A. Perkembangan Tasawuf
Ketika kaum muslimin mengalami kemunduran dalam
hal kekuatan politik dan militer, serta pada waktu mundurnya kegiatan
intelektual Islam pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi (abad ke-6 dan ke-7
Hijriyah), gerakan-gerakan sufi-lah yang memelihara jiwa keagamaan di kalangan
kaum muslimin, serta mereka pulalah yang menjadi perantara menyebarnya agama
Islam ke luar dearah Timur Tengah, etrutama ke Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Bahkan, bagi Nurcholis, di
beberapa tempat seperti India struktur organisasi gerakan tasawuf telah
membentuk masyarakat setempat begitu rupa sehingga medekati pola-pola yang ada
di dunia Islam (Timur Tengah). Keadaan serupa juga berlaku untuk Indonesia
khususnya di Jawa seperti Ampel dan Giri[1].
Tasawuf, dimana-mana merupakan bagian dari
ajaran-ajaran Islam yang paling mudah dan cepat menyesuaikan diri dengan
tradisi dan bahkan mistik masyarakat setempat. Beberapa tokoh yang berpengaruh
secara signifikan antara lain: al-Ghazali (450-505 H./1058-111 M.), yang telah
menguraikan konsep moderat tasawuf akhlaqi yang dapat diterima di kalangan para
fuqaha’, Ibnu ‘Arabi (560-638 H./1164-1240 M.), yang karyanya sangat
mempengaruhi ajaran hampir semua sufi, serta para pendiri tarekat semisal ‘Abd.
al-Qadir al-Jaylani (470-561 H./10771-165 M.) yang ajarannya menjadi dasar
tarekat Qadiriyah, Abu al-Najib al-Suhrawardi (490-563 H./1096–1167 M.), Najmudddin al-Kubra (w. 618 H./1221 M.) yang
ajarannya sangat berpengaruh terhadap tarkeat Naqsyabandiyah, Abu al-Hasan al-Syadzali (560-638 H./1196-1258
M.) sufi asal Afrika dan pendiri tarekat Syadzaliyah, Bahauddin al-Bukhari al-Naqsyabandi (717-781
H./1317-1389 M.), dan ‘Abdullah al-Syattar (w. 832 H./1428 M.).[2]
Metode tasawuf yang dikembangkan mereka adalah kesinambungan tasawuf al-Ghazali[3].
Tasawuf yang berkembang pertama kali di abad
ke-15 Masehi sangat berbeda dengan tasawuf yang dipahami dan berkembang luas di
tengah masyarakat sekarang ini. Tasawuf pada masa itu masih kental dengan
ajaran-ajaran filasafisnya, mempunyai watak dinamis akibat nilai-nilai
spekulatif-nya (tasawuf falsafi).
Sementara pada saat ini, tasawuf yang diajarkan leih pada aspek amaliah
yang bisa diamalkan secara luas dengan menekankan pada amalan dan wiridan-wiridan, kurang
menonjolkan pengungkapan rasa cinta mahabbah kepada Allah, dan kaang-kadang
sulit dibedakan dengan pendidikan akhlaq.
Fase abad pertama dan kedua hijriyah belum bisa
sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf, tetapi lebih tepat disebut sebagai
fase kezuhudan.[4]
Menurut para ahli sejarah tasawuf, Zuhud atau Asketisisme merupakan fase
yang mendahului tasawuf. Dalam Islam, Asketisisme mempunyai pengertian khusus.
Asketisisme bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi. Akan
tetapi ia adalah hikmah pemahaman yang membuat
para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi,
di mana mereka tetap bekerja dan berusaha akan tetapi kehidupan duniawi tidak
menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari
Tuhannya. Karena itu asketisisme tidak bersyaratkan kemiskinan. [5]
Tasawuf pada fase pertama dan kedua hijriyah
lebih tepat disebut sebagai kezuhudan. Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim
sebagai panutan jalan pada Zahid. Pada
masa ini terdapat fenomena kezuhudan yang cukup menonjol yang dilakukan oleh
sekelompok sahabat Rasul SAW yang disebut ahl al-shuffah, mereka tinggal di emperan
masjid Nabawi Madinah.[6]
Menurut Abd. Al-Hakim Hassan corak kehidupan
spiritual Ahl al-Shuffah sebenarnya bukan karena dorongan ajaran Islam akan
tetapi corak itu didorong oleh keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan sehingga
mereka tinggal di masjid.[7]
[1]
Nurcholis Madjid, Keilmuan Pesantren Antara Materi dan Metodologi, dalam,
Majalah Pesantren, No. Perdana, Oktober/Desember, 1984, hal. 104.
[3]
Shihab, Ali, Islam Sufistik, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 36.
0 Comments
Post a Comment