hadits Dha’if yang terputus (tidak bersambung) sanadnya
BAB I
P E N D
A H U L U A N
A.
Latar
Belakang Masalah
Hadits merupakan sumber ajaran Islam
yang kedua setelah al Qur'an. Secara teoritis, mempelajari hadits
seharusnya lebih mudah dari pada mempelajari Al-Qur’an karena status hadits
merupakan penjelas bagi Al-Qur’an. Akan tetapi dalam prakteknya, mempelajari hadits
justu lebih sulit karena disebabkan oleh beberapa factor. Yang pertma adalah
karena Hadits tersebar diberbagai kitab
hadits yang sulit kita dapatkan. Yang kedua
adalah tidak semua hadits berda pada kualitas yang sama. Sehingga untuk
menggunakan suatu hadits, terlebih dahulu seseorang harus melakukan penelitian
kualitasnya supaya mendapatkan hadits yang memenuhi kualifikasi maqbul
(diterima sebagai hujjah). Oleh karena itu para ulama dalam menilai sesuatu
hadits menggunakan metode kritik sanad dan kritik matan untuk menguji kesahihan
sebuah hadits.
Dengan menggunakan metode kritik
sanad dan matan hadits itulah, para ulama dapat membedakan sebuah
hadits itu dapat diterima riwayatnya (Maqbul) dan ada juga hadits yang
tidak diterima riwayatnya (mardud). Adapun hadits yang ditema dan dapat
diamalkan dalam kehidupan adalah hadits Shahih dan hasan sedangkan hadits yang
tidak diterima dan tidak dapat beramal dengannya adalah hadits dha’if dan
Maudhu’.
Adapun
Hadits maqbul yaitu hadits Shahih Dan Hadits Hasan. Hadits Shahih, adalah
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung, tidak ber illat dan tidak syadz[1].
Illat haditsyang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat
menodai keshohihan suatu hadits. Sedangkan Hadits Hasan adalah hadits yang sanadnya
bersambung diriwayatkan oleh Rawi yang adil,tapi tidak begitu kuat ingatannya
(hafalan), dan tidak ada syudhudz dan illat yang berat didalamnya[2].
Sedangkan Hadits yang mardud adalah Hadits Dha’if. Hadits Dhoif secara
istilah adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat
hadits shohih atau hadits hasan[3].
Secara umum, ada dua hal pokok yang menyebabkan sebuah
hadits itu dapat dikatakan Dha’if (lemah). Yang pertama adalah
hadits itu dha’if karena terputusnya sanad seperti: Hadits Mu'allaq, Hadits
Mu'addhol,Hadits Munqhothi', Hadits Mudallas, Hadits Mursal, Hadits Mu'annan. sedangkan yang kedua adalah karena
sebab lain selain dari terputusnya sanad seperti cacatnya perawi hadits dan
keganjilan pada matan Hadits, yaitu : Hadits Matruk, Hadits Munkar,
Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Munqolib dan Murokkab,Hadits Mu'allal dan Nazid
fil Mutthashilil Asanid dan lainnya.
Adapun
yang menjadi pokok bahasan pada penulisan makalah ini adalah khusus pada Hadits-hadits
Dha’if yang terputus (tidak bersambung) sanadnya. Pembahasan ini
merupakan suatu yang sangat penting karena sering kali sebab sebuah hadits
menjadi lemah adalah karena terputusnya sanad dan ini juga jarang diperhatikan
kecali oleh orang yang faham terhadap ilmu sejarah perawi hadits yang tahu
bahwa seoramg itu terputus sanad haditsnya karena tidak pernah bertemu atau
sebab yang lainnya.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
:
1.
Apa
pengertian dari hadits dha’if.?
2.
Hadits yang bagaimana tergolong hadits dha’if
yang tidak bersambung sanad.?
3.
Apa
hukumnya beramal dengan hadits dha’if.?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun
yang menjadi tujuan pembahasan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk
mengetahui pengertian hadits dha’if.!
2.
Untuk mengetahui
hadits yang Bagaimana tergolong hadits dha’if yang tidak bersambung sanad.!
3.
Untuk
mengetahui hukum beramal dengan hadits dha’if.!
D.
Sistematika Penulisan
Adapun sistematika dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
Pada bab
satu terdapat pendahuluan pembahasannya meliputi : latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan pembahasan,dan sistematika penulisan.
Pada bab dua terdapat
kajian tentang hadits dha’if yang terputus sanad pembahasannya meliputi : pengertian hadits
dhaif , hadits dha’if yang tidak bersambung sanad seperti: Hadits Mursal,
Hadits Munqhathi', Hadits Mu'allaq, Hadits Mu'dhal, Hadits Mudallas. Serta
diakhiri dengan hokum berhujjah dengan Hadits dha’if.
Pada bab
tiga terdapat penutup pembahasannya
meliputi : kesimpulan .
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadits Dha’if.
Menurut bahasa dha’if berarti ‘ajiz yaitu lemah, sebagai
lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat.[4]
Jadi secara bahasa, yang dimaksud dengan hadits dha’if adalah hadits yang lemah
atau hadits yang tidak kuat.
Adapun menurut isitlah, yang dimaksud dengan hadits dha’if adalah
hadits yang didalamnya tidak didapati syarat hadits shahih dan tidak pula
didapati syarat hadits hasan.[5]
Para ulama yang lain mendefinisikan hadits dha’if itu ialah suatu hadits yang
terputus sanadnya, atau diantara perawinya ada yang cacat”.[6]
Ibnu shalah juga mendefiniskan hadits dhaif yaitu:
مَالَمْ
يُجْمَعْ صِفَاتُ الصَحِيْحِ وَلاَ صِفَاتُ الحَسَنِ
Artinya:
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.[7]
Sebagian
dari para ulama memberika definisi hadits dha’if:
مَالَمْ
يَجْتَمِعُ فِيْهِ صِفَاتُ القَبُوْلِ
Artinya: “
Yang tidak terkumpul sifat-sifat yang diterima”.[8]
Dari pengertian diatas dapatlah
disimpulkan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang lemah tidak terkumpul pada
sifat sifat hadit shahih dan hasan yang dapat diterima riwayatnya. Dengan kata lain,
hadits dha’if merupakan lawan dari hadits maqbul.
B.
Hadits
Dhaif yang Tidak Bersambung Sanad.
Adapun
hadits dha’if karena tidak bersambung sanadnya (tidak muttashil sanad)
adalah Hadits Mursal, Hadits Munqhathi', Hadits
Mu'allaq, Hadits Mu'dhal, Hadits Mudallas.
1.
Hadits
Mursal.
Hadits
mursal adalah:
مَا رَفَعَهُ التَّابِعِيُّ إِلىَ الرَّسُوْلِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ صَغِرًا
كَانَ التَّابِعِيُّ أَوْ كَبِيْرًا.
Artinya: “Hadits yang dimarfu’kan
oleh seorang tabi’iy kepada rasulullah saw. Baik berupa perkataan maupun taqrir
baik tabi’in itu kecil ataupun besar”.[9]
Menurut ahli fiqh dan ahli ushul,
hadits mursal adalah hadits yang perawinya melepaskannya tanpa menjelaskan
shahabat yang ia ambil riwayatnya. Sedangkan ahli hadits berpendapat bahwa
hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat kecil seperti ibnu
abbas dan lainnya yang tidak mendengar langsung dari rasulullah. Akan tetapi
mereka meriwayatkannya dari shahabat yang lain. Akan tetapi hadits mursal baik
menurut definisi para ahli figh maupun ahli hadits tetap digolongkan kepada
hadits yang tidak bersambung sanandnya.[10]
Hadits mursal dibagi kepada dua
katagori;
a.
Hadits Mursal Shahaby yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
shahabat kecil seperti ibnu abbas dan lainnya yang tidak mendengar langsung
dari rasulullah. Akan tetapi mereka meriwayatkannya dari shahabat yang lain.
Ahli hadits menilai bahwa mursal shahaby adala dihukumi sebagai hadits
maushul (yang bersambung sanad) dan haditsnya dapat dijadikan sebagai
hujjah karena semua shahabat bersifat adil sehingga kemajhulan mereka tidak
berpengaruh negative.[11]
b.
Hadits Mursal Tabi’iy yaitu hadits yang gugur perawinya setelah
tabi’in, seperti salah seorang tabi’in mengatakan, rasulullah bersabda begini
atau berbuat seperti itu. Para ulama beberda pendapat tentang berhukum dengan
hadits mursal ini. Antara lain:
·
Boleh berhujjah dengan hadits mursal
secara mutlak. Ini merupakan pendapat abu hanifah, imam malek dan lainnya.
·
Tidak Boleh berhujjah dengan hadits
mursal secara mutlak. Ini dipegang oleh imam nawawi, imam syafi’I dan lainnya.
·
Bias dijadikan sebagai hujjah
apabila ada hadits lain yang menguatkannya. Ini dipegang oleh mayoritas ahli
hadits.[12]
Contoh
hadits mursal:
Ø Diriwayatkan
oleh imam muslem dalam shahihnya pada kitab al-butu’ berkata: telah bercerita
kepadaku Muhammad bin rafi’, (ia mengatakan) telah bercerita kepada kami
Hujain, (ia mengatakan) telah bercerita kepada kami laits dari Aqil dari Ibnu
Syihab dari Sa’id bin Musayyib, “bahwa Rasulullah telah melarang Muzabanah
(jual beli dengan cara borongan hingga tidak diketahui kadar timbangan”.[13]
Sa’id bin Musayyib adalah seorang Tabi’in senior langsung meriwayatkan hadits
dari Rasulullah tanpa menyebutkan para shahabat yang meriwayatkannya. Oleh
karena itu sananadnya menjadi gugur dan hanya sampai pada tabi’in.
2.
Hadits
Munqhathi'.
Hadits munqhathi’ adalah adalah
hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang
pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.[14]
Contoh:
Ø Hadits
yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Al-Tsaury dari Abu Ishak dari Zaid Ibnu
Yutsai’ dari Huzaifah Nabi bersabda: “Jika kalian menguasakan kekhalifahan itu
kepada Abu Bakar, Maka ia adalah seorang yang perkasa lagi dapat dipercaya”.
Sanadnya
hadits ini terputus pada dua tempat:
§ Abdurrazzaq
tidak pernah mendengar dari Al-Tsaury.
§ Al-tsaury
tidak pernah mendengar dari Abu Ishak, ia hanya meriwayatkannya dari Syuraik
dari Abu Ishak.[15]
3.
Hadits Mu’dhal.
Hadits Mu'dhal : adalah hadits yang gugur
rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama
tabi'iy, tabi'iy bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum shahaby dan
tabi'iy.[16]
Contoh:
Ø Diriwayatkan
oleh Hakim dengan sanad kepada Al-Qa’naby dari Malik bahwasanya ia menyampaikan
bahwa Abu Hurairah berkata, rasulullah bersabda: “ Seorang hamba sahaya tidak
berhak mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadarnya baik, dan tidak dibebani
pekerjaan melainkan apa yang ia mampu mengerjakannya”. Hadits ini dari Imam
Malik dalam kitab Al-Muatha’[17]
Hadits
ini dikatakan Mu’dhal karena gugurnya dua perai dari sanadnya sekaligus yaitu
dari sanadnya tidak disebutkan Muhammad bin Ajlan dan Bapaknya. Para
ulama sepakat bahwa hadits seperti ini adalah Dha’if, lebih buruk statusnya
dari pada mursal dan munqathi’, karena
sanadnya lebih banyak yang terbuang.
4.
Hadits Mu’allaq.
Hadits
Mu’allaq menurut istilah adalah hadits yang gugur perawinya, baik seorang atau
dua orang ataau semuanya pada awal sanad secara berurutan.
Contoh:
Ø Bukhari
meriwayatkan dari Al-Majisyun dari Abdullah bin fadhl dari Abu salamah dari abu
Hurairah dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Jangan kalian melebih-lebihkan
diantara para Nabi”.[18]
Para
ulama sepakat bahwa hadits Mu’allaq merupakan hadits Dha’if dan tertolak riwayatnya
serta tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Akan tetapi mereka berbeda pendapat
terhadap hadits mu’allaq yang terdapat didalam Kitab Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim. Terhadap hadits mu’allaq yang terdapat dalam kedua kitab
shahih ini mereka berpendapat:
§ Jika
diriwayatkan dengan tegas dan jelas yaitu dengan shighat jazm(kata kerja
aktif) maka haditsnya dihukumi shahih dan dapat diterima sebagi hujjah.
§ Jika
diriwayatkan dengan shighat tamridh (kata kerja pasif) seperti kata:
dikatakan, diceritakan, maka tidak dapat dipandang shahih semuanya. Akan tetapi
ada yang shahih, hasan dan dha’if. Hanya saja tidak terdapat didalamnya hadits
dha’if karena keberadaannya dalam kitab yang dijuluki dengan “Shahih”
5.
Hadits Mudallas.
Hadits Mudallas: adalah hadits yang
diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda.
Atau hadits yang tiada disebut didalamnya sanad atau sengaja digugurkan oleh
seseorang perawi nama gurunya sendiri dengan cara member waham, bahwa ia
mendengar sendiri secara langsung dari orang yang disebut namanya itu.[19]
Rawi yang berbuat demikian disebut
Mudallis.
Tadlis pada hadits terdiri dari dua jenis,
yaitu:
1.
Tadlis
Al-Isnad, yaitu seorang perawi meriwayatkan sesuatu dari orang yang semasa
dengannya yang ia tidak pernah bertemu dengan oaring itu, atau pernah bertemu
tetapi tidak pernah mendengar hadits darinya dengan menyamarkan seakan dia
mendengar langsung darinya.[20]
Contoh:
Ø Diriwayatkan oleh Hakim dengan sanadnya kepada
Ali bin khusyrum dia berkata: “telah meriwayatkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah
dari Az-Zuhri…, maka dikatakan kepadanya. “apakah anda telah mendengar langsung
dari Az-zuhri.? Dia menjawab,” tidak dan tidak pula dari orang yang
mendengarnya dari az-Zuhri”.
2.
Tadlis
syuyukh yaitu haidts yang dalam sanadnya, perawi menyebut nama syaikh yang ia
mendengar dari padanya dengan sebutan yang tidak terkenal dan tidak masyhur
tentangnya baik berupa nama, gelar, pekerjaan dan asal kabilahnya.[21]
Contoh:
Ø Perkataan
Abu Bakar bin Mujahid salah seorang dari Imam ahli Qiraat,”telah menceritakan
kepada kami abdullah bin Abi Abdillah”. Yang dimaksud adalah Abu Bakar bin Abu
Dawud As-Sijistani.
C.
Hukum
Beramal Dengan Hadits Dha’if
Permasalahan tentang boleh tidaknya mengamalkan
hadits dhaif, merupakan masalah yang telah menjadi topik perdebatan sejak
dahulu. Sampai saat ini, tidak ada kesepakatan yang bulat mengenainya. Baik
kelompok yang membolehkan mengamalkan hadits dhaif secara umum, ataupun yang
melarangnya, masing-masing mempunyai hujjah dan alasannya. Ada juga kelompok
pertengahan yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu.
Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits
yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk fadla'ilul amal. Ia
memberikan 3 syarat dalam hal meriwayatkan hadits dhoif, yaitu:
1.
Hadits
dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang
disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat
dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.
2.
Dasar
amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar yang
dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan).
3.
Dalam
mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut
benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata
mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.[22]
Imam
Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha''if tidak bisa
digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut
Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun
dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara
derajat periwayatannya lemah. Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter
dan peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu
hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan
suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab
tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem.
Secara ringkas, perbedaan pendapat mengenai
hukum mengamalkan hadits dhaif dapat dipaparkan sebagai berikut:
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengamalkan
hadits dha’if dengan semua jenisnya (baik yang tidak terlalu lemah ataupun yang
sangat lemah) adalah haram. Diantara hujjah mereka adalah bahwa hadits shahih
dan hasan sudah mencukupi untuk menjadi rujukan dalam semua permasalahan
manusia, sehingga menjadi sesuatu yang sia-sia menggunakan hadits dha’if yang
secar zahir bukan sabdaNabi Muhammad SAW. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm,
Ibnu Ma’in, Syekh Ahmad Syakir, dan Syekh al-Albani.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dha’if
bisa dijadikan hujjah, terutama dalam masalah yang tidak ditemukan hadist
shahih, karena menurut mereka hadits dha’if lebih baik daripada analogi dan
pendapat manusia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Abu Dawud,
Ibnu Mahdi, Ibnul Mubarok dll. Dan kalau kita melihat buku-buku fiqh ulama
terdahulu, maka akan kita dapati banyak dari mereka yang menggunakan hadits
dha’if sebagai dalil, terutama dalam kondisi tersebut. Imam Ahmad berkata:
“Hadits dha’if lebih aku sukai daripada pendapat manusia, karena qiyas tidak
dipakai kecuali dalam kondisi tidak adanya nash (dalil dari qu’ran atau
hadits).”
Pendapat ketiga memberikan syarat-syarat
dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if sebagai berikut:
§ Hanya boleh diamalkan dalam masalah fadhail
a’mal (keutamaan amal-amal ibadah), bukan masalah aqidah, ibadah, dan halal-haram.
§ Hadits dha’if tersebut bukan kategori sangat
lemah. Maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi pendusta, atau yang
dituduh berdusta, atau yang selalu salah dalam meriwayatkan hadits tidak boleh
diamalkan.
§ Hadits tersebut berisi hukum yang sudah
ditetapkan dengan dalil yang shahih.
§ Ketika mengamalkan hadits tersebut tidak
berkeyakinan bahwa bahwa ia adalah sabda Nabi Muhammad SAW.
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis
kemukakan pada bab sebelumnya tentang hadits dha’if, maka pada bab terakhir ini
penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu:
A. Kesimpulan
1.
Hadits dha’if adalah hadits
yang lemah tidak terkumpul pada sifat sifat hadit shahih dan hasan yang dapat
diterima riwayatnya. Dengan kata lain, hadits dha’if merupakan lawan dari
hadits maqbul.
2.
Adapun
hadits yang tergolong kedalam dha’if karena tidak bersambung sanadnya (tidak
muttashil sanad) adalah Hadits Mursal, Hadits Munqhathi', Hadits
Mu'allaq, Hadits Mu'dhal, Hadits Mudallas.
3.
Berhukum
atau beramal dengan menggunakan hadits dha’if
terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. perbedaan pendapat
mengenai hukum mengamalkan hadits dhaif dapat dipaparkan sebagai berikut:
§ Sebagian ulama berpendapat bahwa mengamalkan
hadits dha’if dengan semua jenisnya.
§ Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dha’if
bisa dijadikan hujjah, terutama dalam masalah yang tidak ditemukan hadist
shahih.
§ Pendapat ketiga memberikan syarat-syarat
dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if sebagai berikut:
1.
Hanya
boleh diamalkan dalam masalah fadhail a’mal (keutamaan amal-amal ibadah), bukan
masalah aqidah, ibadah, dan halal-haram.
2.
Hadits
dha’if tersebut bukan kategori sangat lemah. Maka hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh perawi pendusta, atau yang dituduh berdusta, atau yang selalu
salah dalam meriwayatkan hadits tidak boleh diamalkan.
3.
Hadits
tersebut berisi hukum yang sudah ditetapkan dengan dalil yang shahih.
4.
Ketika
mengamalkan hadits tersebut tidak berkeyakinan bahwa bahwa ia adalah sabda Nabi
Muhammad saw.
B.
Saran -
Saran
1.
Disarankan
kepada para mahasiswa untuk dapat mengkaji lebih mendetail masalah hadist,
karena hadist merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-qur’an.
2.
Disarankan
kepada mahasiswa untuk dapat lebih teliti dalam mengamalkan hadist tanpa
mengetahui asal – usul hadist tersebut, hal ini dikhawatirkan hadist yang
diamalkan tersebut adalah hadist dhai’f.
3.
Disarankan
kepada mahasiswa untuk lebih professional dalam pengkajian ulumul hadist, hal
ini demi untuk menjaga keaslian hadist tetap terjaga sepanjang zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Amal Qardasy binti al-Husain, Peranan wanita dalam
periwayatan hadits, terj.Ml.Faishal, Cet. I, Jakarta: Pustaka azzam, 2003.
A.Qadir
Hasan, ilmu mushthalah Hadits, Cet. VII, Bandung: cv. Diponegoro, 1996.
Moh.
Anwar Bc.Hk, Ilmu Musthalah hadits,Surabaya: Al-Ikhlas, 1981.
Manna’
Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet.
III, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008.
Muhammad
Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadits (Bandung: cv. Pustaka Setia).
M. ‘Ajaj
Al-Khathib, terj. M.Qadirun Nur, Ushul
Al-Hadits, Cet.III, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003.
T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, Semarang: PT.
pustaka Rizki putra, 1999.
[1] Moh.
Anwar Bc.Hk, Ilmu Musthalah hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, oktober 1981),
hal.34
[2] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi
Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, april 2008),
hal.121.
[3]M. ‘Ajaj Al-Khathib, terj.
M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama,
Agustus 2003), hal.304.
[5] Manna’
Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet.
III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.129.
[6] A.Qadir
Hasan, ilmu mushthalah Hadits, cet. VII (Bandung: cv. Diponegoro, 1996),
hal. 89.
[7] Moh.
Anwar Bc.Hk, Ilmu Musthalah hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hal.93
[8] Ibid, hal.94
[9] M. ‘Ajaj Al-Khathib, terj.
M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama,
Agustus 2003), hal.304.
[10] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu hadits, (Semarang: PT. pustaka Rizki putra, 1999), hal. 197.
[11] M.
‘Ajaj Al-Khathib, terj. M.Qadirun Nur, Ushul
Al-Hadits, Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003), hal.305.
[12]
Ibid…305.
[13] Manna’
Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet.
III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.129.
[14] A.Qadir
Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, cet. VII (Bandung: cv. Diponegoro, 1996),
hal. 95.
[15] M. ‘Ajaj Al-Khathib, terj. M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits,
Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003), hal.306
[16] Moh.
Anwar Bc.Hk, Ilmu Musthalah hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hal.95.
[17] Manna’
Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet.
III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.137.
[18] Manna’
Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet.
III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.133.
[19] T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, (Semarang: PT.
pustaka Rizki putra, 1999), hal. 197.
[20] M.
‘Ajaj Al-Khathib, terj. M.Qadirun Nur, Ushul
Al-Hadits, Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003), hal.307.
[21] Manna’
Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet.
III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.142.