Idealisme dan Filsafat Pendidikan
BAB I
P E N D A H U L U A N
A.
Latar Belakang Masalah
Terdapat banyak alasan untuk
mempelajari filsafat pendidikan, khususnya apabila ada pertanyaan rasional yang
seyogyanya tidak dapat dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu pendidikan.
Pakar dan praktisi pendidikan memandang filsafat yang membahas konsep dan
praktik pendidikan secara komprehensif sebagai bagian yang sangat penting dalam
menentukan keberhasilan pendidikan. Terlebih lagi, di tengah arus globalisasi
dan modernisasi yang melaju sangat pesat, pendidikan harus diberi inovasi agar
tidak ketinggalan perkembangan serta memiliki arah tujuan yang jelas. Di
sinilah perlunya konstruksi filosofis yang mampu melandasi teori dan praktek
pendidikan untuk mencapai keberhasilan substantif.
Teori dan praktek pendidikan
memiliki spektrum yang sangat luas mencakup seluruh pemikiran dan pengalaman
tentang tujuan, proses, serta hasil pendidikan. Pendidikan dapat dipelajari
secara empirik berdasarkan pengalaman maupun melalui perenungan dengan melihat
makna pendidikan dalam konteks yang lebih luas.
BAB II
P E M B A H A S A N
A.
Pengertian Filsafat Pendidikan
Filsafat dan filosof berasal dari
kata Yunani “philosophia” dan “philosophos”. Menurut bentuk kata, seorang
philosphos adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Sebagian lain mengatakan
bahwa filsafat adalah cinta akan kebenaran. Filsafat sering pula diartikan
sebagai pandangan hidup.[1]
Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena,
filsafat yang merupakan pandangan hidup iku menentukan arah dan tujuan proses
pendidikan.
Oleh karena itu, filsafat dan
pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan sendiri pada
hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang dikembangkan
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari
keadaan sebelumnya.[2]
Dalam pendidikan diperlukan bidang
filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri adalah ilmu yang mempelajari
dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang
bersifat filosofis.[3]
Jadi jika ada masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat
filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya.
Secara filosofis, pendidikan adalah
hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan
cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu
kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya.[4]
Dengan demikian, muncullah filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagaimana
suatu bangsa itu berpikir, berperasaan, dan berkelakuan yang menentukan bentuk
sikap hidupnya. Adapun proses pendidikan dilakukan secara terus menerus
dilakukan dari generasi ke generasi secara sadar dan penuh keinsafan.
Ajaran filsafat adalah hasil
pemikiran sesorang atau beberapa ahli filsafat tentang sesuatu secara
fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat pebedaan di dalam
penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang
berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama.[5]
Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh factor-faktor lain seperti latar
belakangpribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran
manusia di suatu tempat.
Ajaran filsafat yang berbada-beda
tersebut, oleh para peneliti disusun dalam suatu sistematika dengan kategori
tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa
yang disebut aliran (sistem) suatu filsafat. Tetapi karena cara dan dasar yang
dijadikan criteria dalam menetapkan klasifikasi tersebut berbeda-beda, maka
klasifikasi tersebut berbeda-beda pula.
Seorang ahli bernama Brubacher
membedakan aliran-aliran filsafat pendidikan sebagai: pragmatis-naturalis;
rekonstruksionisme; romantis naturalis; eksistensialisme; idealisme; realisme;
rasional humanisme; scholastic realisme; fasisme; komunisme; dan demokrasi.
Pengklasifikasian yang dilakukan oleh Brubracher sangat teliti, hal ini dilakukan
untuk menghindari adanya overlapping dari masing-masing aliran.
Sebagian ahli mengklasifikasikan
aliran filsafat pendidikan ke dalam tiga kategori. Yaitu, kategori filsafat
pendidikan akademik skolastik, kategori filsafat religious theistic, dan kategori
filsafat pendidikan social politik. Filsafat pendidikan akademik skolastik
meliputi dua kelompok yang tradisonal meliputi aliran perenialisme,
esensialisme, idealisme, dan realisme, dan progresif meliputi progresivisme,
rekonstruksionisme, dan eksistensialisme. Filsafat religious theistik meliputi
segala macam aliran agama yang paling tidak terdiri dari empat besar agama di
dunia ini, dengan segala variasi sekte-sekte agama masing-masing. Sedangkan
filsafat pendidikan social politik terdiri dari humanisme, nasionalisme,
sekulerisme, dan sosialisme.
B.
Aliran Filsafat Idealisme
Tokoh aliran idealisme adalah Plato
(427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu
filsafat yang mengagungkan jiwa.[6]
Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa
terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap
oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan
yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata
hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta
penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Keberadaan idea tidak tampak dalam
wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni.
Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya
tidak menetap.[7]
Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli.
Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa
dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia yang
tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang
dikatakan dunia idea.
Plato yang memiliki filsafat
beraliran idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk
masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap
orang dan setiap kelas menurut kapasitas masin-masing dalam masyarakat sebagai
keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat
menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari
atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada
pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah
bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan
sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan
cara hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan
doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini
tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide
adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja
yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat
menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala
sesuatu yang dialami sehari-hari.
Kadangkala dunia idea adalah
pekerjaan norahi yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita yang
arealnya merupakan lapangan metafisis di luar alam yang nyata. Menurut
Berguseon, rohani merupakan sasaran untuk mewujudkan suatu visi yang lebih jauh
jangkauannya, yaitu intuisi dengan melihat kenyataan bukan sebagai materi yang
beku maupun dunia luar yang tak dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup yang
kreatif.[8]
Aliran idealisme kenyataannya sangat
identik dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita.
Pertama, yang tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup
dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan ada
yang demikian seterusnya.[9]
Kedua, adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna
(idea), gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang
murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi
dari yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme
mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea
merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti
yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan
tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali
kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan
sedikit pun tidak mengalami perubahan.
Inti yang terpenting dari ajaran ini
adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi
dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya
dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut
sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan
secara alami pikiran yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa
gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat
yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia.
Demikian juga hasil adaptasi
individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani yang
akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru. Maka apabila kita menganalisa
pelbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya
membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan untuk
mewujudkan cita-cita, di mana manusia berpikir bahwa sumber pengetahuan
terletak pada kenyataan rohani sehingga kepuasaan hanya bisa dicapai dan
dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam idealisme disebut
dengan idea.
Memang para filosof ideal memulai
sistematika berpikir mereka dengan pandangan yang fundamental bahwa realitas
yang tertinggi adalah alam pikiran
Sehingga, rohani dan sukma merupakan tumpuan bagi pelaksanaan dari paham
ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak bagi aliran idealisme.
Namun pada porsinya, para filosof
idealisme mengetengahkan berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang
sebenarnya adalah idea. Idea ini digali dari bentuk-bentuk di luar benda yang
nyata sehingga yang kelihatan apa di balik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan
pada dasarnya adalah untuk mengenal alam raya. Walaupun katakanlah idealisme
dipandang lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini
dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat pelik yang kadang-kadang tidak mungkin
dapat atau diubah oleh materi, Sebagaimana Phidom mengetengahkan, dua prinsip
pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan di sini
adalah jiwa atau sukma.
Dengan demikian, dunia pun terbagi
dua yaitu dunia nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan (boraton genos)
dan dunia yang tidak kelihatan (cosmos neotos). Bagian ini menjadi sasaran
studi bagi aliran filsafat idealism
Plato dalam mencari jalan melalui
teori aplikasi di mana pengenalan terhadap idea bisa diterapkan pada alam nyata
seperti yang ada di hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam nyata belum
tentu bisa mengetahui apa di balik alam nyata. Memang kenyataannya sukar
membatasi unsur-unsur yang ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato.
Ini disebabkan aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang hakikat
sesuatu daripada menampilkannya dan mencari dalil dan keterangan hakikat itu
sendiri. Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa pikiran Plato itu bersifat
dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun adanya buah pikiran
Plato itu maka ahli sejarah filsafat tetap memberikan tempat terhormat bagi
sebagian pendapat dan buah pikirannya yang pokok dan utama.
Antara lain Betran Russel berkata:
Adapun buah pikiran penting yang dibicarakan oleh filsafat Plato adalah: kota
utama yang merupakan idea yang belum pernah dikenal dan dikemukakan orang
sebelumnya. Yang kedua, pendapatnya tentang idea yang merupakan buah pikiran
utama yang mencoba memecahkan persoalan-persoalan menyeluruh persoalan itu yang
sampai sekarang belum terpecahkan. Yang ketiga, pembahasan dan dalil yang
dikemukakannya tentang keabadian. Yang keempat, buah pikiran tentang
alam/cosmos, yang kelima, pandangannya tentang ilmu pengetahuan.
C.
Idealisme dan Filsafat Pendidikan
Aliran filsafat idealisme terbukti
cukup banyak memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup
berpengaruh terhadap pemikiran dan praktik pendidikan. William T. Harris adalah
tokoh aliran pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat.
Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti
tokoh-tokoh idealisme yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946).
Herman Harrell Horne adalah filosof yang mengajar filsafat beraliran idealisme
lebih dari 33 tahun di Universitas New York.[10]
Belakangan, muncul pula Michael Demiashkevitch,
yang menulis tentang idealisme dalam pendidikan dengan efek khusus. Demikian
pula B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C.
Lodge (1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat di
Universitas Maitoba. Dua bukunnya yang mencerminkan kecemerlangan pemikiran
Rupert dalam filsafat pendidikan adalah Philosophy of Education dan studi
mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni
Gentile Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar
dari reformasi pendidikan karena berpegang pada prinsip-prinsip filsafat
idealisme sebagai perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu
sebelumnya, yaitu positivisme dan naturalisme.
Idealisme sangat concern tentang
keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara
fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga
untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak
sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19
secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan
sebagai ekspresi realitas spiritual.
Para murid yang menikmati pendidikan
di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh
pendidikan dengan mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab,
pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting.[11]
Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di
tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau
tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak
didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru
jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar
ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.
Bagi aliran idealisme, anak didik
merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang
menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka
lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman
pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat
idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam
kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual
merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa
adanya spiritual.
Sejak idealisme sebagai paham
filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai
saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola
pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran
tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan
masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut
paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk
masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk
individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki
kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna,
hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya
diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik.
Sedangkan tujuan pendidikan idealisme
bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam
spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain.
Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang
satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling
penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis
dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus,
yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran yang
menganut aliran idealisme berfungsi sebagai:
1)
Guru
adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik;
2)
Guru
harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa;
3)
Guru
haruslah menguasai teknik mengajar secara baik;
4)
Guru
haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid;
5)
Guru
menjadi teman dari para muridnya;
6)
Guru
harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar;
7)
Guru
harus bisa menjadi idola para siswa;
8)
Guru
harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan
para siswanya;
9)
Guru
harus menjadi pribadi yang komunikatif;
10)
Guru
harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya;
11)
Tidak
hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar;
12)
Guru
harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil;
13)
Guru
haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi;
14)
Guru
harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.[12]
Kurikulum yang digunakan dalam
pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang
objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook.
Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.
BAB III
P E N U T U P.
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis
kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini penulis dapat
mengambil beberapa kesimpulan serta mengajukan beberapa saran.
A.
Kesimpulan
1.
Filsafat dan filosof berasal dari kata Yunani “philosophia” dan
“philosophos”. Menurut bentuk kata, seorang philosphos adalah seorang pencinta
kebijaksanaan. Sebagian lain mengatakan bahwa filsafat adalah cinta akan
kebenaran. Filsafat sering pula diartikan sebagai pandangan hidup.
2.
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates.
Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa.
3.
Aliran filsafat idealisme terbukti cukup banyak memperhatikan
masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap pemikiran dan
praktik pendidikan.
B.
Saran - Saran
1.
Disarankan kepada umat islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa
STIT Almuslim untuk memperdalam pengkajian ilmu filsafat.
2.
Disarankan kepada pihak STIT Almuslim agar dapat menyediakan staf
pengajar yang ahli dibidang filsafat, karena dengan adanya staf pengajar yang
ahli dapat meningkatkan kualitas para mahasiswa.
3.
Disarankan kepada para mahasiswa untuk dapat menelaah islam secara
mendalam, supaya dapat menambah ilmu pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Barnadip, imam,
filsafat pendidikan, yogyakarta: andi offset, 1987
Khobir, Abdul, filsafat
pendidikan islam, pekalongan: STAIN PRESS, 2007.
Admin, Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan, Situs informasi
Indonesia Serba serbi Dunia Pendidikan, http://edu-articel.com/2006.
Hidayanto, D.N, Diktat Landasan Pendidikan, Untuk Mahasiswa,
Guru dan Praktisi Pendidikan, Forum Komunikasi Ilmiah FKIP Universitas
Mulawarman, Samarinda, 2000.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku Kedua Pengantar Kepada
Teori Pengetahuan, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Hoesin, Oemar Amin, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
cet. I, 1961.
Jurnal Filsafat,
Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Edisi Agustus, 1992.
Peursen, C.A. Van, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar
Filsafat Islam, Alih bahasa; J. Drost, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
cet. III, 1993.
Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta: Uni Press, cet. I, 1984.
Zanti Arbi, Sutan, Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan,
Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengemba¬ngan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan, Jakarta: 1988.
[1]
Khobir, Abdul, filsafat pendidikan islam, (Pekalongan: STAIN PRESS,
2007),hal. 28.
[2]
Barnadib, Imam, Ke Arah Perspektif Pendidikan, (Yogyakarta: FIP IKIP,
1994), hal. 31
[3]
Beerl.ing, Kwee, Mooij Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa;
Soejono cet. III, (Yogyakarta: Soemargono, 1990), hal. 28.
[4]
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Buku Kedua Pengantar Kepada Teori
Pengetahuan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal. 35.
[5]
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih bahasa, Soerjono Soemargono,
(Yoryakarta: Tiara Wacana, 1986), hal. 41.
[6]
Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer cet. I,,
(Jakarta: Uni Press, 1984), hal 24.
[7]
Zanti Arbi, Sutan, Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan, (Jakarta:
Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan, 1988) hal. 33.
[8]
Louis O. Kattsoff, Pengantar,.............................,hal. 17
[9]
Khobir, Abdul, filsafat pendidikan,.............................,hal. 19
[11] Khobir,
Abdul, filsafat pendidikan,.............................,hal. 31
[12]
Barnadip, imam, filsafat pendidikan, (yogyakarta: andi offset, 1987),
hal. 45