Pentingnya Sifat Fathanah Dalam Islam


D. Pentingnya Sifat Fathanah Dalam Islam.

            Fathanah menjadi sifat yang paling penting dalam Islam yaitu karena sifat Fathanah (cerdas) dapat memecahkan problematika yang terjadi dalam masyarkat dngan melakukan istinbat hukum didalam Islam dengan menempuh jalan ijtihad. Untuk itu ilmu dan kecerdasan merupakan hal yang sangat dipentingkan. Seperti contoh didalam menyimpulkan hukum Islam hasil pemikiran (akal) manusia dengan berpedoman kepada Al-qur'an (Wahyu) yang berasal dari Tuhan dengan Sunnah Nabi yang Maksum sebagai "bayan" (penjelas), merupakan kebenaran dan terbebas dari kesalahan. Namun anda sudah pasti setuju bahwa produk akal adalah relatif sedang kebenaran mutlak bersumber dari Tuhan.5 Perlu kita ketahui bahwa didalam beragama ada beberapa hal yang harus kita perhatikan diantaranya:
1.     Adanya jalan yang haq, benar, lurus dalam beragama dan ada juga jalan yang bathil, salah, sesat dalam beragama.
2.      Tidak ada yang paling tahu tentang jalan yang haq, benar, lurus dalam beragama (secara umum) begitu juga dengan jalan yang bathil, salah, sesat dalam beragama (secara umum) selain Tuhan itu sendiri. Bagaimana cara manusia mendapat ilmu Tuhan itu? Jawabannya ialah lewat Wahyu. Orang yang mendapat wahyu dari Allah disebut Nabi atau Rasul. Berhubung komunitas kita masih beragama Islam (paling tidak berlabel Islam), maka Wahyu yang dimaksud dalam jawaban ini tidak lain adalah wahyu terakhir (yakni al-Quran) yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir (yang beranama Nabi Muhammad saw).
3.     Untuk mengetahui jalan yang haq, benar, lurus dalam beragama serta jalan yg bathil, salah, sesat dalam beragama kita harus merujuk pada firman Allah dalam al-Quran dan juga sabda Rasulullah dalam al-Hadits dan Sunnah-nya.
Disamping dari pada itu, Orang yang cerdas adalah mereka yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal (berbuat) untuk masa sesudah mati,
Sedang orang yang lemah ialah mereka yang mengikuti nafsunya dan berangan-angan kepada Allah. kecerdasan sesorang dapat diukur dari kemampuannya dalam mengendalikan hawa nafsunya (cerdas emosi) dan mengorientasikan semua amalnya pada kehidupan sesudah mati (cerdas spiritual). Mereka yakin bahwa ada kehidupan setelah kematian, mereka juga percaya bahwa setiap amalan di dunia sekecil apapun akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.6
Keyakinan tentang keabadian, menjadikannya lebih berhati-hati dalam menapaki kehidupan di dunia ini, sebab mereka percaya bahwa kehidupan ini tidak sekali di dunia ini saja, tapi ada kehidupan yang lebih hakiki. Dunia adalah tempat menanam, sedangkan akhirat adalah tempat memanen. Siapa yang menanam padi akan menuai padi. Siapa yang menanam angin akan menuai badai.
Tidak hanya bersikap hati-hati, orang yang cerdas spiritual nya lebih bersemangat, lebih percaya diri dan lebih optimis. Mereka tidak pernah ragu-ragu berbuat baik, sebab jika kebaikannya tidak bisa dinikmati saat di dunia mereka masih bisa berharap mendapatkan balasannya di akhirat nanti. Jika tidak bisa dinikmati sekarang, amal kebaikan itu akan berubah menjadi tabungan atau deposito secara otomatis yang kelak akan dicairkan justru pada saat mereka sangat membutuhkan di alam kehidupan sesudah mati. Saat menanam pohon, misalnya mereka sangat antusias. Mereka yakin jika pohon tersebut nantinya berbuah tidak ada yang sia-sia sekalipun buahnya dimakan burung atau dimakan orang lain. Sekalipun ia tidak menikmati buah itu di dunia ini, ganjaran nya akan dipetik di akhirat nanti.
Orang-orang ini, ketika melihat ketidak adilan di dunia tidak segera putus asa. Sekalipun para koruptor bebas berkeliaran, sedang orang-orang sholeh justru dipenjarakan, mereka tetap memandang dunia dengan pandangan yang positif. Mereka tetap berjuang menegakan keadilan, sekalipun keadilan yang hakiki barus dirasakan kelak di akhirat. Di depan mahkamah Illahi tidak ada barang bukti yang hilang atau sengaja dihilangkan. Mulut dikunci dan semua anggota tubuh bersaksi.
Ciri orang yang cerdas sebenarnya telah tampak jelas dalam derap langkahnya, ketika mereka membuat rencana, saat mengeksekusi rencananya dan pada saat melakukan evaluasi. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari saat sendirian atau dalam interaksi sosialnya nampak wajah nya yang sennatiasa bercahaya , memancarkan energi positif, menjadi magnet power, penuh motivasi, menjadi sumber inspirasi, dan berfikir serta bertindak positif. Mereka akan bersikap baik dan benar baik ketika ditengah keramaian maupun disaat sendirian karena dimanapun dia berada merasa dilihat oleh Allah. Orang seperti ini mempunyai integritas (selaras antara kata dan perbuatannya).[1]
Orang yang cerdas emosi dan spiritual enak diajak bergaul, karena mereka telah terbebas dari su’udzan (buruk sangka, hasad (iri atau dengki) dan takabur (menyombongkan diri). Orang-orang inilah yang memiliki potensi untuk meraih sukses di dunia sekaligus sukses menikmati kehidupan surgawi di akhirat nanti. Semoga Allah SWT menganugrahi kepada kita gabungan tiga kecerdasan sekaligus, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Kita dapat melihat dalam kehidupan bahwa, Anak yang memiliki emosi cerdas, akan mengambil tindakan cukup simpatik ketika dihadapkan pada situasi yang menegangkan. Mereka bisa mengendalikan emosi ketika ketegangan muncul saat menghadapi soal-soal ujian yang luar biasa sulitnya. Mereka mampu menenangkan kekalutan jiwanya, kemudian mencoba berpikir jernih dalam mengambil tindakan selanjutnya.
Kemampuan si anak mengelola emosinya, telah memperbaiki hasil nilai ujiannya, sehingga ia mampu meraih peringkat tinggi di kelas. Sementara temannya yang tak mampu mengelola emosinya dengan baik, begitu gugup dan jatuh mentalnya dalam mengerjakan soal ujian, hingga pikirannya tak mampu mengingat rumus-rumus yang sebelumnya sudah ia hafal di luar kepala. Kejadian ini cukup memberikan gambaran, bagaimana kecerdasan emosi anak bisa turut menentukan tingkat kecerdasannya.
Selain itu, mereka yang memiliki EQ tinggi, adalah mereka yang mengetahui persis kelemahan dirinya. Hanya mereka yang tahu kelemahan dirinyalah yang punya modal untuk memperbaiki diri. Kalau seseorang yang pemarah tak mau dikatakan pemarah, yang mudah tersinggung pun selalu tersinggung jika orang lain mengkritiknya, jangan diharap bisa melakukan perbaikan diri. Itu sebabnya, kecerdasan emosional merupakan syarat utama bagi mereka yang ingin memperbaiki diri dan ingin meningkatkan kualitas potensi sumber daya manusianya.
Mereka yang EQ-nya terasah, akan memiliki satu atau beberapa dari banyak karakter-karakter mental yang positif, seperti sabar, rajin, ulet, pantang putus asa, percaya diri, tenang, supel hingga tawadhu'. Dengan adanya sifat-sifat positif ini, akan lebih mudah lagi mencapai peningkatan intelektual (IQ). Sebaliknya, setinggi apapun IQ, bisa tak berfungsi jika tak memiliki sifat-sifat positif tadi. Yang lebih penting dalam Islam adalah kecerdasan itu dapat menjadikan manusia ta’at kepada tuhannya dan berbuat baik terhadap sesamanya di dunia sehingga dia menjadi orang yang beruntung di dunia dan diakhirat.[2]
            Kecerdasan yang diiringi dengan kebaikan juga berarti profesional dalam bekerja, baik dalam pelaksanaan, dan bagus dalam memberi yang meliputi fenomena kehidupan seorang laki-laki yang benar-benar baik. Maka jika engkau melihat akhlaknya engkau menemukan akhlaknya yang baik, dan sesungguhnya orang yang paling dicintai dan paling dekat kepada Rasulullah SAW. adalah (Yang paling baik akhlaknya darimu)[3]. Dan apabila engkau melihat kepada semua perbuatan orang yang baik niscaya engkau menemukan perbuatan ihsan padanya secara umum, karena itulah Rasulullah mengabarkan bahwa termasuk sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amal pebuatannya. Maka kecerdasan yang diiringi dengan kebaikan dapat menggiringnya kepada taubat dan intropeksi diri sebelum tibanya kematian.[4]




               5 Mulyasa, E, Menjadi Guru Profesional : Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung : Remaja Rosdakarya., 2005). Hal. 23

               6 A. Atmadi , (ed.), Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga,( Yogyakarta: Kanisius,  2000 ). hal. 34

               [1] Andrias Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, ( Jakarta,PT. Kompas Media Nusantara, 2001).hal. 54

[2] Mulyasa. Menjadi Guru Profesional, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,2006 ). Hal. 54.
[3]  Shahih Sunan Tirmidzi 2./196 (Shahih).
            [4] Ismail SM dan Abdul Mukti (ed.), Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, ( Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2000). Hal. 32


0 Comments