BAB II
Perspektif Teoritis Tentang Reformasi Sistem Pendidikan
Islam
A. Pengertian
Reformasi
Menurut kamus bahasa Indonesia pengertian
reformasi adalah perubahan secaradrastis untuk perbaikan (bidang sosial,
politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara[1]. Di
Indonesia, kata Reformasi umumnya
merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan
presiden Soeharto atau era setelah orde baru. Sebagian menganggap bahwa
reformasi sudah tercapai manakala penyelenggara negara yang sudah 32 tahun
berhenti, sehingga bagi mereka mundurnya Presiden Soeharto pada hari kamis, 21
mei 1998 merupakan puncak kemenangan. Ada yang memandang reformasi sebagai upaya
pembersihan penyakit KKN dan kawan-kawan, sehingga identik dengan penciptaan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Reformasi juga diartikan perubahan
terhadap semua sistem kepemerintahan secara totolitas.[2]
Reformasi berarti perubahan dengan melihat keperluan
masa depan, menekankan kembali pada bentukasal, berbuat lebih baik dengan
menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktik yang salahatau
memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu perombakan menyeluruh dari suatu
sistem kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hukum, sosial dan tentu saja
termasuk bidang pendidikan[3]. Reformasi
juga berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu
yang salah menjadi benar. Oleh karena itu reformasi berimplikasi pada merubah
sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti
melalui perubahan kebijakan institusional. Dengan demikian dapat dikemukakan
beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidangtertentu yaitu adanya keadaan
yang tidak memuaskan pada masa yang lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada
masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan,
adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu institusi
tertentu baikdalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti
negara sekalipun.
Reformasi pendidikan adalah upaya perbaikan
pada bidang pendidikan. Reformasi pendidikan memiliki dua karakteristik dasar
yaitu terprogram dan sistemik[4].
Reformasi pendidikan yang terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu
institusi pendidikan. Yang termasuk ke dalam reformasi terprogramini adalah
inovasi. Inovasi adalah memperkenalkan ide baru, metode baru atau sarana baru
untuk meningkatkan beberapa aspek dalam proses pendidikan agar terjadi
perubahan secara kontras dari sebelumnya dengan maksud-maksud tertentu yang
ditetapkan. Seorang reformer terprogram memperkenalkan lebih dari satu inovasi
dan mengembangkan perencanaan yang terorganisir dengan maksud adanya perubahan
dan perbaikan untuk mencapai tujuan baru. Biasanya inovasi pendidikan terjadi
terlebih dahulu sebelum terjadinya reformasi pendidikan. Sementara itu
reformasi sistemikberkaitan dengan adanya hubungan kewenangan dan distribusi
serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem pendidikan secara keseluruhan.
Hal ini sering kali terjadi di luar sekolah dan berada pada kekuatan sosial dan
politik. Karakteristik reformasi sistemik ini sulit sekali diwujudkan karena menyangkut
struktur kekuasaan yang ada
B. Pendidikan
Islam di Indonesia
Pendidikan
Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada
tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak pribadi maupun kolektif antara
mubaligh dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu
daerah, maka mulailah mereka membangun masjid, yang difungsikan sebagai tempat
ibadah dan pendidikan. Inti dari materi pendidikan pada masa awal tersebut
adalah ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik.
Kitab-kitab ini adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama
seseorang. Pendidikan Islam yang sederhana ini sangat kontras dengan pendidikan
barat yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ketujuh belas.
Di awal abad
kedua puluh muncullah ide-ide pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Yang
melatar belakangi hal ini ialah; Pertama, daya dorong dari ajaran Islam itu
sendiri yang mendorong umat Islam untuk memotivasi umatnya guna melakukan
pembaruan (tajdid), dan juga kondisi umat Islam Indonesia yang jauh
tertinggal dalam bidang pendidikan. Kedua, daya dorong yang muncul dari para
pembaru pemikir Islam yang diinspirasi dari berbagai tokoh-tokoh pembaru
pemikiran Islam, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid
Ridho, dan lain sebagainya.
Tilaar
menjelaskan bahwa:
Perjalanan
sejarah pendidikan Islam di Indonesia hingga saat sekarang ini telah meleui
tiga periodesasi. Pertama, periode awal sejak kedatangan Islam ke
Indonesia sampai masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam awal abad kedua
puluh. Periode ini ditandai dengan pendidikan Islam yang terkonsentrasi di
pesantren, adayah, surau atau masjid dengan titik focus adalah ilmu-ilmu agama
yang bersumber dari kitab-kitab klasik Periode kedua, periode ini telah
dimasuki ole hide-ide pembaruan pemikiran Islam pada awal abad kedua puluh.
Periode ini ditandai dengan lahirnya madrasah, dan juga telah memasukkan mata
pelajaran umum ke dalam program kurikulum, serta telah mengadopsi sistem
pendidikan modern, seperti metode, manajerial, klasikal, dan lai sebagainya.
Periode ketiga, pendidikan Islam telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan
nasional sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dilanjutkan dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003[5].
Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 2 tahun 1989)
yang kemudian dilengkapi dengan beberapa Peraturan Pemerintah, dan diperkuat
pula dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang baru maka jelaslah bahwa pendidikan di Indonesia telah
diatur oleh satu peraturan yang telah disepakati.
Pendidikan
Islam yang dimaknai sebagai mata pelajaran dan lembaga telah mendapat kedudukan
dalam system pendidikan nasional. Bab-bab dan pasal-pasal serta ayat-ayat yang
tercantum dalam PP 28, 29 Tahun 1990, serta PP 72, 73 Tahun 1991, PP 38, 39
Tahun 1992 dan PP 60 Tahun 1999, dan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003,
Pasal 12, 17, 18, 20, 26, 27, 28, dan Pasal 30 telah menggambarkan betapa
pendidikan Islam telah duduk dalam sistem pendidikan nasional yang dengan
demikian kedudukannya adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari
system Pendidikan Nasional.
Selanjutnya,
pembahasan tentang lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti tahapan
perkembangan sebagai berikut:
Pertama, Periode
pembinaan pendidikan Islam, berlangsung pada masa Nabi Muhammad Saw. Selama
lebih kurang dari 23 tahun, yaitu sejak beliau menerima wahyu pertama sebagai
tanda kerasulannya sampai wafat. Kedua, periode pertubuhan pendidikan,
berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw. sampai dengan akhir kekuasaan Bani
Umaiyah, yang diwarnai oleh penyebaran Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa
di luar bangsa Arab dan perkembangannya ilmu-ilmu naqli. Ketiga, Periode
kejayaan pendidikan Islam, berlangsung sejak permulaan Daulah Bani Abbasiyah
sampai dengan jatuhnya kota Bagdad yang diwarnai oleh perkembangan secara pesat
ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam serta mencapai puncak kejayaannya. Keempat,
Tahap kemuduran pendidikan berlangsung sejak jatuhnya kota Bagdad sampai dengan
jatuhnya Mesir oleh Napoleon sekirat abad ke-18 M. yang ditandai oleh lemahnya
kebudayaan Islam berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan dan peradaban
manusia ke dunia Barat. Kelima, Tahap pembaharuan pendidikan Islam,
berlangsungnya sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon pada akhir abad ke-18 M.
sampai sekarang, yang di tandai oleh masuknya unsur-unsur budaya dan pendidikan
modern dari dunia Barat ke dunia Islam[6].
Sementara
itu, kegiatan pendidikan Islam di Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang
bersamaan dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Sesungguhnya
kegiatan pendidikan Islam tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan yang
penting bagi kelangsungan perkembangan Islam dan umat Islam, baik secara
kuantitas maupun kualitas. Pendidikan Islam itu bahkan menjadi tolak ukur,
bagaimana Islam dan umatnya telah memainkan perananya dalam berbagai aspek
sosial, politik, budaya. Oleh karena itu, untuk melacak sejarah pendidikan
Islam di Indonesia dengan periodisasinya, baik dalam pemikiran, isi, maupun
pertumbuhan oraganisasi dan kelembagaannya tidak mungkin dilepaskan dari
fase-fase yang dilaluinya.
Fase-fase
tersebut secara periodisasi dapat dibagi menjadi; Pertama, Periode
masuknya Islam ke Indonesia. Kedua, Periode pengembangan dengan melalui
proses adaptasi. Ketiga, Periode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam
(proses politik). Keempat, Periode penjajahan Belanda (1619 – 1942). Kelima,
Periode penjajahan Jepang (1942 – 1945). Keenam, Periode kemerdekaan I
Orde lama (1945 – 1965). Ketujuh, Periode kemerdekaan II Orde
Baru/Pembangunan (1966- sekarang)[7].
Dari berbagai karya tentang pendidikan Islam yang sempat
di telaah oleh Abdullah Aly dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia”, menunjukkan bahwa kajian pemikiran dan teori kependidikan Islam
di Indonesia memiliki beberapa kecenderungan, yaitu:
Pertama, Mendekatinya secara sangat doktrinal, normatif,
idealistik yang kadang-kadang justru mengaburkan kajian atau konteksnya dengan
Pemikiran Islam itu sendiri. Kedua, Mengadopsi filsafat, pemikiran, dan teori-teori kependidikan Barat, tanpa
kritisisme yang memadai bahkan hampir terjadi pengambilan mentah-mentah. Ketiga,
Memberi lagi timasi terhadap pemikiran dan
filsafat pendidikan Barat dengan ayat Al-Qur’an dan Hadits tertentu, sehingga
menjadi titik tolak adalah pemikiran kependidikan Barat (bukan pemikiran
kependidikan Islam), yang belum tentu kontekstual dan relevan dengan pemikiran
kependidikan Islam. Keempat, Pemikiran kependidikan Islam atau relevan
dengannya yang dikembangkan para ulama, pemikir-pemikir dan filosof muslim
sedikit sekali diungkapkan dan dibahas.[8]
Indonesia yang masyarakat penduduknya beragama
Islam ternyata belum mampu menumbuhkan budaya teknologi dan deversifkasi sumber
budaya manusia. Hal ini dapat terjadi di samping masalah strategi pendidikan
yang belum sepenuhnya mengarah pada penugasaan teknologi tinggi. Kondisi sosial
ekonomi bangsa Indonesia masih banyak bergantung pada beberapa aspek, seperti
sumber daya alam. Penyebaran pendudukan dan kesejahteraan yang belum merata. Oleh
sebab itu, pendidikan Islam Indonesia pada masa kini memerlukan suaru orientasi
baru sebagai upaya terhadap perubahan kearah pengembangan teknologi atau
merombak pola pikir pendidikan Islam.
Adapun lembaga pendidikan Islam secara
struktur intelektual masa akan datang masih sama seperti yang ada pada saat
sekarang yaitu: Pertama, Pendidikan model Pondok Pesantren. Kedua,
Pendidikan Madrasah. Ketiga, Pendidikan umum yang bernafaskan Islam. Keempat,
pendidikan umum yang mengajarkan mata pelajaran/kuliah agama Islam.
Dua yang pertama tidak menuntut penjelasan.
Sementara yang terakhir dapat menumbuhkan pemahaman yang tumpang tindih. Jenis
ketiga dapat dijelaskan dengan contoh: seperti AMP Al-Irsyad, SMA Muhammadiyah
dan Universitas Islam Indonesia, sementara jenis yang keempat dapat dijelaskan
dengan contoh: seperti SMP PGRI, SMU Negeri dan UGM. Pada tingkat tinggi, depag
telah menyelenggarakan program pembibitan dosen bagi para lulusan IAIN. Program
MA dan Ph. D di Universitas terkemuka di negara-negara Barat. Setelah mereka
kembali ke Indonesia, mereka direkrut sebagai dosen di Program Pascaserjana,
alasan pengiriman pada lulusan IAIN adalah sederhana yaitu untuk
mengintegrasikan Intelektualisme Islam dengan Intelektualisme nasional. Bila
para ekonomi, sosial, sarjanawan dan lain-lainnya dapat di didik di barat,
mengapa Intelektual Islam tidak bisa dilaksanakan dan tidak terlalu bergantung
dengan cendekiawan Muslim di Timur tengah saja.[9]
C. Pembinaan
Pendidikan Islam di Indonesia
Salah satu tuntunan reformasi adalah adanya
otonomi daerah, berkenaan dengan itu berlakunya dua undang-undang. Pertama,
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, dan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Daerah. Arus dari tuntunan otonomisasi ini adalah demokratisasi. Suara dari
segala penjuru dunia sangat gencar saat sekarang ini untuk menegakkan demokratisasi
dan hak Asasi manusia (HAM).
Uraian tentang dasar pemikiran yang terkandung
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diungkapkan beberapa hal yang relevan
dengan pembahasan ini, yaitu penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan
memberi kewenanggan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah
secara proposional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang keadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Diuraikan juga bahwa pelaksaan otonomi daerah itu dilaksanakan dengan prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah.
Salah satu bagian dari penyelenggara negara
yang diotonomkan adalah pendidikan. Gelombang demokratisasi dalam pendidikan
menurut adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan. Beberapa dampak ari
sentralisasi pendidikan telah muncul di Indonesia uniformasi. Uniformasi itu
mematikan inisiatif dan kreativitas serta inovasi. Di tengah-tengah masyarakat
yang majemuk seperti Indonesia ini sangat perlu pula dihargai adanya sisi
perbedaan itu akan tumbuh kreativitas dan inovasi. Selama ini pendidikan Islam
terutama kelembagaan Madrasah secara full dan otonom berada di bawah pengolaan
Departema Agama. Dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 salah satu bidang
yang tidak diotonomikan adalah agama, sedangkan pendidikan termasuk bagian yang
diotonomikan.
Banyak pemikiran yang timbul di sekitar
persoalan tersebut. Pertama, ada pendapat yang menginginkan agar pendidikan
agama dan keagamaan tetap berada di bawah naungan Departeman Agama, untuk
menjaga kemurnian visi dan misi pendidikan agama. Dengan anggaran biaya
Pemerintah Pusat. Kedua, ada pemikiran yang menginginkan bahwa pendidikan agama
dan keagamaan berada di bawah naungan Pemerintah Daerah, dalam hail ini Dinas
Pendidikan, agar pendidikan agama dan keagamaan lebih berkembang. Ketiga,
adanya keinginan mencari konvergensi di antara keduanya, yaitu kebijakan tetap
berada di tangan Depertemen Agama, teknis operasional berada di tangan
Pemerintah Daerah/Dinas Pendidikan.
“Pemikiran tentang pengelolaan lembaga
pendidikan Islam dalam hal ini madrasah telah lama muncul di Indonesia, jarak
sebelum lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 UU tentang sistem Pendidikan Nasional”[10].
Pada tahun 192 telah pernah keluar Surat keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972
tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan Pasal 33 Surat
Keputusan tersebut berbunyi: ruang lingkup pembidangan tugas dan tanggung jawab
dalam melaksakan pembinaan pendidikan dan latihan dimaksudkan dalam Pasal 1
Keputusan presiden ini diatur sebagai berikut:
Pertama, Menteri Pendidikan dan kebudayaan bertanggung jawab atas pembinaan dan
pendidikan umum dan kejuruan. Kedua, Menteri Tenaga Kerja bertugas
bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja
bukan pegawai negeri., ketiga, Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas
bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai
negeri.[11]
Setelah mempelajari arus pemikiran dan
aspirasi yang berkembang selama proses dan pengumpulan bahan-bahan masukan bagi
penyusun konsep undang-undang Sistem Pendidikan nasional yang kemudian
malahirkan UU No. 2 tahun 1989 serta seperangkat Peraturan Pemerintah tentang
pendidikan, yang menyimpulkan bahwa madrasah tetap berada pengelolaannya di
bawah naungan Departemen Agama.
Dari berbagai uraian tersebut diatas dapat
dipahami bahwa diskusi tentang perkembangan pendidikan Islam yang menjadi
perhatian para perkembangan dan pemikirnya, semakin memperkaya Khazanah
pemikran tentang perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sebagai disiplin
ilmu yang berdiri sendiri.[12]
D. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kebijakan Pendidikan Islam
1. Faktor Agama
Di dalam proses pembudayaan manusia,
keberadaan pendidikan mutlak diperlukan. Bukan saja karena ia merupakan produk
sejarah dan masyarakat, melainkan juga karena peranannya yang asasi dalam
pembentukan hari depan. Di atas peranannya ini terletak tugas dan tanggung
jawab kultural edukatif terhadap anak didik dan masyarakat.
Dalam perjalanan sejarahnya, sebuah kegiatan
pendidikan ditentukan oleh visi, misi dan sifat yang melatar belakanginya.
Dalam berbagai referensi kita masih belum menjumpai rumusan tentang visi, misi
dan sifat pendidikan Islam tersebut secara eksplisit. Yang ada pada umumnya
adalah rumusan tentang tujuan, kurikulum, metode belajar mengajar, kriteria
guru dan berbagai aspek pendidikan lainya. Rumusan tentang visi, misi dan sifat
pendidikan Islam yang demikian penting itu belum sempat terpikirkan, walaupun
berbagai isyarat di dalam al-Qur’an, al-Hadits dan berbagai sumber ajaran Islam
lainnya, rumusan tentang visi, missi dan sifat pendidikan Islam tersebut dapat
dirumuskan.
Visi pendidikan Islam sesungguhnya melekat
pada visi ajaran Islam itu sendiri yang terkait dengan visi kerasulan para
Nabi, mulai dari visi keRasulan Nabi Adam AS. hingga kerasulan Nabi Muhammad Saw.,
yaitu membangun sebuah kehidupan manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah Swt.
serta membawa rahmat bagi seluruh alam[13]. Berkaitan
dengan visi rahmatan lil alamin sebagaimana firman Allah Swt. Sebagai
berikut:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِّلْعَالَمِينَ) الأنبياء: ١٠٧(
Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Qs. Al-Anbiyaa': 107),
Visi pendidikan Islam yang bertumpu pada
mewujudkan rahmat bagi seluruh alam itu, memperlihatkan bahwa pendidikan Islam
memiliki sebuah tanggung jawab yang amat berat, kompleks, multidimensi dan
berjangka panjang. Visi pendidikan Islam terkait erat dengan upaya mewujudkan
sebuah tata kehidupan yang harmoni, aman, damai, sejahtera lahir dan batin[14]. Sedangkan
misi ajaran Islam yang memuliakan manusia yang demikian itu, menjadi misi
pendidikan Islam. Terwujudnya manusia yang sehat jasmani, rohani dan akal
pikiran, serta memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, akhlak yang mulia,
keterampilan hidup (skill life) yang memungkinkan ia dapat memanfaatkan
berbagai peluang yang diberikan oleh Allah termasuk pula mengelola kekayaan
alam yang ada di daratan, di lautan, bahkan di ruang angkasa adalah merupakan
misi pendidikan Islam.
Dalam perspektif Islam, tanggung jawab
pendidikan dengan segala jenisnya tidak hanya berdimensi duniawi, melainkan
juga berdimensi ukhrawi dalam satu kesatuan yang integral. Sehingga pendidikan Islam mempunyai tanggung
jawab membantu setiap pribadi muslim untuk merealisasikan misi hidupnya,
seperti yang digariskan Allah Swt. berikut ini:
a). Hamba Allah yang hanya mengabdi kepada-Nya :
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ) الذاريات: ٥٦(
Artinya: Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku. (Qs. Adz-Dzariat : 56).
b). Membebaskan diri dari siksa api neraka :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَا يُؤْمَرُونَ) التحريم: ٦(
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
(Qs. At-Tahriim: 6)
c). Memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup
dunia dan akhirat :
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ
اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ) القصص: ٧٧(
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (Qs. Al-Qashash :77)
d). Membentuk pribadi yang memiliki dasar keimanan
yang kuat serta wawasan keilmuan yang luas
سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ
الْأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا
يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِم مَّا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ قُلْ فَمَن يَمْلِكُ
لَكُم مِّنَ اللَّهِ شَيْئاً إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرّاً أَوْ أَرَادَ بِكُمْ
نَفْعاً بَلْ كَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً) الفتح: ١١(
Artinya: Orang-orang badwi yang tertinggal
(tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: “Harta dan keluarga kami telah
merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami”; mereka mengucapkan
dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah: “Maka siapakah
(gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki
kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfa’at bagimu. Sebenarnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Fath : 11).
Di atas misi kemanusiaan itulah pendidikan
Islam berpijak untuk menciptakan kondisi yang ideal bagi terbentuknya
pribadi-pribadi muslim dan untuk selanjutnya membentuk tatanan masyarakat
Islami yang dinamis. Ketika menghadapi tantangan-tantangan modernisasi dan
polarisasi ideologi dunia, terutama didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, pendidikan Islam tidak terlepas dari tantangan yang menuntut
jawaban segera. Secara garis besar tantangan-tantangan tersebut meliputi
hal-hal sebagai berikut :
Pertama, Terdapat kecenderungan perubahan sistem nilai untuk meninggalkan sistem
nilai yang sudah ada (agama).
Standar-standar kehidupan dilaksanakan oleh kekuatan-kekuatan yang berpijak pada
materialisme dan sekularisme. Dan inilah titik sentral masalah modernisasi yang
menjadi akar timbulnya masalah-masalah di semua aspek kehidupan manusia, baik
aspek sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Kedua, Adanya dimensi
besar dari kehidupan masyarakat modern yang berupa pemusatan pengetahuan
teoritis. Ini berarti bertambahnya ketergantungan manusia pada ilmu pengetahuan
dan informasi sebagai sumber strategis pembaharuan. Tidak terpenuhinya kebutuhan
ini akan menimbulkan depersonalisasi dan keterasingan dalam dunia modern.[15]
Dalam menghadapi tantangan di atas, sudah
barang tentu pendidikan Islam harus memperhitungkan kekuatan arus yang
mengitarinya seperti sistem Barat yang bercorak sekuler dan telah memasuki
semua aspek kehidupan manusia. Begitu juga halnya modernisasi harus dipahami
sebagai proses alamiah dalam evolusi kehidupan manusia.
Pemahaman sebagaimana di atas menuntut
kepekaan terhadap gejolak perubahan dengan segala implikasinya serta kemampuan
baru untuk menerjemahkan setiap perubahan ke dalam proses pendidikan. Dengan
cara seperti itu akan membuka kemungkinan untuk melahirkan pribadi-pribadi
muslim yang kelenturan berpikir, daya intelektual serta keterbukaan dalam
menghadapi perubahan cara hidup. Bertolak dari kenyataan tersebut , dalam konteks
perubahan sosial ini pendidikan Islam mempunyai misi ganda, yaitu:
Pertama, Mempersiapkan manusia muslim untuk menghadapi perubahan-perubahan yang
sedang dan akan terjadi, mengendalikan
dan memanfaatkan perubahan-perubahan tersebut, menciptakan kerangka berpikir
yang komprehensif dan dinamis bagi terselenggaranya proses perubahan yang berada
diatas nilai-nilai Islam. Kedua, Memberikan solusi terhadap ekses-ekses
negatif kehidupan modern yang berupa depersonalisasi, frustasi dan keterasingan
umat dari dunia modern[16].
Tentunya, kedua misi tersebut di atas
mengisyaratkan tugas berat yang dihadapi pendidikan Islam dewasa ini. Dan
diperlukan suatu kerangka pandang yang komprehensif dan relevan dalam
mengantisipasi setiap perubahan sosial sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Misi pendidikan Islam itu juga mengisyaratkan perlunya
mengaitkan pendidikan Islam dengan masa depan. Pendidikan Islam yang tidak
berorientasi ke masa depan akan ketinggalan zaman dan tidak adaptif.
2. Faktor Ideologi Negara
Antara pendidikan Islam dan pendidikan
nasional Indonesia tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Hal ini dapat ditelusuri dari dua segi:
Pertama, dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional Indonesia itu
sendiri. Kedua, dari hakikat pendidikan Islam dalam kehidupan beragama kaum
muslimin di Indonesia. Penyusunan suatu sistem pendidikan nasional harus
mementingkan masalah-masalah eksistensi umat manusia pada umumnya dan
eksistensi bangsa Indonesia pada khususnya baik dalam hubungannya dengan masa
lampau, masa kini dan kemungkinan-kemungkinan perkembangan masa depan.
Eksistensi bangsa Indonesia terwujud dengan
proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana bangsa Indonesia
sebagai negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat penuh. Bangsa Indonesia
telah bertekad bulat untuk membangun dan mengembangkan bangsa dengan Pancasila
sebagai landasan Ideologi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
konstitusionalnya[17].
M. Arifin menjelaskan bahwa:
Sejak dari awal Indonesia merdeka, pemerintah
telah menempatkan agama sebagai fondasi dalam membangun bangsa dan negara. Hal
ini dapat kita baca dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pembukaan UUD 1945
alinea ketiga dinyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah semata-mata atas berkat
rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan pada alinea keempat dinyatakan bahwa
Pancasila menjadi dasar negara[18].
Namun
apabila dilihat kembali
perjalanan sejarah para pemimpin nomor satu di negeri ini dalam
menafsirkan ideologi Pancasila dan mengimplementasikannya terhadap pendidikan
Islam, dapat di bagi menjadi tiga orde (masa):
a). Orde Lama
Pancasila sebagai ideologi negara dianggap
telah mewakili cita-cita semua agama dan golongan, termasuk umat Islam. Bahkan
Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa semua agama itu sama, karena semua
agama bertujuan untuk mencapai kebaikan hidup manusia. Presiden Soekarno dengan
demokrasi terpimpinnya berulangkali berhasil “menjinakkan” dan mementahkan
perjuangan politik Islam yang kemudian berimbas ke pendidikan Islam. Penjinakan
itu berupa memarginalisasi partai politik Islam dan aspirasi umat Islam dengan
alasan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Contoh kongkretnya
adalah menghapus tujuh kata dalam
“Piagam Jakarta” dalam UUD 45 “Dengan Kepercayaan Terhadap Allah Yang Maha
Kuasa”.
b). Orde Baru
Pada awal-awal pemerintahannya Presiden
Soeharto mengadakan konsolidasi yang diiringi dengan kebijakan yang represif
terhadap islam. Karena Soeharto melihat Islam sebagai ancaman. Maka antara
Pemerintah dan islam selalu ada hubungan antagonis yaitu hubungan yang saling
curiga dan saling tidak percaya. Pada pertengahan pemerintahannya Presiden
Suharto mencetuskan idiologi Pancasila sebagai asas tunggal untuk partai
politik dan keagamaan. Hubungan antara pemerintah dan umat Islampun makin
menegang. Peristiwa “ Tanjung Priok tanggal 12 September 1984, yang memakan
ratusan korban adalah salah satu contohnya.
c). Orde Reformasi
Dengan bergulirnya masa reformasi yang
ditandai dengan demokratisasi sebagai salah satunya, membawa angin segar bagi
pendidikan Islam atau lembaga pendidikan Islam. Keluarnya Peraturan Pemerintah
(PP) nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,
diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi managerial dan proses Pendidikan
Islam. Peraturan Pemerintah (PP) tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana
seharusnya Pendidikan Keagamaan Islam dan Keagamaan diselenggarakan[19].
Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan: Pendidikan
Keagamaan meliputi Pendidikan Keagamaan Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha
dan Khonghucu. Pasal ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan ruang lingkup
Pendidikan Keagamaan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan
tentang siapa yang menjadi pengelola yaitu Mentri Agama.
Hanya saja realitas yang ada sampai saat ini
masih terkesan, secara kelembagaan Pendidikan Islam menempati posisi kedua
setelah Pendidikan Nasional. Sebuah lembaga yang menawarkan Pendidikan Islam
kurang banyak diminati jika dibanding dengan lembaga lain yang dianggap lebih
menjanjikan. Dan sampai saat inipun, posisi Pendidikan Islam belum beranjak
dari sekedar sebuah subsistem dari sistem Pendidikan Nasional.
3. Faktor Perkembangan Masyarakat
Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan
Indonesia pada khususnya mau tidak mau akan menuju kepada masyarakat informasi
(informatical society) sebagai kelanjutan atau perkembangan dari
masyarakat industri atau modern. Jika masyarakat modern memiliki ciri-ciri
rasional, berorientasi ke depan, bersikap terbuka, menghargai waktu, kreatif,
mandiri dan inovatif, maka pada masyarakat informasi ciri-ciri tersebut belum
cukup. Pada masyarakat informasi, manusia selain harus memiliki ciri-ciri
masyarakat modern pada umumnya, juga harus memiliki ciri-ciri lain, yaitu
menguasai dan mampu mendaya gunakan arus informasi, mampu bersaing, terus
menerus belajar (serba ingin tahu), mampu menjelaskan, imajinatif, mampu
mengubah tantangan menjadi peluang, dan menguasai kemampuan menggunakan
berbagai metode dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi[20].
Pada masyarakat informasi peranan media
elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak
kehidupan. Penggunaan teknologi elektronika seperti komputer, faksimile,
internet dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang
bercorak lokal dan nasional, kepada lingkungan yang bersifat internasional,
mendunia dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi satelit dan komputer
orang memasuki lingkungan informasi dunia.
Peran media elektronik yang demikian besar
akan menggeser agen-agen sosialisasi yang berlangsung secara tradisional
seperti yang dilakukan orang tua, guru, pemerintah dan sebagainya. Komputer
dapat menjadi teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat,
juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban segera terhadap
pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan mendasar. Kemajuan dalam bidang
informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian
masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang
berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan
ciri-ciri lain sebagaimana dimiliki oleh masyarakat modern.
Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi,
dan umat manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan yang demikian
itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan, baik dari kelembagaan,
materi pendidikan, guru, metode, sarana dan prasarana dan lain sebagainya. Hal
ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan
khususnya pendidikan Islam. Hal ini perlu dilakukan jika dunia pendidikan Islam
ingin tetap bertahan secara fungsional dalam memandu perjalanan umat manusia.
Berkenaan dengan hal tersebut perlu dilakukan
upaya-upaya strategis, antara lain:
Pertama, Tujuan pendidikan di masa sekarang tidak cukup hanya dengan memberikan
bekal pengetahuan, keterampilan, keimanan dan ketakwaan saja, tetapi juga harus
diarahkan pada upaya melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, mandiri, dan
produktif, mengingat dunia yang akan datang adalah dunia yang kompetitif. Kedua,
Guru di masa mendatang adalah guru yang selain memiliki informasi, berakhlak
baik dan mampu menyampaikannya secara metodologis, juga harus mampu
mendayagunakan berbagai sumber informasi yang tersebar di masyarakat ke dalam
kegiatan belajar. Dengan demikian pembelajaran harus lebih memusat pada siswa
yang pada gilirannya dapat menimbulkan masyarakat belajar. Ketiga, Bahan
pelajaran umum dan agama perlu diintegrasikan dan diberikan kepada siswa
sebagai bekal yang memungkinkan ia dapat memiliki pribadi yang utuh, yaitu
pribadi disamping berilmu pengetahuan juga harus berakhlak mulia. Hal ini
penting karena kehidupan masa mendatang banyak dihadapkan pada tantangan yang
bersifat moral. Untuk itu, perlu dikembangkan pengamalan akhlak di
sekolah-sekolah[21].
4. Faktor Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Kemajuan teknologi dalam tiga dasawarsa ini
telah menampakkan pengaruhnya pada setiap dan semua kehidupan individu,
masyarakat dan negara. Dapat dikatakan bahwa tidak ada orang yang dapat
menghindar dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), IPTEK
bukan saja dirasakan individu, akan tetapi dirasakan pula oleh masyarakat,
bangsa dan negara.
“Kehadiran IPTEK di negara-negara maju, sudah
lama dirasakan pengaruhnya, karena pada negara-negara tersebutlah kemajuan itu
mula-mula dicapai”[22].
Sebaliknya bagi negara-negara berkembang, pengaruh tersebut baru mulai
dirasakan antara lain seperti dalam bidang informasi, buku-buku, media TV,
radio, video, internet dan lain sebagainya. Sekarang yang menjadi persoalan
sekaligus pertanyaan bagi kita tentunya adalah bagaimana dengan eksistensi
pendidikan Islam dalam menghadapi arus perkembangan IPTEK yang sangat pesat
tersebut. Bagaimanapun tampaknya pendidikan Islam (terutama lembaganya)
dituntut untuk mampu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi yang ada. Disamping
dapat mengadaptasi dirinya, pendidikan Islam juga dituntut untuk menguasai
IPTEK, dan kalau perlu merebutnya.
Kenyataan untuk merebut teknologi dan ilmu
pengetahuan tersebut adalah sangat penting, sebab sekarang pembangunan nasional
diarahkan dengan orientasi pada teknologi industri, dalam hal ini tak
terkecuali dalam bidang pendidikan manusia.
[2] KH.
Said Adiel Siradj, Islam kebangsaan, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), hal. 126.
[5] H.A.R Tilaar, 50 Tahun Pembangunan
Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995. (Jakarta: Gramedia
Widiasarana,1995), hal. 33.
[6]
Bakar, U.A. dan Surohim, Fungsi Ganda
Lembaga Pendidikan Islam: Respon Kreatif terhadap Undang-Undang Sisdiknas, (Yogyakarta: Safiria Insani Pres,
2005), hal. 39.
[14]
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia bekerjasama dengan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001), hal. 17.
[15] Rachmat, Jalaluddin dalam artikelnya “Islam Menyongsong Peradaban
Dunia Ketiga”, dalam Ulumul Qur’an, vol. 2, 1989.
[16]
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara dengan
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama, 1992), hal. 23.
[18] Ibid., hal. 57.
[20]
Abuddin Nata, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. I
(Jakarta: UIN JAKARTA PRESS, 2006), hal. 24.
[21]
Altaf Gauhar, Tantangan Islam dalam Hasbullah, Kapita selekta Pendidikan
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 23-24.
0 Comments
Post a Comment