BAB
TIGA
Qana’ah
Sebagai Solusi Kehidupan Modern
A. Permasalahan
Kehidupan Modern
Kehidupan sosial keagamaan sering disalahartikan dengan
kehidupan yang saling memiliki kekayaan. Padahal pemahaman semacam ini termasuk
pemahaman yang keliru, karena Islam tidak menganggap kekayaan sebagai patokan
kehidupan yang bahagia. Oleh karena itu, di sini penulis akan menguraikan permasalahan
yang dihadapi dalam kehidupan modern.
Ada sebagian kelompok yang berkeyakinan bahwa upaya
menghapuskan kemiskinan dan mengentas kaum kafir tidak akan berhasil tanpa
menghilangkan aghniya’ (orang-orang kaya) dan menyita harta mereka.
Mereka menyarankan dipersatukannya berbagai kelompok masyarakat untuk melawan
golongan kaya. Mereka berusaha menyulut pergolakan yang akhirnya akan dimenangkan
oleh kelompok mayoritas, yakni kelompok pekerja melarat.
Pandangan ini dipegang erat oleh penganut faham
modernisme. Mereka cenderung berpandangan sama, baik kelompok yang ekstrem
maupun yang moderat. Walaupun cara yang mereka tempuh berbeda, mereka sama-sama
menolak prinsip hidup sederhana karena menganggapnya sebagai sumber kemunduran.
Dalam hal ini George Barden dan Ramberg mengungkapkan
bahwa “Segolongan orang mengatakan bahwa modernisasi adalah kebebasan dan
penghormatan bagi individu. Yang lain mengatakan, modernisasi adalah upaya
mengalihkan berbagai sarana produksi agar dapat mengokohkan kekuasaan kelompok melarat”.[1]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa
kita tidak bermaksud terlibat jauh dalam diskusi ini. Persoalan tersebut
bukanlah persoalan baru, seperti yang dicatat oleh Maxim. Dalam buku para
pelopor modernisasi, Maxim berkata, “suatu hal yang pasti adalah bahwa kehidupan
modern mempunyai banyak bentuk. Kehidupan modern yang diprakarsai Babeuf sangat
berbeda dengan kehidupan modern Bourdon, dan modernsasi Simon berbeda dengan
dengan modernisasi Blanqui. Kedua bentuk modernisasi ini juga tidak sejalan
dengan konsep Louis Blanche, Kaye, Purbeck, dan Becquer. Cabang dan aliran modernisasi
ini bertentangan satu sama lain. Namun demikian, mereka dipersatukan oleh
tujuan tunggal, yaitu menghapuskan kesenjangan dalam masyarakat yang dianggap
sebagai sumber kedhaliman dan malapetaka bagi masyarakat.[2]
Modernisasi revolusioner hanya berbeda sedikit dengan
komunisme. Kedua paham ini berpijak di atas prinsip materialisme tentang
kehidupan dan manusia.
Selain itu, kedua mazhab ini menghina agama,
menjauhkannya dari kehidupan masyarakat, dan berusaha mendirikan negara sekuler
yang menolak keberadaan agama. Untuk mencapai tujuannya, mereka tidak
segan-segan menggunakan cara kekerasan hingga menumpahkan darah sesama manusia.
Al-Ustadz Muhammad Abdullah ‘Annan mengatakan
Pengertian modernisasi
sama dengan sosialisme. Modernisasi yang murni pada akhirnya berakhir pada sosialisme.
Tidak ada perbedaan di antara keduanya kecuali dalam hal-hal nonprinsipil. Modernisasi
adalah mazhab revolusioner murni. untuk mencapai tujuannya, sedikitpun ia tidak
mengenal cara damai seperti yang ditempuh sosialisme moderat. Sebab sosialisme mengandalkan
revolusi untuk mencapai tujuannya.[3]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa
modernisme pada dasarnya mengacu pada pemikiran sosialisme. Hal ini terlihat
dari terjadi persamaan dalam mencapai tujuannya.
Namun demikian, dalam perjalanan sejarah kehidupan anak
manusia selalu dipengaruhi berbagai keadaan yang menimpa kehidupan, sehingga
terjadi kesenjangan dalam berbagai aspek kehidupan. Akibat adanya kesenjangan
tersebut, maka terjadilah keinginan untuk merobah kesenjangan itu menjadi
kehidupan yang lebih baik. Salah satu cara yang dilakukan oleh kaum modernisme adalah
mengadakan perubahan dengan membentuk sebuah komunitas sosial yang tinggi.[4]
Karena itulah, penganut modernisme berpendapat bahwa
setiap perubahan sosial mesti bersifat revolusioner. Tidak ada perubahan secara
perlahan-lahan. Sejarah dimengerti sebagai pergantian terus menerus antara
keadaan-keadaan yang stabil dan tidak berubah yang dapat berlangsung lama dan
keadaan-keadaan kegoncangan dan revolusi yang berlangsung dalam waktu singkat
dan menghasilkan struktur-struktur kekuasaan yang baru. Mengapa perubahan
secara perlahan-lahan tidak mungkin?, mengapa harus selalu revolusioner?,
karena kelas-kelas atas berdasarkan kepentingan untuk tetap mempertahankan
posisi mereka, menentang setiap perubahan. Maka perubahan baru dapat terjadi
apabila kelas-kelas bawah sudah cukup kuat untuk dapat memaksakannya ke
kelas-kelas atas, dan itulah revolusi. Kekuatan untuk menjungkirbalikkan sistem
kekuasaan yang ada diperoleh oleh kelas-kelas bawah melalui perjuangan kelas
yang membutuhkan jangka waktu panjang sampai mereka dapat mematahkan kekuasaan
kelas tersebut. Semula mereka tentu
ditindas dan gagal. Tetapi lama kelamaan daya juang kelas-kelas bawah semakin
besar, sehingga akhirnya mereka dapat mengalahkan kelas atas. Kemenangan itulah
yang melahirkan struktur masyarakat yang formasinya lebih tinggi. Maka Marx
berpendapat bahwa perjuangan kelas adalah motor kemajuan sejarah.
Faktor yang menurut Marx memastikan bahwa lambat laun
akan ada perubahan revolusioner adalah tenaga-tenaga produktif, jadi alat
kerja, ketrampilan para pekerja dan teknologi. Tenaga-tenaga produksi itu
merupakan faktor dinamis dalam masyarakat. Mengapa? Kalau tenaga-tenaga
produktif berdasarkan logika internal proses produksi mesti berkembang terus.
Hal itu mudah dimengerti. Untuk meningkatkan keuntungan, para pemilik terus
menerus mengusahakan peningkatan efisiensi tenaga-tenaga produktif. Kepentingan
ekonomis, usaha untuk mencari keuntungan yang lebih besar, dengan sendirinya merupakan
dorongan kuat untuk terus menerus memperluas, memperbaiki, merasionalisasikan
cara produksi. Si kapitalis berkepentingan agar alat-alat kerjanya terus dibuat
menjadi lebih efisien, agar ketrampilan buruh-buruhnya terus ditingkatkan, agar
pengalaman generasi-generasi sebelumnya dalam pekerjaan dimanfaatkan seoptimal
mungkin. Jadi tenaga-tenaga produktif tidak pernah berhenti berkembang (dan di
zaman modern malah dipacu secara ilmiah).
Klaim ini sangat penting untuk memahami teori modernisme,
sebab mereka menolak pendasaran modernisasi pada pertimbangan-pertimbangan
moral. Modernisasi tidak akan datang karena dinilai baik atau karena sosialisme
dinilai jahat, melainkan karena syarat-syarat obyektif penghapusan kesenjangan
sosial. Dalam Aliran-Aliran Pembaharuan Dalam Islam Gibb menulis: “modernisasi bagi
kami bukan keadaan yang harus diciptakan, cita-cita yang akan wajib diikuti
oleh kenyataan, kami menyebut modernisasi gerakan nyata yang meniadakan keadaan
sekarang. Syarat-syarat gerakan itu dapat disimpulkan dari pengandaian yang
sekarang.”[5]
Apakah klaim ini? dasarnya ialah bahwa ia yakin sudah
menemukan hukum obyektif perkembangan sejarah. Dengan hukum obyektif itu kaum
modernisme dapat menjelaskan mengapa sampai terjadi kesenjangan sosial,
bagaimana struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat dan faktor-faktor apa
yang menentukan perubahannya. Hukum dasar perkembangan masyarakat adalah bahwa
kebutuhan-kebutuhan material manusia menentukan bentuk masyarakat dan
perkembangannya. Gibb menulis “Penganut modernisme mengemukan fakta sederhana
yang sampai sekarang tertutup oleh tetumbuhan ideologis, bahwa manusia pertama
harus makan, minum, bertempat tinggal, dan berpakaian, sebelum mereka melakukan
kegiatan politik, ilmu pengetahuan, seni, agama, dan seterusnya: jadi bahwa
nafkah hidup material bersifat langsung dengan demikian tingkat perkembangan
ekonomis sebuah masyarakat atau zaman masing-masing menjadi dasar dari
bentuk-bentuk kenegaraan, pandangan-pandangan hukum dan seni, bahkan pandangan
relegius orang-orang yang bersangkutan berkembang.[6]
Dengan kata lain, penganut modernisme mengklaim bahwa modernisasi
bersifat ilmiah karena modernisasi tersebut berdasarkan pengetahuan tentang
hukum-hukum obyektif perkembangan masyarakat. Pengetahuan itulah yang disebut
pandangan materialis sejarah atau historis materialis.
Rumusan tentang pandangan materialisme sejarah adalah
“bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan masyarakat. Tetapi sebaliknya,
keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka.[7]
Oleh karena itu, modernisasi beranggapan bahwa yang
menetukan perkembangan masyarakat bukan kesadaran, jadi bukan apa yang
difikirkan masyarakat tentang dirinya sendiri, melainkan keadaan masyarakat
yang nyata: “berlawanan dengan filsafat Jerman yang turun dari surga ke bumi,
di sini kami naik turun dari bumi ke surga. Artinya, kami tidak bertolak dari
apa yang dikatakan orang, dari bayangan dan cita-cita orang, juga tidak dari
yang diperkatakan, difikirkan, dibayangkan, dicita-citakan untuk sampai kepada
manusia nyata; melainkan kami bertolak dari manusia yang nyata dan aktif, dan
proses hidup nyata merekalah perkembangan reflek-reflek serta gema-gema
ideologis proses hidup dijelaskan.[8]
Anggapan kaum modernis itu mengandung dua pernyataan yaitu, pertama, sebuah
pernyataan tentang keadaan masyarakat. Kedua, pernyataan tentang keadaan itulah
yang menentukan kesadaran manusia dan bukan sebaliknya.
Apa “keadaan masyarakat” atau “keadaan sosial” itu?
keadaan sosial manusia adalah. “Manusia ditentukan oleh hasil kerja mereka,
baik apa yang mereka kerjakan, maupun cara mereka bekerja. Jadi
individu-individu tergantung pada syarat-syarat material pada hasil kerja mereka.”
Pandangan itu disebut materialisme.[9]
Hal ini dikarenakan sejarah dianggap ditentukan oleh syarat-syarat produksi
material. Jadi kaum modernis memakai kata materialisme bukan dalam arti
filosofis, sebagai kepercayaan bahwa hakikat seluruh realitas adalah materi,
melainkan ia ingin menunjukkan pada faktor yang menentukan sejarah. Dan itu
bukan pikiran, melainkan “keadaan material” manusia, dan keadaan material itu
bukan, sebagaimana yang mungkin akan kita duga, unsur seperti ras, iklim, cara
makan, dan sebagainya, melainkan kebutuhan material manusia. Cara manusia
menghasilkan kebutuhan untuk hidup itulah yang disebut keadaan manusia.
Norchalis Madjid adalah
salah seorang pemikir pembaharuan Islam yang sudah sangat terkenal dalam
mengembangkan misi pembaharuannya. Akan tetapi misi pembaharuan yang
dikembangkan Madjid bercorak religius, bahkan religiusitas yang dikembangkan
sangat radikal dibandingkan pemikiran yang dikembangkan tokoh pembaharuan Islam
lainnya.
Namun apabila
dilihat secara lebih jauh, maka pemikiran Noerchalis Madjid ini dipengaruhi
oleh berbagai tokoh modern sebelum kedatangannya. Hal ini terlihat dari
pernyataan yang dikemukakannya banyak yang didasarkan kepada
pemikiran-pemikiran tokoh sebelumnya.
Salah satu pengaruh
yang paling kuat dalam pemikirannya adalah pemikiran yang dikembangkan oleh Harun
Nasution, karena pemikiran yang dikembangkan oleh Harun Nasution banyak yang
bersifat kediktatoran, maka dari itu ia mencoba mengarahkan kediktatoran
tersebut kepada pemikiran yang rasional.
Di sisi lain,
pemikiran Madjid juga dipengaruhi oleh beberapa tokoh pembaharuan Islam di
antaranya as-Siba’i dan Sayyid Quthb. Hal ini terlihat dari pernyataan yang
dikemukakannya banyak yang mengarah kepada pemikiran kedua tokoh ini antara
lain: masalah kepemilikan harta, cara memperoleh harta dan sistem kerja.[10]
Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa semua pernyataan yang dikemukakan
oleh Noerchalis Madjid banyak dipengaruhi oleh para pendahulunya. Terutama
dalam mengeluarkan fatwa tentang kehidupan modern. Sehingga setiap fatwa yang
ditawarkannya masih sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat setelah dia
tiada.
Di samping itu, kehidupan modern yang dikehendaki oleh berbagai kalangan
adalah upaya untuk menegakkan keadilan bagi kesejahteraan umat dengan
perwujudan kesenangan antara individu dalam kelompoknya.
Oleh karena itu, tatanan masyarakat baru yang dikehendaki oleh kaum
modernis adalah, adanya beberapa masyarakat yang dinamis, yaitu yang saling
membantu, memanfaatkan segala sesuatunya sebagai milik pribadi untuk kesenangan
kelompoknya untuk memenuhi keinginannya sendiri. Jadi, modernisasi yang
dikehendaki oleh kelompok modernis adanya kesenangan untuk seluruh individu
pada waktu itu yang bukan hanya dapat
dinikmati oleh sebagian kecil penduduk sebagaimana yang diinginkan kaum
tradisionalis.[11]
Modernisasi yang dikembangkan di negara Islam merupakan teori yang
ditransper dari pemikiran Barat, tumbuh dan berkembang di negara Islam itu
sendiri yang ditopang oleh agama dan berdasarkan pengalaman peradaban yang
sangat panjang sebagaimana prinsip keadilan sosial yang tertuang dalam dasar revolusi
semenjak tahun 1952.
Pernyataan di atas, merupakan argumen kaum modernis untuk membedakan
antara modernisasi dalam Islam dengan modernitas lainnya. Di samping
modernisasi juga diadakan melalui lembaga pendidikan, media massa , juga diterbitkan beberapa perundangan
dan kebijakan lain serta dibentuk suatu kelembagaan yang mempunyai organisasi
dan tata kerja yang mapan.
B. Bentuk-Bentuk
Permasalahan Kehidupan Modern
Kehidupan modern secara sederhana
dapat diartikan sebagai suatu paham sama rata sama rasa atau sebagaimana yang
diungkapkan oleh Ahmad Syalabi yaitu kesempatan yang sama yang harus diperoleh
oleh setiap masyarakat dalam mengambil bagian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
secara demokratis dan mendapat pengayoman dari pemerintah serta mendapat keadilan
guna mencapai kesejahteraan.[12]
Berbicara tatanan persoalan kehidupan modern tentu tidak dapat dipisahkan
dengan manusia sebagai sosok ciptaan Allah yang sangat sempurna. Kehidupan dapat
membedakan makhluk manusia dengan makhluk hewan lainnya. Manusia tanpa hidup
modern akan hilang derajat kemanusiaannya, nahkan menjadi turun derajatnya
peringkat paling rendah. Karena itu, manusia harus lari dari sifat insaniyahnya
demi mencapai kebahagiaan hidupnya.
Namun demikian, Imam al-Ghazali dalam kitabnya Muqasyafatul Qulub,
bahwa Allah telah menciptakan makhluk-Nya manusia atas tiga katagori, yaitu:
1.
Allah menciptakan
malaikat dan kepadanya diberikan akal tidak diberikan nafsu
2.
Allah menjadikan
hewan tidak lengkap dengan akal, tetapi diberikan nafsu syahwat.
3.
Allah menjadikan
manusia lengkap dengan akal dan nafsu.[13]
Oleh karena itu, barang siapa yang nafsunya dapat mengalahkan akal, maka
hewan melata misalnya lebih baik darinya. Sebaliknya bila manusia dengan
akalnya dapat mengalahkan nafsunya, maka derajatnya setingkat dengan malaikat.
Menurut Ahmad Amin hidup memiliki tujuan yang sangat mulia untuk
memberikan pengertian tentang keridhaan untuk menerima apa saja yang
diputuskan untuk menegaskan apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam
hubungan sesamanya.[14]
Lebih dari itu mengenai hidup modern Ahmad Hamid Yunus menjelaskan bahwa:
hidup modern adalah dapat menerima sesuatu untuk mengetahui keutamaan-keutamaan
dan mengikutinya hingga terisi dengannya dan tentang kebaikan untuk mencapai
kebahagiaan hakiki dalam hidupnya.[15]
Sebenarnya hidup modern sangat urgen bagi manusia. Urgensi hidup modern
ini tidak saja dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perseorangan,
tetapi juga dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bahkan dapat dirasakan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, jika sikap hidup modern telah
timbul dari masing-masing manusia, kehidupan ini akan baik, masyarakat menjadi bahagia.
Dalam mengaplikasi hidup modern kepada seseorang anak manusia tidak
pernah terjadi perbedaan, karena pendidikan ini selalu berpedoman secara
langsung kepada ketentuan yang digariskan oleh sekulerisme. Apalagi para kaum
sekuler berpedoman pada pedoman yang sama, sehingga tidak terjadi perbedaan
pandangan dalam menentukan bagaimana cara menentukan kehidupan modern yang dapat
mencapai kebahagiaan.[16]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa menerapkan
sikap hidup modern merupakan kewajiban bagi sekuler yang hendak mengabdikan
diri secara teguh kepada pembaharuan, karena dengan hidup, maka hal tersebut
juga termasuk bagian dari manifestasi meningkatkan pembaharuan dalam Islam.
Menurut Kartini Kartoko menjelaskan bahwa ada beberapa bentuk pola hidup
yang dianggap lebih modern, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Perkelahian
Massal
Perkelahian missal merupakan salah satu bentuk trend baru yang terjadi
dikalangan remaja, khususnya di Ibukota Jakarta dan daerah-daerah lain yang
dianggap telah maju. Perkelahian missal ini termasuk salah satu akibat dari
animo terhadap budaya modernisasi yang disalahartikan oleh kaum remaja.[17]
2.
Pemakaian Narkoba
Pemakaian obat-obat terlarang juga termasuk salah satu anggap untuk
menggapai budaya modern. Bahkan sebagian remaja menganggap bahwa jika seseorang
belum mencoba memakai narkoba belum bias bersaing di dunia globalisasi.[18]
3.
Pergaulan Bebas
Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan merupakan salah satu
bentuk dari budaya modern yang dianggap oleh kawula remaja sekarang, sehingga
sangat banyak terjadi pelecehan seksual di kalangan remaja yang hidup sesuka
hatinya.[19]
4.
Pornografi
Munculnya budaya pornografi merupakan gaya hidup modern yang disalahartikan,
sehingga setiap dewasa ini bangga dengan segala bentuk kehidupan yang
mengedepankan budaya-budaya porno.[20]
Selanjutnya Muhammad al-Bahy mengemukakan bentuk-bentuk kehidupan dianggap
modern yang dipegang umat manusia dewasa ini, meliputi:
1.
Pemisahan antara
politik dan agama
2.
Mencari kelezatan
hidup dengan menjauhkan diri dari agama.
3.
Mengumpulkan
materi untuk dibangga-banggakan.[21]
C. Implementasi
Qana’ah Sebagai Solusi dalam Kehidupan Modern
Qana’ah merupakan salah satu proses mencari kebahagiaan yang
mesti dipahami, dihayati, dan diamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Qana’ah
ini termasuk salah satu mata rukun dalam mengembangkan jati diri keislaman,
karena dengan adanya iman, aqidah manusia diketahui secara benar tentang
hal-hal yang menyangkut dengan pengabdian manusia kepada Khaliknya.
Sampai saat ini persoalan qana’ah masih menarik dibicarakan, karena
persoalan tersebut belum ditemukan kesimpulan, dan bahkan tidak akan ditemukan
kesimpulan sama sekali. Persoalan qana’ah hanya dapat dirumuskan dengan keyakinan dan
keimanan seseorang.
Menurut Imam al-Ghazali, qana’ah merupakan masalah transenden yang tidak
perlu dipermasalahkan lagi, karena hal tersebut termasuk masalah keyakinan
individu, sehingga bila tetap dipersoalkan akan mejadi gejolak di dalam
kehidupan kaum muslimin itu sendiri. Karena itu, sebagai upaya untuk meredam
perselisihan, maka persoalan-persoalan yang menyangkut tasawuf ini mestinya
tidak dibicarakan lagi.[22]
Di sisi lain, persoalan qana’ah sudah termasuk kultus dalam kehidupan
diri pribadi masing-masing. Apalagi Islam mengajarkan bahwa umatnya tidak boleh
lengah dalam memahami persoalan ketuhanan tersebut.
Seharusnya, umat Islam senantiasa mengabdikan diri kepada Tuhan dengan
melaksanakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Hal
ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan al-Qusyairy bahwa “seorang mukmin
harus taat melaksanakan ajaran agama sesuai dengan kemampuannya, yaitu dengan
tidak lupa melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar”.[23]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa melaksanakan
amar ma’ruf nahi mungkar merupakan kewajiban yang tidak boleh dilupakan oleh
umat Islam. Jika hal tersebut belum dilaksanakan dengan sempurna, maka
keislamannya masih belum dapat dikatagorikan sempurna. Di sisi lain, juga dapat
dikatakan bahwa tingkat keislaman orang yang belum melaksanakan perintah agama
tersebut masih dapat diragukan tingkat keabsahan Islamnya.
Oleh karena itu, berbicara masalah qana’ah tidak terlepas dari persoalan kridhaan
terhadap keputusan Allah. Artinya, Islam merupakan agama yang berpegang teguh
pada takdir Tuhan. Sebagai agama monotheisme, Islam menganjurkan kepada umatnya
untuk melaksanakan pengabdian kepada Tuhannya.
Dalam hal ini Hasyimsyah Nasution menjelaskan bahwa “Islam agama yang
ditegakkan atas lima
besar yaitu, bersyahadat, melaksanakan shalat, berpuasa, berzakat dan berhaji,
sehingga sempurnalah tingkat keislaman seorang hamba”.[24]
Iman dapat diartikan dengan “keyakinan yang mantap akan adanya
keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, syari’at serta keputusan-Nya, Maha Pencipta
segalanya Dialah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya,
tiada Tuhan selain Dia”.[25]
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa:
عن أبى عمرو وقيل أبى عمرة سفيان بن عبدالله رضي الله عنه
قال قال يارسول الله قل لى فى الإسلام
قولا أسأل عنه أحدا غيرك، قال: قل أمنت بالله، ثم استقم (رواه مسلم)[26]
Artinya: Abu Amar atau Abu Amrah Saufyan bin Abdullah
Rasulullah saw berkata: wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku satu perkataan
dalam Islam yang tidak akan pernah aku tanyakan kepada selain engkau”. beliau
bersabda, “katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamah”. (H. R.
Muslim)
Keyakinan yang teguh dan mantap
terhadap Allah, kemudian dijabarkan kepada rukun-rukun iman yang lain, yaitu
beriman kepada Malaikat, Kitab-Kitab (samawi), para Rasul alaihimussalam, iman
kepada adanya hari kiamat serta qadha dan qadar Allah, yang kemudian membentuk
aqidah Islamiah yang kuat dan mantap di dalam setiap muslim.
Akan tetapi konsep iman yang
dibicarakan dalam tasawuf mengacu pada masalah berbakti kepada Allah dan
Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltut, yang dimaksud dengan keimanan “mengamalkan
apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya; disebut “taqwa”
karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi saw; disebut muslimin, karena mereka
berpegang di atas al-haq (kebenaran), tidak berselisih dalam agama, mereka
terkumpul pada para imam al-haq, dan mengikuti apa yang telah menjadi
kesepakatan para ulama”.[27]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa qana’ah merupakan
suatu ikat yang dilakukan secara langsung oleh hati manusia untuk membenarkan
akan adanya kebenaran yang telah ditetapkan oleh Allah dan qana’ah sangat dekat
keimanan seseorang untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.
Sebagai upaya
gemilang yang telah dilakukan oleh HAMKA dalam mengeksplorasikan pemikiran tasawuf
ke atas panggung yang sebenarnya, menurutnya manusia sebagai makhluk obyektif
selalu berfikir ke arah mengabdikan diri kepada Allah, dan mengkaji
perhatiannya terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang dapat dipahami oleh segenap
lapisan masyarakat.
Implikasi dari
keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan beramal shaleh telah dinyatakan
perang terhadap orang-orang yang enggan berbakti kepada Allah.
Akibat dari adanya kehidupan
sosial modern, maka keadaan Islam dewasa ini menjadi terhalang berbagai hal
yang tidak menggembirakan, salah satunya adalah terjadinya perbedaan pendapat
di kalangan umat Islam itu sendiri. Perbedaan pendapat terjadi dikarenakan
ketidaksamaan pandangan dalam menterjemahkan konsep tasawuf. Seharusnya, hal
tersebut tidak perlu terjadi, karena Islam merupakan agama yang sangat toleran
terhadap perbedaan pendapat.
Secara umum qana’ah mempunyai pengertian suatu sistem
pemerataan dalam sebuah kelompok masyarakat sebagai usaha mencapai
kesejahteraan yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan material, qana’ah dapat
diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan untuk mensetarakan kesejahteraan
dalam perwujudan kegiatan masyarakat untuk mencapai tujuan kebahagiaan.[28]
Fazlur Rahman merupakan salah seorang tokoh tasawuf Islam yang membangun
khazanah pemikiran Islam. Oleh karena itu, Dia mengembangkan konsep zuhud
secara optimal agar mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan
tetapi, usaha tersebut mempunyai atau mengalami hambatan dalam mencapai tujuan ketangan
dan kadamaian. Namun demikian, zuhud yang ditawarkan Rahman tetap membawa
pengaruh yang luar biasa dalam perubahan ibadah umat Islam.
Hal tersebut dikarenakan zuhud atau qana’ah adalah sesuai kondisi saat
itu. Rahman menawarkan konsep qana’ah tersebut untuk merubah pola fikir para tokoh
tasawuf Islam. Oleh karena itu, ia memberikan konsep yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Perpaduan dari kedua konsep tasawuf antara tasawuf klasik dan
tasawuf modern maka lahirlah sebuah pola hidup yang memanfaatkan harta sebagai
jalan untuk mengabdikan diri kepada Allah.[29]
Sebagai seorang pembaharu dalam tasawuf Islam tentunya Rahman sudah
menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai kondisi ketenangan bathin
yang dapat mengantarkan umat Islam ke tujuan. Di sini tentu saja tugasnya
memang berat untuk berusaha menciptakan ketenangan bathin dan menyenangkan umat
Islam yang biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh kehidupan materi. Kondisi ini
tentu menjadi kendala yang serius bagi tercapainya tujuan penerapan kehidupan
qana’ah yang lebih baik.
Namun demikian menerapkan hidup qana’ah merupakan usaha yang mutlak dan
memerlukan keterlibatan seluruh kaum muslimin. Bila tidak ada, maka
mengembangkan ajaran tasawuf tidak berjalan, karena tidak ada tempat untuk
diaplikasikan. Hal ini sangat penting dilakukan agar tidak terjadi
kesalahtafsiran terhadap pengembangan ajaran tasawuf.
Sama halnya dengan tasawuf klasik, tasawuf modern pun pada hakikatnya
merupakan suatu usaha untuk mencari ketenangan hidup seluruh umat Islam baik di
dunia maupun di akhirat, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong peningkatan
ibadah secara lebih baik. Oleh karena itu, Imam al-Ghazali menerangkan bahwa
“pada tahap ini tasawuf merupakan proses mengajarkan umat Islam untuk hidup
lebih tenang dalam mencapai kebahagiaan yang abadi”.[30]
Melihat kenyataan tersebut, peranan tasawuf dalam meningkatkan ketenangan
bathin umat Islam sangat besar. Apalagi dalam meningkatkan ibadah kepada Allah
serta menjalin hubungan antara sesama manusia, akan dapat mencapai tingkat
kebahagiaan hidup yang lebih tinggi.
Dengan hadirnya tasawuf dalam kehidupan umat manusia saat itu, maka semua
masalah yang menggundahkan dapat diselesaikan dengan mudah khususnya
permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan modern, sehingga semua permasalahan
tersebut dapat diselesaikan dengan sempurna tanpa adanya bantahan dan cemoohan dari
pihak lain.
Di samping itu, untuk menjaga kesederhanaan, dan supaya hati tetap dalam
ketentramannya, jangan sampai tenggelam dalam gelombang dunia yang hebat,
jangan sampai pikiran hanya kepada harta benda saja, itu sebabnya manusia
dianjurkan untuk hidup qana’ah. Rasulullah menutup pintu akan kepanjangan
was-was dan keraguan hidup. Namun demikian, qana’ah tidak berlawanan dengan
harta, selama harta itu belum menghilangkan ketentraman hati, sebab qana’ah
ialah tangga ketentraman hati. Dan selama harta itu diikat oleh niat yang suci
untuk menokong segala keperluan hidup, berhubungan dengan sesama manusia dan
ibadah, untuk bersedekah kepada fakir dan miskin.[31]
Di sisi lain, qana’ah tidak menghalangi menyimpan harta, karena banyak
guna harta itu untuk mencapai maksud yang tinggi. Sejak dari membeli tikar sembahyang,
membeli bahan makanan untuk berbuka puasa, membayar zakat dan fitrah, membyara
ongkos haji sampai kepada menolong orang yang memerlukan pertolongan.
Oleh karena itu, jika seorang hamba bersifat qana’ah terhadap materi yang
diterimanya, maka dia tidak akan repot menimbun harta, seperti anjing yang
mencari bangkai. Dia akan merasa selalu ridha dengan jatah dunia yang
diterimanya dan raganya pun akan terhindar dari berbagai macam dosa. Dia
senantiasa rela dengan rezeki walau bernilai sedikit. Namun Allah juga ridha
kepadanya sekalipun dia hanya beramal sedikit. Dengan mempraktekkan sifat
qana’ah, maka seseorang akan tenang hidup di dunia dan bahagia di akhirat
dengan meraih rahmat Allah.
Sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka hidup qana’ah
merupakan jalan terbaik. Menghindari harta yang berlebihan merupakan salah satu
bentuk qana’ah terhadap dunia. Karena itu, barang siapa tidak merasa qana’ah
dengan kebutuhan yang sebenarnya sudah mencukupi dirinya, maka dia akan
termasuk ke dalam golongan yang disebutkan dalam hadits Nabi saw sebagai
berikut:
لو أن لإبن آدم وادبين من ذهب لا ابتغى لهما ثالث ولا يملأ
جوف ابن إلا التّراب ويتوب الله على من تاب (رواه مسلم)[32]
Artinya:
“Seandainya anak cucuk Adam memiliki dua lembah berisi emas pasti dia akan tetap
menginginkan lembah yang ketiga. (Dia tidak akan berhenti menimbun harta)
sampai mulut anak cucuk Adam itu dipenuhi dengan tanah (kuburan). Baru Allah akan
memberikan
taubat kepada orang yang mengajukan taubat”. (H. R. Muslim)
Berdasarkan keterangan hadits di atas dapat dipahami, bahwa pada dasarnya
anak Adam dilahirkan dengan sifat tamak nalurinya ingin menguasai seluruh harta
benda yang ada di dunia ini. Namun karena adanya dasar keimanan yang kuat dalam
dirinya, maka dia akan membatasi ketamakannya dengan mengajukan taubat kepada
Allah, dan Allah sendiri akan menerima taubat hamba yang melakukan taubat
nasuha.
Meskipun perbaikan nasib umat manusia akan tercapai, namun kontrol agama
akan tetapi ada setiap zaman. Bagi orang yang terlalu miskin ada control dari
agama, menyuruh sabar dan jangan putus asa. Terhadap yang terlalu kaya juga ada
kontrol dari agama, supaya bersyukur kepada Tuhan dan memberikan pertolongan
yang wajib kepada yang miskin. Kalau perbedaan menyolok mata itu tidak ada
lagi, pun ada control dari agama, yaitu semuanya bekerja sama menegakkan kasih
saying, amal dan ibadah, jasa yang tidak terputus, bagi masyarakatnya dan bagi
keturunan yang akan ditinggalkannya.
D. Pengaruh Qana’ah dalam Kehidupan Modern
Islam pada
hakikatnya adalah agama yang berwatak profetik. Artinya, Islam datang
atau diturunkan untuk mengubah secara radikal tatanan sosial kultural mapan
yang opressif, yang membuat manusia terbelunggu, saling melindas dan
tidak jelas arah sejarahnya. Oleh karena itu, Islam sebagai agama yang
meletakkan amal sosial sebagai sentral bagi makna keberadaan manusia.
Oleh sebab itu,
sebagai agama yang universal dan eternal Islam memiliki perangkat nilai-nilai
bagi pembentukan diri dan pembangunan manusia sempurna (insan kamil)
yang berlandaskan pada wahyu dan sunnah Nabi. Nilai etis dalam Islam bukan saja
mampu dijadikan sebagai nilai dan norma yang sacral dan transendental tetapi
juga mampu diturunkan sebagai etos yang menyatu dalam setiap perilaku
pemeluknya. Ia memberi prinsip-prinsip dasar sebagai salah satu orientasi dalam
pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan, yang sekaligus menyadarkan
manusia sebagai subyek pembangunan.[33]
Di sisi lain,
dalam rangka membentuk kepribadian yang diridhai oleh Allah SWT, diperlukan
sikap qana’ah dalam menjalani setiap sisi kehidupan. Sebab bila seseorang telah
bersifat qana’ah di dunia, berarti dia telah membersihkan hatinya dari sifat kibr.
Dia tidak akan memiliki hasrat untuk popular. Dengan demikian, dia akan selamat
dari fitnah dunia dan berbagai macam dosa yang ada di dalamnya. Dengan sifat
qana’ah, maka seseorang tidak gila terhadap kemewahan dunia, malah dia akan
berkonsentrasi untuk beribadah kepada Allah.[34]
Dari keterangan
di atas, maka jelaslah bahwa sikap qana’ah merupakan salah sikap yang sangat
dicintai oleh Allah. Sebab sikap qana’ah akan mampu mengendalikan setiap
perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan dengan sikap qana’ah
seseorang akan mampu menghindarkan diri setiap perbuatan syaithan, seperti
berjudi, berzina, serta menghalalkan segala cara dalam menempuh hidup di dunia
ini.
Qana’ah artinya
ridha dengan sedikitnya pemberian Allah, karena itu ada sebagian ahli tasawuf
telah mengatakan bahwa seorang hamba adalah sama seperti seorang merdeka bila
ia ridha dengan segala pemberian dan seorang merdeka sama seperti hamba bila
bersifat thama’.[35]
Karena itu,
orang yang memiliki sifat qana’ah akan lebih mulia dan tentram hidupnya.
Sebaliknya, orang yang memiliki sifat rakus, berarti di dalam dirinya telah
tertanam bibit kehinaan dan akan berkembangan serta menjalar ke seluruh
tubuhnya. Di sisi lain, thama’ kepada dunia dapat menyebabkan hati seseorang
terombang ambing dan selalu dikejar-kejar nafsu untuk menumpuk harta
sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan apakah harta tersebut diperoleh dengan
cara yang halal atau haram. Sehingga pada akhirnya orang yang demikian akan
jatuh ke jurang kehinaan. Sebagian ulama pernah ditanya siapakah orang yang
paling qana’ah, kemudian ulama tersebut menjawab bahwa orang yang selalu
memberikan pertolongan walaupun kekayaannya hanya sedikit.[36]
Di sini
jelaslah bahwa antara orang yang bersifat qana’ah dengan yang bersifat thama’
adalah sangat jauh berbeda. Perbedaan antara orang bersifat thama’ dengan orang
yang rakus adalah jika orang yang rakus selalu terbelenggu nafsu dan ambisi
untuk menguasai dunia, sedangkan orang yang bersifat qana’ah hidupnya akan
terbebas dari segala macam belenggu nafsu dan ambisi.
Sebenarnya
agama menyuruh qana’an itu adalah qana’ah hati, bukan qana’ah ikhtiari. Sebab
itu para sahabat Rasulullah saw orang-orang yag kaya-kaya, memperniagakan harta
benda sampai ke luar negeri, dan mereka juga termasuk orang-orang yang qana’ah.
Adapun faedah qana’ah itu sangat besar di waktu harta itu hilang dengan
tiba-tiba. Dalam Al-Qur’an dijelaskan sebagai berikut:
وما من دابة فى الأرض الا على
الله رزقها (هود: ٦)
Artinya: Tiada sesuatu pun yang melata di muka bumi, melainkan di tangan
Allah rezekinya (Q. S. Hud: 6)
Berdasarkan
ayat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Islam mendidik pemeluknya agar
selalu berlaku qana’ah dan tidak boleh rakus. Akan tetapi Islam tidak
menganjurkan pemeluknya untuk bermalas-malasan. Malah sebaliknya, Islam
mewajibkan agar umatnya berusaha, menyuruh umatnya maju, dengan demikian akan
dapat memberi bukan malah meminta-minta. Sebab sesuatu hal itu perlu
diperhatikan bahwa tidak mungkin ada kekayaan tanpa usaha, tidak mungkin
berilmu tanpa mencari ilmu, serta tidak mungkin menjadi mulia tanpa menempuh
jalan kemuliaan.
Itulah
gambarannya bagi orang-oarang yang memiliki sifat qana’ah, menerima apa adanya
atas pemberian Allah kepadanya. Ia tidak tergiur dan silau oleh kemewahan dunia
atau kekayaan yang telah dimiliki oleh orang lain, sebab dirinya sudah merasa
cukup dengan apa yang diberikan Allah kepadanya dan sudah merasa seperti orang
kaya. Meskipun menurut ukuran material masih jauh di bawah standar rata-rata
dari orang-orang kaya di sekelilingnya.
Sebenarnya
qana’ah merupakan basis hidup, menerbitkan kesungguhan hidup, menimbulkan
energi kerja untuk mencari rezeki, jadi ikhtiar dan percaya akan takdir yang
diperoleh sebagai hasil maksimal. Karena itu, di dalam kehidupan kaum sufi
telah ditekankan bahwa sifat qana’ah di mana dengan sikap hidup yang demikian
mengantarkan mereka untuk menjauhi ajakan hawa nafsu duniawi dan kemewahan,
tidak pernah puas dan bahkan melupakan persiapannya untuk bekal kehidupan
akhirat. Oleh karena itu, dengan qana’ah jiwa akan menjadi lapang dengan rizki
dari Allah serta hilang rasa thama’ terhadap apa yang tidak tercapai.
Di sisi lain,
orang yang kehilangan harta juga tidak boleh lepas dari sikap qana’ah. Sebab
siapa yang hilang hartanya tersebut harus dengan murah hati merelakan
kehilangan hartanya agar orang yang menemukan harta tersebut dapat mengambilnya
secara sah. Apalagi kedermawanan itu merupakan akhlak para Nabi dan merupakan
salah satu dasar keselamatan diri.
Penopang urusan
kedermawanan adalah sabar dan membatasi harapan serta menyadari bahwa sasaran
kesabarannya di dunia hanya berlangsung tidak lama, untuk mendapatkan
kenikmatan abadi, seperti orang yang sakit harus menanggung pahitnya obat saat
menelannya, karena dia mengharapkan kesembuhan selama-lamanya.
Oleh karena
itu, umat Islam harus tahu bahwa qana’ah itu ada kemuliaan karena merasa
tercukupi, dan rasa kerakusan dan tamak ada kehinaan, karena merasa tidak
pernah cukup. Dalam qana’ah hanya ada kesabaran menghadapi hal-hal yang syubhat
dan yang melelbih kebutuhan pokoknya, yang pasti akan mendatangkan pahala di
akhirat. Siapa yang tidak mau mementingkan kemuliaan dirinya dari nafsunya,
berarti ia adalah orang yang lemah akalnya dan tipis imannya.
Di pihak lain,
umat Islam juga harus tahu bahwa menumpuk harta itu dapat menimbulkan dampak
yang kurang baik. Karena itu, seharusnya ia melihat pahala kemiskinan, melihat
orang di bawahnya dalam masalah keduniaan dan melihat orang yang di atasnya
dalam masalah agama. Hal ini sesuai hadits Rasulullah saw sebagai berikut:
ينصروا إلى من هوأسفل منكم، ولا تنصروا من هو
فوقكم فإنه أحدر أن تزدرزا نعمة الله عليكم (رواه مسلم) [37]
Artinya: “Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang
yang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih baik bagi kalian untuk
memandang hina nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian” (H. R. Muslim)
[1]George Barden dan Ramberg, Inilah Modernisasi, Terj. Al-Hamidy, Jakarta : Gema Insani
Press, 1998, hal. 122
[3]Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Terj. Ali
Husein, Jakarta :
Gema Insani Press, 1999, hal. 15
[4]Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis
ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. 14
[5]H. A. R. Gibb, Aliran-Aliran Modern dalam Islam., Jakarta : Rineka Cipta,
2000, hal. 137
[7]Barbara Word, Lima
Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia, Terj. Mukhtar Lubis, Jakarta : Pustaka Jaya, 1983, hal. 119.
[9]Ali Syari’ati, Kritik Islam Atas Marxisme, Terj. Bandung : Mizan, 1983, hal.
82
[10]Manan, Ph. D, Ekonomi Islam Teori dan Praktek, Terj. Patan
Arief Harahap, Jakarta :
Internusa, 1992, hal. 94
[12] Ahmad Syalabi, Al-Istishaad fiil al-Fikr al-Islami, Maktabah
al-Nahdah al-Mishriyyah, 1987, hal 306
[13]Imam al-Ghazali, Muqasyafatul Qulub, Dar al-Kutub: Mesir,
1961, hal. 246
[14]Ahmad Amin, Etika dalam Islam, Terj. Farid
Ma’aruf Jakarta :
Bulan Bintang, 1988, hal. 98
[15]Ahmad Hamid Yunus, Dairah al-Ma’arif, Jil.
III, Cairo :
Al-Asy'ariah-Sya’ab, t.t., hal. 436
[16]Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, Mesir:
Dar al-Kutub, t.t., hal. 65
[17]Kartini Kartoko, Patologi Sosial I,
Jakarta, Rineka Cipta, 2000, hal. 134
[21]Muhammad al-Bahy, Modernisasi di Bawah
Bayang-Banyang Mendung, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, hal. 117
[22]Imam al-Ghazali, Ijya Ulumuddin, Kairo:
Maktabah al-Nahdah al-Mishtiyyah, 1956, hal. 121
[23]Imam al-Qusyairy, Risalah Qusyariyah, Terj. Machnun Husein, Jakarta :
Pustaka al-Kautsar, 1984, hal. 56
[24]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 2000, hal. 100
[25]Muhammad Abduh, Risalatut
Tauhid, Beirut: Wasyirkah al-Halabi al-Babi, 1953, hal. 122
[26]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. II, Beirut
Libanon: Dar al-Fikri, t.t., hal. 85
[27]Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, Mesir:
Dar al-Kutub, t.t., hal. 65
[28]Barbara Word, Lima
Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia, Terj. Mukhtar Lubis, Jakarta : Pustaka Jaya, 1983, hal. 102.
[30]Imam al-Ghazali, Op. cit, hal. 110
[31]HAMKA, Tasawuf Sosial, Jakarta :
Pustaka Panjimas, 1990, hal. 228
[32]Imam Muslim, Op. cit., hal. 213
[33]M. Amin Syukur, Tasawuf Sosial; Transformasi Etik Islami di Era
Modern, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. Ix
[34]Al-Muhasibi, Renungan Suci; Bekal Menuju Takwa, Terj. Wawan
Djunaidi Soffandi, Jakarta :
Pustaka Azzam, 2001, hal. 91
[35]Mustafa Zuhri, Op. cit., hal. 117
[36]Labib MZ., Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Tiga Dua, 2000, hal. 152
[37]Imam Muslim, Shahih Muslim, Bairut: Dar al-Fikr, t.t., hal.
182
0 Comments
Post a Comment