BAB I
P E N D A H U L U A N
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim
yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam,
khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun,
Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu
organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para
filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan
al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan.[1]
Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh
persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman
seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri. Hal ini berdasarkan sebuah hadis:
لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَى يُحِبَّ أَخِيْهِ
مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini
telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu
pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”.
Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka
memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam
merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh
orang-orang yang terpercaya.
Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tirai rahasia yang disimpan
Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu organisasi militan yang lebih suka
merahasiakan dirinya. Melalui karya monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa, kita
mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Ikhwan al-Shafa yang tertinggal untuk
dicari hikmah dan pelajaran.
BAB II
P E M B A H A S A N
A.
Biografi Intelektual Ikhwan Al-Shafa
Ikhwan
al-Safa adalah perkumpulan para mujtahididin dalam bidang filsafat yang banyak
memfokuskan perhatiannya dalam bidang dakwah dan pendidikan. Perkumpulan ini
berkembang pada abad kedua Hijriyah di kota Bashrah, Irak. Organisasi ini
antara lain mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang didasarkan pada
persaudaraan islamiyyah (ukhuwwah Islamiyyah), yaitu suatu sikap yang memandang
iman seorang Muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri.[2]
Sebagai sebuah organisasi ia memiliki semangat dakwah dan tabligh yang amat
militan dan kepedulian yang tinggi terhadap orang lain. Semua anggota
perkumpulan ini wajib menjadi guru dan mubaligh terhadap orang lain yang
terdapat di masyarakat. Disinilah letak relevansinya berbicara Ikhwan al-Safa
dengan pendidikan.
Informasi
lain menyebutkan bahwa organisasi ini didirikan oleh kelompok masyarakat yang
terdiri dari para filosof. Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia dan
memiliki misi politis. Namun bersamaan dengan itu ada pula yang mengatakan
bahwa organisasi ini lebih bercorak kebatinan. Mereka sangat mengutamakan
pendidikan dan pengajaran yang berkenaan dengan pembentuk pribadi, jiwa, dan
akidah.
B.
Sejarah Ikhwan al-Shafa dan Risalahnya
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan as-Shafa (اخوان الصفا) berarti
(Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang
terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-yang saat
itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah-di sekitar abad ke-10 Masehi.
Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan
Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka.[3]
Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa
wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka
sandang sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung” dan Kalilah wa
Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-Shafa berhasil
merahasiakan nama mereka secara seksama.[4]
Namun Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang
dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar
al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun
al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang
terkenal itu.
Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan
al-Shafa. Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H
yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka
merahasiakan identitasnya. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi
menjadi empat kelompok:
Kelompok pertama,
berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan
al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka
akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk
makna.
Kelompok kedua, terdiri atas
tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materiil”. Secara kasar,
semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles.
Kelompok ketiga, terdiri atas
sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip
intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles), hakikat
cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat,
terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan
pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan
makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh,
azimat, dan aji-aji.[5]
Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan
al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan
ilmu pengetahuan (filsafat dan sains).
C.
Pemikiran Ikhwan al-Shafa terhadap Pendidikan, Agama, dan Filsafat.
1.
Klasifikasi
Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas
utama, yaitu: matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il matematika
meliputi: teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik, seni
teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk,
gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam,
tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos,
suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan
teologi. Psiko-rasionalisme meliputi fisika, rasionalistika, wujud,
mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas.
Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan,
hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.[6]
2.
Konsep
Pendidikan Ikhwan al-Shafa
a.
Cara
Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan
tiga cara, yaitu:
1)
Dengan
pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang
perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah
perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2)
Dengan
akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3)
Melalui
inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa.
Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari
guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru
mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan
para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.[7]
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan
orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih,
belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas
tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Aliran ini menilai
bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam
nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat
pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak
memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan
Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses
pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa
manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa
manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai
menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini
melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah
al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi
atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya
penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.[8]
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan
(muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan
panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa
pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang
beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan
potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar
menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide
(Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu
dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia
tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu
dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus
berhubungan dengan alam ide.[9]
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba
meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan
jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu
agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal
ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan
ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat.
Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan
aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika.
Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama
bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh
melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada
kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera
dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh
karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran
agama.[10]
b.
Sosok
Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu
adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan
guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal
aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi
ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1)
Al-Abrar
dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan
batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2)
Al-Ru’asa
dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30
tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan
3)
Muluk
dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4)
Tingkatan
yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu
berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan
ini terjadi setelah berusia 50 tahun.[11]
3.
Pandangan
Ikhwan al-Shafa Tentang Agama
Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka memiliki interpretasi
tersendiri mengenai agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Corak
Syi’ah yang amat tampak dalam kegiatan misioner memang dramatis sebab ini
sangat membantu mereka menyentuh emosi massa. Secara historis, sebetulnya
Ikhwan al-Shafa tidak termasuk ke dalam sekte manapun. Sebetulnya mereka hanya
berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat Yunani, untuk menanamkan doktrin
spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis dan yang, pada waktu yang
sama, dapat diterima oleh semua orang serta tidak menyinggung perasaan siapa
pun.[12]
Ikhwan al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din, yaitu kebiasaan
atau kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama sangat
diperlukan sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan jiwa,
dan dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk
beragama dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah satu untuk
semua orang dan segala bangsa.
Hukum (Arab: Syari’ah atau namus, dari kata Yunani: nomos, hukum)
oleh Ikhwan al-Shafa adalah apa yang kita maksud dengan agama sekarang (dalam
istilah kita agama sama dengan hukum dalam istilah Ikhwan). Hukum-hukum itu
beraneka ragam disesuaikan dengan beragamnya komunitas, kelompok, dan
individu). Hukum ini diajarkan oleh orang-orang bijak yang ada di setiap bangsa
demi kemaslahatan bangsa-bangsa yang bersangkutan. Atas dasar ini, Ikhwan
al-Shafa menyatakan bahwa segala tema metafisika di dalam kitab-kitab suci
misalnya mengenai penciptaan, mengenai Adam, Setan, pohon pengetahuan,
kebangkitan kembali, Hari Perhitungan, neraka, dan surga harus dianggap sebagai
simbol-simbol dan harus dipahami secara alegoris.[13]
Penafsiran Ikhwan al-Shafa terhadap teks Al-Qur’an tersebut lebih
bersifat esotoris (secara batin), dalam artian pemaknaan Al-Qur’an dengan
simbol-simbol. Karena sifat penafsiran Ikhwan al-Shafa yang esotoris ini,
mereka dianggap sebagai kelompok aliran kebatinan. Sebagaimana ditulis dalam
www.samuderailmufortuna.blogspot.com :
Rasail adalah upaya pembentukan sistem agama baru yang menggeser
posisi syariat Islam yang telah menjadi "barang antik". Usaha ini
gagal dan menuai banyak kritikan dari ulama-ulama umat yang menjelaskan
kesesatan dan kekeliruan mazhab ini. Secara implisit, Rasail mengandung
keyakinan-keyakinan filosofis para kaum Bathiniyyah, para filosof, dan kaum
Nasionalis, diantaranya:
1)
Pengingkaran
kebangkitan manusia dengan jasad-jasadnya di akhirat.
2)
Perbedaan
interpretasi surga dan neraka dari pendapat umum yang mutawatir.
3)
Bantahan
implikasi setan seperti yang dipahami umat Islam, menurut mereka setan itu
konotasi makhluk-makhluk jahat yang menerawang di orbit bulan dan
kawan-kawannya berupa makhluk-makhluk yang tidak diketahui bentuknya di
kehidupan dunia.
4)
Interpretasi
makna kafir dan azab secara maknawi.
5)
Keyakinan
bahwa derajat kenabian bisa dicapai dengan latihan dan kesucian hati.
6)
Statemen
berbunyi siapa yang telah mencapai alam batin maka berarti dia sudah terbebas
dari praktek ibadah/syariat.
7)
Kecondongan
pada keyakinan Syi'ah seperti kemaksuman Imam, taqiyah (berbohong demi
kebenaran), mendirikan negara dari ahli bait (keturunan Nabi).
8)
Seruan
terhadap pluralisme agama serta pelarangan fanatisme terhadap agama tertentu.
Pendapat seperti ini banyak diilhami dari utopia peninggalan-peninggalan para
dukun dan orang-orang Yunani. Sekelompok analisis dan orientalis lain lebih
condong berpendapat bahwa Rasail ini diadopsi dari Ismailiyyah Bathiniyyah.[14]
Dari pendapat-pendapat di atas, semakin nampak bahwa penafsiran agama
yang dilakukan oleh Ikhwan lebih menekankan pada makna esotoris/batiniyah
daripada lahiriyah. Penafsiran esotoris ini lebih banyak dipengaruhi oleh paham
Syiah.
4.
Pandangan
Ikhwan al-Shafa tentang Filsafat
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat.
Pertama-tama cinta kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut
kesanggupan manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan
ilmu. Filsafat,
kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku
seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih
terincinya, ”cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai
esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan
dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.[15]
Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan al-Shafa yakin
bahwa tak ada pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama
bertujuan ”meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia”. Peniruan ini, menurut
Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan
yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama
berada hanya pada tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang
dipakai oleh keduannya.
Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada upayanya
mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga
mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu
secara vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa ”hakikat
kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” ialah bersikap puas
terhadap tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan
ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran
itu justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian,
neraka adalah alam fana yang terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah
”tempat menetapnya jiwa dan alam raya”.
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan
pembahasan yang telah penulis bahas diatas, maka pada bab ini penulis dapat
mengambil kesimpulan dan saran – saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1.
Ikhwan
al shafa adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari
filsuf arab muslim. Pemikiran organisasi ini memadukan antara agama dan ilmu
pengetahuan. Dengan memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan akan dirasa
berkualitas dari segi akal dan spiritual. Akan tetapi, organisasi ini lebih ke
batiniyah.
2.
Dengan
sistem ikhwan al shafa ini diharapkan ada keseimbangan antara akal dan
spiritual. Di kabupaten sukabumi telah diterapkan 10 akhlaqulkarimah pada
lembaga pendidikan; salah satunya adalah dengan membaca ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan materi yang akan disampaikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik
mengetahui bahwa Al-Qur’an itu adalah sumber dari berbagai ilmu dan untuk
menanamkan keseimbangan antara akal dan spiritual.
3.
Ikhwan
al-Shafa merupakan organisasi Islam militan yang telah berhasil menghimpun
pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa.
Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang
ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama.
B. Saran - Saran
1. Disarankan
kepada mahasiswa untuk dapat memperadalam ilmu pengetahuan, terutama tentang ilmu
filsafat pendidikan, demi untuk kemajuan pendidikan di masa yang akan dating
2. Disarankan
kepada Pihak Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Almuslim agar dapat menyediakan staf
pengajar yang ahli dalam masalah filsafat pendidikan demi untuk kemajuan
mahasiswa di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahwani,
Ahmad Fuad, Tarbiyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Ma’arif, tt.
Dahlan,
Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam ,Jakarta: Djambatan 2003.
Hanafi,
Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Farrukh, Omar A. dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat
Islam, Bandung: Nuansa Cendekia, 2004.
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis,
(terj.) oleh Zaimul Am, Bandung: Mizan, 2002.
Iman, Muis Sad, Pendidikan Partisipatif, Yogyakarta: Safiria
Insania Press, 2004.
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1985.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis,
Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Qadir, C.A, Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan Basari,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
[5] Fakhry, Majid,
Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh Zaimul Am,
(Bandung: Mizan, 2002), hal. 56
[10] Hasan
Langgulung, , Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1985), hal. 215
[15] Nizar, Samsul,
Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 69
0 Comments
Post a Comment