Profil Cut Mutia


BAB II

BIOGRAFI CUT MEUTIA

A.    Latar Belakang Internal Cut Mutia
                 
1.     Latar Belakang Keluarga    

“Cut Meutia di lahirkan pada tahun 1870, anak dari hasil perkawinan antara Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan tersebut mereka dikaruniai 5 orang anak”[1]. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki. Saudara tertua bernama Cut Beurahim disusul kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya adalah seorang Uleebalang di desa Pirak yang berada dalam daerah Keuleebalangan Keureutoe.
Pemberian nama yang indah pada dirinya dengan Meutia (berarti mutiara) bukan saja karena paras wajahnya yang cantik, tetapi bentuk tubuh yang indah menyertainya. Pengakuan keindahan rupa dan tubuhnya tidak luput dari perhatian seorang penulis Belanda yang mengungkapkan :
Cut Meutia bukan saja amat cantik tetapi iapun memiliki tubuh yang tampan dan menggairahkan. Dengan mengenakan pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di Aceh dengan silueue (celana) sutera berwarna hitam dan baju dikancing perhiasan-perhiasan emas di dadanya serta tertutup ketat, dengan rambutnya yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis perhiasan rambut) dengan gelang di kakinya yang melingkar pergelangan lunglai, wanita itu benarbenar seorang bidadari.[2]

Dalam perjalanan kehidupannya Cut Meutia bukan saja menjadi mutiara keluarga dan desanya Pirak, melainkan ia telah menjadi mutiara yang tetap kemilau bagi nusantara. “Daerah uleebalang Pirak tempat kelahirannya merupakan daerah yang berdiri sendiri karena daerah ini mempunyai pemerintahan dan kehakiman tersendiri sehingga dapat memutuskan perkara-perkara dalam tingkat yang rendah”[3]. Saat daerah Uleebalang Pirak di bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud (ayah Cut Meutia) Suasana penuh dengan ketenangan dan kedamaian sebagai seorang yang bijaksana perhatian Teuku Ben Daud selalu tertumpah pada rakyatnya karena selain sebagai uleebalang dia juga dikenal sebagai seorang ulama yang sampai akhir hayatnya tidak mau tunduk dan patuh pada Belanda, tidaklah mengherankan jika sifat kesatria itu terbina dalam diri Cut Meutia kelak.
Sebagaimana kebiasaan rakyat Aceh, maka sejak kecil Meutia telah diberikan pendidikan agama Islam, terutama pendidkan yang mengajarkan tentang kebesaran Islam yaitu sikap benci terhadap kemungkaran dan penindasan dan tidak merasa senang terhadap siapa saja yang mengganggu agama Islam dan bangsanya. Bagi mereka mati membela agama syahid hukumnya yang pahalanya adalah mendapat syurga di akhirat kelak.
Begitu juga halnya Meutia Kecil, ia dididik dengan pelajaran agama yang ketat, baik di tempat pengajian maupun dengan cara mendatangkan guru atau ulama ke rumahnya, bahkan kadang kala ayahnya sendiri bertindak sebagai guru. “Penempaan semangat Jihat Fisabilillah dalam dirinya ikut memotivasi Cut meutia nantinya hingga la bangkit bersama-sama suaminya Teuku Cut Muhammad, Pang Nanggroe dan secara pribadi muncul sebagai pimpinan pergerakan meneruskan perjuangan mengusir penjajah Belanda”[4].
Sampai dengan masa dewasanya, ia ditunangkan dan dikawinkan oleh orangtuanya dengan Teuku Syamsarif yang mempunyai gelar Teuku Chik Bintara, namun la mempunyai watak lemah dan sikap hidupnya yang ingin berdampingan dengan Kompeni. Ia merupakan anak angkat dan Teuku Chik Muda Ali dan Cut Nyak Asiah Uleebalang Keureutoe. Daerahnya mencakup dari Krueng Pase sampai ke Panton Labu (Krueng Jambo Aye) yang pusat Pemerintahannya di daerah Kutajrat Manyang yang sekarang terletak 20 km dari kota administratif Lhokseumawe. Pertentangan-Pertentangan pendirian yang semakin hari semakin terasa membuat Cut Meutia merasa tidak layak lagi hidup berdampingan dengan Teuku Chik Bintara. Di dalam jiwanya telah terpatri semangat Fisabilillah sehingga sikap anti kepada Belanda selalu mengiringinya. Berbeda dengan Teuku Chik Bintara yang senantiasa senang bekerjasama dengan Belanda sebagaimana Yang diungkapkan Muhammad Said.
Cut Meutia selain cantik tapi juga gairah dan gaya, tidak layak ia menjadi istri Teuku Bintara apalagi untuk diajak bergantung "kompeni" ialah puteri yang murni dari bangsanya. Jiwa raganya melekat terus kepada para pejuang yang tidak mau tunduk dan tinggal di gunung, mereka hanya tunduk mengabdi pada jalan Fisabilillah di mana ayah bundanya aktif serta. Kesanalah idamannya, ditempat yang selalu ia pergi bebas dari kafir. Akhirnya perkawinan mereka tidak bertahan lama ia bercerai dan kemudian menikah dengan adik Syamsarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong. Cut Meutia telah mendapat pria yang menjadi idamannya. Seirama dan secita-cita dalam derap langkah memerangi kompeni (Belanda).
Mereka lalu berhijrah ke gunung bahu membahu bersama pejuang lainnya menyusun rencana dalam rangka penyerangan terhadap Belanda Selain itu, perkawinan ini juga berarti sekaligus merupakan suatu cara meraih cita-cita karena bukan saja ia mendapatkan suami yang gagah berani, tetapi juga sebagai pemimpin pejuang Perlawanan yang sangat ditakuti oleh Belanda sebagaimana yang didambakannya selama ini[5].
Untuk mengungkapkan sejarah perjuangan Cut Meutia, tidaklah terlepas pada uraian tentang masa perjuangannya bersama Teuku Chik Muhammad (sebagai suami kedua), atau dengan Pang Nanggroe sebagai suami ketiga dan perjuangannya sendiri sebagai pemimpin perang pada masa itu[6].                            
2.     Latar Belakang Pendidikan
           
Masa kecil Cut Nyak Meutia hidup dalam didikan agama yang diajarkan oleh para ulama yang didatangkan oleh ayahnya sebagai tenaga pengajar, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh keluarga uleebalang di Aceh. Hal itu membuat Cut Nyak Meutia menjadi pribadi yang taat dan teguh memegang prinsip. Ia rela berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan dan nyawanya untuk membela agama dan bangsanya.
Sebagaimana kebiasaan rakyat Aceh, “maka sejak kecil Meutia telah diberikan pendidikan agama Islam, terutama pendidkan yang mengajarkan tentang kebesaran Islam yaitu sikap benci terhadap kemungkaran dan penindasan dan tidak merasa senang terhadap siapa saja yang mengganggu agama Islam dan bangsanya”[7]. Bagi mereka mati membela agama syahid hukumnya yang pahalanya adalah mendapat syurga di akhirat kelak[8].        
Cut Nyak Meutia adalah seorang anak yang patuh serta  menurut. Karena pendidikan yang diterimanya sejak kecil sampai dewasa ia merasakan dengan sungguh-sungguh kebesaran  agama Islam yang dianutnya. Untuk kepentingan agama manusia di dunia haruslah mengorbankan segala-galanya. Harta benda, pangkat, sampai-sampai kepada nyawa sekalipun tidak ada  artinya bagi kehidupan kalau diluar ridha Allah swt[9]. Demikianlah keyakinan yang tertanam di dalam dada Cut Nya Meutia, bahkan pada seluruh rakyat Aceh.  
3.     Karya-karya yang di hasilkan          

Berdasarkan catatan sejarah, Cut Meutia tidak meninggalkan karya berupa buku-buku karangan beliau hal ini dikarenakan kesibukannya bertempur dalam rangka mengusir penjajahan belanda, disamping itu pula karena tingkat pendidikan beliau yang tidak menempuh pendidikan formal.

4.     Karir yang dicapai    

Cut Meutia adalah pahlawan dari Aceh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tanah Rencong. Ia lahir tahun 1870. Ayahnya bernama Teuku Ben Daud Pirak. Ibunya bernama Cut Jah. Cut Meutia adalah satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara. Keluarga ini adalah salah satu dari sekian banyak keluarga Mujahid (pejuang) yang pernah dimiliki Aceh, yang juga terkenal dengan julukan Serambi Mekah. Sejak kecil Cut Meutia dididik ilmu agama oleh banyak ulama. Bahkan ayahnya sendiri adalah salah satu dari sekian banyak guru agama yang pernah mengajarnya[10].
Cut Meutia tumbuh sebagai seorang gadis cantik rupawan. Banyak pemuda yang datang untuk meminang dan menikahinya. Akhirnya, seorang pemuda bernama Teuku Cik Tunong berhasil meminang dan menikahinya.[11] Saat itu tanah Aceh sedang berada dalam bahaya. Para pejuang Aceh sekuat tenaga berusaha mengusir penjajah Belanda. Cut Meutia terpanggil untuk berjuang di medan laga bersama suaminya. “Kita harus berjuang mengusir penjajah!” demikian tekad pasangan itu.                  
B.    Latar Belakang Eksternal Cut Mutia   
                                         
1.     Kondisi sosial politik 

Awal pergerakannya di mulai pada tahun 1901 dengan basis perjuangan dari daerah Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara sekarang) di bawah komando perang Teuku Chik Muhammad atau Teuku Chik Tunong (suaminya sendiri), Cut Meutia berjuang bersama-sama, bahu-membahu dengan suami dan para pejuang lainnya. Ia bukan saja sebagai ibu rumah tangga tapi ia juga bertindak sebagai pengatur strategi pertempuran sehingga taktiknya tersebut dapat memporak porandakan pertahanan pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan merampas senjata serta amunisi mereka yang akan digunakan untuk memperkuat persenjataan pejuang muslimin. Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia di dalam pergerakannya selalu menggunakan taktik perang gerilya dan spionase yaitu suatu taktik serang dan mundur serta menggunakan prajurit memata-matai gerak gerik pasukan lawan terutama rencanarencana patroli dan pencegatan. Taktik seperti ini cukup membuat pasukan Belanda kewalahan dan menjengkelkan mereka[12].
Taktik Spionase dilakukan oleh para spion dari pasukan pejuang yang menyamar sebagai penduduk (ureung gampong) disebarluaskan di pelosok-pelosok negeri, dengan keluguannya para spion selalu mendapatkan informasi berharga dan tepat sehingga daerah serta lokasi patroli yang akan dilalui pasukan Belanda dapat segera diketahui. Dengan cara seperti ini pasukan muslimin dapat mengatur strategi dan rencana pencegatan untuk melumpuhkan pasukan musuh tersebut karena posisi strategis pada jalur yang akan dilalui sudah dapat dikuasai. Pencegatan dan penyerangan oleh pasukan muslimin dilakukan secara tiba-tiba sehingga pasukan Belanda tidak dapat berbuat apaapa dan dengan mudah pasukan muslimin menghacurkan dan merampas semua senjata dan perbekalan[13].
Dalam bulan Juni 1902, berdasarkan informasi dari spionnya bahwa pasukan Belanda akan melakukan operasi dan patroli dengan kekuatan 30 orang personil di bawah pimpinan sersan Van Steijn Parve. Di dalam perlawanan tersebut pasukan Belanda mengalami kekalahan yang cukup besar yaitu dengan matinya pimpinan pasukan dan 8 orang serdadu serta banyak anggota pasukan yang cidera berat dan ringan, sedangkan di pihak pejuang muslimin syahid 10 orang.[14].
Kemudian pada bulan Agustus 1902 pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim Blang Nie. Strategi yang dipakai oleh pasukan muslimin untuk mencegat pasukan Belanda adalah dengan menempatkan pasukannya di daerah yang beralang-alang tinggi dekat jalan tidak jauh dari Meunasah Jeuro sehingga memudahkan para pejuang mengintai dan sekaligus melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Di dalam penyerangan ini pasukan Belanda lumpuh total dan para pejuang muslimin dapat merebut 5 pucuk senapan.
Pergerakan dan penyerbuan pasukan Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia semakin ditingkatkan. Salah satu taktik lain yang dijalankan adalah taktik tipu daya dan taktik jebakan. Pada bulan Nopember 1902 diisukan oleh salah seorang pejuang muslimin (dalam hal ini Pang Gadeng) bahwa pasukan Teuku Chik Tunong-Cut Meutia beserta pasukan muslimin lainnya akan mengadakan kenduri yang bertempat di Gampong Matang Rayeuk di seberang sungai Sampoiniet. Pemilihan lokasi-lokasi jebakan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa satu-satunya jalan yang akan dilalui menuju tempat tersebut adalah dengan memakai perahu jebakan ini akan mudah dilaksankan. Isu yang disebarluaskan tersebut ternyata mendapat respon serius dari pimpinan pasukan Belanda di desa Matang Rayeuk. Di bawah pimpinan Letnan RDP De Cok bersama dengan 45 orang personilnya, mereka melakukan perjalanan jalan menuju tempat yang diinformasikan tersebut. Setibanya pasukan di tepi sungai telah ada dua orang pendayung perahu (yaitu pejuang muslimin yang menyamar sebagai pengail) tanpa ada kecurigaan sedikitpun pasukan Belanda memerintahkan kepada pendayung tersebut untuk segera menyeberangkan Pasukan Belanda[15].
Sesuai dengan rencana yang telah disusun dan diatur oleh pejuang muslimin bahwa di tengah sungai pendayung tersebut melakukan gerakan untuk membalikan perahu. Dalam suasana malam gelap gulita kacaulah pasukan Belanda dan dengan tibatiba muncul pasukan Teuku Chik Tunong-Cut Meutia melakukan penyerangan dengan tembakan-tembakan gencar dan dengan pedang serta rencong terhunus melakukan gerakan perkelahian jarak dekat sehingga pasukan Belanda kacau dan punah di saat pertempuran ini pasukan De Cok bersama dengan 28 prajuritnya mati sedangkan pasukan muslimin dalam penyerangan ini dapat memperoleh 42 pucuk senapan[16].
Selain dari itu pasukan Chik Tunong-Cut Meutia sering melakukan gerakan sabotase-sabotase dijalan yang dilalui kereta api, penghancuran hubungan telepon sehingga jalur perhubungan untuk mengangkut logistik pasukan Belanda antara bivakbivak seperti di Lhoksukon dengan pertahanan di Kota Lhokseumawe menjadi sering terputus dan terganggu. Hal ini dilakukan pejuang mnslimin sebagai balasan dendam atas peristiwa menyedihkan di Blang Paya Itiek (daerah Samakuruk di selatan gedung) yaitu suatu peristiwa yang memilukan dan tragis sebagai akibat adanya pengkhianatan oleh Pang Ansari (dari Blang Nie) dimana pasukan Belanda menyerang pos pertahanan pasukan Sultan Alaidin Mahmud Daudsyah dan pengikutnya pada peristiwa ini para pejuang muslimin banyak yang syahid sebagai kesuma bangsa, namun Sultan dapat melepaskan diri dari cengkraman musuh dan mengundurkan diri ke Meunasah Nibong Payakamuek.
Selanjutnya pada tanggal 9 Januari 1903 Sultan Mahmud Daudsyah bersama pengikutnya seperti Panglima Polem Muhammad Daud, Teuku Raja Keumala dan pemuka kerajaan lainnya telah menghentikan perlawanan dan menyatakan turun dari usaha bergerilya melakukan penyerangan pasukan Belanda. Memperhatikan turunnya sultan dan penyerangan perlawanan atas pasukan Belanda tersebut dan menerima surat-surat serta atas anjuran para sahabat seperjuangan, Teuku Chik Tunong memahami kesemuanya itu. Atas kesepakatan dirinya dengan istrinya Cut Meutia pada tanggal 5 Oktober 1903 Teuku Chik Muhammad-Cut Meutia beserta dengan pengikutnya turun dari gunung. Atas persetujuan komandan detasemen Belanda di Lhokseumawe (HNA. Swart) Teuku Chik Muhammad-Cut Muetia dan Pasukannya dibenarkan menetap di Keureutoe tepatnya di Jrat Manyang dan akhirnya pindah ke Teping Gajah daerah Panton Labu.
Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad-Cut Meutia adalah sebagai akibat dari peristiwa di Meurandeh Paya sebelah timur kota Lhoksukon (tepatnya tanggal 26 Januari 1905). Peristiwa tersebut diawali dengan terbunuhnya pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan berteduh di Meunasah Meurandeh Paya. Pembunuhan atas pasukan Belanda ini merupakan pukulan yang sangat besar dan berat bagi pemerintah Belanda. Di dalam penyelidikannya serta berdasarkan informasi yang diterima dan mata-mata Belanda bahwa Teuku Chik Tunong turut terlibat hal ini merupakan fitnah semata oleh karena itu pemerintah Belanda menangkapnya dan di dalam peradilan Militer di Lhokseumawe di putuskan Teuku Chik Tunong Mendapat hukuman gantung dan akhirnyaberubah menjadi hukuman tembak mati.
Pelaksanaan hukuman tembak mati dilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi pantai Lhokseumawe dan dimakamkan di Masjid Mon Geudong, tidak jauh dan kota Lhokseumawe. Sebelum hukuman tembak dilaksanakan ia dapat bertemu dengan salah seorang staf setia dalam perjuangan, yaitu Pang Nanggroe. Seorang panglima muslimin yang juga teman yang paling dekat dan dipercaya, kata terakhir yang diucapkan kepada Pang Nanggroe adalah "Sudah tiba masanya aku ini tidak terlepas lagi dari tuntutan hukuman. Pada saatnya hari perpisahan kita sudah dekat, oleh sebab itu, peliharalah anakku, aku izinkan istriku kawin dengan engkau dan teruskanlah perjuangan[17] .
                     

2.     Kondisi intelektual    

Wanita kelahiran Perlak, Aceh, tahun 1870, ini adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang hingga titik darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial. Sebelum Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang digelari serambi Mekkah tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan dan penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan. Suasana perang pada saat kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan hidupnya[18].
Ketika sudah beranjak dewasa, dia menikah dengan Teuku Muhammad, seorang pejuang yang lebih terkenal dengan nama Teuku Cik Tunong. Walaupun ketika masih kecil ia sudah ditunangkan dengan seorang pria bernama Teuku Syam Syarif, tetapi ia memilih menikah dengan Teuku Muhammad, pria yang sangat dicintainya. Perang terhadap pendudukan Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak Meutia bersama suaminya Teuku Cik Tunon langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.
Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie. Sudah banyak kerugian pemerintahan Belanda baik berupa pasukan yang tewas maupun materi diakibatkan perlawanan pasukan Cut Nyak Meutia. Karenanya, melalui pihak keluarga Meutia sendiri, Belanda selalu berusaha membujuknya agar menyerahkan diri. Namun Cut Nyak Meutia tidak pernah tunduk terhadap bujukan yang terkesan memaksa tersebut.                 
3.     Tokoh yang mempengaruhinya        

Adapun tokoh-tokoh yang mempengaruhi cut Meutia adalah sebagai berikut:
a.      Pang Naggro
b.     Teuku Chiek Bentara
c.      Teuku Ben Daud,
d.      Teuku Ben Pirak.
e.      Teungku di Barat
f.      Teuku Raja Sabi
g.     Teuku Chik Tunong[19]               
4.     Metode (corak) berpikir Cut Mutia                                    

Cut Meutia adalah seorang anak yang patuh serta  menurut. Karena pendidikan yang diterimanya sejak kecil sampai dewasa ia merasakan dengan sungguh-sungguh kebesaran  agama Islam yang dianutnya. Untuk kepentingan agama manusia di dunia haruslah mengorbankan segala-galanya. Harta benda, pangkat, sampai-sampai kepada nyawa sekalipun tidak ada  artinya bagi kehidupan kalau diluar ridha Allah swt. Demikian - lah keyakinan yang tertanam di dalam dada Cut Nya Meutia,  bahkan pada seluruh rakyat Aceh.
Pada masa Cut Nyak Meutia menanjak dewasa, keadaan  politik di Aceh berada pada saat-saat yang krisis. Pusat pemerintahan Kesultanan Aceh telah direbut oleh Belanda dan daerahdaerah di sekitar Aceh Besar telah dikuasai musuh. Keadaan politik yang demikian menjadi pembicaraan luas  dalam seluruh lapisan masyarakat tidak saja di kalangan kaum  laki-laki tetapi termasuk kaum perempuan. Keadaan ini sangat  mengesankan Cut Nyak Meutia, terutama karena keluarganya  termasuk keluarga uleebalang yang taat kepada agama serta  telah menyatakan akan memusuhi Belanda serta menentangnya  apabila musuh sampai ke daerahnya. Dalam suasana demikianlah Cut Nyak Meutia dibesarkan dan kesemuanya ini turut  mempengaruhi sikap Cut Nyak Meutia setelah ia dewasa.
Seperti telah dijelaskan di muka sebelum masuknya Belanda  ke daerah Aceh Utara, terutama ke daerah-daerah Keureutoe  dan Pirak. daerah ini merupakan daerah yang subur dengan rakyatnya yang makmur, terutama yang mendiami daerah Keureutoe. Keuleebalangan Keureutoe pada waktu ini diperintah oleh Cut Nyak Asiah setelah suaminya Teuku Chi' Muda Ali meninggal dunia. Kemakmuran dan kemashuran yang telah diwariskan suaminya te tap dapat dipertahankan terus. Keharuman namanya semakin menanjak, sewaktu ia dapat memban tu Sultan Muhammad Daud memusatkan pertahanan daerah Pasai dalam Tahun 1901.


               [1] Iskandar, Nur St., Mutiara. (Djakarta Balai Pustaka, 1965), hal. 61.

               [2] Ismail Jakub, Tenguku Tjhik Di Tiro (Muhammad Saman),  Pahlawan Besar Dalam Perang Atjeh (1881- 1891), (Djakarta: Bulan Bintang, 1960), hal. 90.
               [3] Ismail Sofyan, (Koordinator), Perang Kolonial Belanda  di Aceh. (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi  dan Informasi Aceh (PDIA), 1978), hal. 56.
               [4] Joesoef Sou'ib. Dipinggir Krueng Sampojnit, titel asli  Pengalamanku masa Perang Atjeh, Tjetakan ketiga (Medan:  Aida, 1960), hal. 29.
               [5] Kabin Kebudayaan Departemen P dan K Kabupaten Aceh Utara, Perjuangan Srikandi Wanita Aceh Utara Cut Meutia, (Lhok Seumawe).

               [6] Kasim, M., Kisah-kisah Keperwiraan Wanita Aceh Dalam  Perang Gerilya Melawan Belanda, (Medan:  Pandraman, 1959), hal. 65.
               [7] Mohamad Said, Atjeh Sepanjang Abad, (Medan: Penerbit  Pengarang Sendiri, 1961), hal. 34.

               [8] Ibid., hal. 34.

               [9] Ibid., hal. 34.
               [10] Muhammad Ibrahim, (Ketua), Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Dep. P dan K, 1977/1978), hal. 56.

               [11] Piekaar, A.J., Aceh dan Peperangan dengan Japan, Bab I  terjemahan Aboe Bakar, (Banda Aceh: PDIA, 1978), hal. 19.
               [12] Ibid., hal. 29.

               [13] Tamar Djaja, Pusaka Indonesia, Riwayat Hidup Orangorang Besar Tanah Air, (Jihd II), Djakarta:  Bulan Bintang, 1966), hal. 78.
               [14] Zainuddin, H.M., Srikandi Atjeh, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1966), hal. 67.
               [15]Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh 1500-1675, (Medan): Mamora, 1972), hal. 58.

               [16]Hasjmy, A., Hikajat Prang Sabi Mendjiwai Perang Atjeh Lawan Belanda, (Badan Atjeh: Pustaka Faraby, 1971), hal. 33.
               [17] Dada Mauraxa, Ungkapan Sejarah Aceh, (Kumpulan tulisan-tulisan Tuanku Hasyim S.H., A. Hamsjmy, T. Syahbuddin Razi Peuseun dll., dalam Seminar Perjuangan Aceh Sejak 1873 sampai dengan Kemerdekaan Indonesia, (Medan,  21-25 Maret 1976).
              
               [18] Wijaya, Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan tokoh Pergerakan Nasional, (Jakarta: Reset Agung, 2007), hal. 60-62.
               [19] Badan Pembina Pahlawan Pusat. Departemen Sosial R.I,  Srikandi Bangsaku, (Seri Pahlawan Wanita, 1978), hal. 20.

0 Comments