BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Hakekat Wanita
Islam merupakan agama yang sempurna dalam
mengatur manusia menuju kebahagiaan didunia dan diakhirat. Diantara
kesempurnaan agama Islam adalam mengatur tentang hakekat wanita dan
kehidupannya secara khusus. Didalam al-qur’an juga ada satu surat khusus
diantaranya khusus menyangkut tentang wanita. Salah satu tema yang menjadi
prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara
lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang
digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah
nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini dijelaskan
oleh allah didalam Al-qur’an seperti didalam firman-Nya dalam surat Al-hujurat
ayat 13:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ) الحجرات: ١٣(
Artinya: Wahai seluruh
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan
perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa (Qs. Al-hujurat: 13).
Hakekat perempuan dalam
pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara
masyarakat. Ajaran Islam pada
hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat
kepada perempuan.
Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama
besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: "Kalau kita
mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan
perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak
dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan
mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan
Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak
dijadikan bahan perbandingan."1
Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi)
lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: "Tabiat kemanusiaan antara
lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan
kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka
berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul
tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan
aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum
Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual
dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan
menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli,
mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan
menyaksikan."2. Banyak
faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan
tersebut. Salah satu di antaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan,
sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan
yang tidak dibenarkan itu.
Berikut ini akan dikemukakan pandangan sekilas yang bersumber dari
pemahaman ajaran Islam menyangkut perempuan, dari segi asal kejadiannya, dan hak-haknya dalam
berbagai bidang.
1.
Asal Kejadian Perempuan
Islam secara tegas menjelaskan bahwa allah menciptakan pria dan
wanita dari jenis yang sama yang kemudian berkembangbiak menjadi pasangan yang
banyak di muka bumi. Seperti
di jelaskan oleh Allah didalam Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah
An-Nisa':
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء
وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبا)ً النساء: ١(
Artinya: Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya
Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain , dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu. (Qs. An-Nisaa’: 1 )
Demikian Al-Quran menolak
pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan
bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara
bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang
perempuan.
Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi:
وعن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: استوصوا بالنساء خيراً؛ فإن المرأة خلقت من ضلع وإن أعوج ما في الضلع أعلاه، فإن ذهبت تقيمه كسرته، وإن تركته لم يزل أعوج، فاستوصوا بالنساء) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.(
Artinya: Dari Abu Hurairah
r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Berwasiatlah engkau
semua kepada kaum wanita dengan yang baik-baik, sebab sesungguhnya wanita itu
dibuat dari tulang rusuk dan sesungguhnya selengkung-lengkungnya tulang rusuk
ialah bahagian yang teratas sekali. Maka jikalau engkau cuba meluruskannya,
maka engkau akan mematahkannya dan jikalau engkau biarkan saja, maka ia akan
tetap lengkung selama-lamanya. Oleh sebab itu, maka berwasiatlah yang baik-baik
kepada kaum wanita itu.( HR. Bukhari dan Muslim)”3
Benar ada hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami secara
keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian
mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki.
Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis
tersebut. Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis:
"Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian
Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas,
niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak
seorang Muslim."4
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi
(kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar
menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan
kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak
disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka
tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka
berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk
yang bengkok. Memahami hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas,
justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya
sejak lahir. Dalam Surah Al-Isra' ayat 70 ditegaskan bahwa:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم
مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا
تَفْضِيلاً) الإسراء: ٧٠(
Artinya: Sesungguhnya Kami telah memuliakan
anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan
mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami
ciptakan.(Qs. Al- Isra’: 70 )
Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk
mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan,
khususnya dalam bidang kemanusiaan. Demikian terlihat bahwa Al-Quran
mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala
pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal
kejadiannya.
2.
Hak-hak Perempuan
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya.
Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan
kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh
perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan. Secara umum surah An-Nisa'
ayat 32, menunjuk kepada hak-hak perempuan:
وَلاَ
تَتَمَنَّوْاْ مَا فَضَّلَ اللّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِّلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُواْ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ
وَاسْأَلُواْ اللّهَ مِن فَضْلِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً)
النساء: ٣٢ (
Artinya: Dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa
yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qs. An- Nisa’ : 32 )
Adapun diantara hak-hak dari pada
wanita dalam Islam, diantaranya Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang
dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam:
a. Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik
Salah satu ayat yang seringkali
dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum
perempuan adalah yang tertera dalam surah At-Taubah ayat 71:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ
اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ) التوبة: ٧١(
Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebagian mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.( Qs. At-Taubah : 71 )
Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang
kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan
mencegah yang munkar. Kata awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama,
bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan
yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan,
termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap
lelaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat
agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam
berbagai bidang kehidupan.”5 Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) untuk
bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya. Urusan
mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah, hal ini sesuai dengan firmannya
dalam surat Asy – syuraa ayat 38:
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ) الشورى: ٣٨(
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (Qs.
Asy-syura: 38).
Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan
adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan. Syura (musyawarah)
telah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama
menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga
masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan
musyawarah.
Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan
memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang
dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan
bermasyarakat --termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam
menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang
kemasyarakatan, tanpa kecuali.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita
yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi
Muhammad SAW. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik
(jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi
Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan Ali
Ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah
terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a.
Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta
(656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan
kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para
pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik
praktis sekalipun.
b. Hak-hak Perempuan dalam Memilih Pekerjaan
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan
pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam
membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja
dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri
atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama
pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama
mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak
negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan
perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama
pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan
tersebut". Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa
Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam
peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu
Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah,
dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan.
Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang
menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan
Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan
Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.
Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam
berbagai bidang pekerjaan. Ada
yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang
merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay- istri Nabi Muhammad
saw. Ada juga
yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.6
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah
binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga
Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah
datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli.
Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana
ditemukan antara lain pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga
jual-beli.
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul
saw. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai
bidang usaha dan pekerjaan. Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga
digarisbawahi bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada
perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan
pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat.
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada
masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di
atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan
pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya
dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara. Dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum
wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan
tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat
diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-'Uzhma)
dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi
pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan
sebagai hakim.
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan
bahwa "setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka
sesuatu itu dapat diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan
dari orang lain". Atas dasar kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud
berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan sekadar pertimbangan
perkembangan masyarakat kita jika kita menyatakan bahwa perempuan dapat
bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.”[1]
c. Hak dan Kewajiban Belajar
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara
tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki
maupun perempuan. Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu
sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar:
Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya
terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi),
tetapi juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena
itu, sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian
mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi. Al-Muqarri, dalam bukunya Nafhu
Al-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu
Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang
perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki
kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sampai
ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena keahliannya dalam bidang ini.[2]
Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi
sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara
satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka
yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil
mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang
dewasa ini. Dalam hal ini, Syaikh Muhammad Abduh menulis: "Kalaulah
kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas,
maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan
persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu,
tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal keagamaan."[3]
1 Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam
wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat, ( Kairo: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1964 ), hal.
138.
3 Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin (Terjemahan
Agus Hasan Basri & M. Syu’ieb al-aiz), cet II, (Jakarta: Duta Ilmu, 2004 ),
hal. 320.
4 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir
Al-Manar, ( Kairo: Dar Al-Manar, 1367 H ), hal. 330.
5 Amin Al-Khuli, Al-Mar'at
baina Al-Bayt wa Al-Muitama', dalam Al-Mar'at Al-Muslimah fi Al-'Ashr
Al-Mu'ashir, ( Baqhdad, t.t)., hal. 13.
6 Ibrahim Bin Ali Al-wazir, 'Ala
Masyarif Al-Qarn. Al-Khamis 'Asyar,(
Kairo: Dar Al-Syuruq, 1979 ), hal. 76.
[1] Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huquq
Al-Mar'at fi Al-Mujtama' Al-Islamiy, ( Kairo: Al-Haiat Al-Mishriyat
Al-Amat,1986), hal.71.
[2] Abdul Wahid Wafi, Al-Musawat fi Al-Islam, ( Kairo: Dar Al-Ma'arif,
1965), hal. 47.
[3] Jamaluddin Muhammad Mahmud,Huquq Al-Mar'at fi Al-Mujtama'
Al-Islamiy, ( Kairo: Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat 1986), hal.79.
0 Comments
Post a Comment