Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Urgensi Lembaga Pendidikan dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam di Aceh

Urgensi Lembaga Pendidikan dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam di Aceh

A.    Urgensi Lembaga Pendidikan dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam di Aceh


Lembaga pendidikan tertua dalam sejarah pendidikan di Aceh adalah Dayah. Lembaga pendidikan semacam dayah ini di Jawa dikenal dengan nama Pesantren,di Padang disebut Surau, sementara di Patani dan Malaysia disebut Pondok.[1] Dayah diambil dari bahasa arab zawiyah, yang artinya pojok atau sudut,[2] diyakini masyarakat Aceh pertama kali digunakan untuk sudut Masjid Madinah ketika Nabi Muhammad mengajar para sahabat pada awal Islam.[3] Dayah yang penulis maksud adalah tempat tinggal tetap yang digunakan untuk mempelajari, membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaitan dengan agama Islam.
            Sejak Islam masuk ke Aceh 225 H (840 M)[4], pendidikan dan pengajaran Islam mulai lahir dan berkembang dengan sangat pesat, terutama setelah berdirinya Kerajaan Islam Pasee, karena pada masa itu mulai banyak ulama yang mendirikan Dayah, sehingga banyak pelajar yang berdatangan ke Pasee.[5] Di masa Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh Darussalam di abad ke 17, Aceh telah menjadi Serambi Mekkah. Ketika Malaka ditaklukkan Portugis (1511 M), para ulama banyak yang  meninggalkan Malaka menuju Aceh, sesampai di Aceh para ulama ini banyak yang menyiarkan agama dan bahkan ada yang mendirikan Dayah. Di masa Sultan Iskandar Muda inilah Dayah mencapai puncak keemasannya.
            Dayah merupakan pusat pendidikan Islam masyarakat Aceh sejak dahulu sampai sekarang. Keberadaaan dayah sebagai pusat pendidikan Islam masa lalu sudah menghasilkan sejumlah ulama dan tokoh yang berpengaruh di masanya. Peminpin-peminpin Aceh masa lalu seperti Sultan Iskandar Muda adalah alumni dayah. Dayah masa lalu sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama, ini semua dikarenakan pendidikan dayah saat itu yang tidak dikotomi, sehingga output dayah bukan hanya ulama, tetapi juga politikus atau negarawan.[6]
            Institusi dayah di Aceh mengalami pasang surut yang sangat signifikan, terutaman di masa penjajahan Belanda. Penghancuran dayah dan segala khazanah keilmuannya, perpustakaan dan manuskrip yang dimiliki serta para peminpin dayah itu sendiri telah mempengaruhi kemunduran dayah sejak Belanda memulai pendudukannya di Aceh pada tahun 1873. Dayah dan peminpinnya saat itu merupakan simbol dan penggerak perjuangan menentang kolonialisme di Aceh.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, sebagai salah satu landasan budaya terdapat satu lembaga yang dinamakan dengan Meunasah. Sebagai simbol masyarakat Aceh, pada setiap Gampong terdapat Meunasah, sebagai pusat pengendalian tata kehidupan masyarakat. Meunasah dibuat terbentuk empat segi tanpa dilengkapi dengan jendela, lorong atau sekatan-sekatan. Beda antara rumah dengan Meunasah hanya sedikit saja bagi orang yang tidak memperhatikan dengan sengaja akan dapat dilihat kesamaannya dari pada perbedaannya. Persamaan terdapat pada bentuknya seperti rumah Aceh. Sedangkan perbedaannya kelihatan pada posisinya yaitu rumah tampak membujur kearah kiblat dan Meunasah tampak kearah utara selatan. Perbedaan selanjutnya terletak pada lantai Meunasah yang kelihatan rata,  sedangkan lantai rumah tampak tinggi bagian tengahnya.[7]
Bentuk dan kondisi Meunasah semacam itu pada kurung waktu sekarang ini mungkin sudah minim karena Meunasah sekarang mengikuti arus kemajuan zaman yang modern. Meunasah sudah berjendela mempunyai Kulah, bak wudhuk pada sudah mempunyai penerangan lampu listrik serta berbagai variasi lainnya.
Ada yang menyebut Meunasah dan meulasah atau beulasah. Namun yang penting adalah bahwa istilah Meunasah berasal dari kata madrasah dalam bahasa Arab yang mengandung pengertian lembaga pendidikan. Meunasah merupakan tempat belajar dasar bagi anak-anak yang mempelajari dasar ilmu agama dan cara membaca Alquran. Anthony Reid dalam bukunya asal mula konflik Aceh dan perebutan Pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke -19 menyebutkan bahwa “Meunasah adalah suatu tempat umum yang dipergunakan sebagai sarana penginapan bagi kaum pria dewasa yang singgah dalam suatu gampong”.[8] 
Terlepas dari sejarah dan latar belakang tentang asal muasal lahir Meunasah, yang pasti antara Aceh dengan Meunasah merupakan integritas dua sisi yaitu sisi Meunasah dan sisi binnya yaitu masyarakat Aceh, sehingga dimana ada masyarakat Aceh disitulah ada Meunasah, sebaliknya dimana ada Meunasah disitu pasti ada masyarakat Aceh, meskipun berada diluar daerah. Meunasah sudah merupakan bagian budaya, identitas dan ciri-ciri kehidupan masyarakat Aceh. Tidak berfungsinya Meunasah dari aspek budaya berarti lanyap pula identitas dan ciri-ciri kehidupan masyarakat Aceh. Dengan demikian Meunasah bukan hanya suatu bangunan, tetapi lebih menggambarkan kondisi dan situasi suatu lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat Aceh terutama pada tingkat gampong. Jadi Meunasah bukanlah hanya sebagai sebuah simbol wilayah saja, tetapi juga merupakan sebuah bangunan yang mempunyai fungsi serba guna.
Masyarakat Aceh yang dekat sekali dengan adat yang bernafaskan agama (Islam) seperti adat dan hukom lagee zat ngon sifeut.  Lembaga-lembaga adat seperti meunasah, dan prosesi-prosesi adat seperti adat meugoe, khanduri blang, khanduri udep dan khanduri matee, teungku memegang peranan penting, baik sebagai pimpinan pada lembaga tersebut atau juga sebagai pimpinan pada prosesi adat yang dilakukan.[9]
Meunasah bagi masyarakat Aceh sudah ada sejak abad ke-8 saat kerajaan Perlak membangun  pusat-pusat pendidikan untuk masyarakat di tingkat gampong.  Dalam Khazanah Pendidikan Tradisional di Aceh, sebagaimana dikutip dari perkataan Sulaiman Tripa menyebutkan bahwa “lembaga meunasah, yang berasal dari kata madrasah dalam bahasa Arab ini berarti lembaga pendidikan, meunash ini ada di setiap gampong yang ada di Aceh”.[10]
Sejarah perkembangan pendidikan di Aceh, membuktikan bahwa Meunasah merupakan salah satu lembaga awal pendidikan yang tujuannya adalah mempersiapkan generasi penerus yang mengetahui dan mengamalkan segala ajaran agama Islam secara benar dan baik. Sebagai lembaga pendidikan, meunasah memang mengadakan pengajian rutin pada malan hari, maupun siangnya merupakan lembaga pendidikan yang paling tua dalam masyarakat Aceh.[11]
Meunasah ini dikenal oleh masyarakat Aceh semenjak masuknya Islam ke Aceh. Hal ini sesuai dengan pendapat A. Hasjmi sebagai berikut:
Para ahli sejarah muslim Indonesia telah sepakat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia melalui Negeri Peureulak Kabupaten Aceh Timur. Kerajaan Peureulak diresmikan sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara pada tanggal 1 Muharram 225 H. sekitar tahun 854 M, dengan sultan Said Abdul Aziz Syah. Di negeri inilah pertama kali diresmikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama Dayah Cot Kala yang dipimpim ulama besar Teuku Chik Muhammad Amin.[12]

Meunasah-meunasah yang ada di Aceh merupakan lembaga pendidikan Islam yang dahulunya telah banyak menciptakan orang-orang yang mampu memhami ilmu agama secara mendalam, khususnya tentang aqidah, ibadah, dan akhlak. Meunasah juga telah banyak melahirkan juru dakwah, pendidik, dan pemimpin yang berwawasan luas, sehingga mampu memecahkan berbagai persoalan umat serta mampu berhadapan dengan cobaan-cobaan dan rintangan dalam usaha menyebarluaskan agama Islam ke seluruh penjuru tanah air.[13]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa, sejarah dan perkembangan meunasah di Aceh diawali oleh perkembangan agama Islam di bumi Nusantara dan merupakan suatu langkah yang ditempuh untuk menarik umat dalam menyebarluaskan agama Islam, yaitu melalui pembukaan dan pembinaan di meunasah-meunasah dengan cara  guru atau teungku di meunasah mengumpulkan mayarakat untuk mengkaji ilmu-ilmu agama Islam.
Memperhatikan perkembangan meunasah pada masa dahulu, maka nampak jelas peranannya dalam usaha pembinaan pendidikan terhadap masyarakat, terutama dalam membina generasi muda. Dalam hal ini meunasah telah banyak menampakkan hasil-hasil positif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peminat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama di meunasah.
Dalam perkembangan meunasah masa sekarang ini dapat dilihat bahwa meunasah tidak lagi berfungsi seperti pada zaman dahulu, karena masyarakat telah banyak pergi ke pesantren-pesantren atau dayah-dayah yang telah maju untuk mengkaji ilmu pengetahuan agama. Ditambha lagi dengan didirikannya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bernaung di bawah Departemen pendidikan Agama. Seperti sekolah MIN, MTsN, MAN, dan  telah ada perguruan-perguruan hampir di setiap kabupaten yang ada di Aceh. Hal ini membawa factor rendahya minat masyarakat untuk mengkaji ilmu-ilmu agama di Meunasah-meunasah yang masih ada di setiap Gampong di Aceh. [14]
Dengan demikian, sebagaimana dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat Aceh sekarang, di mana meunasah tidak lagi digunakan sebagai tepada waktu adanya musyawarah-musyawarah. Akan tetapi di daerah-daerah perdalaman Meunasah masih juga digunakan sebagai tempat pembinaan keagaamaan bagi orang tua, anak muda, dan anak-anak remaja. Disini mereka masih aktif untuk mempelajari agama. Seperti balajar Alquran, tauhid, fiqih dan  tasawuf. Hal ini membuktikan bahwa sampai saat ini meunasah masih dijadikan sebagai tempat lembaga pendidikan oleh masyarakat Aceh.
Dayah adalah suatu lembaga pendidikan yang terdapat di Aceh, yang hampir sama dengan pesantren di Jawa, baik dari aspek fungsi maupun tujuan. Kendati ada beberapa perbedaan penting, seperti yang terlihat di pesantren yang ada di Jawa Timur, yaitu pesantren merupakan suatu tempat yang dipersiapkan untuk memberikan pendidikan agama mulai dari tingkat dasar sampai ke tingkat yang lebih tinggi.[15]
Sedangkan di Aceh, dayah adalah lembaga pendidikan lanjutan bagi anak-anak yang sudah menyelesaikan pendidikan dasar di Meunasah atau rangkang atau di rumah-rumah Teungku Gampong.[16] Di masa Kerajaan Aceh Darussalam, terdapat beberapa lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, di antaranya: Pertama, Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, cendekiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua, Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran. Ketiga,  Balai Jamaah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu pendidikan[17].     



[1]Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh, (Banda Aceh: PENA, 2008), hal. 41.

[2]Elias A. Elias dan Edward E. Elias, Kamus Saku Arab Inggris Indonesia ,(Jakarta: al-Ma’arif, 1983), hal. 439.
[3]Tgk. Mohd. Basyah Haspy, Appresiasi Terhadap Tradisi Dayah: Suatu Tinjauan Terhadap Tata Krama dan Kehidupan Dayah, (Banda Aceh: Panitia Seminar Apresiasi Pesantren di Aceh Persatuan Dayah Inshafuddin, 1987), hal. 7. 

[4]A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Cet. III,  (Medan: Al-Ma’arif, 1993), hal. 147.
[5]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993), hal. 172.

[6]Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Bandar Publising, 2009), hal. 218.
[7] Baruzzaman Ismail, Mesjid dan Adat Meunasah bagi Sumber Energi Budaya Aceh, (Aceh: Majelis Pendidikan Daerah NAD. 2002), hal. 1.
[8] Anthony Reid, Asal mula konflik Aceh (Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra Hingga akhir kerajaan Aceh Abad ke-19), (Jakarta: Yayasan Obat Indonesia, 2005), hal 313.

[9]Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Gua Hira’, 1995), hal. 61.

[10]Sulaiman Tripa, Meunasah Ruang Serba Guna Masyarakat Aceh, http://www.acehinstitute. Diakses 20 Oktober, 2010.

[11] Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Perkembangan …, hal. 62.

[12]A. Hasjmi, Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah, (Banda Aceh: Yayasan Pembina, 1977), hal. 11.

[13]A. Hasjmi, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1993), hal. 226.

[14] Ibid.,hal. 228.
 
[15]Abdurrahman Saleh dkk, Penyelenggara Pendidikan Formal diPondok Pesantren,  (Jakarta: Ditjen Bimbingan Islam Departemen Agama R. I, 1985), hal. 11.
[16]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 192.

[17] Hasbullah,  Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999), hal. 32.