A.
Problematika Gender dalam Pendidikan
Rendahnya kualitas
pendidikan diakibatkan oleh
adanya diskriminasi gender dalam
dunia pendidikan. Ada tiga aspek
permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:[1]
Yang dimaksud dengan aspek akses
adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak sekolah dasar
di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP
dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan
seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk
mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua
segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan
kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’
tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan
pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari
faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku
sekolah.
2.
Partisipasi
Aspek partisipasi dimana tercakup di
dalamnya faktor bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam masyarakat kita di
Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan
tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak
terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan
formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga
terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal
ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan
berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari
nafkah.
3.
Manfaat dan penguasaan
Kenyataan banyaknya angka buta huruf
di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan..Data BPS tahun 2003, menunjukkan
dari jumlah penduduk buta aksara usia 10tahun ke atas sebanyak 15.686.161
orang, 10.643.823 orang di antaranya atau 67,85 persen adalah
perempuan. Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi
merupakan salah satu ”nara sumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia
instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu
gender.[2]
Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung
secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku yang tampak dalam kehidupan dalam
kehidupan sekolah interaksi guru-guru, guru-murid, dan murid-murid, baik di
dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat
akan menampakkan konstruksi gender yang terbangun selama ini. Selain itu
penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak
terlepas dari hal tersebut. “Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan,
misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun
dalam penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini
menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah”[3].
Menurut Idris “semakin rendah tingkat pendidikan semakin besar
kesenjangan gender dalam pengupahan. Bahkan dari angka statistik menunjukkan
perbandingan upah laki-laki adalah 60,46% dan 39,54%, dimana kesenjangan gender
dalam pengupahan untuk pendiidkan rendah 65, 68% untuk laki-laki dan 35, 32 %
untuk perempuan”[4].
0 Comments
Post a Comment