Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Beberapa Pengertian tentang Pendidik dalam Pendidikan Islam


BAB  II
KAJIAN TEORITIS TENTANG KOMPETENSI GURU  PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

A.    Beberapa Pengertian tentang Pendidik dalam Pendidikan Islam                   
Dalam konteks pendidikan Islam “pendidik” sering disebut dengan murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid. Kelima istilah tersebut mempunyai tempat tersendiri menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan dalam konteks Islam. Di samping itu, istilah pendidik kadang kala disebut melalui gelarnya, seperti istilah guru, ustadh, dan syaikh.[1] Berikut ini akan dijelaskan pengertian kelima istilah pendidik tersebut di atas, yakni:
Pertama, kata murabbi berasal dari kata dasar Rabb. Tuhan sebagai Rabb al-‘alamin dan Rab an-nas, yakni yang menciptakan, mengajar dan memelihara alam seisinya termasuk manusia. Manusia sebagai khalifah-Nya diberi tugas menumbuh kembangkan kreativitasnya agar mampu mengkreasi, mengatur dan memelihara alam seisinya. Dilihat dari pengertian ini, maka tugas murabbi adalah mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya.
Murabbi adalah seorang da’i yang membina mad’u dalam halaqah. Ia bertindak sebagai qiyadah (pemimpin), walid (orang tua), dan shohabah (sahabat) bagi mad’unya. Peran yang multi fungsi itu menyebabkan seorang murabbi perlu memiliki berbagai keterampilan, antara lain keterampilan memimpin, mengajar, membimbing, dan bergaul. Biasanya, keterampilan tersebut akan berkembang sesuai dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman seseorang sebagai murabbi.[2]
Peran murabbi berbeda dengan peran ustaz, muballigh atau penceramah pada tataran dakwah ‘ammah. Jika peran mubaligh titik tekannya pada penyampaian materi-materi Islam secara menarik dan meyentuh hati, maka murabbi memiliki peran yang lebih kompleks daripada muballigh. Murabbi perlu melakukan hubungan yang intensif dengan mad’unya. Ia perlu kenal “luar dalam” mad’unya melalui hubungan yang dekat dan akrab. Ia juga memiliki tanggung jawab untuk membantu permasalahan mad’unya sekaligus bertindak sebagai pembina  mental, spritual, dan (bahkan) jasmani mad’unya. Peran ini relatif tidak ada pada diri seorang muballigh. Karena itulah, mencetak murabbi sukses lebih sulit daripada mencetak muballigh sukses.
Dalam skala makro, keberadaan murabbi sangat penting bagi keberlangsungan perjuangan Islam. Dari tangan murabbi lahir kader-kader dakwah yang tangguh dan handal memperjuangkan Islam. Jika dari tangan muballigh lahir orang-orang yang “melek” terhadap pentingnya Islam dalam kehidupan, maka murabbi melanjutkan kondisi “melek” tersebut menjadi kondisi terlibat dan terikat dalam perjuangan Islam.
Urgensi murabbi dalam perjuangan Islam bukan hanya retorika belaka, tapi sudah dibuktikan dalam sejarah panjang umat Islam. Dimulai oleh Nabi Muhammad Saw. sendiri ketika beliau menjadi murabbi bagi para sahabatnya. Kemudian dilanjutkan dengan para ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (terbelakang) sampai akhirnya dipraktekkan oleh berbagai harakah (gerakan) Islam di seluruh belahan dunia hingga saat ini. Tongkat esatefet perjuangan Islam tersebut dilakukan oleh para murabbi yang sukses membina kader-kader dakwah yang tangguh. Pada intinya, umat Islam tidak mungkin mencapai cita-citanya jika dari tubuh umat Islam itu sendiri belum lahir sebanyak-banyaknya murabbi handal yang ikhlas mengajak umat untuk memperjuangkan Islam. Keutamaan murabbi mengingat begitu pentingnya peran murabbi dalam keberlangsungan eksistensi umat dan dakwah, sudah seharusnya kita memiliki keseriusan untuk mencetak murabbi-murabbi sukses.
Kedua, mu’allim berasal dari kata ‘Allama (mengajar). Dalam kamus besar mempunyai dua arti, pertama: ahli agama, guru agama, penunjuk jalan. Kedua, perwira kapal yang berijazah.[3] Mu’allim juga dapat berarti menangkap hakikat sesuatu. Dalam setiap ‘ilm terkandung dimensi teoritis dan dimensi amaliah. Ini mengandung makna bahwa seorang mu’allim dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat ilmu pengetahuan yang diajarkannya, serta menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, dan berusaha membangkitkan peserta didik untuk
mengamalkannya. Allah mengutus Rasul-Nya antara lain agar beliau mengajarkan (ta’lim) kandungan al-kitab dan al-hikmah, yakni kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal yang mendatangkan manfaat dan menampik mudharat. Ini mengandung makna bahwa seorang mu’allim dituntut untuk mampu mengajarkan kandungan ilmu pengetahuan dan al-hikmah atau kebijakan, dan kemahiran melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupannya yang bisa mendatangkan manfaat dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi mudharat.
Ketiga, al-mu’addib (isim fa’il), berasal dari akar kata ‘addaba. Kata adab diartikan sebagai al-‘adabu yang berarti pendidikan, yaitu mendidik manusia agar beradab. Dinamai ‘adaban, karena mendidik manusia kepada hal-hal yang terpuji dari hal-hal yang tercela. Sedang asal al-‘adab adalah ad-du’a yang memiliki arti panggilan atau ajakan. Lebih lanjut kata ‘ad-daba muradif (sinonim) dengan kata ‘al-lama yang berarti mendidik atau mengajar. Al-mu’addib, lebih tepat digunakan untuk menunjuk istilah pendidik adab atau akhlak, sebab hanya terbatas pada kegiatan penghalusan sikap agar berakhlak baik. Sasarannya adalah hati dan tingkah laku atau ranah afektif dan psikomotorik. Mu’addib arti harfiahnya orang yang beradab atau guru adab. Mu’addib berasal dari kata adab, yang berarti moral, etika dan adab atau kemajuan (kecerdasan kebudayaan) lahir dan batin.[4] Kata peradaban (Indonesia) juga berasal dari kata dasar adab, sehingga
mu’addib adalah orang yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.
Keempat, mudarris adalah julukan profesional untuk seorang mu’id atau asisten profesor yang bertugas membantu mahasiswa menjelaskan hal-hal sulit mengenai kuliah yang diberikan profesornya.[5]
Dilihat dari pengertian ini, maka tugas mudarris adalah berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Pengetahuan dan keterampilan seseorang akan cepat usang selaras dengan percepatan kemajuan IPTEK dan perkembangan zaman, sehingga pendidik dituntut untuk memiliki kepekatan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahlian secara berkelanjutan, agar tidak cepat usang.
Kelima, mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing dalam dunia thariqah, yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya yang terus bersambung sampai kepada guru mursyid Shahibuth Thariqah yang muasal dari Rasulullah Saw. untuk mentalqin zikir/wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid).[6] Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja merupakan seorang pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyyah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus dalam kemaksiatan. Ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wusul (terhubung) dengan Allah Swt. karena ia merupakan wasilah (perantara) antara murid dengan Allah Swt. demikian keyakinan yang terdapat di kalangan ahli thariqah.
 Oleh karena itu, jabatan ini tidak dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, sebagaimana yang di kutip oleh Abdul Mujib adalah seorang penganut thariqah Naqsyabandiyah yang bermadzhab Syafi’i dalam kitabnya Tanwirul Qulub Fi Muamalati ‘Allamil Ghuyub menyatakan, bahwa yang dinamakan Mursyid itu adalah orang yang sudah mencapai derajat Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna dalam syariat dan hakikat menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’[7]. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad Saw. yang bersumber dari Allah Swt. dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan pelajaran zikir kepada orang lain.
Seorang mursyid yang diakui keabsahannya itu sebenarnya tidak boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena didorong oleh nafsu belaka. Mursyid yang arif yang memiliki sifat-sifat dan kesungguhan seperti yang tersebut di atas itulah yang diperbolehkan memimpin suatu thariqah.
Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah Swt., juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah Swt. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar diatasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syaitan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) zikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar dan sampai kepada Rasulullah Saw.
Istilah pendidik kadang kala disebut juga dengan gelarnya, seperti: guru, ustadh, syaikh. Berikut ini akan dijelaskan pengertian ketiga istilah gelar tersebut, yakni: 
Pertama, guru dalam bahasa ‘arab disebut al-‘alim (jamaknya ‘ulama) atau al-mu’allim, yang berarti orang yang mengetahui. Dalam Al-qur’an, istilah yang menunjuk pada pengertian guru adalah al-‘alim atau al-mu’allim. Kata al-‘alim diungkap dalam bentuk jamak, yaitu al-‘aalimun. Kata ‘aalimun tersebut mengacu pada guru yang tidak hanya mampu menyampaikan pelajaran, tetapi juga mampu memahami hikmah yang ada di balik ilmu tersebut, sehingga mampu memanfaatkannya bagi kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia dan mendorongnya mengagungkan  kekuasaan Tuhan, sehingga ia tunduk dan patuh kepada-Nya.[8]
Seorang guru adalah seorang yang berilmu dan melaksanakan ilmunya sesuai dengan bidang amal yang menjadi garapannya. Dalam Islam, tingkatan keimanan seseorang berkorelasi positif dengan ilmu (amruddin dan amruddun-ya) yang dimilikinya.[9] Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, memberikan, menilai, mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan atas, pada jalur pendidikan formal.[10]
Istilah lain guru adalah pendidik, yaitu orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu berdiri sendiri dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial, dan individu yang sanggup berdiri sendiri.[11] Guru adalah pendidik berarti orang dewasa, melaksanakan tugasnya sebagai pendidik karena jabatannya. Guru mendidik anak bertujuan mendewasakan anak.[12] Dewasa yang dimaksud di sini adalah dewasa secara rohani dan jasmani (perkembangan dan pertumbuhan). Kedewasaan jasmani sangat tergantung pada ukuran tempat tinggalnya. Pada umumnya masalah seorang dewasa apabila telah akil baligh atau telah sampai umur, sekitar 17-20 tahun. Batas ini secara pengertian biologi adalah saat orang telah mencapai kematangan jasmaniah untuk membangun rumah tangga. Kedewasaan rohani, apabila seseorang itu mampu melakukan sesuatu pemecahan tentang masalah sosial.
Kedua, ustaz itu adalah sesuai dengan pengertian yang ada dalam kamus, orang yang paham tentang agama Islam.[13] Ustaz yang berarti guru agama, kalau seorang guru besar (profesor) disebut ustadh jami’, atau seorang yang mendapat gelar Doktor penghargaan disebut Ustadhiah Fakhriah (Doktor Honoris Causa).
Di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata ustadh. Orang-orang ‘Arab tidak mengkhususkan panggilan ustadh pada guru-guru agama saja, siapa saja yang bertugas sebagai guru, layak dipanggil ustadh. Berbeda dengan yang berkembang di masyarakat kita, panggilan ustadh diarahkan kepada guru-guru agama saja.[14]
Jadi, seorang yang memiliki pemahaman lebih atau mendalam terhadap agama Islam sudah bisa disebutkan dengan ustadh, namun yang perlu diingat juga, bahwa pemahaman term ustadh di Indonesia dan titel ustadh di Timur Tengah sedikit berbeda. Di wilayah Timur Tengah seseorang disebut ustadh biasanya sudah hafal Qur’an, minimal lebih dari dua puluh juz.
Lain di Timur Tengah lain juga di Indonesia, di Indonesia orang sudah bisa disebut ustadh manakala hanya mengajar iqra’ (a bat ta tsa) kepada anak-anak, anggapan ini juga diperparah dengan anggapan bahwa orang yang pakai peci, baju koko atau sarung tak peduli apakah dia paham atau tidak tentang ajaran Islam disebut juga ustadh.
Ketiga, syaikh merupakan suatu gelar kehormatan para ulama dan orang saleh. menurut Qalaqshandi asal kata syaikh berarti orang tua, digunakan untuk gelar ahli ilmu dan kebaikan untuk memberi penghormatan pada mereka sebagaimana dihormatinya orang tua.[15]
Syaikh mempunyai beberapa syarat, yaitu: orang Islam, orang ‘alim, dan sudah berumur tua.[16] Jadi, syaikh adalah seorang mukmin yang memahami agama, menempuh jalan rohani, mengetahui seluk beluk dan berbagai kesulitan dari jalan itu serta mempunyai irsyad (memberi bimbingan atau petunjuk) hingga ia mampu membimbing jiwa-jiwa yang ingin berpaling kepada-Nya.
Salah satu tugas syaikh adalah membebaskan murid-muridnya dari pembatasan dunia kebendaan yang sempit dan hawa nafsunya sendiri yang menyababkan mereka tertabiri dari menyaksikan keindahan dunia. Hal itu memungkinkan karena seorang syaikh mempunyai kekuatan mata batin yang membuatnya mampu mengetahui setiap gerak gerik maupun tipu muslihat hawa nafsu manusia.[17]
Perlu kita ketahui bahwa pendidik pertama dan utama adalah orang tua sendiri. Mereka berdua yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembang­an anak kandungnya, karena sukses tidaknya anak sangat tergantung pengasuhan, perhatian, dan pendidikannya. Kesuksesan anak kan­dung merupakan cerminan atas kesuksesan orang tua juga.
Firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَار.( التحريم : ٦ )
Artinya: Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (Qs. AT-Tahrim: 6)
Sebagai pendidik pertama dan utama terhadap anak-anaknya, orang tua tidak selamanya memiliki waktu yang leluasa dalam men­didik anak-anaknya. Selain karena kesibukan kerja, tingkat efekti­vitas dan efesiensi pendidikan tidak akan baik jika pendidikan hanya dikelola secara alamiah. Dalam konteks ini, anak lazimnya dimasuk­kan ke dalam lembaga sekolah, yang karenanya, definisi pendidik di sini adalah mereka yang memberikan pelajaran peserta didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di sekolah. Penye­rahan peserta didik ke lembaga sekolah bukan berarti melepas­kan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama, tetapi orang tua tetap mempunyai saham yang besar dalam membina dan mendidik anak kandungnya.[18]
Guru sebagai pendidik mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah pendidik dalam pendidikan Islam mencakup lima istilah utama, yaitu: murabbi, muallim, muaddib, mudarris, dan mursyid. Pemakaian istilah-istilah ini mempunyai tempat dan arti tersendiri. Istilah pendidik dalam pendidikan Islam juga sering dipakai dengan penyebutan gelarnya, seperti: guru, ustadh, dan syaikh.


[1] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 87.
[2] Satria Hadi Lubis, Murabbi, (online), 14 November (2008),  http://halaqoh dakwah.wordpress.com
[3] M. Nasir, Kajian Sederhana terhadap Gelar Pemberian Ummat, (online), 18 April (2008), http://www.waspada.co.id/index.
                    [4] Ode Abdurrachman, Profesionalisasi Ulama, (online), 7 April (2006),  http://info lepas.blogspot.com

[5] Ibid., hal. 3.
[6] Ijah Sumiartini, Guru Mursyid, (online), Juni (2009), http://suryalaya.net
  
[7] Mujib, Ilmu..., hal. 28.
[8] Agus Pahrudin, Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam,(online), 24 Desember (2004),  http://guruperspektif.htm

[9] Ibid.
[10] Tanpa Nama, Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2003, Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2006), hal. 1.

[11] Jamaluddin Noor Popoy, Ilmu Pendidikan, (DEPAG, 1978), hal. 1.

[12] Ibid., hal. 2

 [13] Faisal El Amir, Ustadh, (online), 18 Juni (2007), http://lpikbandung.blogspot.com

[14] M. Nasir, Kajian Sederhana …, hal. 6.

[15]Miftahul Huda, Konsep Pendidikan Islam, (online), 2 Desember (2008), http://drmiftahulhudauin.multiply.com
[16] Mahrizal, Keagamaan, (online), 5 Februari (2009), http://forum.nu.or.id 

[17]Nefisra, Syaikh Penunjuk Jalan, (online), 17 Juni (2009), http://nefisra.multiply.com
[18] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 107.