Mengambil satu atau beberapa
alternatif jawaban untuk memecahkan masalah berdasarkan pertimbangan yang
seksama.[42]
Dari
uraian di atas jelas bahwa metode pembelajaran al-Qur’an Hadits bermacam-macam,
ini berarti tidak ada satu metode pun yang sempurna. Dengan demikian metode
mengajar tersebut akan saling menutupi kelemahan masing-masing sehingga hasil
pengajaran yang diperoleh akan mencapai sasarannya.
Jadi seorang guru harus menggunakan metode yang
bermacam-macam dan tidak akan berhasil dengan baik pembelajaran al-Qur’an
Hadits jika guru hanya menggunakan satu metode saja. Dengan demikian sangatlah
dituntut kemampuan guru al-Qur’an Hadits agar memiliki dan memahami berbagai
metode mengajar, dan seorang guru hendaklah lebih selektif dalam memilih metode
sesuai dengan materi yang diajarkan, tujuan yang ingin dicapai serta situasi
dan kondisi kelas di mana pembelajaran sedang berlangsung.
D.
Evaluasi Pendidikan Ilmu Hadist
Secara
harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation,[43]
dalam bahasa Arab: al-Taqdir/Penilaian.[44]
Menurut istilah evaluasi berarti kegiatan yang terencana untuk mengetahui
keadaan suatu objek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan
dengan tolak ukur tertentu guna memperoleh kesimpulan. Evaluasi pendidikan dan
pengajaran adalah proses kegiatan untuk mendapatkan informasi data mengenai
hasil belajar mengajar yang dialami siswa dan mengolah atau menafsirkannya
menjadi nilai berupa data kualitatif atau kuantitatif sesuai
dengan standar tertentu.[45]
Sedangkan
secara istilah, ada beberapa pendapat, namun pada dasarnya sama, hanya berbeda
dalam redaksinya saja. Oemar Hamalik mengartikan evaluasi sebagai suatu proses
penaksiran terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan peserta didik untuk
tujuan pendidikan.[46] Sementara
Abudin Nata menyatakan bahwa evaluasi sebagai proses membandingkan situasi yang
ada dengan kriteria tertentu dalam rangka mendapatkan informasi dan
menggunakannya untuk menyusun penilaian dalam rangka membuat keputusan.[47]
Kemudian menurut
Suharsimi Arikunto, “evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi
tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk
menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan”.[48] Dan Edwind Wandt sebagaimana yang dikutip oleh
Ramayulis berpendapat “evaluasi adalah
suatu tindakan atau proses dalam menentukan nilai sesuatu”.[49]
Adapun M. Chabib Thoha, mengutarakan bahwa “evaluasi merupakan kegiatan yang
terencana untuk mengetahui keadaan objek dengan menggunakan instrumen dan
hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan”.[50]
Menurut Anas
Sudijono, “evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan
informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut
digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan”.[51]
Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi yang
berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan
diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.
Dari beberapa
pendapat, dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi yaitu suatu proses dan
tindakan yang terencana untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan,
pertumbuhan dan perkembangan (peserta didik) terhadap tujuan (pendidikan),
sehingga dapat disusun penilaiannya yang dapat dijadikan dasar untuk membuat
keputusan. Dengan demikian evaluasi bukan sekedar menilai suatu
aktivitas secara spontan dan insedental, melainkan merupakan kegiatan untuk
menilai sesuatu yang terencana, sistematik dan berdasarkan tujuan yang jelas.[52] Jadi dengan evaluasi diperoleh informasi dan
kesimpulan tentang keberhasilan suatu kegiatan, dan kemudian kita dapat
menentukan alternatif dan keputusan untuk tindakan berikutnya.
Selanjutnya,
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau tehnik penilaian terhadap
tingkah laku anak didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif
dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental-psikologis dan spiritual religius,
karena manusia bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religius,
melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup beramal dan berbakti
kepada Tuhan dan masyarakatnya.[53] Evaluasi pendidikan Islam adalah suatu kegiatan
untuk menentukan taraf kemajuan suatu aktivitas di dalam pendidikan Islam.[54] Program evaluasi ini diterapkan dalam rangka
mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menyampaikan materi
pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan
materi, metode, fasilitas dan sebagainya.[55]
Oleh karena
itu, yang dimaksud evaluasi dalam pendidikan Islam adalah pengambilan sejumlah
keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam guna melihat sejauhmana
keberhasilan pendidikan yang selaras dengan nilai-nilai Islam sebagai tujuan
dari pendidikan Islam itu sendiri.[56] Jadi evaluasi pendidikan Islam yaitu kegiatan
penilaian terhadap tingkah laku peserta didik dari keseluruhan aspek
mental-psikologis dan spiritual religius dalam pendidikan Islam, dalam hal ini
tentunya yang menjadi tolak ukur adalah al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan
pelaksanaan evaluasi ini bukan hanya pendidik juga keseluruhan aspek/unsur
pendidikan Islam
Evaluasi
merupakan bagian penting dalam proses pendidikan. Proses evaluasi dimaksud
adalah proses penilaian terhadap keberhasilan kegiatan pendidikan yang
berlangsung. Penilaian terhadap rancangan dan penerapan sistem, teknis serta
alat pendidikan adalah usaha untuk mengetahui hasil yang telah diperoleh.
Apakah murid itu berubah kelakuannya kearah yang dicita-citakan. Apakah
pengajaran yang diberikan menemui sasaran dan bahan yang diajarkan telah
dikuasai sampai pada taraf yang telah ditentukan. Apakah sistem, teknis serta
alat telah ditetapkan sebagaimana mestinya dan lain-lain sebagainya.
Penilaian sangat penting dilakukan
dalam proses belajar mengajar, karena dengan adanya penilaian dapat diketahui
hasil yang telah dicapai, serta dapat diketahui pula kendala dan kelemahan
sehingga dapat diperbaiki. S. Nasution
mengemukakan bahwa “Evaluasi sangat besar manfaatnya dan merupakan syarat
mutlak untuk perbaikan”[57].
Evaluasi tersebut dilakukan terhadap rancangan dan penerapan yang meliputi
perihal sistem, teknis dan alat yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Proses
pendidikan Islam saat ini sangat membutuhkan evaluasi untuk menilai sejauhmana
keberhasilan dan kegagalan pendidikan sebagai langkah penyempurnaan pada masa
yang akan datang.
Beberapa perangkat teknologi yang
sedang dikembangkan saat ini yang dapat dijadikan sarana evaluasi dalam
pendidikan antara lain, seperti : Pertama, Penyimpanan
dari pengolahan informasi. Komputer selain menyimpan informasi dapat pula
berfungsi sebagai pengolahan data, sehingga mempermudah
penyiapan tulisan, berita dan data bagi media massa. Ia dapat berfungsi sebagai
bank data. Tehnologi perekaman pun berkembang dalam bidang audio visual
seperti pembuatan film video. Kedua, Pengiriman dan
penyaluran informasi (Telekomunikasi). Dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan tehnologi dibidang ini, sehingga telekomunikasi yang lebih sempurna lebih
cepat, lebih efisien lebih murah dan dengan kapasitas yang sangat tinggi. Aneka
jenis informasi seperti suara, data dan gambar dapat disalurkan sekaligus pada
saat yang sama sehingga memungkinkan pelayanan komunikasi baru Ketiga, Tehnologi
jaringan juga makin berkembang, sehingga mampu menghubungkan berbagai perangkat
informasi dengan komunikasi, umpamanya komputer rumah dengan komputer
dihubungkan melalui telepon dan Keempat, Penyiaran dan pengiriman
komunikasi. Di bidang televisi peningkatan atau penyempurnaan
peralatan konsumen, siaran-siaran lebih sempurna, memberikan tuntunan terhadap
mutu yang diinginkannya. Begitu juga dibidang telekomunikasi, seperti radio,
telepon makin ditingkatkan sesuai dengan kemajuan tehnologi. Kesemua ini
menambah alternatif jalur dan memperluas jaringan komunikasi yang cepat bagi
kepentingan masyarakat[58].
Proses evaluasi yang disesuaikan
pemanfaatan teknologi komunikasi berarti suatu proses pemanfaatan teknologi
pendidikan dalam menilai keberhasilan pendidikan Islam. Teknologi pendidikan
memiliki strategi dalam penerapannya yang meliputi rancangan sistem, teknis dan
alat serta penilaian sistem. Merancang
sistem, teknis dan alat pendidikan sangat penting dipikirkan oleh pakar
pendidikan Islam, terutama untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam melalui
teknologi pendidikan, dan kurangnya mutu pendidikan Islam turut juga di
pengaruhi oleh rancangan sistem, teknis serta alat pendidikan karena dengan
adanya rancangan yang baik dalam hal sistem, teknis serta alat pendidikan akan
dapat meningkatkan mutu pendidikan, terutama semakin mudah dilakukan penerapan
dan penilaian (evaluasi).
[1]Muhibbin
Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. VIII, (Jakarta:
Rosda, 2003), hal. 10.
[3]Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, cet.VI, (Bandung: Rosda Karya, 2004), hal. 13.
[7] Risnayanti, Implementasi Pendidikan Agama
Islam, Cet. IX, (Jakarta: Perpustakaan Umum, 2004), hal.
15-17.
[9] Tim Penulis IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 48.
[10] Habib Thoha, dkk., Metodologi..., hal. 63.
[12]
Hamalik, Proses..., hal. 15.
[14] Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S., Pembinaan Kemampuan Berbicara
Bahasa Indonesia, Cet. II, (Jakarta: Erlangga, 1991), hal. 37.
[15]Imansyah Ali Pane, Didakdik Metodik
Pendidikan Umum, Cet. III, (Surabaya: Usaha Nasional, 1999), hal. 71.
[20]Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
Cet. IV, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995). hal. 65.
[21] Tim Penulis IKIP Surabaya, Pengantar..., hal. 53.
[22] Zuhairi, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Cet. VII, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1992), hal. 76.
[23] Zuhairi, dkk., Sejarah..., hal. 53.
[24] Zuhairi, dkk., Sejarah..., hal. 81.
[25] Abu Ahmadi dan Joko Prasetyo, Strategi
Pembelajaran, Cet. IV, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1994), hal. 57.
[26] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Cet.
III, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hal.161.
[27]
Armai Arief, Pengantar …, hal.161.
[28] Ahmad Tafsir, Ilmu..., hal. 141.
[29] Ahmad Tafsir, Ilmu..., hal. 141.
[30] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. VII, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997), hal. 95.
[31] Tafsir, Ilmu.., hal. 143.
[33] Tafsir, Ilmu..., hal. 145-146.
[34] Tafsir, Ilmu..., hal. 145-146.
[35] Tayar Yusuf dan Saiful
Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, Cet. V, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 41.
[36] Johar, Strategi..., hal. 106.
[37] Oemar Hamalik, Metode Mengajar dan
Kesulitan-kesulitan Belajar, Cet. VII, (Bandung: Usaha Nasional,
1993), hal. 55.
[38] Abu Daud, Sunan Abu
Daud, Juz III, (Kairo: Darul Hadits, 1999), hal. 1554.
[39] Johar, Strategi..., hal. 119.
[40] Abd. Rahman Shaleh, Didaktik Pendidikan Agama di Sekolah Dasar dan
Petunjuk Mengajar Bagi Guru Agama, Cet. II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999),
hal. 107.
[41] Anwar, Metodologi...,
hal. 64.
[42] Zakiah Daradjat, dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Cet.
III, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 296.
[45]http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/09/17/indikator-pencapaian-kompetensi-dan-tujuan-pembelajaran-dalam-ktsp/ diakses tanggal. 17-09-2009.
[47]
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Cet I, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 307.
[48]
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Cet. IV, (Jakarta: Bumi Aksara,1990). hal. 3.
[50] M.
Chabib Thoha, Tehnik-tehnik Evaluasi Pendidikan, Cet. II, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1990), hal. 34.
[51] Anas
Sudijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Cet. III, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1995), hal. 34.
[53]M.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, Cet. III, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009), hal.162.
[54]Zuhairini,
dkk., Metodik Khusus pendidikan Agama, Cet. III, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1981), hal. 139.
[55]Abdul
Mujib & Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II,(Jakarta: Kencana, 2008), hal.
211.
[56]
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Cet I,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 54.