A.
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Pada
Zaman Modern
Pendidikan Islam merupakan aktivitas
pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk
menerapkan ajaran dan nilai – nilai Islam, sehingga dalam prakteknya pendidikan
Islam diIndonesia dapat dikelompokkan kedalam lima jenis yaitu: pertama,
Pondok Pesantren atau Madrasah Diniyah, yang menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional disebut sebagai
pendidikan keagamaan (Islam) formal seperti pondok pesantren /Madrasah
Diniyah(Ula, Wustha, Ulya); kedua, Madrasah dan pendidikan lanjutannya
seperti Institut Agama Islam Negeri Universitas Islam Negeri yang bernaung
dibawah Naungan Kementrian Agama; ketiga, Pendidikan usia dini/TK,
sekolah/ perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh dan/atau berada dibawah
naungan Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga ; keempat, Pelajaran
agama Islam di sekolah/madrasah/perguruan tinggi sebagai suatu mata pelajaran
atau mata kuliah, dan/atau sebagai program studi; dan kelima, Pendidikan
Agama Islam dalam keluarga atau ditempat ibadah, dan/atau diforum-forum kajian
keislaman, seperti: majelis ta’lim dan institusi lainnya yang sekarang sedang
digalakkan oleh masyarakat, atau pendidikan (Islam) melalui jalur pendidikan
non formal dan informal.[1]
Pendidikan agama Islam adalah sistem
pendidikan yang dikembangkan dari dan disemangati atau dijiwai oleh
ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam. Dalam pengertian ini, pendidikan agama
Islam mencakup: Pertama, Kepala Sekolah/Madrasah atau Pimpinan perguruan
tinggi yang mengelola dan mengembangkan aktifitas kependidikannya yang
disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam, serta tenaga-tenaga
penunjang pendidikan (seperti putakawan, laboratarium, tenisi sumber belajar
dan lain-lain) yang mendukung terciptanya suasana, iklim dan budaya keagamaan
disekolah /madrasah atau perguruan tinggi tersebut; dan Kedua, komponen-komponen
aktifitas pendidikan, sepeti kurikulum atau program pendidikan, peserta didik
yang tidak sekedar pasif-reseptif, tetapi aktif kreatif, personifikasi
pendidik/guru, konteks belajar atau lingkungan, alat/media/sumber belajar, metode,
dan nilai nilai Islam, atau yang berciri khas Islam.[2]
Jalaluddin
dan Ustman Said dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan menjelaskan
bahwa dasar
pendidikan agama Islam bersumber dari Al-Qur’an,
sunnah Rasul dan ijtihad.[3]. Al-Qur’an harus didahulukan, sebab apabila suatu ajaran dan penjelasanya
tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, maka harus di adakan pencarian di dalam
sunnah, dan apabila di dalam sunnah tidak ditemukan, maka barulah di pergunakan
sumber yang ketiga yaitu ijtihad. Sunnah tidak akan bertentangan dengan Al-Qur’an
dan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.[4]
Apabila ketiga dasar pendidikan agama ini saling bertentangan dan saling
menafikan, maka akan terjadi kontradiksi dalil, sedangkan dalil-dalil tersebut
bersumber dari Zat yang maha mengetahui, walaupun sunnah dan ijtihad tidak
langsung bersumber dari Allah akan tetapi kedua dalil ini tidak terlepas dari
pengupasan dan penggunaan yang ada dalam
ayat Al-Qur’an.
Konsep dasar dari pendidikan agama
adalah Al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad. Tanpa dasar ini
tidak akan ada pengetahuan agama. Persoalan yang muncul dalam bentuk apapun
atau bagaimanapun dapat diselesaikan dengan ilmu agama. Untuk lebih jelas dasar
pendidikan agama dapat dilihat sebagai berikut :
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah Kalam Allah SWT yang
diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa arab
yang jelas berguna untuk menjelaskan jalan hidup yang bermaslahat bagi umat
manusia di dunia dan di akhirat. Terjemahan Al-Qur’an dengan bahasa
lainnya tafsirannya bukanlah Al-Qur’an dan karenanya bukanlah nash yang
qath’i dan sah untuk dijadikan rujukan dalam menarik kesimpulan ajarannya.[5] Al-Qur’an
menyatakan diri sebagai kitab petunjuk. Allah menjelaskan hal ini dalam
Firman-Nya :
إِنَّ هَـذَا
الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ
يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً) الإسراء: ٩(
Artinya: Sesungguhnya al–Qur’an ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberikan kabar gembira kepada
orang-orang yang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada
pahala yang lebih besar (Qs. al-Isra’ : 9).
Ayat di atas, menegaskan bahwa
tujuan Al-Qur’an memberikan petunjuk bagi umat manusia. Tujuan ini hanya
akan tercapai dengan memperbaiki hati dan akal manusia dengan akidah-akidah
yang benar dan akhlak yang mulia serta mengarahkan tingkah laku mereka kepada
perbuatan yang baik. Atas dasar ini, maka setiap Pembahasan yang profesional,
membutuhkan dan berdasarkan pada dalil syar’i. pembahasan yang tidak bertujuan
demikian tidak akan mendapatkan legitimasi dari dalil syar’i.
Petunjuk Al-Qur’an
sebagaimana yang dinyatakan oleh Mahmud Syaltut, dapat dikelompokkan menjadi
pokok yang disebut sebagai maksud-maksud Al-Qur’an, yaitu :
Pertama, Petunjuk tentang akidah dan
kepercayaan yang harus dianut oleh manusia
dan tersimpul dalam keimanan akan ke-Esaan Tuhan serta kepercayaan akan
kepastian hari pembalasan.
Kedua, Petunjuk mengenai akhlak yang murni
dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti
oleh manusia dalam kehidupan, baik individu maupun kolektif.
Ketiga, Petunjuk mengenai syari’at dan hukum
dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.[6]
Ajaran yang
terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu
yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut akidah dan yang
berhubungan dengan amal yang disebut syari’ah. Ajaran-ajaran yang berkenaan
dengan iman tidak banyak dibicarakan dalam Al-Qur’an, tidak sebanyak
ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan, ini menunjukkan bahwa amal yang
paling banyak dilaksanakan, sebab semua perbuatan manusia yang banyak
berhubungan dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat dan dengan
alam sekitarnya, termasuk ruang lingkup amal salih.[7]
Oleh sebab itu, pendidikan agama
Islam merupakan suatu tindakan amalan salih yang termasuk dalam bidang
muamalah, karena pendidikan membentuk manusia yang benar-benar mempunyai
kemampuan dalam menyikapi segala bentuk permasalahan yang akan diselesaikan
dengan ilmu agama, pendidikan menjadi hal yang penting yang harus selalu
diperhatikan, pendidikan turut menentukan bentuk amal dan kehidupan manusia.
Al-Qur’an disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada
umat manusia dengan penuh amanat, tanpa sedikit pun dikurangi dan ditambah.
Selanjutnya manusialah yang hendak berusaha memahami, kemudian mengamalkan.
Sering kali manusia kesulitan dalam
memahaminya, dan ini yang dialami oleh para sahabat sebagai generasi pertama
penerima Al-Qur’an. Karenanya mereka meminta penjelasan kepada
Rasulullah SAW, yang memang diberi otoritas untuk itu. Allah SWT, menyatakan
otoritas dimaksud dalam firmannya sebagai berikut :
بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ) النحل: ٤٤(
Artinya:…...dan
Kami telah turunkan kepada kamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan
(An-Nahlu : 44).
b. Sunnah
Sunnah memang berkedudukan sebagai
penjelas bagi Al-Qur’an. Namun pengamalan ketaatan kepada Allah sesuai
dengan ajaran Al-Qur’an sering kali sulit terlaksana tanpa
penjelasannya. Karenanya Allah memerintahkan kepada manusia untuk mentaati
Rasul dalam rangka ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya para ulama memandang
sunnah sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Tiga dasar
ajaran agama ini dan herarki penggunaanya ditetapkan dalam hadits sebagai
berikut :
انّ
رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بعث معاذا إلى اليمن، فقال
"كيف تقضى؟" فقال:أقضى بماكتاب الله.
قال: "فإن لم يكن فى كتاب الله؟" فبسنةِ رسول الله. قال: فإن لم يكن فى سنة رسول الله صلّى الله
عليه وسلّم؟ "قال: أجتهد رأييز. قال: الحمدالله الذي وقث رسولى الله"
(رواه التومذى )
Artinya : Rasulullah Saw mengutus Muadz
ke Yaman, kemudian beliau bertanya, Bagaimana kamu memutuskan (Suatu Masalah)?
“ia menjawab”, saya akan memutuskan dengan apa yang ada dalam kitab Allah,
“Beliau bertanya” Apabila Keputusan ini Tidak terdapat dalam keputusan Allah?
“Ia menjawab “saya akan memutuskan dengan Sunnah Rasulullah saw, “Beliau
bertanya lagi”, apabila keputusan ini tidak juga terdapat dalam sunnah
Rasulullah saw? “Ia menjawab”, saya berijtihad dengan ra’yu. “Kemudian Beliau
bersabda”,segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan
Rasulnya. (H.R Turmudzi)[8]
Dalam lapangan pendidikan, sebagaimana diterangkan oleh Abdurrahman
an-Nahlawi, sunnah mempunyai faedah sebagai berikut :
1.
Menjelaskan
sistem pendidikan Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan
menerangkan hal-hal rincian yang tidak terdapat didalamnya.
Sunnah, sebagai
penjelasan Al-Qur’an, mengambil dua bentuk nilai kaidah-kaidah normatif
serta teknik-teknik praktek historis. Bentuk pertama bisa dikembangkan dalam
penggunaan nilai, sehingga tidak mungkin ada pertentangan antara nilai pokok
dan nilai cabang. Bentuk kedua bisa diubah sesuai dengan situasi dan kondisi.
Ilmu pendidikan agama telah berbuat banyak terhadap bentuk kedua. Umpamanya
dengan menelaah kembali apakah teknik-teknik pendidikan yang digunakan Rasul
masih relevan atau tidak, dan apakah cukup memadai atau belum untuk diterapkan
dizaman sekarang.
c. Ijtihad
Masyarakat selalu mengalami
perubahan, baik mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola
tingkah laku, organisasi, susunan-susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan
dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, maupun interaksi sosial dan lain
sebagainya.[10]
Masalah tersebut merupakan
perkembangan baru dalam dunia pendidikan yang tidak akan dijumpai di masa
Rasulullah Saw, tetapi memerlukan jawaban untuk kepentingan pendidikan dimasa
sekarang. Untuk itulah diperlukan ijtihad pada masa sekarang dari para mujtahid
muslim.
Ijtihad pada dasarnya merupakan
usaha sungguh-sungguh orang muslim untuk selalu berprilaku berdasarkan ajaran
Islam. Untuk itu, manakala tidak ditemukan petunjuk yang jelas dari Al-Qur’an
maupun sunnah tentang suatu prilaku, orang muslim akan mengarahkan segenap
kemampuannya untuk menemukannya dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum Al-Qur’an
dan sunnah.
Dalam lapangan pendidikan ijtihad
perlu mengimbangi lapangan fiqh (lahir dan bathin), mengingat yang pertama
merupakan usaha pemberdayaannya, sedangkan yang kedua merupakan usaha
penggalian isi budaya itu. Ruang lingkupnya bisa dalam ruang lingkup filsafat
pendidikan Islam dan bisa pula dalam lingkup ilmu pendidikan Islam.
[3]
Jalaluddin dan Ustman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan
Perkembangan, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 37.
[5] Ali Hasballah, Usbul al-Tasyri’ al-Islami,
(Cairo: Dar al-Ma’arif, 1971), hal. 17.
[6]Mahmud Syaltut, Ila’ al -Qur’an al-Karim, (Cairo:
Mathba’ah al-azhar,1962), hal. 1-2.
[7]M. Nasir Budiman, Pendidikan Dalam
Persperktif Al-Qur’an, (Jakarta: Madani Press, 2001), hal. 8.
[8]Muhammad Abdurahim al-Mubarrakfuri, Tubfat
al-akhwadzi bi Syarb Jami’al-Turmudz, Jil.IV, (Madinah: Dar al-ittihad
al-‘Arabi li al-Thiba’ah, 1965), hal. 50.
[9]Abdurrahman an-Nahlawi, Usbul al-Tarbiyah
al-Islamiyah wa Assalihuba fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1979), hal. 23.
[10] Soerjono Soekanto, Sosiolog Hukum, (Jakarta:
Rajawali Press, 1988), hal. 88.
0 Comments
Post a Comment