BAB II
Biografi Nurcholis Madjid
A. Latar Belakang
Keluarga
Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur
(Sapaan akrab Nurcholish Madjid) lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939[1],
bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1358 H. Nurcholish Madjid adalah putra
dari seorang petani Jombang yang bernama H. Abdul Madjid. Abdul Madjid adalah
seorang ayah yang rajin dan ulet dalam mendidik putranya dia adalah seorang
figur ayah yang alim. Dia merupakan Kyai alim alumni pesantren Tebuireng dan
termasuk dalam keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU), yang secara personal
memiliki hubungan khusus dengan K.H Hasyim Asy’ari, salah seorang founding
father Nahdlatul Ulama. H. Abdul Madjid inilah yang menanamkan nilai-nilai
keagamaan kepada Nurcholish Madjid semenjak dirinya masih berusia 6 tahun[2].
B. Latar Belakang
Pendidikan
Nurcholish Madjid memperoleh pendidikan pertama dari
ayahnya ketika berumur 6 tahun. Kemudian, pendidikan dasarnya ditempuh di dua sekolah
yaitu madrasah al-Wathaniyah dan di SR Mojoanyar, Jombang. Selepas menamatkan
pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada
tahun 1952, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih
tinggi. Pesantren Darul ‘Ulum Jombang menjadi pilihan ayahnya dan dipatuhi oleh
Nurcholish Madjid. Di pesantren ini Nurcholish Madjid hanya mampu menjalani
proses belajarnya selama dua tahun. Atas izin ayahnya, kemudian Nurcholish
Madjid pindah ke Pondok Pesantren Darussalam, KMI (Kulliyat Mu’alimien al
Islamiah) Gontor Ponorogo pada tahun 1955. hal ini disebabkan penderitaan yang
dialami Nurcholish Madjid karena ejekan yang datang dari teman-temannya,
terkait dengan pendirian politik ayahnya yang terlibat di Masyumi[3].
Di Gontor, Nurcholish Madjid selalu menunjukkan prestasi
yang baik, sehingga dari kelas 1 ia langsung bisa loncat ke kelas 3. Di
pesantren ini, ia banyak mempelajari bahasa asing terutama Bahasa Arab[4].
Sehubungan dengan kemampuan berbahasa Arab ini, terdapat suatu cerita menarik
dari Nurcholish Madjid (untuk selanjutnya ditulis dengan nama akrabnya, Cak
Nur): Suatu hari ia pulang ke rumah, Ayahnya, Abdul Madjid dikenal memiliki
koleksi kitab yang banyak dan tidak ada yang bisa membaca selain ayahnya
sendiri. Ketika pulang ke rumahnya, ditunjukkan beberapa kitab berbahasa Arab
dari Mesir dan ayahnya tidak bisa membaca. Sementara Cak Nur mampu membaca
kitab-kitab ayahnya itu dengan baik[5].
C. Karya yang
Dihasilkan
Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan pada penulis yang produktif.
Sekembalinya dari studi, bersama kawan dan koleganya pada tahun 1986 mendirikan
Yayasan Wakaf Paramadina[6].
Di lembaga inilah sebagian besar Nurcholish Madjid mencurahkan hidup dan energi
intelektualnya (sehingga pada akhirnya melahirkan Universitas Paramadina Mulya,
dengan obsesi mampu menjadi pusat kajian Islam kesohor di dunia) di samping
sebagai peneliti LIPI sebagai profesi awalnya dan sekaligus sebagai Profesor
Pemikiran Islam di IAIN (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Dalam
perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan banyak artikel ataupun makalah yang
telah dibukukan. Beberapa karyanya antara lain adalah sebagai berikut:
1. Khazanah Intelektual Islam.[7]
Karya ini menurut penulisnya dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu aspek
kekayaan Islam dalam bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat
dan teologi. Dalam buku ini dibahas pemikiran al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina,
al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, Jamal al-Din alAfghani dan
Muhammad Abduh.
2.
Islam Kemodernan dan Keindonesiaan[8]. Dalam
buku ini, yang merupakan kumpulan tulisan selama dua dasawarsa melontarkan
gagasan Nurcholish Madjid tentang korelasi kemodernan, keislaman dan
keindonesiaan, sebagai respon terhadap berbagai persoalan dan isu-isu yang
berkembang di saat itu.
3.
Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan[9].
Buku ini merupakan karya monumentalnya pasca studi di Chicago. Dalam buku ini,
Cak Nur berusaha mengungkapkan ajaran Islam yang menekankan sikap adil,
inklusif dan kosmopolit.
4.
Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-Pikiran Nurcholish
Madjid “Muda”. tahun 1994.
5.
Pintu-Pintu Menuju Tuhan tahun 1994. Buku ini merupakan kumpulan sebagian besar tulisan Cak Nur di
harian Pelita dan Tempo. Menurut penulisnya, buku ini merupakan penjelasan
lebih sederhana dan “ringan” (populer) dari gagasan Islam inklusif dan
Universal yang menjadi tema besar buku Islam Doktrin dan Peradaban.
6.
Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam
dalam Sejarah tahun 1995. Dalam buku ini pemikiran Cak Nur lebih
terarah pada makna dan implikasi penghayatan Iman terhadap perilaku sosial yang
senantiasa mendatangkan dampak positif bagi kemajuan peradaban kemanusiaan.
7.
Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia tahun 1995. Buku ini sama dengan karya monumentalnya,
hanya saja, Cak Nur menyajikannya dengan wawasan yang lebih kosmopolit dan universal
sekaligus mempertimbangkan aspek parsial dan kultural paham-paham keagamaan
yang berkembang.
8.
Masyarakat Religius tahun 1997. Buku ini mengetengahkan konsep Islam tentang kemasyarakatan,
antara komitmen pribadi dan komitmen sosial serta konsep tentang eskatologi dan
kekuatan adi-alami.
9.
Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam pembangunan di Indonesia tahun 1997. Dalam buku ini Cak Nur mengetengahkan tentang peran dan fungsi
Pancasila, organisasi politik, demokratisasi, demokrasi dan konsep oposisi loyal.
10.
Kaki Langit Peradaban Islam tahun 1997, mengetengahkan tentang wawasan peradaban Islam, kontribusi
tokoh intelektual Islam semisal Al-Shafi’i dalam bidang hukum, al-Gazali dalam
bidang tasawuf, ibn Rusyd dalam filsafat dan Ibn Khaldun dalam filsafat sejarah
dan sosiologi.
11.
Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah potret Perjalanan tahun 1997, yang membahas tentang dinamika pesantren serta kontribusinya
dalam peradaban Islam di Indonesia.
12.
Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer tahun 1997. Buku yang
merupakan transkrip wawancara yang pernah dilakukan oleh Cak Nur memiliki
mainstream bagaimana nilainilai universal dan kosmopolit Islam diaktualisasikan
dalam praktik politik kontemporer.
13.
Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid
“Tekad” tahun 1999. Dalam buku ini Cak Nur berusaha menjelaskan
pemikiran-pemikirannya tentang keterkaitan antara dimensi keislaman dengan
dimensi keindonesiaan dan kemodernan sekaligus. Buku ini merupakan kumpulan
tulisan Cak Nur di Tabloid Tekad yang merupakan suplemen dalam harian
Republika, sebuah koran harian yang diterbitkan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia).
14.
Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi, tahun 1999. Buku ini merupakan perjalanan panjang politik NurcholishMadjid
dalam wacana perpolitikan di Indonesia. Dalam buku ini prototype negara Madinah
yang telah didirikan Nabi Muhammad sedemikian ditekankan oleh Cak Nur sebagai
sesuatu yang sangat cocok untuk diterapkan kini, mengingat nilainilainya
sedemikian modern bahkan terlalu modern untuk masanya sehingga tidak bertahan
lama.
15.
Indonesia Kita. Dalam buku yang merupakan karya tulis terakhirnya,
Nurcholish Madjid berusaha memahami secara lebih luas dan mendalam tentang
hakikat dan persoalan bangsa dan negara Republik Indonesia sejak dari masa
lampau sampai sekarang yang menantang tahun 2003.
Dalam buku ini dimuatpokok pemikiran Cak Nur ketika mencalonkan diri sebagai
Presiden RI yang meskipun kandas melalui konvensi Partai Golkar yang terkenal
dengan Sepuluh Platform Membangun Kembali Indonesia.
Di samping itu, terdapat beberapa ceramahnya yang juga dibukukan,
seperti Perjalanan Religius Umrah dan Haji; Pesan-Pesan Takwa Nurcholis Madjid:
Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina; 30 Sajian Ruhani: Renungan di Bulan
Ramadhan. Pada sisi lain,
ia juga banyak menulis artikel yang tersebar di beberapa buku suntingan orang
lain,[10]
baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, yang tersebar di beberapa
jurnal nasional[11]
maupun jurnal internasional.[12]
Karya-karya dalam Bahasa Inggris
1.
The Issue of Modernization Among Muslimin in Indonesia: From a
participant’s Paint of View, dalam Gloria Davies (ed.)
2.
What is Modern Indonesia Culture? (Athens, Ohio, University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979)
3.
Islam in the Contemporary World, (Notre Dame, Indiana, Cross Roads Books, 1980).
D. Karir yang
Dicapai
Semasa menjadi mahasiswa, Nurcholish Madjid
banyak melakukan kegiatan di berbagai organisasi. Ia pernah menjadi ketua umum
HMI cabang Ciputat pada tahun 60-an. Kemudian menjadi ketua umum pengurus pusat
HMI dua periode tahun 1966-1971. Pada tahun 1967-1969, ia menjadi Presiden
Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Sekretaris Jenderal International Islamic
Federation of Students Organizations tahun 1969-1971[13].
Setelah menamatkan pendidikanya di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Nurcholish Madjid memperoleh kesempatan melanjutkan
studinya ke Chicago yang didanai oleh Fond Foundation pada tahun 1974
ketika Fazlur Rahman dan Leonard Binder berkunjung ke Indonesia. Di Chicago
Nurcholish Madjid memperoleh gelar doctor antara tahun 1978-1984, dan lulus
dengan nilai Camlaude dengan judul disertasinya “Ibnu taimiyah dalam kalam dan
filsafat: masalah akal dan wahyu dalam Islam”[14].
Selain bidang Filsafat, yang diminatinya adalah: Pemikiran Islam, Reformasi
Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama, Sosiologi Agama, serta Politik
negara-negara berkembang[15].
Nurcholis Madjid kembali ke tanah air pasca
menyelesaikan studinya di Amerika Serikat, Nurcholis Madjid kemudian mendirikan
Yayasan Wakaf Paramadina. Selain menjadi staf pengajar di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sejak 1972, Nurcholis Madjid juga menjadi Guru Besar tamu
pada McGill University, Montreal, Canada tahun 1991-1992. Nurcholis Madjid
menjadi Ketua Yayasan Paramadina sejak 1985, dan menjadi Rektor Universitas
Paramadina Mulya sejak 1998-2005[16].
dan Nurcholis Madjid meninggal dunia pada tanggal 29 Agustus 2005 akibat
penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa
kepada negara[17].
E. Kondisi Sosial
Politik
Merujuk pada sebuah catatan pengantar yang ditulis Prof.
M. Dawam Raharjo dalam bagian keempat: Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,[18]
ada beberapa istilah yang signifikan dan
cukup berpengaruh di dalam diskursus wacana keilmuan Islam neo-Modernisme Indonesia.
Dimana Nurcholish Madjid berada di posisi yang harus diadili karena dialah yang
melempar persoalan terhadap publik
mengenai istilah-istilah tersebut. Di tengah perdebatan tata kelola
pemerintahan pasca kemerdekaan yang masih belum selesai, Nurcholish Madjid dan
rekan-rekan sesama pembaru pemikiran Islam harus berhadap-hadapan langsung
untuk mempertanggungjawabkan ide-ide gagasannya terhadap masyarakat dan
keilmuannya sendiri. Menurut saya, ada dua hal yang sangat menarik untuk
membaca satu sosok pembaru pemikiran Islam di Indonesia ini. Yakni dengan
melihat metodenya dalam mengambil simpati kepada khalayak serta konsistensi
pemikiran yang kuat.
Sepulangnya dari Amerika, Nurcholish tampil tidak lagi
sebagai aktor intelektual, tetapi lebih sebagai filosof moral, sehingga
penyampaiannya bersifat lunak dan elegan. Contoh yang paling menonjol dari
pemikiran politik Islam substantifnya Nurcholish sepulang dari Amerika adalah
pada Piagam Madinah. Dalam suatu tulisan, misalnya, ia menyebutkan:
Bunyi naskah Konstitusi itu sangat menarik. Ia memuat
pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam
Konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi
pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap
kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan
ekonomi antar golongan, dan lain-lain. Tetapi juga ditegaskan adanya suatu
kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi
musuh dari luar[19].
F. Kondisi Sosial
Intelektual
Kelincahan Nurcholish Madjid di dunia organisasi selama
menjadi mahasiswa tidak terlepas dari pengaruh sosiologis dan ideologis KMI
Gontor, tempat ia mengenyam pendidikan keagamaan. KMI Gontor bukan saja
berbentuk pesantren yang semata-mata menyuguhi para santrinya materi keagamaan
klasik an sich, tidak hanya menyuguhi para santrinya untuk menguasai materi
pelajaran di kelas, tetapi lebih dari itu semua, Gontor merupakan pesantren
modern yang mengajarkan mereka bagaimana cara berorganisasi dengan baik. Hal
itulah yang dirasakan oleh Nurcholish Madjid.
Selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa
dengan dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu
berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan roda
organisasi Nurcholish Madjid banyak menerapkan komitmen ke-KMIannya[20]
yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya.
Di organisasi HMI ini, Nurcholish Madjid akhirnya
terpilih sebagai ketua umum PB HMI untuk dua tahun berturut-turut yakni periode
1966 sampai 1969 dan periode 1969 sampai 1971. Berkat kepiawaiannya sebagai
mantan ketua umum PBHMI, selama menjadi mahasiswa di Amerika ia pun dipercaya
untuk menjadi presiden persatuan mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) pada
tahun 1967-1969 dan berikutnya ia dipercaya pula untuk menjabat sebagai wakil
Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Student Organization/
Federasi Organisasi-Organisasi Mahasiswa Islam Internasional) pada tahun
1967-1971[21].
Dalam perkembangan karirnya, Nurcholish Madjid menduduki
beberapa posisi sentral. Di antara beberapa karir sentral yang dicapainya
adalah; menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta tahun
1972-1974, menjadi pemimpin umum majalah mimbar Jakarta tahun 1971-1974, dan
juga menjadi pemimpin redaksi majalah Forum. Bersama teman-temannya, ia
mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan), pada
tahun 1972-1976 dan LKIS (Lembaga Kebijakan Islam Samanhudi) tahun 1974-1977.
Nurcholish Madjid bekerja di LEKNAS LIPI (Lembaga Peneliti Ekonomi dan Sosial)
di Jakarta tahun 1978-1984, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1986 Nurcholish Madjid mendirikan
dan menjadi ketua Yayasan Wakaf Paramadina Mulya, yang aktif dalam kajian
keislaman dan menjadi penulis tetap harian pelita, Jakarta pada tahun 1988.
Nurcholish Madjid menjadi anggota MPR RI, pada bulan Agustus 1991 dan menjadi
dosen tamu di Institut of Islamic Studies, Mc Gill University, Montreal,
Canada. Sejak tahun 1988 Nurcholish Madjid dikukuhkan sebagai guru besar luar
biasa dalam ilmu filsafat Islam sekaligus menjadi Rektor Paramadina Mulya,
Jakarta[22].
Tahun 1991 Nurcholish Madjid juga menjabat sebagai ketua Dewan Pakar Ikatan
Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI). Menjadi anggota Komisi Nasional Hak-hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan pada tahun 1993 tercatat sebagai salah seorang
anggota MPR RI[23].
Pada tanggal 3 Januari 1970, dalam acara malam
silaturrahmi organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa dan sarjana muslim yang
tergabung dalam HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia)
dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) Nurcholish Madjid menggantikan
pidatonya Dr. Alfian yang berhalangan datang. Pidato yang disampaikannya dalam
acara besar tersebut berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat[24]”.
G. Tokoh yang
Mempengaruhinya
Adapun tokoh-tokoh yang mempengaruhi Nurcholis Madjid
adalah sebagai berikut:
1. K. H. Imam Zarkasyi
2. Prof.
Dr. Mahmud Yunus
3. K. H. Hasyim Asy’ari
4. Sayyed Muhammad Naquib Al-Attas
5. Zainuddin Labay El-Yunus
6. K.H. A. Wahid Hasyim
7. K.H. Ahmad Dahlan
H. Metode (Corak)
Berfikir Nurcholis Madjid
Sebagai seorang cendekiawan muslim terkemuka di Indonesia,
Nurcholish Madjid banyak memberikan formulasi pemikirannya terhadap dunia Islam
yang bersifat pembaruan. Dengan berkiblat kepada pemikiran Ibnu Taimiyah dan
Fazlur Rahman sebagai tokoh yang mempengaruhi pola pemikiran Nurcholish Madjid
bahwasannya Konsep pembaruan ini terdapat tiga hal dasar yang menjadi tolak
ukur proses pembaruan Islam ke depan. Di antaranya konsep Modernisasi,
Sekularisasi dan Inklusivisme. Ketiga hal tersebut menjadi pola pikir keIslaman
yang membawa pada jalur pembaruan Islam di Indonesia.
Konsep pembaruan itu sendiri sangat erat kaitannya dengan pemikiran
dan afirmasi terhadap pergerakan dari konsep yang telah direncanakan tersebut.
Pembaruan yang menitikberatkan pada suatu hal afirmatif dan realistis terhadap kehidupan
yang mampu menjawab tantangan yang ada disekitar bukan makna konsensus
perkiraan, namun lebih pada koefisien memperbarui. Berikut mengenai
konsep-konsep pemikiran Nurcholish Madjid dalam pembaruan Islam: Modernisasi, Sekulerisasi
bukan sekulerisme, Teologi
Ekslusivisme dan Inklusivisme, Islam Yes,
Partai Islam No.
[6] Nama Paramadina menurut Cak Nur, berasal dari Parama (paramount) artinya
Unggul atau ekselen, sedangkan dina maksudnya adalah din al-Islam, sehingga
makna filosofi nama yayasan tersebut adalah bahwa Islam merupakan agama yang
unggul dan keunggulannya harus bias dirasakan oleh bangsa Indonesia sebagai
pembawa rahmat. Makna lain dari paramadina adalah para yang berarti pusat dan
madina menunjuk kepada model peradaban modern dan Islami yang telah dirintis
oleh Rasulullah Muhammad di kota Madinah, yang asalnya bernama Yathrib.
Peralihan nama tersebut secara sosiologis filosofis memiliki konsep yang sangat
visioner dan modern sehingga sangat memukau dan menjadi model bagi Cak Nur.
Periksa Nafis, Kesaksian Intelektual, hal. 224.
[12]
Seperti “The Issue of Modernization among Muslims in Indonesia: From a
Participant’s Point of View”, Gloria Davies, ed., What is Modern Indonesian
Culture? (Athens, Ohio: University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979);
“Islam in Indonesia: Challenges and Opportunies”, Cyriac K. Pullapilly, ed.,
Islam in The Contemporary World (Notre Dame, Indiana: Cross Roads Books, 1980), hal. 65.
[13]Http://Adesmedia.Blogspot.Com/2013/03/Tokoh-Pembaharuan-Islam-Nurcholis-Majid. Html (diakses Pada Tanggal 31 November 2016 Pukul 11.45 WIB)
[16]Http://Adesmedia.Blogspot.Com/2013/03/Tokoh-Pembaharuan-Islam-Nurcholis-Majid. Html (diakses Pada Tanggal 31 November 2016 Pukul 13.00 WIB)
0 Comments
Post a Comment