Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Hikmah Menyusui Bagi Perkembangan Anak


A.    Hikmah Menyusui Bagi Perkembangan Anak


Menyusui bayi adalah salah satu dari sekian banyak tugas seorang ibu sesuai dengan fitrah yang perasaannya halus, penuh kasih sayang, lembut. Berbeda dengan kodrat laki-laki. Namun tidak semua wanita bisa melakukannya dengan penuh tanggung jawab. Ada juga wanita yang takut kehilangan kecantikan dan keelokan rupanya. Lain halnya bagi wanita yang tidak bisa menyusui anaknya secara penuh yang disebabkan oleh ketiadaan air susunya[1].
Pemberian air susu ibu (ASI) pada balita pada dasarnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan fisik anak tersebut, tapi jauh dari itu yaitu pemenuhan kebutuhan rohani, yakni kasih sayang ibu yang timbul ketika menyusui anak, ibu mendekap anak dan mendoakannya menjadi anak yang shaleh[2]. Kasih sayang diberikan sejak dini itu akan menjadi dasar dalam pembentukan kepribadian anak.
Justru itu menyusui anak disamping mengandung nilai-nilai positif dari segi psikologis, juga mengandung nilai-nilai positif dari sisi seorang ibu yang tentu saja menaruh perhatian dan pengharapan yang banyak terhadap anak agar kelak menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa, bangsa dan masyarakat. Firman Allah:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ) آل عمران: ١٤(
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Qs. Ali-Imran: 14)[3].

Secara naluri anak yang menyusu pun merasakan kehalusan hati ibunya, sehingga ia merasa aman, damai dalam pangkuan ibunya. Dengan demikian terjadilah hubungan kasih sayang antara ibu dan anak, sebuah hubungan kasih sayang yang berkelanjutan hingga anak menjadi dewasa. Dalam buku “Himpunan Konsultasi Agama Islam” Harian Serambi Indonesia yang diasuh oleh Tgk. H. Muslim Ibrahim menjelaskan tentang hikmah menyusui anak itu antara lain: Pertama, Terpatrinya hubungan cinta kasih sejati antara ibu dengan anak yang merupakan faktor penting bagi ketenangan jiwa sang ibu dan kesejahteraan mental bagi sang bayi Kedua, mempercepat kembalinya rahim kepada bentuk rahim semula, karena penghisapan payudara ketika anak menyusui dapat menegangkan sejumlah urat tertentu sehingga mengeluarkan kelenjar oxytosin yang berperan sekali dalam memperkuncupkan rahim. Dan rahim akan kembali seperti keadaan semula sebelum melahirkan. Ibu-ibu yang tidak menyusui bayi amat mudah ditimpa penyakit kedodoran rahim dan tempat rahim didalam perut serta nafas yang terputus-putus Ketiga, dapat menjaga ibu dari kanker payudara, penelitian menunjukkan bahwa wanita yang menyusui anak sedikit yang terkena penyakit yang amat fatal ini, Keempat, Menyusui anak adalah cara terbaik mencegah kehamilan, penyusuan yang dilakukan menurut semestinya disamping mewujudkan oxytosin juga menyebabkan timbul dan bertambahnya kelenjar prolaction yang dipancarkan oleh tara’ib yang mengakibatkan berkurangnya hormone gonadotropisnis yang merupakan faktor umum dalam menghasilkan ovum wanita, sehingga kemungkinan wanita yang menyusui hamil untuk jangka waktu tertentu menjadi amat kecil. Itulah sebabnya para ahli kandungan yang handal secara ijma’ mengatakan bahwa menyempurnakan susuan adalah cara terbaik untuk mencegah kehamilan karena tidak menimbulkan efek sampingan apapun. Kelima, Pada bulan Febuari 1981, melalui sebuah majalah kesehatan, WHO mengecam keras produsen susu buatan, karena keberadaaan susu buatan dapat mendorong sang ibu untuk tidak menyusui anaknya yang sekaligus berarti menghancurkan kesehatannya sendiri. Berbarengan dengan itu, WHO juga menghimbau seluruh pemerintah Negara berkembang untuk tidak mengimpor susu buatan baik berbentuk tepung ataupun dari unsur hewan dan nabati. Penyusuan dengan non air susu ibu (ASI) menurut WHO faktor pembunuh bayi dan menganggap kesehatan ibu harus diutamakan.[4]
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, para ahli medis telah menunjukkan bahwa air susu ibu sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Ali Ahmad Jurjawi adalah makanan bayi yang paling menyehatkan dari semua jenis susu, baik susu buatan maupun dari susu lainnya. Bagaimanapun baiknya susu buatan tidak akan bisa mendekati mutu air susu ibu (ASI). Menyusui mempunyai faedah yang sangat penting bagi ibu karena susu ibu merupakan simpanan dari intisari yang terus bertambah banyak ketika hamil untuk tujuan menyusui. Menyusui itu sendiri berguna untuk alat reproduksi dan mengurangi kesiapan hami waktu menyusui.[5]
Al-Fakhrurrazi mengatakan:
memelihara anak dengan air susu ibu (ASI) lebih baik dari pada semua jenis susu yang lain. Karena kasih sayang ibu kepada anak lebih sempurna daripada kasih sayang orang lain. Cara demikian itu dilakukan bila tidak ada keterpaksaan karena tidak adanya orang yang menyusui selain ibu, atau karena bayi itu sendiri tak suka menyusui kepada orang lain. Pada saat itu diwajibkan kepada ibu harus dan wajib menyusui anaknya seperti halnya setiap orang itu wajib memberi makan kepada orang yang membutuhkan.[6]
    
     Apa yang dapat dipahami dari ungkapan diatas adalah bahwa penyusuan anak memiliki dimensi kasih sayang yang tidak dapat diukur melalui segi emosional, melalui pelukan dan dekapan ibu, bayi merasakan perlindungan yang menjamin hidupnya. Karena itulah sifat ketergantungan anak terhadap air susu ibu (ASI) adalah suatu kemutlakan.



[1] Roesli Utami, Mengenal ASI Eksklusif, Cet. III, (Jakarta: Trubus Agriwidya, 2005), hal. 27.

[2] Ibid, hal. 29
[3]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Yayasan Penterjemah al-Quran, 1991), hal. 76
[4]Rusmiati Ibrahim, Hukum Islam Tentang Penyusuan…, hal. 40.
[5]Ali Ahmad Jurjawi, Hikmah At-Tasyri’ Wa Falsafatuhu, alih bahasa Hadi Mulyono dan Shobussurur, (Semarang: Asy-Syifa’, 1992), hal. 347.

[6]Ibid., hal. 347.