Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Tinjauan Pendidikan Terhadap poligami


BAB I
P E N D A H U L U A N


A.    Latar Belakang Masalah
            Salah satu masalah yang sejak dahulu sampai sekarang tetap menjadi perdebatan hangat di kalangan ahli hukum Islam adalah status poligami. Mayoritas ilmuan klasik dan pertengahan berpendapat bahwa poligami adalah boleh secara mutlak. Sementara mayoritas pemikir kontemporer dan perundang-undangan muslim modern membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi tertentu yang sangat terbatas. Lebih dari itu ada pemikir dan Undang - Undang perkawinan Muslim yang mengharamkan poligami secara mutlak.
            Kebolehan poligami dalam Islam jangan dipandang sebagai sebuah keharusan. Sebagaimana perkawinan itu sendiri tidak harus (baca: wajib) bagi setiap orang. Boleh jadi kondisi mengharuskan seseorang untuk menikah, namun bisa saja bagi orang lain haram dan yang lainnya sunnah, makruh atau sah-sah saja (mubah). Semua tergantung pada kondisi pribadi masing-masing. Poligami pun demikian. Poligami dalam Islam tidak disyariatkan untuk semua orang. Hukum poligami disiapkan oleh Allah yang maha mengetahui dan maha bijaksana untuk menanggulangi beberapa masalah yang ditemui oleh pasangan suami isteri dalam perkawinannya atau karena ada tujuan-tujuan lebih penting lainnya. Sebagaimana hal itu dengan gamblang disebutkan pada awal ayat yang membolehkan berpoligami.

            Sekalipun kedua syarat di atas (adanya problem dalam rumah tangga baik dari sisi suami atau wanita dan guna meraih tujuan mulia lainnya) telah dimiliki oleh seseorang, bukan berarti ia langsung bisa melakukan poligami begitu saja. Ada satu hal penting yang harus dimiliki seorang suami. Dan, itu adalah siap untuk berlaku adil. Sebagaimana disebutkan pada akhir ayat tiga surat an-Nisa�, �...Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka seyogyanya beristeri tidak lebih dari satu ....�.
            Syarat terakhir (berlaku adil) yang diberlakukan oleh Allah bukan untuk memberatkan apalagi mengharamkan masalah poligami, namun itu lebih nyata pada dampak sosial yang akan terjadi bila seorang suami tidak berlaku adil kepada isteri-isterinya. Terlebih-lebih ayat tersebut berkaitan erat dengan pengasuhan anak yatim yang setelah ditinggal ayahnya, ia masih harus menerima perlakuan tidak adil dan itu tentunya akan diwarisinya. Artinya generasi yang akan dihasilkan bukan yang baik dan menyenangkan dan bisa mendoakan orang tuanya tetapi malah sebaliknya. Tentu ini bertolak belakang dengan tujuan perkawinan tadi. Terlebih-lebih isteri dan anak adalah amanat Ilahi yang perlu dijaga dan tidak boleh dibiarkan rusak. Syarat harus berlaku adil adalah untuk membantu suami agar dapat menjaga amanat Ilahi dengan lebih baik.
            Dalam poligami tidak ada masalah yang sulit sebagaimana yang dibayangkan banyak orang. Masalah poligami kembali pada penerapannya. Kesiapan seorang suami dituntut sebelum melakukan poligami, sama seperti kesiapan calon suami isteri untuk melakukan perkawinan. Semua perbedaan-perbedaan yang ada dibicarakan untuk ditanggulangi di kemudian hari. Dalam melakukan poligami paling sedikit ada tiga orang yang berperan penting. Pertama, suami kemudian isteri pertama dan terakhir isteri kedua, begitu seterusnya sampai isteri kempat. Namun yang paling berperan adalah sang suami.
            Dengan ungkapan lain, ada tiga  pandangan tentang poligami ini, yakni : Pertama, mereka yang membolehkan poligami secara mutlak, di antaranya mayoritas ulama klasik dan pertengahan, dengan syarat; mampu mencukupi nafkah keluarga, dan mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, di antaranya dari mazhab Hanafi seperti al- Sarakhsi, al-Kasani, Imam Malik dan Imam al-Syafi�i. Kedua, mereka yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisikondisi tertentu; Di antara tokoh yang masuk kelompok ini adalah Quraisy Shihab, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud dan lain-lain.
            Sejarah mencatat bahwa poligami telah ada sebelum datangnya Islam. Sekaitan dengan masalah poligami yang ada pada umat terdahulu, Islam tidak menghapusnya. Islam menjelaskan tujuan puncak dari sebuah perkawinan di mana poligami juga merupakan salah satu kajiannya. Dalam masalah poligami, Islam tidak diam saja membiarkan apa yang telah terjadi dahulu, melainkan seperti biasanya, Islam memberikan beberapa aturan. Syarat-syarat dan batasan-batasan tertentu telah disiapkan. Tentunya, hal itu tidak lain untuk menanggulangi dampak sosial yang bakal terjadi. Dan itu semua karena sang pembuat hukum ini adalah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
            Poligami bukan sekedar sarana untuk menyalurkan syahwat tetapi ada tujuan-tujuan mulia di baliknya yang perlu diperhatikan. Tetapi, memandang masalah poligami tidak boleh lepas dari masalah perkawinan itu sendiri. Apa yang menjadi tujuan sebuah perkawinan juga harus ada pada poligami. Memisahkan masalah poligami dari perkawinan adalah awal terjerumusnya siapa saja yang ingin mengkaji masalah poligami. Tujuan poligami tidak lepas dari tujuan perkawinan. Dan, perkawinan sebagai salah satu perintah Allah tidak lepas dari tujuan penciptaan manusia.
            Dengan kondisi yang seperti ini, bila tujuan penciptaan manusia adalah penyembahan kepada-Nya yang akan berakhir pada liqa�ullah, maka salah satu elemen yang dapat menghantarkan manusia mencapai tujuan penciptaannya adalah perkawinan. Itulah mengapa Nabi saw, dalam hadis masyhurnya, perlu menekankan bahwa,�An Nikahu sunnati�, perkawinan adalah sunnahku dan barang siapa yang membencinya bukan termasuk ummatku. Nah, bila perkawinan merupakan sebuah unsur yang dapat membantu seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah maka poligami pun demikian.
Poligami adalah perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang isteri, tidak boleh lebih daripadanya. Islam sangat menganjurkan pernikahan karena manfaat dan pengaruhnya yang sangat positif seperti yang telah disebutkan diantaranya dengan melaksanakan pernikahan dapat memperluas hubungan kekerabatan, hubungan melaksanakan pernikahan dapat memperluas hubungan kekerabatan, hubungan cinta diantara manusia yang sebelumnya tidak ada, dan membuka kontak serta ikatan sosial baru yang memperkuat masyarakat.�[1]
Oleh karena itu, pernikahan disyariatkan bagi setiap individu melalui Al-Qur�an, Hadist dan Ijma� (consensus para ulama), orang-orang yang meneliti dalil-dalil yang diungkapkan para ulama akan menemukan bahwa hukum pernikahan itu berbeda-beda dari suatu kondisi ke kondisi yang lain, mungkin saja wajib, atau sunnah atau makhruh. Hal ini dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya:
??? ???? ???? ?????? ?? ?????? ??????? ?? ??? ???  ?? ?????? ???? ???? ???? ??? ???? ??? ?????? ????? ?? ?? ???? ?????? ??? ???? ??? ?????. ) ?????? : ?).
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.                (Qs. An-Nisa� : 3)

Sebagian masyarakat berpendapat bahwa laki-laki tidak berhak melakukan Poligami, karena Poligami merupakan bentuk kezaliman terhadap perempuan (isteri), dimana suami tidak dapat berlaku adil terhadap para isterinya. Argumentasi mereka yang lain adalah bahwa Poligami merupakan penghinaan terhadap perempuan karena ia dijadikan alat pemuas nafsu seksual semata.
Kita katakan bahwa justru Poligami merupakan pemuliaan bagi perempuan karena suami menjaganya dari zina. Pernikahan adalah satu-satunya jalan yang sah untuk menyalurkan libido seksualnya, dan karena Poligami menjaga laki-laki dari penyimpangan perilaku (zina), yaitu kekasih gelap atau perempuan simpanan.

Adapun akibat negatif Poligami yang kita saksikan di masyarakat, seperti tidak adanya keadilan suami atas isterinya, dampak itu juga dirasakan anak-anaknya. Hal ini bukan lahir dari syariat Poligami itu sendiri, tetapi diakibatkan oleh tidak diterapkannya syariat Poligami itu dengan benar. Agama Islam telah mengikis kekacauan yang terjadi pada umat terdahulu, dimana Poligami tidak dibatasi oleh jumlah tertentu. Ketika Islam datang, para lelaki kabilah Tsaqif banyak memiliki 10 orang isteri, lalu Islam datang membatasinya hanya empat isteri saja.�[2]
Konsep Poligami dalam Islam adalah laki-laki yang melakukan Poligami dapat berlaku adil terhadap anak dan istrinya.�[3]Anak adalah amanah Allah SWT. apabila seseorang yang menelantarkan anak-anaknya maka ia akan berdosa kepada Allah. Keluarga adalah pengenalan pendidikan pertama kepada anak.[4]Apabila keluarga tidak memberikan dampak yang positif ke anak, maka si anak akan mengikuti arusnya, tetapi dengan keluarga yang berpoligami tidak sehat, hal ini akan dapat mempengaruhi anak terutama terhadap pendidikannya.
Untuk menanggulangi pengaruh Poligami terhadap pendidikan anak, maka perlu adanya peran guru. Guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses pembelajaran.�[5]Karena itu, guru dalam melaksanakan proses pembelajaran harus mempunyai arah tujuan yang jelas, bahkan sasaran dan tujuan itu harus dirumuskan secara sistematis, cermat dan tepat, sehingga dapat menyentuh semua aspek baik kognitif, afektif maupun psikomotor.
Dalam usaha mencegah agar anak tidak terpengaruh oleh keluarga Poligami yang membawa pengaruh negatif, maka peran guru di sekolah merupakan bagian yang amat penting yang dapat memberikan pengetahuan kepada anak tentang kebenaran, karena guru merupakan tenaga pendidik yang membina keimanan dan ketaqwaan serta budi pekerti anak. Guru langsung berhadapan dengan siswa dalam proses pembelajaran, maka guru harus dapat memberikan sikap yang baik dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik.
Dengan datangnya syari�at Islam yang  memberi perlindungan dan penghormatan kepada kaum wanita dalam suatu ikatan rumah tangga yang kuat maka sangat mudah untuk membina dan memberikan pendidikan yang baik  kepada kepada anak-anak mereka yang mana suami merupakan orang yang bertanggung jawab dalam mengemban kewajiban dalam memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya. Dengan demiian akan terciptalah suatu keharmonisan dan dapat mendidik generasi dengan sebaik baiknya sesuai dengan apa yang diharapakan. Karena dalam Islam merupakan sesuatu yang paling penting.
Anak-anak yang dilahirkan dari hasil poligami yang kemudian hidup di masyarakat sebagai hasil jalinan cinta yang mulia sangat dibanggakan oleh seorang ayah. Demikian juga oleh ummatnya di masa yang akan datang. Anak-anak juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih sayang yang adil dari seorang ayah. Oleh itu, disyaratkan agar setiap suami yang berpoligami tidak membeza-bezakan antara anak si anu dengan anak si anu. Berlaku adil dalam soal nafkah anak-anak mestilah diperhatikan bahawa nafkah anak yang masih kecil berbeza dengan anak yang sudah besar. Anak-anak perempuan berbeza pula dengan anak-anak lelaki. Tidak kira dari ibu yang mana, kesemuanya mereka berhak memiliki kasih sayang serta perhatian yang seksama dari bapa mereka. Jangan sampai mereka diterlantarkan kerana kecenderungan si bapa pada salah seorang isteri serta anak-anaknya sahaja.
Realita dalam kehidupan bahwa Poligami yang dilakukan orang tua dan akan berpengaruh terhadap pendidikan anak. Pengaruh tersebut dapat berbentuk positif maupun negatif terhadap perkembangan pendidikan anak. Dengan orang tua yang berpoligami anak dapat mengetahui tentang arti sebuah keluarga yang sehat serta memahami sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Anak yang memiliki orang tua yang berpoligami pendidikan akan terganggu. Artinya poligami dapat memberikan pengaruh terhadap pendidikan anak. Dengan demikian poligami tersebut dapat memberikan efek positif dan negatif terhadap pendidikan anak. Sebab, keberhasilan pendidikan akan tergantung kepada orangtua.
Atas dasar inilah penulis tertarik untuk mengkaji persoalan ini secara lebih mendalam, sehingga akan menemukan solusinya. Adapun judul yang penulis angkat dalam penelitian ini, yaitu : �Tinjauan Pendidikan Terhadap poligami�.

B.    Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.     Bagaimana konsep poligami dalam Islam ?.
2.     Apa hikmah di balik poligami ?.
3.     Bagaimana tinjauan pendidikan terhadap praktek poligami ?
C.    Tujuan Pembahasan.
Adapun yang menjadi tujuan pembahsannya adalah sebagi berikut :
1.     Untuk mengetahui bagaimana konsep poligami dalam Islam !.
2.     Untuk mengetahui apa hikmah di balik poligami.
3.     Untuk mengetahui bagaimana tinjauan pendidikan terhadap praktek poligami.
D.    Kegunaan Pembahasan
Adapun yang menjadi kegunaan pembahasannya adalah sebagai berikut :
Secara teoritis pembahasan ini bermanfaat bagi para pelaku pendidikan, secara umum dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya mengenai tinjauan pendidikan terhadap poligami. Selain itu  hasil pembahasan ini dapat di jadikan bahan kajian bidang study pendidikan Islam.
Sedangkan secara praktis, hasil pembahasan ini dapat memberikan arti dan niliai tambah dalam memperbaiki dan mengaplikasikan tinjauan pendidikan terhadap poligami ini dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, pembahasan ini di harapkan dapat menjadi tambahan referensi dalam dunia pendidikan, khususnya dalam dunia pendidikan Islam.
E.    Penjelasan Istilah.
Adanya kesimpangsiuran dan kesalahpahaman dalam pemakaian istilah merupakan salah satu hal yang sering terjadi, sehingga mengakibatkan penafsiran yang berbeda. Maka untuk menghindari hal tersebut di atas, penulis merasa perlu mengadakan pembatasan dari istilah-istilah yang terdapat dalam judul proposal skripsi ini.
            Adapun istilah yang penulis anggap perlu dijelaskan adalah: Pendidikan dan Poligami.
1.     Pendidikan
Zahara Idris memberikan pengertian pendidikan adalah �Usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup�.[6]
Menurut John Dewey, pendidikan merupakan �Proses Pembentukan Kemampuan Dasar yang fundamental, baik menyangkut daya fikir atau daya intelektual, maupun daya emosional atau perasaan yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya�.[7]
Oemar Muhammad Al-Syaibani dalam buku �Filsafat Pendidikan� mengemukakan bahwa �Pendidikan adalah usaha-usaha untuk membina pribadi muslim yang terdapat pada pengembangan dari segi spiritual, jasmani, emosi, intelektual dan sosial.�[8]
            Dari pengertian di atas maka yang penulis maksudkan denganpendidikan adalah suatu usaha membimbing dan membina pribadi muslim baik jasmani ataupun rohani menuju terbentuknya akhlak yang mulia.
2.     Poligami
Arif Abdurrahman, dalam bukunya �Poligami Dalam Islam� menjelaskan Poligami adalah perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang isteri, tidak boleh lebih daripadanya.�[9]
Dalam redaksi lain, disebutkan bahwa Poligami adalah �Perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki lebih dari satu isteri�.[10]
Sedangkan poligami yang penulis maksudkan dalam pembahasan ini yaitu perbuatan atau perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang beristeri lebih dari satu orang.
F.     Metode Pembahasan
            Dalam penulisan ini penulis secara umum menggunakan �Metode Deskriptif Eksploratif� yaitu dengan memberi gambaran tentang tinjauan pendidikan terhadap poligami berdasarkan data-data yang penulis peroleh dari hasil telaah pustaka dengan membah khazanah intelektual yang terdapat di dalam al-qur�an dan buku-buku yang penulis kaji yang berhubungan dengan objek pembahasan  penulis.



G.   Sistematika Penulisan
Adapun sisitematika penulisan proposal skripsi ini adalah sebagai berikut :
           Pada bab satu terdapat pendahuluan pembahasannya meliputi : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan pembahasan, kegunaan pembahasan, penjelasan istilah, metode pembahasan dan sistematika penulisan.


















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Qur�an al-Karim.

Abdurrachman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta.: Akademika Presindo,1995.

Anshari Fahmie, Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah, Bandung: Iman, 2007.

Ali Engineer, Asghar, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Assegaf, Cici Farkha, Yogyakarta: LSPPA & CUSO, 1994.

Ashghar Ali, Pembebasan Perempuan, (The Quran, Women and Modern Society, terjemahan Agus Nuryanto), Yogyakarta: LKiS, 2003.

Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya media, 1992.

Amin,Ma�ruf, Mereka Bicara Poligam,Dalam Majalah Tempo, Edisi 17 Desember 2006.

Az-Zawaj, Hikmah Pernikahan, Jakarta: Globar Media, 2003.

Dahlan, Aziz,Abdul (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Vol IV, Jakarta:Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.

Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, 2000.

Dokumen Litbang Rifka Annisa Women Crisis Center, Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Yang masuk di Rifka Annisa WCC, Periode Tahun 1994-2000.

Effendi, Djohan, �Memikirkan Kembali Asumsi Pemikiran Kita�, dalam kata pengatar bukunya Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, alih bahasa Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Cet. I, Yogyakarta: Lkis, 1993.

Eka, Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: P3M, 1999.

Hasyim, Syafiq, Poligami dan Keadilan kualitatif, Jakarta: P3M, 1999.

Hafiduddin,Didin, Memahami keadilan dalam poligami, Jakarta: Global Media, 2003






[1] Az-Zawaj, Hikmah Pernikahan, (Jakarta: Globar Media, 2003), hal. 22
[2] Didin Hafiduddin, Memahami keadilan dalam poligami, (Jakarta: Global Media, 2003), hal. 27.
[3] Ibid, hal 28
[4] Syaiful Sagala, Konsep Dasar Pendidikan Anak, (Bandung: Alfabeta, 2005), hal. 10.
[5] Isjoni, Bersinegris Dalam Perubahan; Menciptakan Pendidikan Berkualitas di Era Global, (Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2008), hal. 65
[6] Zahara Idris, �Dasar-Dasar Kependidikan�, (Bandung : Angkasa, t.t), hal. 70
[7] Syaiful Sagala, �Konsep Dan Makna Pembelajaran�, (Bandung : Alfabeta, 2004), hal. 3
[8] Oemar Muhammad At-Tomy Al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam ,terj. Hasan Langgulung, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang,  1979 ), hal.44.

[9] Arif Abdurrahman, �Poligami Dalam Islam�, (Jakarta: Global Media, 2003), hal. 25.
[10] Labib. MZ, Berbagai Masalah Dalam Agama Islam, (Surabaya: Hikmah Jaya, 2004), hal. 111