Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Zuhud Dan Perkembangannya Dalam Islam


 BAB II
ZUHUD DAN PERKEMBANGANNYA DALAM ISLAM


A.    Pengertian dan Hakikat Zuhud
  1. Pengertian Zuhud
Dalam pengertian zuhud ini ternyata para ahli tasawuf berbeda pendapat dan pemahamannya, oleh karena itu hanya menukilkannya yang ada relevansinya saja.
Ar-Qusyairy mengartikan zuhud adalah “Sesuatu sikap menerima dan memadakan saja terhadap rezeki yang ia terima, apabila kebetulan makmur maka ia tidak merasa bangga atau gembira, dan apabila miskin ia pun tidak bersedih karena.[1]
Syeh atahillah Al-Askan mengartikan zuhud atau (zahid) ialah: merasa tidak senang hatinya bila dipuji orang, karena menyadari pujian itu datangnya dari makhluk.[2]
Sedangkan Dr. M. Chotib Qazwaini memberikan pengertian zuhud adalah sebagai berikut:
a.      Meninggalkan sesuatu karena menginginkan yang lebih baik dan padanya
b.     Meninggalakan keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan
c.      Menghilangkan segala sesuatu yang bersifat keakhiratan.[3]
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas, terdapat keanekaragaman pengertian, namun mempunyai kesamaan, yaitu penekanannya agar manusia tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai sarana dan dimanfaatkan secara terbatas dan terkendali, jangan sampai kenikmatan duniawi menyebabkan susutnya perhatian kepada tujuan yang sebenarnya yaitu kebahgiaan yang abadi di hadirat ilahi.
Secara umum zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap mental melepaskan diri dan rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dan mengurangi kebutuhan terhadap materi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Hal ini identik dengan apa yang diungkapkan oleh Dr. Hamzah Ya’cop sebagai berikut:
“Karena itu, maka zuhud bila diartikan sesuai dengan semangat syari’at Islam di formulasikan sebagai berikut:
Menghindari perbudakan harta benda, tidak rakus terhadap kemewahan dunia, menerima nikmat Allah dengan qana’ah, cenderungan dan mengutamakan ganjaran pahala akhirat, memilih hidup sederhana karena percaya bahwa khazanah rezeki yang tidak terkirakan ada ditangan Allah, rajin bekerja dan dermawan, sabar, menjauhi syubhat dan tidak meminta-minta”[4]

Jadi, berdasarkan keterangan di atas zuhud dapat diartikan sebagai sikap mental menjaga dan memelihara diri dan keterikatan kepada bendawi dan mengurangi kebutuhan-kebutuhan materi, menerimanya dengan sikap qana’ah serta menggunakannya sekedar kebutuhan untuk hidup dan untuk dapat melaksanakan ibadah pada Allah SWT dan mencari keridhaan-Nya.

2. Hakikat zuhud
Untuk membicarakan hakikat zuhud, atau bagaimana zuhud yang sebenarnya merupakan suatu hal yang sangat sukar, karena itu para ahli sufi berbeda interprestasi terhasap persoalan-persoalan ini.
Imam Al-Ghazali memberikan interprestasi sebagai berikut:
“Hakikat zuhud adalah suatu hal (kondisi) yang bersumber dari ilmu dan amal, sebagai suatu ibarat dan apriori terhadap keduniaan, memalingkan (jiwa) kepada keakhiratan, atau beraling dan selain Allah dengan berkonsentrasi diri sepenuhnya kepada-Nya. Sendangkan oranga yang hidup semata-mata untuk Allah SWT, dinamakan dengan “Zahid” (benar-benar dia zuhu). Sedangkan orang yang hidup semata-mata untuk Allah Swt, dinamakan dengan “Zahid” (benar-benar dia zuhud).[5]

Menurut Salim Bahreisy. Hakikat zuhud adalah suatu perasaan atau sikap dingin terhadap dunia, karena mengingat Allah dan mengharapkan pahala yang telah disediakan-Nya. Pendahuluan zuhud adalah tidak mencari yang tidak ada (padanya), dan mendermakan apa yang ada pada dirinya, meninggalkan keinginan-keinginan. Maka apabila dikerjakan hal ini pasti akan sampai kepada zuhud yang hakiki.[6]
Mengenai hal ini Rasulullah Saw telah memberikan penjelasan dalam sebuah hadits yang berbunyi sebagai beriku:
عن ابى ذر الغفا دى قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليس الزها دبتحر يم ا لحلا ل ولافى أضا عة ا لمال ولكن لزة فى الد نيا أن لاتكون بما فى يد يك اوثق منك بما قي يد االله. وان تكون فى ثوا االمصيبة اذااصبت بها ار غب منك فيها لوا بها بقيت لك. (رواه إ بن ما جّه)
Artinya:
“Dari Abi Dzar Al-Ghifary berkata: bersabda Rasulullah Saw. Zuhud bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan bukan pula membuang harta, akan tetapi (yang dimaksudkan dengan) zuhud di dunia ialah bahwa tidak adalah apa yang ada pada dirimu lebih kamu percaya (sukai) dari pada yang ada di sisi Allah, dan engkau lebih menyukai pahala musibah bila mana musibah itu tetap menimpamu. (H.R. Ibnu Majjah).[7]

Berdasarkan keterangan dan penjelasan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa hakikat zuhud yang sebenarnya adalah suatu sikap hidup yang hanya mementingkan keridhaan Allah dan kehidupan akhirat yang abadi. Serta tidak tertipu dengan dunia materi bahkan semuanya digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai kebahagiaan yang hakiki.

B.    Dasar Zuhud
Zuhud adalah bagian dan ajaran Islam, maka jelaslah dasarnya adalah Al-Qur’an, Sunnah serta pola hidup Rasulullah Saw dan sikap hidup para sahabat dan tabi’in atau slaf al-salih.
1. Al-Qur’an
            Kalau diperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an, memang lafadz khusus tentang zuhud itu sangat jarang sekali, seperti yang diungkapkan oleh Dr. Kamil Mustafa Ibnu majah bahwa lafadz zuhud tidak disebutkan dalam Al-Qur’an kecuali hanya satu kali saja, yaitu dalam surat Yusuf ayat 20[8], yang bunyinya:
وشروه بثمن نجس دراهم معدة وكانوا فيه من الزاهدين
(يوسف: ۲۰)
Artinya: “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf. (Q.S. Yusuf, 20).

Akan tetapi ayat di atas hanya merupakan keterangan perumpamaan zuhud yaitu mereka (para penemu Yusuf dijalan) menjual Yusuf dengan harga yang murah karena mereka “zuhud” (kurang suka kepadanya).[9]
                        Dalam ayat Al-Qur’an yang banyak terdapat adalah ayat yang berhubungan dengan pengertian zuhud, sikap dan pelaksanaan zuhud. Diantaranya seperti dikemukakan oleh As-Saqaty, yaitu ayat yang berhubungan dengan zuhud itu adalah surat Al-Hadid ayat 23.[10]
                        Ayat yang dimaksud berbunyi:
لكي لا تأسوا على ما فا تكم ولاتفر حوا بما ءاتاكم والله لا يحب كل مختال (الحد يد:٢٣)
Artinya: (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri (Q.S. Al-Hadid, 23).

                           Selanjutnya ia memberikan interprestasi atau penafsiran ayat di atas dengan katanya:
ان لز هد لا يقر ح بمو جود ولا يتا سف على مفقود.
               Artinya: Sesungguhnya orang yang zuhud itu ia tidak merasa gembira dengan mendapatkan sesuatu, dan tidak merasa duka cita pula atas (karena) hilang sesuatu itu.[11]
            Ayat yang lain yang dijadikan sebagai dasar dan sifat zuhud itu juga terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 46, yang berbunyi sebagai berikut:
المال والبنون زينة الحياة الدنيا والباقيات الصا لحات خير عند ربك ثوابا وخير أملا (الكهف:٤٦)
Arinya:  Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya disisi Tuhanmu serta lebih baik unhtuk menjadi harapan. (Q. S. Al-Kahfi: 46).

Begitu juga terhadap surat Al-Hadid ayat 20, Allah berfirman sebagai berikut:

اعلموا أنما الحياة الد نيا لعب ولهو وزينة وزينة وتفاخر بينكم وتكاثر في الأ موال والأولاد كمثل غيث أعجب الكفار نباته ثم يهيج فتراه مصفرا ثم يكون حطاما وفي الاخرة عذاب شديد ومغفرة من الله ورضان وما الحيا الدن نيا ألا متاع الغرور (الحديد :٢٠)
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah sutu permaianan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamnya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaanNya. Dan kemudian dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (Q. S. Al-Hadid; 20).

            Ayat-ayat yang telah penulis nukilkan di atas menunjukkan bahwa Allah Swt memperingatkan hamba-hamba-Nya agar jangan terlalu membanggakan diri dengan sebab adanya karunia Tuhan yang diperoleh, dan juga jagnan berduka cita bila ia berada dalam kemiskinan dan ketidak mampuan dan ia mengingatkan pula bahwa akhirat itu adalah hari yang kekal dan lebih baik dicapai dan dijadikan tumpuan harapan, sedang dunia sebagai tempat manusia untuk hidup, harta kekayaan yang ada di dalamnya, anak-anak yang banyak hanyalah temporer yang bersifat sementara belaka. Demikian juga dunia ini merupakan permainan, tipu daya belaka, tempat bermegah-megah dan berbangga-bangga dalam limit waktu yang sangat relatif bagaikan umur tanaman yang tumbuh menghijau, tetapi akhirnya menguning dan layu serta hancur berantakan.

2. Hadist-hadits Rasulullah
            Pola hidup dan kehidupan Rasulullah SAW juga dijadikan landasan atau dasar dan kezuhudan para kaum sufi, seperti: tawakal, sabar, riadhah, zikir dan zuhud, dijadikan sebagai daftar kegiatan dalam tasawuf Islam. Kezuhudan yang sangat menonjol dan sikap qana’ah yang cukup tinggi, meskipun kepadanya pernah ditawarkan kedudukan yang layak, pangkat yang tinggi, harta kekayaan yang banyak bahkan wanita yang cantik, namun beliau tidak menyukainya. Di samping itu juga pernah ditawarkan Allah Swt kepada beliau untuk dijadikan gunung uhud sebagai emas, beliau mengutamakan Allah semata-mata, sehingga beliau mendapat julukan kekasih Allah dan dicintai oleh orang banyak. Oleh karena itu Rasulullah berpesan agar umatnya selalu bersikap zuhud, sebagaimana diungkapkan dalam hadits-haditsnya, antara lain sebagai berikut:
عن سهل بن سعد السا عد ى قا ت ا تى النبي صلى الله عليه وسلم ر جل فقا ل يا ر سو ل ا لله دلنى على عمل ا دانا عملته ا حبني ا لله و ا حنى النا س فقا ل ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلم از هد فى الد يا يحببك ا لله هد فيا فى ا يد النا س يحبك الباس (روا ه: إ بن ما جّه)
Artinya: Dan Shal Bin Sa’adalah As-Sa’idy, dia berkata: Rasulullah tunjukanlah kepadaku suatu amal yang apabila melaksanakannya, aku akan dicintai oleh Allah dan manusia. Rasulullah bersabda: bersikap zuhudlah anda di dunia ini niscaya Allah akan mencintaimu, dan berlaku zuhudlah kamu terhadap apa  yang ada pada tangan manusia niscaya mereka mencintaimu. (H.R. Ibnu Majah).[12]

Selanjutnya dalam hadist lain disebutkan:
عن عبد الله بن يز يد قال: سمعت أبى يقول:سمعت عمر بن يحظب النا س عبصر يقول ماابعد هد يكمر من هدى نبيكم صلى الله عليه وسلم أم هو فكان أزهد الناس فىالد نيا واما انتم فر عب الناس فيها (رواه:  احمد بن حنبل)
Artinya: Dan Abdulullah bin Yazid, telah berkata, aku dengan ayahku berkata: telah aku dengar Umar bin Ash, dia berkutbah didepan masyarakat Mesir, beliau bertanya apa yang mendekatkan kamu dengan petunjuk Nabi Saw dari suatu perbuatan, yang apabila dikerjakan akan dicintai oleh Allah dan dicintai oleh manusia maka beliau menjawab berzuhudlah apa yang ada ditangan manusia, mereka akan mencintaimu. (H.R. Ahmad bin Hambali).[13]

Dan dalam hadits yang lain Rasulullah Saw bersabda, sebagai berikut:
عن أبى خلاد... قال:قال رسولالله صلىالله عليه وسلم اذا رايت الر جل قداعطى زهد افى الدنيا وقلة منظق فا قتر بو منه فا يلقى حكمة (رواه: ابن ما جّه)
Artinya:

Dari Khallad... ia berkata: telah bersabda Rasulullah Saw, apabila kamu melihat seorang laki-laki yang dianugerahi hidup zuhud di dunia ini dan sedikit sekali ia bicara, maka dekatilah ia, karena sesungguhnya telah dikarunia kepadanya hikmah. (H.R. Ibnu Majah).[14]

                        Berdasarkan hadits di atas, bahwa sikap kezuhudan, sederhana dalam kehidupan, mengurani keinginan dan kebutuhan duniawim, mementingkan kehidupan ukhrawi dan cinta ilahi yang telah dipraktekkan kaum sufi adalah kebahagiaan dan uswatun hasanah yang serting dilakukan Rasulullah Saw dan dianjurkan kepada umatnya.

C.    Zuhud dalam Islam
1. Pada Masa Rasulullah Saw
               Sebagian telah disebutkan bahwa sikap hidup kezuhudan sebenarnya bermula pada sikap dan pola hidup kerohanian Rasulullah Saw yang selalu tercermin dalam seluruh hidup dan kehidupannya. Sikap zuhud Rasulullah Saw menjadi panutan bagi para sahabat, dijadikan suri tauladan bagi mereka, sehingga para sahabat besarpun mementingkan sikap zuhud ini dan sikap zuhud para sahabat menjadi ikutan para tabi’in, demikian seterusnya.
            Kezuhudan Rasulullah Saw tercermin dalam sebuah ungkapan di bawah ini:
“Belum penrah perut nabi Saw merasa kekenyangan sama sekali, dan tidak pernah mengeluh pada orang, dan ia lebih suka miskin dari pada kaya, bahkan adakalanya ia pernah bermalam dalam keadaan lapar, tetapi demikian itu tidak menghalanginya untuk berpuasa pada siang harinya. Padahal andai kata ia meminta pada tuhan segala kekayaan bumi dan buahnya kesebangan hidupnya, pasti ia akan diberi bahkan aku pernah menangis (kata Aisyah) kasihan melihatnya, dan mengusap perutnya dengan tanganku karena lapar aku berkata: jiwaku akan kukorbankan untukmu, andai kata anda mengumpulkan dunia sekedar untuk makanmu, maka beliau menjawab: hai Aisyah untuk apa bagiku dunia ini sampai mereka mengharap kepada Tuhan, dan Allah memuliakan tempat mereka dan memperbesar pahala mereka, karena itu saya malu bila aku bermewah-mewahan dalam hidup, jangan sampai tidak dapat mengejar mereka, dan tidak ada sesuatu yang sangat kucintai dari pada bertemu dengan saudara-saudaraku dan kawan-kawanku.[15]

2. Pada masa Sahabat
   Kezuhudan yang dilakukan Nabi diikuti pula oleh para sahabat Khulafaurrasyidin, mereka hidup penuh dengan kesederhanaan sesuai dengan contoh yang ditunjukkan oleh Rasulullah sendiri semasa hidupnya. Sehingga walaupun mereka seorang khalifah dan amirul mukminin yang tampuk kekuasaan dunia Islam berada di tangannya, namun mereka tidak tergiur oleh kesenangan dan kemewahan duniawi, tidak ingin bersenang-senang, jtidak ingin menumpuk-numpuk harta kekayaan, akan tetapi mereka tetap menghendaki hidup zuhud. Hl ini sebagaimana disinyalir oleh Prof. Dr. Hamka, sebagai berikut:
“Sahabat-sahabat Nabi Saw yang pertama, yang mencontohi Nabi Muhammad Saw telah dapat menggabungkan kehidupan lahir (duniawi) dengan hidup kerohanian di dalam kehidupan sehari-hari. Sekalipun mereka menjadi khalifah yang utama sebagaimana Abu Bakar, Umar. Usman bin Affan, dan Ali. Namun segala norma kehidupan itu telah mereka pandangi sebagai segi kehidupan rohani. Dikala Umar Bin Khattab memerintah meskipun kunci kekuasaan seratus persen terpegang di tangannya, namun hidupnya sehari-hari tidaklah berubah dan kehidupan orang Islam yang lainnya. Nabi sendirilah yang meninggalkan contoh demikian kepada mereka.[16]

Jadi oleh karena itu para khalifah sendiri bersikap zuhud, maka kebanyakan kaum muslimin pada saatitu cenderung mencontoh kehidupan para pemimpin mereka.

3. Pada masa tabi’tabi’in
Pada masa ini, kondisi kehidupan kezuhudan mengalami perubahan, sikap hidup kezuhudan menjadi goyah di kalangan sebagai kaum muslimin, terutama di saat Mu’awiyah menjadi gubernur di Syiria (Syam), dimana pada saat itu telah terjadi gejolak-gejolak menentang kebijaksanaan Mu’awiyah sendiri yang telah merubah pola hidupnya ke arah kepuasan dan kemewahan duniawi dan menyimpang dan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW. Ia berdalih bahwa hal itu terpaksa dilakukannya adalah untuk menjaga martabatnya sebagai yang berada di lingkungan bangsa-bangsa yang diliputi oleh kemegahan.[17]
Melihat keadaan yang demikian, maka banyaklah dan kalangan sahabat-sahabat terkemuka menjauhkan diri dari pergolakan dan perubahan yang tidak mereka setujui. Diantara sahabat-sahabat itu ialah Abdullah bin Umar, putra dari Umar Ibnu Khatab yang amat saleh, dan yang paling masyur di waktu itu ialah Abu Dzar Al-Ghifari.[18]
Akibat dan sikap dan kebiasaan yang ditempuh Mu’awiyah. Yaitu hidup mewah, maka banyak sorotan yang datang dari sahabat yang dilontarkan kepada Mu’awiyah. Diantara sahabat yang paling gencar melancarkan kritikan-kritikan itu secara terang adalah Abu Dzar Al-Ghifari, seorang sahabat yang mempunyai kualitas iman yang cukup tinggi sebagai mana yang dimiliki oleh As-Sabiqun Al-Awwalin (para sahabat utama) yang tidak dapat dirasakan oleh orang Islam yang datang sesudahnya. Oleh karena itu apa yang dilakukan Mu’awiyah tentang pola hidup mewah itu sangat dibencinya. Dengan berani dan terus terang dia menentang pengumpulan harta untuk kepentingan sendiri. Harta benda adalah kepunyaan atau pinjaman Allah dan harus dimanfatkan di jalan Allah.[19]
Abu Dzar Al-Ghifari pun adalah seorang pemimin rohani yang besar sekali, ketika Abu Dzar melihat bahwa Mu’awiyah bin Abi Sofyan di negeri Syam menjadi gubernur telah ditarik kepada kemewahan didup dan mengumpulkan harta rampasan, sehingga masyarakat telah lupa akan tujuan Islam yang sejati, dan tenggelam dalam kekayaan harta benda, yang menyebabkan tali beragama maka terang-terangan beliau menyanggahnya.[20]
Dalam memegang prinsip Mu’awiyah, Abu Dzar mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an. Diantara firman Allah yang berbunyi:
ياأيها الذين ءامنواأن كثيرا من الأحبار والرهبان ليأ كلون أموال الناس بالباطل ويصدون عن سبيل الله والذين يكترون الذهب والفضة ولا ينفقونها في سبيل الله فبشر هم بعذاب اليم         (التو بة: ٣٤)
Artinya: Hai orang-orang yagn beriman, sesungguhnya sebahagian besar dan orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dan jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (Q.S. At-Taubah: 34).
Akibatnya dari desakan dan protes dan para sahabat Nabi yang utama, terutama oleh Abu Dzar sendiri terhadap gubernur Mu’awiyah maka Abu Dzar dianggap sebagai salah seorang yang menentang kekuasaan dan turut mengganggu ketentraman umum. Ia dilaporkan kepada Khalifah Usman bin Affan dan Abu Dzar ditangkap dan diasingkan ke sebuah desa bernama “Rizbah”. Dengan peristiwa itu, maka mulailah tumbuh golongan zahid yang mengutamakan hidup kebatinan (kerohanian) dan tidak ingin tertarik kepada kemegahan dunia, pangkat dan harta benda.[21]
Selanjutnya hidup kerohanian dan kezuhudan itu bukan saja berkembang ada zaman Nabi Muhammad Saw, zaman sahabat dan terus berlanjut di masa tabi’in dan tabi’-tabi’in, bahkan terus berkembang dalam masa-masa selanjutnya.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapatlah ditegaskan bahwa sejarah lahirnya zuhud adalah bermula dan sikap hidup kezuhudan Rasulullah Saw yang diikuti oleh para sahabat khulafaurrasyiddin. Kezuhudan mereka itu sifatnya individual. Namun cukup memberi corak dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi timbulnya golongan para zahid pertama dilatar belakangi oleh sidap hidup Mu’awiyah yang mementingkan kemewahan serta pengikut-pengikutnya, sehingga para sahabat  utama banyak yang protes dan tidak setuju dengan perilaku Mu’awiyah dan kawan-kawannya, sebab sudah menyimpang dari sunnah Nabi Muhammad Saw, maka para sahabat yang saleh memisahkan diri dan pola kehidupan semacam ini, serta memantapkan suatu prinsip kezuhudannya. Dan kezuhudan ini terus dilanjutkanoleh para ulama tabi’in dan para sufiyin-sufiyin yang datang berikutnya.
           
D.    Tokoh-tokoh Zuhud
Sebagaimana telah disebutkan bahwa sikap zuhud telah dimulai oleh Rasulullah Saw, para sahabat, para tabi’in, dilanjutkan oleh ulama-ulama sufi lainnya, dengan ini memberi arti bahwa para zahid (tokoh-tokoh zuhud) pasti terdapat di setiap periode tersebut.
Adapun para tokoh dan pelopor kehidupan zuhud dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.     Nabi Muhammad Saw
Sebelum Nabi diangkat sebagai rasul, lebih dahulu selama bertahun-tahun melatih diri dalam hidup kerohanian. Cara hidup beliau adalah sangat sederhana baik segi makanan, minuman, maupun pakaiannya. Sebaliknya dalam melakukan shalat, bahkan bengkak kakinya karena begitu lama dalam shalatnya. Disamping itu Nabi Muhammad Saw selalu bersyukur dan sabar, sebagaimana dikemukakan oleh Mustafa Zahri:
“Pada suatu hari datanglah Jibril kepada Muhammad Saw, menyampaikan salam Tuhan dan bertanya manakah engkau yang suka ya Muhammad, menjadi seorang Nabi yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman atau menjadi Nabi yang miskin seperti Nabi Ayyub. Lalu beliau menjawab, aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari. Jika kenyang aku bersyukur kepada Tuhan, dan jika lapar aku sabar atas cobaan Tuhan.[22]

Kehidupan yang demikian beliau anjurkan pula kepada umatnya. Rasulullah bersabda “zuhudlah terhadap dunia supaya Tuhan mencintaimu, dan zuhudlah pada yang ada di tangan manusia supaya manusiapun cinta akan engkau.[23]
Memang amat banyak bukti-bukti kezuhudan beliau sebagaimana suatu hari Nabi Muhammad Saw tergeletak keletihan di atas sepotong tikar daun kurma. Tatkala Ibnu Mas’ud melihat demikian mencucurkan air matanya karena seorang yang telah memiliki hampir seluruh jazirah Arab lagi dimuliakan Allah, demikian penderitaannya dalam kehidupannya. Ibnu Mas’ud mengatakan kepada beliau; apakah tidak perlu mencarikan bantal untuk tempat meletakkan kepada Nabi yang mulia itu, maka Nabi melihat kepada Ibnu Mas’ud seraya berkata:
“Tidak ada hajatku untuk itu, aku ini laksana seorang musafir di tengah-tengah padang pasir yagn sangat luas dalam panas terik matahari yang bukan kepalang, aku menemui sebuah pohon yang rindang oleh karena aku letoh, aku rebahkan diriku untuk istirahat dengan niat kemudian aku berjalan lagi kembali untuk menyampaikan tujuanku menemui Tuhan yang maha kuasa”.[24]

2.     Khulafaurrasyidin
Sikap mental kezuhudan Nabi Muhammad Saw sangat berpengaruh kedalam jiwa parakhulafaurrasyidin, seperti: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta sahabat-sahabat lainnya. Mereka mengutamakan hidup zuhud meskipun kekuasaan dan perbendaharaan Negara di tangannya.
Adapun sikap kezuhudan mereka dapat diuraikan dalam pembahasan di bawah ini:
Abu Bakar Ash Siddiq, beliau adalah khalifah yang pertama dan utama beliau pernah hidup dengan sehelai kain saja, dan pernah berkata: “Seorang hamba telah dihinggapi ujub, karena suatu perhiasan dunia ini, maka Tuhan akan murka kepadanya sampai perhiasan itu diceraikannya.[25] Kezuhudan itu dibarengi dengan sikap kedermawanannya. Misalnya pada suatu peperangan yaitu perang Tabuk, Rasulullah Saw meminta kepada sekalian kaum muslimin agar mengorbankan hartanya pada sabilillah. Maka datanglah Abu Bakar membawa sekalian hartanya dan diletakkannya diantara dua tangan Rasulullah seraya rasul berkata kepadanya: apabila yang engkau tinggalkan bagi anak-anakmu hai Abu Bakar. Abu Bakar menjawab sambil tertawa; saya tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.[26]
Umar bin Khatab, adalah seorang khalifah yang adil dan bijaksana, namun sikap zuhudnya sangat luar biasa. Sewaktu tentara Islam memperoleh kemenangan dan peperangan, maka banyak harta rampasan perang yagn diperoleh. Setiap orang mendapat bagian sesuai dengan status dan fungsinya. Akan tetapi beliau sendiri tidak menentukan bagian untuknya. Hal itu menjadi buah pikiran orang ramai karena beliau sendiri hidupnya sangat sederhana sekali. Umar mengetahui apa yang sedang dipikirkan orang terhadap dirinya, lalu beliau berbicara di depan mereka, ia berkata:
“Saya minta dua pakaian saja, satu untuk musim dingin dan satu lagi untuk musim panas, dan biaya untuk mengerjakan haji seberapa yang dapat dibawa oleh belakang saya sendiri. Biaya makan saya setelah itu sama dengan biaya makan seorang Quraisyi, tidak yang tinggi dan tidak yang paling rendah.[27]

Begitulah kehidupan Umar bin Khatab, disamping sebagai pelaksana dalam pemerintahan, juga sebagai pemimpin hidup kerohanian yang sangat bersahaja dan sederhana yang selalu mewarnai hidup dan kehidupan yang dilaluinya.
Demikianlah contoh sifat kezuhudan yang ditampakkan oleh dua orang sahabat Nabi, selain dua orang tersebut masih ada para sahabat lainnya yang mempunyai sifat zuhud seperti itu. Dalam pembahasan di atas hanya dua orang Khulafaurrasyidin yang da[at dibahas.
Selain para sahabat, tokoh para sufi pun ada yang memiliki sifat kezuhudan diantaranya adalah:
a.      Hasan Al-Basri (21-110 H)
Hasan Al-Basri adalah seorang zahid yang termasyur di kalangan tabi’in. Prinsip ajarannya yang berpautan dengan kerohaniannya senantiasa diukur dengan sunnah Nabi, kehidupan kerohaniannya mengutamakan zuhud. Udzun, Al-Baqa, dan Al-Khaul’. Diantara dokritnya ialah: “Dunia ialah tempat beramal barang siapa yang bertemu dengan duania dalam rasa zuhud. Maka bahagialah dia dan beroleh faedah dalam persahabatan itu. Tetapi barang siapa yang tinggal dalam dunia. Lalu htinya rindu dan perasaan tersangkut kepadanya, akhirnya dia akan sengsara. Dia akan terbawa kepada suatu masa yang tidak dapat dideritanya”.[28]
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa Hasan Al-Basri adalah pendiri mazhab Bashrah yang beraliran zuhud yang berdiri atau khauf dan tafkir yang dapat menghubungkan kepada iman, huznan, dan Al-Baqa yang kedua-duanya itu dapat membawa manusia kepada sifat faqar dan ridha kepada Allah beserta syuga-Nya.
b.     Rabi’ah Adawiyah (96-186 H)
Adapun Rabi’ah Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang dapat menghias lembaran sejarah sufi dalam abad ke-2 H. Kemasyurannya ialah dalam kehidupan kerohanian, dimana tingkat zuhud yang dikembangkan Hasan Al-Basri yang bersifat Khauf dan raja’ ditingkatkannya ketingkat yang bersifat cinta. Cinta yang suci murni lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan, karena yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa.
Sifat zuhud berdasarkan cinta menyelinap dalam lubuk hati Rabi’ah Adawiyah, menyebabkan dia mengorbankan hidupnya untuk mencintai (Allah). Selama hidupnya dia tidak pernah kawin. Hidupnya tenggelam dalam zikir, tilawah dan witir. Kehidupannya merupakan gambaran dan ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas-jelas melukiskan hubungan cinta antara Tuhan dengan hamba-hamba-Nya.[29]
Sebagaimana ungkapan Rabi’ah al-Adawiyah:
ر بّى جعاتك ف الفو ائد محد لى وابجث جسمى من ارادجلو س فا لجسم منى للجليس مو نس و حبيب قلبى فى الفو ادانسى
Artinya: “Kujadikan engkau (ya Tuhan), teman bercakap-cakap dalam hatiku. Tubuh kasarku biar bercakap-cakap dengan yang duduk, jisimku biar bercengkrama dengan taulanku, isi hatiku hanyalah tetap engkau sendiri (ya Allah).”[30]

Jadi akibat begitu cintanya Rabi’ah kepada Tuhan, dan hanya Dialah yang dituju dan dibutuhkan, maka dia tidak membutuhkan selain-Nya, dan sangatlah zuhudnya terhadap kehidupan duniawi.
Demikianlah beberapa contoh tokoh sufi yang sangat menonjolkan dalam kezuhudannya yang penulis tampilkan dalam risalah ini. Namun tidak berarti bahwa penulis membatasi hanya beberapa orang ini saja sebagai tokoh-tokoh zuhud, akan tetapi tokoh dan pelopor sikap kezuhudan masih banyak sekali yang tidak mungkin diutarakan seluruhnya dalam kesempatan ini, sebab setiap ulama sufi adalah sekaligus sebagai tokoh zuhud dan mengutamakan sikap kezuhudan.





[1] Al-Qursyairy, Risalah Al-Qursyairiah, Mo. Ali Shabih, (Kairo: 1996), hal. 56.

[2] Athahillah Al-Askan dari Al-hakim, Terjemahan Adib M. Basri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hal. 70

[3] Muhammad Chatib Qazwani, Mengenal Allah, Sesuatu Study Mengenai Ajaran Syekh Abdussamad Al-falambani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hal. 87.

[4] Hamzah Ya’cob, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), hal. 242.
[5] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid IV, (Mesir: Mustafa Al-bail Halal,t.t), hal. 221.

[6] Salim Bahreisy, Petunjuk kejalan Lurus, (Surabaya: Darussaqaf, t.t.), hal. 276-277
[7] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majjah, Juz 11, (Beirut: Darul Fikri, t.t), hal. 1374

[8] Kamil Mustafa, Asy-Sya ‘bi, As-Silatu Bainat tasawuf Wa ‘t-Tasyai ‘yu, (Mesir: Darul Ma’arif, t.t.), hal. 293

[9] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin… hal. 206.

[10] Kamil Mstafa, Asy-sya ‘by… hal. 240

[11] Kamil Mustafa, Asy-sya’bi… hal. 264.

[12]Ibnu Majah, Sunan..., hal. 13

[13] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Jilid IV, (Maktabahu Islamy, t.t), hal. 198.
[14] Ibid, hal. 200
[15] Salim Bahreisy, Petunjuk Ke..., hal. 274-275

[16] HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amirullah), Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 67

[17] Ibid, hal. 69

[18] Ibdi, hal. 70

[19] Ibid, hal. 70

[20] Ibid, hal. 36
[21] Hamka, Tasawuf Perkembangan..., hal. 71
[22] Mustafa Zahri, Kunci Memahami ilmu Tasawuf (Jakarta: 1985), hal. 30

[23] Ibid, hal. 31

[24] Ibid, hal. 32
[25] Muhammad Siregar, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek PPTA, IAIN SU (Medan: 1982), hal. 48

[26] Ibid, hal. 49

[27] Ibid, hal. 50
[28] Ibid, hal. 57-58.

[29] Ibid, hal., 61.

[30] Ibid, hal., 61.