Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Tokoh dan Ajaran Tasawuf pada Masa Klasik


BAB III

DINAMIKA PENDIDIKAN TASAWUF PADA  ZAMAN KLASIK


A.    Tokoh dan Ajaran Tasawuf pada Masa Klasik

Tokoh dan Ajaran Tasawuf pada Masa Klasik


Adapun tokoh-tokoh tasawuf klasik dan ajarannya adalah sebagai berikut:[1]
1.      Abad pertama dan kedua Hijriyah ( Tahun 7-8 M)
Pada periode ini, tasawuf telah kelihatan dalam bentuknya yang awal. Pada periode ini ada sejumlah orang yang tidak menaruh perhatian kepada kehidupan materi seperti makan, pakaian dan tempat tinggal. Mereka lebih berkonsentrasi pada kehidupan ibadah untuk mendapat kehidupan yang lebih abadi yaitu akhirat. Jadi pada periode ini, tasawuf masih dalam bentuk kehidupan asketis (zuhud) diantara tokoh-tokoh terkemuka pada periode ini adalah: dari kalangan sahabat, diantaranya Salman Al-Farisi, Abu Dzarr Al-Ghifari. Sedangkan dari kalangan tabi’in, diantaranya adalah Hasan al-Bashri, Malik bin Dinar dan lain-lain .
1.     Abad ketiga dan keempat Hijriyah (Tahun 9-10 M)
Jika pada tahap awal tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian sederhana, maka pada abad ketiga dan keempat hijriah para sufi mulai memperhatikan sisi-sisi teoritis psikologis dalam rangka perbaikan tingkah laku sehingga tasawuf telah menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan. Pada periode ini, tasawuf mulai berkembang dimana para sufi menaruh perhatian setidaknya kepada tiga hal yaitu jiwa, akhlak dan metafisika. Diantara tokoh-tokoh pada abad ini adalah Ma’ruf al-Kharkhi, Abu Faidh Dzun Nun bin Ibrahim Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami, Junaid al-Baghdadi, Al-Hallaj dan lain-lain
2.     Abad kelima Hijriyah (Tahun 11 M)
Pada periode ini, lahirlah seorang tokoh sufi besar, Al-Ghazali. Dengan tulisan monumentalnya tahafut al-falasifah dan ihya ‘ulum al-din. Al-Ghazali mengajukan kritik- kritik tajam terhadap pelbagai aliran filsafat dan kepercayaan kebathinan dan berupaya keras untuk meluruskan tasawuf dari teori-teori yang ganjil tersebut serta mengembalikannya kepada ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
3.      Abad keenam dan ketujuh Hijriyah (Tahun 12-13 M)
Pada periode ini muncul kembali tokoh-tokoh sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat dengan teori-teori yang tidak murni dari tasawuf dan juga tidak murni dari filsafat. Kedua-duanya menjadi satu. Tasawuf ini kemudian dikenal dengan tasawuf falsafi. Diantara tokoh-tokoh terkemuka adalah Suhrawardi, Mahyuddin Ibn Arabi, Umar Ibn al-Faridh dan lain-lain.
4.     Abad kedelapan Hijriyah dan seterusnya(Tahun 14 M)
Pada abad kedelapan Hijriyah, tasawuf telah mengalami kemunduran. Ini diantaranya karena orang-orang yang berkecimpung dalam bidang tasawuf, kegiatannya sudah terbatas pada komentar-komentar atau meringkas buku-buku tasawuf terdahulu serta menfokuskan perhatian pada aspek-aspek praktek ritual yang lebih berbentuk formalitas sehingga semakin jauh dari subtansi tasawuf. Pada periode ini hampir tidak terdengar lagi perkembangan pemikiran baru dalam tasawuf, meskipun banyak tokoh-tokoh sufi yang mengemukakan pikiran-pikiran mereka tentang tasawuf. Diantaranya adalah Al-Kisani dan Abdul Karim Al-Jilli. Diantara penyebab kemunduran mungkin adalah kebekuan pemikiran serta spritualitas yang kering melanda dunia Islam semenjak masa-masa akhir periode Dinasti Umayyah.



[1] Al-Wafa, Abu, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 44-46.