Tanggungjawab Pendidik Dalam Mendidik Anak Menurut Abdullah Nashih Ulwan
BAB III
TANGGUNGJAWAB
PENDIDIK DALAM MENDIDIK ANAK MENURUT
ABDULLAH NASHIH ULWAN
A. Tanggung Jawab
Pendidikan Keimanan
Yang dimaksud
dengan pendidikan Iman adalah, mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak
ia mengerti, membiasakannya dengan rukun Islam sejak ia memahami, dan
mengajarkan kepadanya dasar-dasar syariat sejak usia tamyiz. Yang dimaksud
dengan dasar-dasar keimanan ialah segala sesuatu yang ditetapkan melalui
pemberitaan secara benar, berupa hakikat keimanan dan masalah yang ghaib. “Akidah
Islam memiliki ciri khas yaitu keseluruhan bersifat ghaib. Karena Itu, orangtua
dan pendidik akan sedikit kebingungan; bagaimana menyampaikannya kepada anak
dan bagaimana anak akan menerimanya, bagaimana menjelaskannya dan bagaimana
memaparkannya”[1].
Hannan Athiyah
Ath-Thuri dalam bukunya Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak menjelaskan
bahwa pendidikan keimanan adalah “sinergi berbagai unsur aktifitas pedagogis;
pengaitan anak-anak dengan dasar-dasar keimanan, pengakrabannya dengan
rukun-rukun Islam, dan pembelajaran tentang prinsip-prinsip syariat islam”.[2]
Kewajiban
pendidik adalah menumbuhkan anak atas dasar pemahaman-pemahaman diatas, berupa
dasar-dasar pendidikan Iman dan ajaran Islam sejak masa pertumbuhannya.
Sehingga anak akan terikat dengan Islam, baik aqidah maupun ibadah, dan juga ia
akan selalu berkomunikasi dengannya dalam hal penerapan metode maupun
peraturan. Setelah mendapat petunjuk dan pendidikan ini, Ia hanya akan mengenal
Islam sebagai agamanya, Alquran sebagai imamnya, dan Rasulullah Saw. sebagai pemimpin
dan tauladannya.
Pemahaman yang
menyeluruh tentang pendidikan Iman ini hendaklah didasarkan kepada
wasiat-wasiat Rasulullah. Dan petunjuk-petunjuknya di dalam menyampaikan
dasar-dasar keimanan dan rukun-rukun Islam kepada anak. Sebagaimana petunjuk
dan wasiat Rasulullah Saw. yaitu:
Pertama, Orang tua bertanggung jawab membimbing anaknya atas dasar pemahaman dan
pendidikan Iman sesuai dengan ajaran Islam. Dengan cara membuka kehidupan anak
dengan kalimat "Laa ilaha illa Allah" ketika lahir.
Rahasianya adalah agar kalimat tauhid dan syiar masuk Islam itu menjadi yang
pertama masuk ke dalam pendengaran anak, kalimat pertama yang diucapkan oleh
lisannya dan lafal pertama yang dipahami anak.[3]
Kedua yaitu,
mengenalkan hukum halal dan haram. Rahasianya adalah agar ketika akan
membukakan kedua matanya dan tumbuh besar, ia telah mengenal perintah-perintah
Allah. Sehingga bersegera untuk melaksanakannya, dan mengerti
larangan-larangan-Nya, sehingga ia menjauhinya. Apabila anak sejak memasuki
masa baligh telah memahami hukum-hukum halal dan haram, disamping telah terikat
dengan hukum-hukum syariat, maka untuk selanjutnya, Ia tidak akan mengenal
hukum dan undang-undang lain selain Islam.[4]
Ketiga ialah, mengajarkan tata-cara beribadah (perintah shalat), kita dapat
menyamakan dengan puasa dan haji. Kita latih anak-anak untuk melakukan puasa
jika mereka kuat, dan haji jika bapaknya mampu. Rahasianya adalah agar anak
dapat mempelajari hukum-hukum ibadah ini sejak masa pertumbuhannya. Sehingga ketika
anak tumbuh besar, ia telah terbiasa melakukan dan terdidik untuk mentaati
Allah, melaksanakan hak-Nya, bersyukur kepada-Nya, kembali kepada-Nya,
berpegang teguh kepada-Nya, bersandar kepada-Nya dan berserah diri kepada-Nya.
Di samping itu, anak akan mendapat kesucian rohani, kesehatan jasmani, kebaikan
akhlaq, perkataan dan perbuatan di dalam ibadah-ibadah ini.[5]
Keempat adalah, mendidik anak untuk mencintai Nabi, ahlul baitnya, dan Alquran.
Berbicara tentang cinta kepada Rasulullah Saw., dan ahli baitnya, perlu
diajarkan pula kepada mereka peperangan Rasulullah Saw., perjalanan hidup para
sahabat, kepribadian para pemimpin yang agung dan berbagai peperangan besar
lainnya. Rahasianya adalah agar anak-anak mampu meneladani perjalanan hidup
orang-orang terdahulu, baik mengenai pergerakan, pemikiran, kepahlawanan maupun
jihad mereka, agar mereka juga memiliki keterkaitan sejarah, baik perasaan
maupun kejayaannya: dan juga agar mereka terikat dengan Alquran, baik semangat,
metode maupun bacaannya.[6]
Ringkasnya,
tanggung jawab pendidikan Iman itu sungguh merupakan tanggung jawab terpenting
bagi para pendidik, orang tua. Sebab, hal itu merupakan sumber segala keutamaan
dan kesempurnaan. Bahkan ia adalah pangkal dasar bagi anak-anak untuk memasuki
pintu gerbang Iman dan meniti jembatan Islam. Tanpa pendidikan itu, anak tidak
akan memiliki rasa tanggung jawab, tidak dapat dipercaya, tidak mengenal
tujuan, tidak mengerti nilai-nilai kemanusiaan yang mulia dan tidak mampu
meneladani sesuatu yang paling luhur. Akhirnya ia hidup seperti binatang, yang
hanya mempunyai keinginan untuk menutupi rasa laparnya, memuaskan tuntutan
nalurinya, mengejar kesenangan seluruh hawa nafsunya, dan bergaul
bersama orangorang jahat yang berlumuran dosa. Dalam situasi seperti ini, anak
akan masuk dalam kelompok kafir yang sesat dan selalu menghalalkan segala cara.[7]
B.
Tanggung Jawab Pendidikan Moral
Secara
etimologis, moral adalah “adab seorang dalam dirinya, sebab menjadi semacam
anggota tubuhnya, sedangkan pembawaan dalam diri dinamakan sifat atau tabiat”[8]. Yang
dimaksud pendidikan moral adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan
sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh
anak sejak dini hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi
lautan kehidupan. Termasuk persoalan yang tidak diragukan lagi, bahwa moral, sikap
dan tabiat merupakan salah satu buah Iman yang kuat dan pertumbuhan sikap keberagaman
seseorang yang benar.[9] Orang
tua bertanggung jawab menanamkan dan melatih anak-anaknya untuk berperilaku
mulia dalam kehidupannya.
Jika sejak masa
kanak-kanak ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada
Allah dan terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, berserah diri kepada Allah,
ia akan memiliki kemamapuan dan pengetahuan didalam menerima setiap keutamaan
dan kemuliaan, disamping terbiasa dengan sikap akhlak mulia. Sebab benteng
pertahanan religius yang berakar pada hati nuraninya, kebiasaan mengingat Allah
yang telah dihayati dalam dirinya dan instropeksi diri yang telah menguasai
seluruh pikiran dan perasaan, telah memisahkan anak dari sifat jelek, kebiasaan
dosa, dan tradisi jahiliyah yang rusak. Bahkan setiap kebaikan akan diterima menjadi salah satu kebiasaan
dan kesenangan, dan kemuliaan akan menjadi akhlak dan sifat yang paling utama.
Pendidik maupun orang tua bertanggung jawab untuk membiasakan anak-anak
dengan prikemanusiaan yang mulia, seperti berbuat baik kepada anak yatim, kaum
fakir, dan mengasihani para janda dan kaum miskin. Jadi, apabila pendidikan
utama pada tahapan pertama menurut pandangan Islam adalah bergantung pada
kekuatan perhatian dan pengawasan, maka selayaknyalah bagi para ayah, ibu,
pengajar dan orang yang bertanggung jawab terhadap masalah
pendidikan dn moral untuk menghindarkan anak-anak dari empat fenomena berikut
ini, yaitu :
a) Suka Berbohong
Fenomena berbohong adalah fenomena yang terburuk menurut pandangan
Islam. Oleh karena itu, para pendidik wajib mencurahkan perhatian dan upaya
terhadap fenomena ini, sehingga anak-anak terhindar dari fenomena tersebut dan
menjauhi sifat munafik.[10]
Jika para pendidik berpendapat, bahwa pendidikan utama itu tergantung pada
pemberian teladan yang baik, maka selayaknyalah setiap pendidik dan orang yang
bertanggung jawab untuk tidak mendustai anak-anaknya dengan alasan agar mereka
berhenti menangis, membujuk mereka agar menyukai sesuatu atau menenangkan
mereka dari kemarahan. Jika hal ini dilakukan, berarti telah membiasakan anak
untuk melakukan kebiasaan paling buruk dan moral paling hina. Untuk itu, kita
lihat pendidik pertama, Nabi Muhammad Saw, telah memperingatkan para wali dan
pendidik supaya tidak berdusta di hadapan anak-anak, meski hal itu hanya
sebagai bujukan atau gurauan, agar ia tidak dicatat oleh Allah sebagai pendusta.
b) Suka Mencuri
Adapun kebiasaan suka mencuri , tidak kurang bahayanya
dari fenomena suka berbohong, fenomena ini tersebar luas di berbagai lapisan
masyarakat yang belum memiliki moralitas Islam, dan belum terdidik dengan dasar-dasar
pendidikan dan iman.[11] Sangat
disayangkan dan memprihatinkan, bahwa banyak diantara para ibu dan bapak yang
tidak mau memperhatikan secara cermat barang-barang atau uang yang dibawa oleh
anak-anak mereka. Mereka cukup membenarkan alasan bahwa anak-anak itu menemukan
barang dan uang tersebut dijalan atau sebagai hadiah dari teman mereka. Kemudian para orang tua langsung mempercayai
pengakuan anak-anak mereka yang dusta, tanpa melakukan penelitian secara
seksama lebih dahulu. Situasi ini akan lebih buruk lagi jika anak menemukan
salah satu dari kedua orang tuanya yang mendorong untuk melakukan pencurian.
Sehingga tidak diragukan lagi bila anak kelak akan menjadi penjahat dan
perampok.
c) Suka Mencela
dan Mencemooh
Ada dua faktor yang
menimbulkan fenomena buruk ini sebagai berikut:
1)
Karena teladan yang buruk. Apabila anak selalu mendengar kalimat- kalimat
yang buruk, celaan dan kata-kata yang munkar, maka sudah barang tentu anak itu
akan mudah meniru kalimat itu dan membiasakan diri berkata kotor dengan kalimat
tersebut.
2)
Karena
pergaulannya rusak. Apabila anak dibiarkan bermain dijalanan dan bergaul dengan
teman-teman yang nakal dan rusak, sangatlah mungkin anak akan mempelajari
bahasa cacian dan celaan. Oleh karenanya, wajib bagi para ibu dan bapak,
pendidik untuk memberikan teladan yang baik kepada anak-anak, baik dalam
keindahan bahasa maupun melunakkan lisannya. Disamping
itu juga, wajib mencegah kepada anak-anak untuk tidak bermain jalanan dan
bergaul dengan teman-teman yang nakal, agar mereka tidak terpengaruh oleh
kenakalan dan kebiasaan buruk mereka.[12]
d) Kenakalan dan
Penyimpangan
Adapun fenomena kenakalan dan penyimpangan, maka masalah ini
merupakan fenomena terburuk yang tersebar dikalangan muda-mudi muslim pada apa
yang disebut abad XX ini.[13]
Ada sementara orang yang tak berakal sehat mengira bahwa diantara tanda kemajuan
jaman ini adalah tarian erotis dan pergaulan bebas. Sedangkan tolak
ukur pembauran dan pembangunan adalah taklid buta. Rasulullah Saw telah
mencontohkan kepada orang tua dan para pendidik berbagai cara ilmiah dan
dasar-dasar pendidikan akhlak yang lurus, benar dan berkepribadian
islami kepada anak-anak.
Diantara cara dan dasar pendidikan itu adalah: “1.
Menghindari peniruan dan taklid buta 2. Tidak terlalu larut dalam kesenangan dan
kemewahan 3. Tidak mendengarkan musik dan lagu-lagu porno 4. Tidak bersikap dan
bergaya menyerupai wanita 5. Larangan bepergian, pamer diri, pergaulan bebas,
dan memandang hal-hal yang diharamkan”[14].
C.
Tanggung Jawab Pendidikan Fisik
Pendidikan
Jasmani/fisik adalah salah “satu segi pendidikan yang sangat penting, yang tidak
dapat terlepas dari segi-segi pendidikan yang lain. Bahkan, dapat dikatakan
bahawa pendidikan jasmani merupakan salah satu alat yang utama bagi pendidikan
rohani”.[15]
Di antara tanggung jawab lain yang dipikulkan Islam di atas pundak para
pendidik dan orang tua adalah tanggung jawab pendidikan fisik. Hal ini dimaksudkan
agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah
dan bersemangat. “Bermain adalah suatu
hal yang lumrah pada diri anak. Allah swt menjadikannya sebagai naluri dalam
dirinya. Hal itu bertujuan agar tubuhnya tumbuh secara wajar, karena masa kecil
manusia adalah masa kecil terpanjang dibandingkan masa kecil makhluk hidup lainnya”[16].
Dalam
pendidikan ini orang tua bertanggung jawab membina anak-anak agar memiliki
fisik yang kuat, sehat, bergairah dan bersemangat[17] dengan
cara-cara tersebut di bawah ini:
a) Memberi nafkah yang halalan thayyiban
kepada anak. sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 233 sebagai
berikut:
....وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ).... البقرة:
٢٣٣(
Artinya: “…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf…”(Q.S. Al-Baqarah: 233).
b) Membiasakan anak untuk melaksanakan adab-adab
yang benar dalam hal makan, minum, dan tidur. Sebagaimana firman Allah dalam
surat al-Araf ayat 31 sebagai berikut:
...وَاشْرَبُواْ
وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ )..الأعراف: ٣١(
Artinya: ...makan dan minumlah, tetapi jangan
berlebihan... (Qs. al-Araf. 31).
c) Menjaga kesehatan anak.
Kewajiban para
pendidik terutama para ibu, apabila salah seorang diantara anaknya terkena
penyakit menular, supaya segera mengasingkan anak-anak mereka yang lain,
sehingga penyakit tidak menular kepada yang lain.
d) Mengobati ketika sakit.
Mengingat
pengobatan ini berpengaruh besar dalam menolak penyakit dan mewujudkan
kesembuhan, maka hendaknya para orang tua dan pendidik menerapkan petunjuk dari
Nabi Saw dalam memperhatikan dan mengobati anak ketika mereka sakit. Karena berikhtiyar itu merupakan masalah fitrah dan dianjurkan
dalam agama Islam.
e) Membiasakan anak berolahraga.
Islam
menyerukan untuk mempelajari renang, memanah dan menunggang kuda.
f) Membiasakan
Anak untuk Zuhud dan Tidak larut dalam Kenikmatan.
Hal ini dimaksudkan agar pada masa dewasa nanti, anak dapat
melaksanakan kewajiban jihad dan dakwah dengan sebaik-baiknya. Cukuplah
Rasulullah Saw, sebagai suri tauladan generasi muslim, baik dalam kehidupannya
yang sederhana, zuhudnya dalam makanan, pakaian, dan tempat tinggal, agar
mereka selalu siap menghadapi segala sesuatu yang menghadangnya.
D.
Tanggung Jawab Pendidikan Rasio (Akal)
Yang dimaksud
dengan pendidikan rasio (akal) adalah, “membentuk pola pikir anak dengan segala
sesuatu yang bermanfaat, seperti: ilmu-ilmu agama, kebudayaan dan peradaban,
dan lain sebagainya”.[18]
Dengan demikian pikiran anak akan menjadi matang, bermuatan ilmu, kebudayaan
dan sebagainya. Tanggung jawab ini tidak kalah pentingnya dengan tanggung jawab
yang lain yang telah disebutkan sebelumnya, semisal tanggung jawab pendidikan
keimanan adalah sebagai penanaman fondasi, pendidikan moral merupakan penanaman
dan pembiasaan, pendidikan fisik merupakan persiapan dan pembentukan. Sedangkan
pendidikan rasio (akal) sebagai penyadaran, pembudayaan dan pengajaran.[19] “Karena
ingin mencetak generasi muda yang inovatif, maka sangat perlu mengembangkan
pemikiran mereka. Karena sesungguhnya inovasi itu bertumpu pada pemikiran”.[20]
Jika harus
menjelaskan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh para pendidik dalam setiap
tanggung jawab yang harus dilakukan terhadap diri anak, maka Abdullah Nashih
Ulwan berpendapat, bahwa pendidikan ini terfokus pada tiga permasalahan:[21]
a. Kewajiban mengajar
Kita yakin
bahwa Islam memandang tanggung jawab ini sebagai hal yang sangat penting.
Sesungguhnya Islam telah membebani para pendidik dan orang tua dengan tanggung
jawab yang besar di dalam mengajar anak-anak, menumbuhkan kesadaran mempelajari
ilmu pengetahuan dan budaya, serta memusatkan seluruh pikiran untuk mencapai
seluruh pemahaman secara mendalam, pengetahuan yang murni dan pertimbangan yang
matang serta benar. Dengan demikian, pikiran mereka akan terbuka dan kecerdasan
mereka akan tampak. Secara historis dapat diketahui, bahwa ayat-ayat dari Alquran
(QS. Al-Alaq: 1-5) yang pertama kali diturunkan ke hati sanubari Rasulullah Saw.,
adalah mengangkat peran besar dari baca-tulis dan ilmu pengetahuan, mengingat
alam pikiran dan akal serta membuka pintu hidayah yang sebesar-besarnya.[22]
Allah akan
mengangkat derajat orang-orang yang berilmu lebih tinggi daripada derajat
orang-orang yang tidak berilmu sebagaimana firman Allah dalam surat Mujadillah
ayat 11 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا
يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ)
المجادلة: ١١(
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan
kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Qs. Mujadilah: 11).
Ilmu
pengetahuan adalah bekal yang penting bagi kehidupan setiap manusia. Karenanya,
setiap orang tua bertanggung jawab atas pendidikan akal bagi anak-anaknya, agar
mereka memiliki bekal ilmu yang memadai untuk memenuhi sarana hidupnya kelak.
Ilmu yang bermanfaat, akan memberikan kepada kita pahala yang tiada putus, walau
kita telah tiada.
b. Menumbuhkan kesadaran berpikir
Di antara
tanggung jawab besar yang dijadikan sebagai amanat oleh Islam, yang harus
dipikul oleh orang tua dan pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran berpikir
anak sejak masih balita hingga ia mencapai masa dewasa (baligh). Yang
dimaksud dengan menumbuhkan kesadaran berpikir di sini adalah mengikat anak
dengan:
1) Islam, baik sebagai agama maupun negara
2) Alquran, baik sebagai sistem maupun
perundang-undangan.
3) Sejarah Islam, baik sebagai kejayaan maupun
kemuliaan
4) Kebudayaan Islam secara umum, baik sebagai
jiwa maupun pikiran
5) Dakwah Islam sebagai motivasi gerak laku anak.[23]
c. Kejernihan berpikir (Pemeliharaan Kesehatan
Rasio).
Di antara
sekian tanggung jawab yang dijadikan oleh Allah sebagai amanat yang dibebankan
kepada orang tua dan pendidik adalah memperhatikan kesehatan akal anak-anak
mereka. Oleh karena itu, mereka harus menjaga dan memelihara akal anak-anak,
sehingga pemikiran mereka tetap jernih dan akal mereka tetap tenang. Akan
tetapi, sampai sejauh mana batas-batas tanggung jawab para pendidik di dalam
memelihara kesehatan akal anak itu? Tanggung jawab ini berkisar pada upaya
menjauhkan mereka dari kerusakan-kerusakan yang tersebar di dalam masyarakat.
Karena kerusakan-kerusakan itu mempunyai dampak yang besar terhadap akal, ingatan dan fisik manusia pada umumnya.[24]
E.
Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan / Rohani
Pendidikan
kejiwaan bagi anak dimaksudkan untuk mendidik anak semenjak mulai mengerti
supaya bersikap berani terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan
amarah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak.[25]
Tujuannya adalah membentuk, membina, dan menyeimbangkan kepribadian anak.
Sehingga ketika anak sudah mencapai usia taklif (dewasa), ia dapat melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada dirinya secara baik dan sempurna.
Sejak anak dilahirkan Islam telah memerintahkan kepada orang tua dan pendidik
untuk mengajari dasar-dasar ilmu jiwa yang memungkinkan ia menjadi manusia yang
berakal, berpikir sehat dan bertindak penuh pertimbangan dan berkemauan tinggi.
Pendidikan
psikis (jiwa) dimaksudkan untuk membentuk, menyempurnakan, dan menyeimbangkan
kepribadian anak dengan melatih anak supaya bersikap berani, merasa percaya
diri, suka berbuat baik kepada orang lain, mampu menahan diri ketika marah, dan
senang kepada akhlak mulia. Orang tua ber-kewajiban untuk menghindarkan
anak-anak dari sifat minder, penakut, merasa rendah diri, hasud, pemarah, masa
bodoh, dan sifat-sifat buruk lainnya, dengan terus mendidik dan menanamkan
kepada anak din Islam sebagai pedoman hidupnya. Rasulullah Saw. dan para
sahabat memperlakukan anak-anak. Mereka memberi semangat agar anak-anak berani berbicara,
dan memberi kesempatan untuk mengambil sebuah keputusan. Yang dengan demikian,
akan membangkitkan rasa percaya diri anak, terhindar dari rasa takut dan
minder, walau di hadapan orang dewasa sekalipun.[26]
F.
Tanggung Jawab Pendidikan Sosial
Yang dimaksud
dengan pendidikan sosial adalah mendidik anak sejak kecil agar terbiasa
menjalankan perilaku sosial yang utama, dasar-dasar kejiwaan yang mulia yang
bersumber pada aqidah islamiyyah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam,
agar di tengah-tengah masyarakat nanti ia mampu bergaul dan berperilaku sosial
yang baik, memiliki keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana.[27] “Membentuk
jiwa sosial kemasyarakatan adalah interaksi anak dengan masyarakat
disekitarnya, baik dengan orang dewasa maupun dengan anak-anak lain yang
sebaya, agar anak dapat bersikap aktif yang positif, jauh dari malu dan sungkan
yang tercela”.[28]
“Manusia menurut pembawaannya adalah makhluk sosial. Sejak dilahirkan bayi
sudah termasuk ke dalam suatu masyarakat kecil yang disebut keluarga”.[29]
Tidak disangsikan lagi, bahwa tanggung jawab
ini merupakan tanggung jawab terpenting bagi para pendidik dan orang tua di
dalam mempersiapkan anak, baik pendidikan keimanan, moral maupun kejiwaan.
Sebab, pendidikan sosial ini merupakan manifestasi perilaku dan watak yang
mendidik anak untuk menjalankan kewajiban, tata krama, kritik sosial, keseimbangan
intelektual, politik dan pergaulan yang baik bersama orang lain.[30]
Anak-anak perlu
dilatih bermasyarakat. Dikenalkan dengan orang-orang di sekitarnya, dilatih
bagaimana cara bergaul yang benar, dan selalu berlaku baik kepada siapapun,
menyayangi sesama, termasuk kepada makhluk-makhluk Allah yang lain di muka bumi
ini. Menghormati yang lebih tua, membimbing yang lebih muda, dan memelihara hak
orang lain, serta melaksanakan adab-adab sosial yang
mulia.