Konsep Para Filosof Tentang Epistimologi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Secara
historis, epistimologi bukanlah permasalahan
pertama yang muncul dalam pikiran manusia. Justru aktivitas filsafat
dimulai dalam wilayah metafisika. Apa itu dunia? apa itu jiwa? Dan sebagainya
merupakan pertanyaan-pertanyaan pertama yang
mengganggu pikiran manusia yang selanjutnya mereka mencoba menemukan
jawabannya. Akan tetapi, mereka mendapati berbagai jawaban tentang hal-hal
tersebut beragam dan saling bertentangan. Berangkat dari fakta ini mereka sampai
pada dunia luar, tetapi justru mereka arahkan kepada dirinya sendiri tentang
apakah intelek manusia mampu menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Pada
titik inilah manusia masuk dalam kawasan epistimologi.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Epistimologi
Epistimologi
berasal dari Bahasa Yunani kuno, yaitu epistem yang berarti pengetahuan dan
logos yang berarti penjelasan atau ilmu. Jadi secara etimologis, epistimologi
adalah ilmu tentang pengetahuan.[2]
Sedangkan secara terminologi epistimologi adalah cabang filsafat yang secara
khusus membicarakan teori ilmu pengetahuan, sumber pengetahuan dan bagaimana
cara memperoleh pengetahuan itu.[3]
Epistimologi
merupakan cabang filsafat yang yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan
ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk
menemukan prisip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Apakah
obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauhkah tingkat kebenaran yang bisa
dicapainya, dan kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu,
kebenaran obyektif, subyektif, absolut atau relatif. Subyek ilmu adalah
manusia, dan manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas, sehingga kajian
ilmu pada realitasnya, selalu berada pada batas-batas, baik batas-batas yang
melingkupi hidup manusia sendiri, maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi
fokusnya, dan setiap batas-batas itu, dengan sendirinya selalu membawa
konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Jadi,
epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat,
batas, validitas dan hakekat pengetahuan. Epistimologi meliputi berbagai sarana
dan tata cara menggunakan sarana dan sumber pengetahuan untuk mencapai
kebenaran dan kenyataan. Perbedaaan dalam pemilihan asumsi ontologi dengan sendirinya
akan mengakibatkan perbedaan, yaitu akal, pengetahuan, intuisi dan lain-lain.[4]
B.
Objek Epistimologi Islam
Dalam
konsep filsafat Islam, kajian ilmu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri yang
terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an. Ayat tersebut mengkaji tentang tuhan dan
firman-Nya, alam dan manusia. Kajian terhadap kitab suci akan melahirkan
dimensi ilmu fisika atau ilmu alam, sedangkan kajiandalam manusia akan
menimbulkan ilmu antropologi atau ilmu humaniora. Dari data ini jelas bahwa
dalam agama Islam obyek ilmu tidak hanya dalam ilmu agama, tetapi juga dalam
alam dan mereka sendiri. Ini berarti manusi dituntut untuk memperoleh
pengetahuan dari ayat-ayat Tuhan, alam, maupun dari diri mereka.[5]
C.
Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Ada
beberapa jalan memperoleh pengetahuan yaitu empirisme, rasionalisme, dan
intusionisme.
1.
Menurut
empirisme bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantara pancaindera. Pancaindera
memperoleh kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata dan kesan-kesan itu
berkumpul dalam diri manusia.
2.
Menurut
rasionalisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantara akal. Akal
berhajat pada bantuan pancaindera untuk memperoleh data dari alam nyata, tapi
akallah yang menghubungkan data ini satu dengan yang lain, sehingga terdapatlah
ilmu pengetahuan yang diperoleh Nabi untuk membawa ajaran-ajaran yang berasal
dari wahyu.[6]
Adapun
Intusionisme adalah kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia.
Kemampuannya mirip instinct, tetpai berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya.
Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Kemampuan inilah
yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik. Intuisi ini
menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi, indera dan akal
hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh atau spasial, sedangkan
intuisi dapat mengahasilkan pengetahuan yang utuh dan tetap.[7]
Dari
teori di atas dapat kami simpulkan bahwa cara memperoleh ilmu pengetahuan yaitu
berasal dari wahyu dan akal. Wahyu merupakan pengetahuan yang datang dari
Tuhan, dan kebenarannya adalah mutlak dan akal tidak sanggup mengubahnya. Akal
merupakan perolehan pengetahuan dengan berfikir. Kebenaran teori pengetahuan
akal manusia sangatlah terbatas, ini dikarenakan terbatasnya usia manusia, dan
berkembangnya obyek bahasan, jadi beda dengan kebenaran wahyu. Kebenaran
manusia terbatas karena kebenaran yang sesungguhnya berasal dari Tuhan.[8]
D.
Konsep Para Filosof Tentang Epistimologi
1.
Abu
Yusuf Ya’qub ibn Ishak Al-Kindi (Wafat 252 H)
Al-Kindi
menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia, yaitu :[9]
1)
Pengetahuan
Indrawi
Pengetahun
indrawi terjadi secara langsung ketika seseorang mengamati obyek-obyek
material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berpindah ke
imajinasi. Pengetahuan yang diperoleh lewat jalan ini bersifat tidak tetap,
tetapi selalu berubah dan bergerak setiap waktu.
2)
Pengetahuan
Rasional
Pengetahuan
rasional adalah pengetahuan yang diperoleh menggunakan jalan akal yang bersifat
universal, tidak parsial dan immaterial. Pengetahuan ini menyelidikinya sampai
pada hakikatnya dan sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang
berfikir.
3)
Pengetahuan
Isyraqi
Pengetahuan
isyraqi merupakan pengetahuan yang datang dan diperoleh langsung dari pancaran
Nur Ilahi, puncak pengetahuan dari pengetahuan ini adalah pengetahuan yang
diperoleh Nabi untuk membawakan ajaran yang berasal dari wahyu Tuhan.
Menurutnya pengetahuan inilah yang mutlak dan benar. Pengetahuan ini hanya
dimilki oleh mereka yang berjiwa suci dan dekat dengan Allah.
2.
Abu
Nashr Al-Farabi (257-329 H)
Menurut
Al-Farabi, manusia memperoleh pengetahuan itu dari daya mengindra, menghayal,
dan berfikir. Yang mana ketiga daya ini merujuk pada kedirian manusia, yaitu :
jism, nafs, aql.
1)
Mengindra,
daya ini memungkinkan manusia untuk menerima rangsangan seperti panas dan
dingin. Dengan daya ini manusia dapat mengecap, membau, mendengar suara dan
melihat.
2)
Menghayal,
memungkinkan manusia untuk memperoleh kesan dari hal-hal yang dirasakan setelah
obyek itu lenyap dari jangkauan indra. Daya ini adalah menggabungkan atau
memisahkan seluruh kesan-kesan yang ada sehingga menghasilkan potongan-potongan
atau kombinasi-kombinasi yang beragam. Hasilnya bisa jadi benar bisa jadi
salah.
3)
Berfikir,
daya ini memungkinkan manusia memahami berbagai pengertian.[10]
3.
Abu
Hamid Al-Ghazali (450-505 H)
Setelah
ia melewati masa skeptisitasnya, ia mengkaji secara mendalam
persoalan-persoalan epistemologi. Menurutnya, makrifat hakiki adalah suatu
pengetahuan yang menyingkap hakikat objek pengetahuan (ma’lum) sedemikian
sehingga tidak menyisakan satu bentuk keraguan dan tidak menghadirkan
kemungkinan kekeliruan atasnya. Al-Ghazali pernah menelusuri lorong-lorong
keraguan dan sampai pada puncak keraguan. Namun, pada akhirnya ia terhidayah
dan menggapai keyakinan berkat pertolongan cahaya Ilahi. Ia terperosok ke
lembah skeptisitas lewat alur logika dan keluar darinya dengan jalan pengalaman
mistik dan intuisi irfani.
Dengan
menghitung kesalahan dan kekeliruan panca indra, ia lantas meragukan hal-hal
yang indriawi dan beranggapan bahwa sebagaimana akal bisa mengungkap semua
kesalahan panca indra, sangat mungkin akan hadir seorang pemikir lain yang
mampu menyingkap kekeliruan akal dan membatalkan pengetahuan yang dipandang
gamblang oleh akal (seperti angka sepuluh lebih besar dari tiga). Dan ia berkata
bahwa dari mana kita yakin bahwa kita dalam kondisi tidak tidur dan berkhayal.
Oleh karena itu, kita bisa meragukan segala sesuatu. Menurutnya, pengalaman
mistik dan intuisi irfani (al-kasy wa asy-syuhud al-’irfani). Akan tetapi, ia
juga meyakini bahwa jalan logika dan penalaran akal, dengan berpegang teguh
pada syarat-syaratnya, sebagai metode memahami hakikat eksternal. Ia menekankan
bahwa hasil-hasil yang dicapai oleh pengetahuan itu sangat berpijak kepada
penguatan argumentasi-argumentasinya.[11]
4.
Fakhr
al-Din ar-Razi (543-606 H)
Ia
sama dengan para filosof sebelumnya yang menganggap indra lahir dan akal
sebagai alat untuk memahami realitas luar, dan setelah menerima kenyataan
adanya kekeliruan pada indra lahir, ia kemudian meletakkan akal itu sebagai tolok
ukur dalam penentuan kesalahan yang dilakukan oleh indra lahir. Menurutnya,
ilmu itu ialah hubungan antara ‘âlim (yang mengetahui) dengan ma’lum bidz-dzat
(pengetahuan esensial). Ia juga menjelaskan tentang keraguan-keraguan yang
berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan badihi dan gamblang, namun,
menurutnya, keberadaan semua keraguan tersebut tidak mampu menafikan kebenaran
pengetahuan yang gamblang tersebut.[12]
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan
pembahasan diatas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran-saran
sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1.
Epistimologi
adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan teori ilmu pengetahuan,
sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan itu.
2.
Obyek
epistimologi atau pengetahuan islam adalah Tuhan, alam dan manusia.
3.
Cara
memperoleh pengetahuan ada tiga yaitu: empirisme yaitu pengetahuan diperoleh
dengan perantara pancaindera, rasionalisme yaitu pengetahuan yang diperoleh
menggunakan jalan akal yang bersifat universal, intuisionisme yaitu kemampuan
tingkat tinggi yang dimiliki manusia yang merupakan hasil evolusi pemahaman
tertinggi. Kemampuannya mirip instinct, tetpai berbeda dalam kesadaran dan
kebebasannya.
4.
Konsep
para filosof tentang epistimologi, diantaranya: Al-Kindi menyebutkan ada tiga
macam pengetahuan manusia yaitu indrawi, rasional dan isyraqi, menurut Al-Farabi
menyebutkan tiga macam pengetahuan manusia yaitu mengindera, mengkhayal dan
berfikir, menurut Al-Ghazali ada tiga akal dan indera bisa saja salah dan
diragukan kebenarannya. Menurutnya, pengalaman mistik dan intuisi irfani lebih
baik dari keduanya, menurut Ar-Razi, akal sebagai pengkoreksi indra apabila
terjadi kesalahan.
5.
Filsafat
dalam Islam adalah mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan
empirisisme, tapi dengan didukung oleh wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan
tentang sesuatu yang tak dapat terjangkau oleh metode empiris-rasional
tersebut. Meskipun metodologi pencaraian ilmu dalam Islam memiliki kesamaan
dengan di Barat dalam aspek rasionalitas, namun secara fundamental hal itu
dapat dibedakan oleh pandangan hidup atau worldview masing-masing peradaban.
B.
Saran-Saran
1.
Disarankan
kepada mahasiswa agar lebih giat dalam belajar, demi untuk mencapai cita-cita
yang tinggi.
2.
Disarankan
kepada mahasiswa agar mengabdikan ilmu ditengah-tengah masyarakat.
3.
Disarankan
kepada mahasiswa agar gemar membaca, karena dengan membaca banyak ilmu yang di
dapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat
Barat dan Modern, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Dr. H. Musa Asy’ari, dkk, Filsafat, RSFI, Yogyakarta; 1992.
Drs. H. Fathul Mufid, M.Si, Filsafat Ilmu Islam, STAIN
KUDUS, 2008.
Harun Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta,
1973.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Remaja Rosda Karya, bandung,
2007
Ahmad Mustafa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997.
http://kumpulanresume.blogspot.com/2010/12/epistemologi-dalam-filsafat-islam.html
[3] Musa
Asy’ari,dkk, Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis,
Historis dan Porspektif,
(Yogyakarta: RSFI, 1992), hal. 28.
[5] Ibid,
hal. 77.
[7] Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007), hal. 19.
[11] http://kumpulanresume.blogspot.com/2010/12/epistemologi-dalam-filsafat-islam.html diakses
tanggal 12 Desember 2012.
[12] http://kumpulanresume.blogspot.com/2010/12/epistemologi-dalam-filsafat-islam.html diakses
tanggal 23 Desember 2010.