BAB II
BIOGRAFI CUT MEUTIA
A. Latar Belakang Internal Cut Mutia
1. Latar Belakang Keluarga
“Cut Meutia di lahirkan pada tahun 1870, anak dari hasil
perkawinan antara Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan
tersebut mereka dikaruniai 5 orang anak”[1].
Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat
saudaranya adalah laki-laki. Saudara tertua bernama Cut Beurahim disusul kemudian
Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya adalah seorang
Uleebalang di desa Pirak yang berada dalam daerah Keuleebalangan Keureutoe.
Pemberian nama yang indah pada dirinya dengan Meutia
(berarti mutiara) bukan saja karena paras wajahnya yang cantik, tetapi bentuk
tubuh yang indah menyertainya. Pengakuan keindahan rupa dan tubuhnya tidak
luput dari perhatian seorang penulis Belanda yang mengungkapkan :
Cut Meutia bukan saja amat cantik tetapi iapun memiliki
tubuh yang tampan dan menggairahkan. Dengan mengenakan pakaian adatnya yang
indah-indah menurut kebiasaan wanita di Aceh dengan silueue (celana) sutera
berwarna hitam dan baju dikancing perhiasan-perhiasan emas di dadanya serta
tertutup ketat, dengan rambutnya yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas
(sejenis perhiasan rambut) dengan gelang di kakinya yang melingkar pergelangan
lunglai, wanita itu benarbenar seorang bidadari.[2]
Dalam perjalanan kehidupannya Cut Meutia bukan saja
menjadi mutiara keluarga dan desanya Pirak, melainkan ia telah menjadi mutiara
yang tetap kemilau bagi nusantara. “Daerah uleebalang Pirak tempat kelahirannya
merupakan daerah yang berdiri sendiri karena daerah ini mempunyai pemerintahan
dan kehakiman tersendiri sehingga dapat memutuskan perkara-perkara dalam
tingkat yang rendah”[3].
Saat daerah Uleebalang Pirak di bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud (ayah Cut
Meutia) Suasana penuh dengan ketenangan dan kedamaian sebagai seorang yang
bijaksana perhatian Teuku Ben Daud selalu tertumpah pada rakyatnya karena
selain sebagai uleebalang dia juga dikenal sebagai seorang ulama yang sampai
akhir hayatnya tidak mau tunduk dan patuh pada Belanda, tidaklah mengherankan
jika sifat kesatria itu terbina dalam diri Cut Meutia kelak.
Sebagaimana kebiasaan rakyat Aceh, maka sejak kecil
Meutia telah diberikan pendidikan agama Islam, terutama pendidkan yang
mengajarkan tentang kebesaran Islam yaitu sikap benci terhadap kemungkaran dan
penindasan dan tidak merasa senang terhadap siapa saja yang mengganggu agama
Islam dan bangsanya. Bagi mereka mati membela agama syahid hukumnya yang
pahalanya adalah mendapat syurga di akhirat kelak.
Begitu juga halnya Meutia Kecil, ia dididik dengan
pelajaran agama yang ketat, baik di tempat pengajian maupun dengan cara
mendatangkan guru atau ulama ke rumahnya, bahkan kadang kala ayahnya sendiri
bertindak sebagai guru. “Penempaan semangat Jihat Fisabilillah dalam dirinya
ikut memotivasi Cut meutia nantinya hingga la bangkit bersama-sama suaminya
Teuku Cut Muhammad, Pang Nanggroe dan secara pribadi muncul sebagai pimpinan
pergerakan meneruskan perjuangan mengusir penjajah Belanda”[4].
Sampai dengan masa dewasanya, ia ditunangkan dan
dikawinkan oleh orangtuanya dengan Teuku Syamsarif yang mempunyai gelar Teuku
Chik Bintara, namun la mempunyai watak lemah dan sikap hidupnya yang ingin
berdampingan dengan Kompeni. Ia merupakan anak angkat dan Teuku Chik Muda Ali
dan Cut Nyak Asiah Uleebalang Keureutoe. Daerahnya mencakup dari Krueng Pase
sampai ke Panton Labu (Krueng Jambo Aye) yang pusat Pemerintahannya di daerah
Kutajrat Manyang yang sekarang terletak 20 km dari kota administratif
Lhokseumawe. Pertentangan-Pertentangan pendirian yang semakin hari semakin
terasa membuat Cut Meutia merasa tidak layak lagi hidup berdampingan dengan
Teuku Chik Bintara. Di dalam jiwanya telah terpatri semangat Fisabilillah
sehingga sikap anti kepada Belanda selalu mengiringinya. Berbeda dengan Teuku
Chik Bintara yang senantiasa senang bekerjasama dengan Belanda sebagaimana Yang
diungkapkan Muhammad Said.
Cut Meutia selain cantik tapi juga gairah dan gaya, tidak
layak ia menjadi istri Teuku Bintara apalagi untuk diajak bergantung
"kompeni" ialah puteri yang murni dari bangsanya. Jiwa raganya
melekat terus kepada para pejuang yang tidak mau tunduk dan tinggal di gunung,
mereka hanya tunduk mengabdi pada jalan Fisabilillah di mana ayah bundanya
aktif serta. Kesanalah idamannya, ditempat yang selalu ia pergi bebas dari
kafir. Akhirnya perkawinan mereka tidak bertahan lama ia bercerai dan kemudian menikah
dengan adik Syamsarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal
dengan nama Teuku Chik Tunong. Cut Meutia telah mendapat pria yang menjadi idamannya.
Seirama dan secita-cita dalam derap langkah memerangi kompeni (Belanda).
Mereka lalu berhijrah ke gunung bahu membahu bersama
pejuang lainnya menyusun rencana dalam rangka penyerangan terhadap Belanda
Selain itu, perkawinan ini juga berarti sekaligus merupakan suatu cara meraih
cita-cita karena bukan saja ia mendapatkan suami yang gagah berani, tetapi juga
sebagai pemimpin pejuang Perlawanan yang sangat ditakuti oleh Belanda
sebagaimana yang didambakannya selama ini[5].
Untuk mengungkapkan sejarah perjuangan Cut Meutia,
tidaklah terlepas pada uraian tentang masa perjuangannya bersama Teuku Chik
Muhammad (sebagai suami kedua), atau dengan Pang Nanggroe sebagai suami ketiga
dan perjuangannya sendiri sebagai pemimpin perang pada masa itu[6].
2.
Latar Belakang
Pendidikan
Masa kecil Cut Nyak Meutia hidup dalam didikan agama yang diajarkan oleh
para ulama yang didatangkan oleh ayahnya sebagai tenaga pengajar, sebagaimana
lazimnya dilakukan oleh keluarga uleebalang di Aceh. Hal itu membuat Cut Nyak
Meutia menjadi pribadi yang taat dan teguh memegang prinsip. Ia rela berkorban
apa saja baik harta benda, kedudukan dan nyawanya untuk membela agama dan
bangsanya.
Sebagaimana kebiasaan rakyat Aceh, “maka sejak kecil Meutia telah diberikan
pendidikan agama Islam, terutama pendidkan yang mengajarkan tentang kebesaran
Islam yaitu sikap benci terhadap kemungkaran dan penindasan dan tidak merasa
senang terhadap siapa saja yang mengganggu agama Islam dan bangsanya”[7].
Bagi mereka mati membela agama syahid hukumnya yang pahalanya adalah mendapat
syurga di akhirat kelak[8].
Cut Nyak Meutia adalah seorang anak yang patuh serta menurut. Karena
pendidikan yang diterimanya sejak kecil sampai dewasa ia merasakan dengan
sungguh-sungguh kebesaran agama Islam yang dianutnya. Untuk kepentingan agama manusia di dunia
haruslah mengorbankan segala-galanya. Harta benda, pangkat, sampai-sampai
kepada nyawa sekalipun tidak ada artinya bagi kehidupan kalau diluar ridha Allah swt[9].
Demikianlah keyakinan yang tertanam di dalam dada Cut Nya Meutia, bahkan pada
seluruh rakyat Aceh.
3.
Karya-karya
yang di hasilkan
Berdasarkan catatan sejarah, Cut Meutia tidak meninggalkan karya
berupa buku-buku karangan beliau hal ini dikarenakan kesibukannya bertempur
dalam rangka mengusir penjajahan belanda, disamping itu pula karena tingkat
pendidikan beliau yang tidak menempuh pendidikan formal.
4.
Karir yang dicapai
Cut Meutia adalah pahlawan dari Aceh atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Tanah Rencong. Ia lahir tahun 1870. Ayahnya
bernama Teuku Ben Daud Pirak. Ibunya bernama Cut Jah. Cut Meutia adalah
satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara. Keluarga ini adalah salah
satu dari sekian banyak keluarga Mujahid (pejuang) yang pernah dimiliki Aceh,
yang juga terkenal dengan julukan Serambi Mekah. Sejak kecil Cut Meutia dididik
ilmu agama oleh banyak ulama. Bahkan ayahnya sendiri adalah salah satu dari sekian
banyak guru agama yang pernah mengajarnya[10].
Cut Meutia tumbuh sebagai seorang gadis cantik
rupawan. Banyak pemuda yang datang untuk meminang dan menikahinya. Akhirnya,
seorang pemuda bernama Teuku Cik Tunong berhasil meminang dan menikahinya.[11]
Saat itu tanah Aceh sedang berada dalam bahaya. Para pejuang Aceh sekuat tenaga
berusaha mengusir penjajah Belanda. Cut Meutia terpanggil untuk berjuang di
medan laga bersama suaminya. “Kita harus berjuang mengusir penjajah!” demikian
tekad pasangan itu.
B.
Latar Belakang
Eksternal Cut Mutia
1. Kondisi sosial politik
Awal pergerakannya di mulai pada tahun 1901 dengan basis
perjuangan dari daerah Pasai
atau Krueng Pasai (Aceh Utara sekarang) di bawah komando perang Teuku Chik Muhammad atau Teuku Chik Tunong (suaminya sendiri),
Cut Meutia berjuang bersama-sama,
bahu-membahu dengan suami dan para pejuang lainnya. Ia bukan saja sebagai ibu rumah tangga tapi ia juga bertindak sebagai
pengatur strategi pertempuran sehingga taktiknya tersebut dapat memporak porandakan pertahanan pasukan
Belanda yang sedang
berpatroli dan merampas senjata serta amunisi mereka yang akan digunakan untuk memperkuat persenjataan pejuang muslimin. Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia di dalam pergerakannya
selalu menggunakan taktik perang
gerilya dan spionase yaitu suatu taktik serang dan mundur serta menggunakan prajurit memata-matai gerak gerik pasukan
lawan terutama rencanarencana patroli dan pencegatan. Taktik seperti ini cukup membuat pasukan Belanda kewalahan dan menjengkelkan mereka[12].
Taktik Spionase dilakukan oleh para spion dari pasukan
pejuang yang menyamar sebagai
penduduk (ureung gampong) disebarluaskan di pelosok-pelosok negeri, dengan keluguannya para spion selalu mendapatkan informasi
berharga dan tepat sehingga daerah serta lokasi patroli yang akan dilalui pasukan Belanda dapat segera
diketahui. Dengan cara
seperti ini pasukan muslimin dapat mengatur strategi dan rencana pencegatan untuk melumpuhkan pasukan musuh tersebut
karena posisi strategis pada jalur yang akan dilalui sudah dapat dikuasai. Pencegatan dan penyerangan
oleh pasukan muslimin
dilakukan secara tiba-tiba sehingga pasukan Belanda tidak dapat berbuat apaapa dan dengan mudah pasukan muslimin menghacurkan dan
merampas semua senjata dan perbekalan[13].
Dalam bulan Juni 1902, berdasarkan informasi dari
spionnya bahwa pasukan Belanda akan
melakukan operasi dan patroli dengan kekuatan 30 orang personil di bawah pimpinan sersan Van Steijn Parve. Di dalam perlawanan
tersebut pasukan Belanda mengalami kekalahan yang cukup besar yaitu dengan matinya pimpinan pasukan
dan 8 orang serdadu serta banyak anggota pasukan
yang cidera berat dan ringan, sedangkan di pihak pejuang muslimin syahid 10 orang.[14].
Kemudian pada bulan Agustus 1902 pasukan Chik Tunong dan
Cut Meutia mencegat pasukan
Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim Blang Nie. Strategi yang dipakai oleh pasukan muslimin untuk mencegat pasukan
Belanda adalah dengan menempatkan
pasukannya di daerah yang beralang-alang tinggi dekat jalan tidak jauh dari Meunasah Jeuro sehingga memudahkan para pejuang
mengintai dan sekaligus melakukan
penyerangan secara tiba-tiba. Di dalam penyerangan ini pasukan Belanda lumpuh total dan para pejuang muslimin dapat merebut 5
pucuk senapan.
Pergerakan dan penyerbuan pasukan Teuku Chik Tunong dan
Cut Meutia semakin ditingkatkan.
Salah satu taktik lain yang dijalankan adalah taktik tipu daya dan taktik jebakan. Pada bulan Nopember 1902 diisukan oleh salah
seorang pejuang muslimin (dalam hal ini Pang Gadeng) bahwa pasukan Teuku Chik Tunong-Cut Meutia
beserta pasukan
muslimin lainnya akan mengadakan kenduri yang bertempat di Gampong Matang Rayeuk di seberang sungai Sampoiniet. Pemilihan
lokasi-lokasi jebakan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa satu-satunya jalan yang akan dilalui
menuju tempat tersebut adalah dengan memakai perahu
jebakan ini akan mudah dilaksankan. Isu yang disebarluaskan tersebut ternyata mendapat respon serius dari
pimpinan pasukan Belanda
di desa Matang Rayeuk. Di bawah pimpinan Letnan RDP De Cok bersama dengan 45 orang personilnya, mereka melakukan
perjalanan jalan menuju tempat yang
diinformasikan tersebut. Setibanya pasukan di tepi sungai telah ada dua orang pendayung perahu (yaitu pejuang muslimin yang
menyamar sebagai pengail) tanpa ada kecurigaan sedikitpun pasukan Belanda memerintahkan kepada
pendayung tersebut untuk
segera menyeberangkan Pasukan Belanda[15].
Sesuai dengan rencana yang telah disusun dan diatur oleh
pejuang muslimin bahwa di tengah
sungai pendayung tersebut melakukan gerakan untuk membalikan perahu. Dalam suasana malam gelap gulita kacaulah pasukan
Belanda dan dengan tibatiba muncul pasukan Teuku Chik Tunong-Cut Meutia melakukan penyerangan dengan tembakan-tembakan gencar dan dengan pedang serta rencong
terhunus melakukan gerakan
perkelahian jarak dekat sehingga pasukan Belanda kacau dan punah di saat pertempuran ini pasukan De Cok bersama dengan 28
prajuritnya mati sedangkan pasukan muslimin dalam penyerangan ini dapat memperoleh 42 pucuk senapan[16].
Selain dari itu pasukan Chik Tunong-Cut Meutia sering melakukan
gerakan sabotase-sabotase
dijalan yang dilalui kereta api, penghancuran hubungan telepon sehingga jalur perhubungan untuk mengangkut logistik
pasukan Belanda antara bivakbivak seperti di Lhoksukon dengan pertahanan di Kota Lhokseumawe menjadi sering terputus dan terganggu. Hal ini dilakukan pejuang
mnslimin sebagai balasan dendam atas peristiwa menyedihkan di Blang Paya Itiek (daerah Samakuruk di selatan
gedung) yaitu suatu peristiwa
yang memilukan dan tragis sebagai akibat adanya pengkhianatan oleh Pang Ansari (dari Blang Nie) dimana pasukan Belanda
menyerang pos pertahanan pasukan Sultan Alaidin Mahmud Daudsyah dan pengikutnya pada peristiwa ini
para pejuang muslimin banyak yang syahid sebagai
kesuma bangsa, namun Sultan dapat melepaskan diri dari cengkraman musuh dan mengundurkan diri ke Meunasah
Nibong Payakamuek.
Selanjutnya pada tanggal 9 Januari 1903 Sultan Mahmud
Daudsyah bersama pengikutnya
seperti Panglima Polem Muhammad Daud, Teuku Raja Keumala dan pemuka kerajaan lainnya telah menghentikan perlawanan dan
menyatakan turun dari usaha bergerilya melakukan penyerangan pasukan Belanda. Memperhatikan turunnya sultan dan penyerangan perlawanan
atas pasukan Belanda
tersebut dan menerima surat-surat serta atas anjuran para sahabat seperjuangan, Teuku Chik Tunong memahami kesemuanya itu.
Atas kesepakatan dirinya dengan istrinya Cut Meutia pada tanggal 5 Oktober 1903 Teuku Chik
Muhammad-Cut Meutia beserta
dengan pengikutnya turun dari gunung. Atas persetujuan komandan detasemen Belanda di Lhokseumawe (HNA. Swart) Teuku Chik
Muhammad-Cut Muetia dan Pasukannya
dibenarkan menetap di Keureutoe tepatnya di Jrat Manyang dan akhirnya pindah ke Teping Gajah daerah Panton Labu.
Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad-Cut Meutia adalah
sebagai akibat dari peristiwa di
Meurandeh Paya sebelah timur kota Lhoksukon (tepatnya tanggal 26 Januari 1905). Peristiwa tersebut diawali dengan terbunuhnya
pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan berteduh di Meunasah Meurandeh Paya. Pembunuhan atas pasukan Belanda ini merupakan pukulan yang sangat besar dan berat
bagi pemerintah Belanda. Di dalam penyelidikannya serta berdasarkan informasi yang diterima dan
mata-mata Belanda bahwa
Teuku Chik Tunong turut terlibat hal ini merupakan fitnah semata oleh karena itu pemerintah Belanda menangkapnya dan di dalam
peradilan Militer di Lhokseumawe di
putuskan Teuku Chik Tunong Mendapat hukuman gantung dan akhirnyaberubah menjadi
hukuman tembak mati.
Pelaksanaan hukuman tembak mati dilaksanakan pada bulan
Maret 1905 di tepi pantai
Lhokseumawe dan dimakamkan di Masjid Mon Geudong, tidak jauh dan kota Lhokseumawe. Sebelum hukuman tembak dilaksanakan ia dapat
bertemu dengan salah seorang staf
setia dalam perjuangan, yaitu Pang Nanggroe. Seorang panglima muslimin yang juga teman yang paling dekat dan dipercaya, kata
terakhir yang diucapkan kepada Pang Nanggroe adalah "Sudah tiba masanya aku ini tidak terlepas lagi
dari tuntutan hukuman. Pada
saatnya hari perpisahan kita sudah dekat, oleh sebab itu, peliharalah anakku, aku izinkan istriku kawin dengan engkau dan
teruskanlah perjuangan[17] .
2.
Kondisi
intelektual
Wanita kelahiran Perlak, Aceh, tahun 1870, ini
adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang hingga titik darah
penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial. Sebelum
Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang
digelari serambi Mekkah tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan
berbagai pemaksaan dan penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat.
Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia
dilahirkan. Suasana perang pada saat kelahiran dan perkembangannya itu, di
kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan hidupnya[18].
Ketika sudah beranjak dewasa, dia menikah
dengan Teuku Muhammad, seorang pejuang yang lebih terkenal dengan nama Teuku
Cik Tunong. Walaupun ketika masih kecil ia sudah ditunangkan dengan seorang
pria bernama Teuku Syam Syarif, tetapi ia memilih menikah dengan Teuku
Muhammad, pria yang sangat dicintainya. Perang terhadap pendudukan Belanda
terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak Meutia bersama suaminya
Teuku Cik Tunon langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang yang
berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari
pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.
Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan
lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami
istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil
mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang
langsung ke markas pasukan Belanda di Idie. Sudah banyak kerugian pemerintahan
Belanda baik berupa pasukan yang tewas maupun materi diakibatkan perlawanan
pasukan Cut Nyak Meutia. Karenanya, melalui pihak keluarga Meutia sendiri,
Belanda selalu berusaha membujuknya agar menyerahkan diri. Namun Cut Nyak
Meutia tidak pernah tunduk terhadap bujukan yang terkesan memaksa tersebut.
3.
Tokoh yang
mempengaruhinya
Adapun tokoh-tokoh yang mempengaruhi cut
Meutia adalah sebagai berikut:
a.
Pang Naggro
b. Teuku Chiek Bentara
c.
Teuku Ben Daud,
d. Teuku Ben Pirak.
e.
Teungku di Barat
f.
Teuku Raja Sabi
4.
Metode (corak)
berpikir Cut Mutia
Cut Meutia adalah seorang anak yang patuh serta menurut. Karena pendidikan yang diterimanya
sejak kecil sampai dewasa ia merasakan dengan sungguh-sungguh kebesaran agama Islam yang dianutnya. Untuk kepentingan
agama manusia di dunia haruslah mengorbankan segala-galanya. Harta benda,
pangkat, sampai-sampai kepada nyawa sekalipun tidak ada artinya bagi kehidupan kalau diluar ridha
Allah swt. Demikian - lah keyakinan
yang tertanam di dalam dada Cut Nya Meutia, bahkan pada seluruh rakyat Aceh.
Pada masa Cut Nyak Meutia menanjak dewasa,
keadaan politik di Aceh berada pada saat-saat yang
krisis. Pusat pemerintahan Kesultanan Aceh telah direbut oleh Belanda dan
daerahdaerah di sekitar Aceh Besar telah dikuasai musuh. Keadaan politik yang demikian menjadi
pembicaraan luas dalam seluruh lapisan
masyarakat tidak saja di kalangan kaum laki-laki
tetapi termasuk kaum perempuan. Keadaan ini sangat mengesankan Cut Nyak Meutia, terutama karena
keluarganya termasuk keluarga uleebalang
yang taat kepada agama serta telah
menyatakan akan memusuhi Belanda serta menentangnya apabila musuh sampai ke daerahnya. Dalam
suasana demikianlah Cut Nyak Meutia dibesarkan dan kesemuanya ini turut mempengaruhi sikap Cut Nyak Meutia setelah ia
dewasa.
Seperti telah dijelaskan di muka sebelum
masuknya Belanda ke daerah Aceh Utara,
terutama ke daerah-daerah Keureutoe dan
Pirak. daerah ini merupakan daerah yang subur dengan rakyatnya yang makmur,
terutama yang mendiami daerah Keureutoe. Keuleebalangan Keureutoe pada waktu
ini diperintah oleh Cut Nyak Asiah setelah suaminya Teuku Chi' Muda Ali
meninggal dunia. Kemakmuran dan kemashuran yang telah diwariskan suaminya te
tap dapat dipertahankan terus. Keharuman namanya semakin menanjak, sewaktu ia
dapat memban tu Sultan Muhammad Daud memusatkan pertahanan daerah Pasai dalam Tahun
1901.
[2] Ismail
Jakub, Tenguku Tjhik Di Tiro (Muhammad Saman), Pahlawan
Besar Dalam Perang Atjeh (1881- 1891), (Djakarta:
Bulan Bintang, 1960), hal. 90.
[6]
Kasim, M., Kisah-kisah Keperwiraan Wanita Aceh Dalam Perang
Gerilya Melawan Belanda, (Medan: Pandraman,
1959), hal. 65.
[8] Ibid., hal. 34.
[9] Ibid., hal. 34.
[11]
Piekaar, A.J., Aceh dan Peperangan dengan Japan, Bab I terjemahan
Aboe Bakar, (Banda Aceh: PDIA, 1978), hal. 19.
[18] Wijaya, Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan tokoh Pergerakan Nasional, (Jakarta: Reset Agung, 2007), hal. 60-62.
0 Comments
Post a Comment