Macam-macam Teknik Pemberian Hukuman
A. Macam-macam Teknik Pemberian Hukuman
Secara umum ada dua jenis hukuman, yaitu
hukuman fisik dan hukuman non fisik.[1]
Hukuman fisik adalah hukuman yang langsung berkaitan dengan fisik manusia
seperti pukulan, siksaan fisik, kurungan dan hukuman lainnya. Sedangkan
hukuman non fisik adalah hukuman yang tidak langsung berkaitan dengan badan
anak tetapi hukuman yang berkaitan dengan kejiwaan manusia secara psikologis,
seperti cacian, makian, mempermalukan, melarang, teror, ancaman, intimidasi,
dan berbagai macam hukuman yang bersifat pembunuhan karakter lainnya.
Hukuman non fisik adalah hukuman yang
lebih diutamakan digunakan dari pada hukuman fisik. Hukuman non fisik tidak
akan terlalu sakit dirasakan anak-anak dan tidak akan membawa dampak negatif ke
dalam benak anak-anak.[2]
Agar hukuman non fisik benar-benar menjadi hukuman yang bijak dan lebih efektif
digunakan dalam proses belajar mengajar, maka ada beberapa tips-tips penting
yang perlu diperhatikan oleh pendidik yaitu:
1)
Hukuman haruslah masuk akal dan
sepadan dengan pelanggaran yang dilakukan anak.
2)
Hukuman tidak boleh menjadikan si
anak mulai berfikir bahwa pendidik adalah musuhnya dan mereka tidak
mencintainya.
3)
Jika anak melakukan sebuah
kesalahan yang tidak disengaja, maka dia tidak sepantasnya dihukum.
4)
Hukuman tidak boleh dijadikan
sebagai peristiwa yang setiap hari dilakukan, jika pendidik ingin hal itu
efektif.
5)
Anak dapat dihukum untuk suatu
perbuatan yang dilakukannya, bukan untuk semua kesalahan yang pernah
dilakukannya.
6)
Jika pendidik sedang melakukan
hukuman terhadap anak didiknya, jangan banding-bandingkan dia dengan anak-anak
yang lain.[3]
Dengan demikian, hukuman sebaiknya
digunakan dengan cara yang bijaksana dan benar-benar mengandung nilai-nilai
pendidikan yang tidak terlepas dari rasa cinta dan kasih sayang terhadap anak.
Jika tips-tips penberian hukuman non fisik seperti yang telah penulis paparkan
di atas mampu dilakukan dengan baik tan terkontrol oleh pendidik, maka hukuman
tidak akan menjadi hal yang dapat membuat anak menjadi sakit hati, merasa
dibenci, hilang kepercayaan diri yang dapat menekan mental serta
psikologisnya.
Para pakar pendidikan berbeda pendapat
tentang masalah hukuman pukulan dalam mendidik anak,[4]
sebagian para pakar pendidikan ada yang berpendapat boleh bahkan bersikeras menggunakan
hukuman pukulan dalam mendidik anak, sedangkan ada juga yang sebagian pakar
pendidikan yang tidak mau menggunakan hukuman pukulan. Menurut penulis, permasalah pemberian hukuman dengan pukulan
dalam mendidik anak masih menjadi pro dan kontra di kalangan para pakar
pendidikan, hal ini dikarenakan ada yang setuju dan ada yang tidak setuju
dengan pemberian hukuman pukulan terhadap anak dalam proses pendidikan.
Para pakar yang tidak menyetujui
penerapan hukuman pukulan dalam pendidikan adalah:
- Rasulullah
saw, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dari Aisyah, ia berkata, “Sama
sekali Rasulullah saw tidak pernah memukul pembantunya, tidak pernah memukul
wanita, dan tidak pernah memukul sesuatu apapun, kecuali pada saat beliau
berjihat di jalan Allah.”[5]
- Suhnun,
mewasiatkan kepada guru anaknya “Jangan kau didik dia kecuali dengan pujian dan
kata-kata yang lembut. Dia bukanlah anak yang biasa dididik dengan pukulan dan
kata-kata yang kasar.”[6]
- Imam
Abu Hamid Al-Ghazali,[7]
beliau menasehatkan kepada para guru,
“Arahkan para murid agar tidak melakukan
tingkah laku yang buruk. Gunakan cara yang paling memungkinkan untuk
memalingkan mereka dari hal tersebut, dan hindari ucapan-ucapan yang kasar.
Didik mereka dengan penuh kasih sayang, bukan dengan celaan. Karena tindakan
mempermalukan hanya akan menyingkap hijab harga diri, mewariskan keberanian
untuk melakukan pembangkangan dan penyimpangan dan membuat mereka senang
melakukan kesalahan yang berkelanjutan.”[8]
- Ibnu
Khaldun,[9]
kekasaran dan kekerasan dalam pengajaran terhadap anak didik merupakan tindakan
yang dapat menyebabkan timbulnya kebiasaan buruk dan menghambat perkembangan
pribadi anak.[10] Menurut
beliau, kekerasan terhadap anak didik dalam proses belajar mengajar sebaiknya dihindari,
karena hal itu akan membuat anak didik menjadi malas, berbohong (ucapannya
tidak sesuai dengan apa yang difikirkannya dan apa yang ia ketahui sebenarnya),
serta anak didik akan menjadi kasar.
Sedangkan para pakar yang menyetujui
penerapan hukuman pukulan dalam pendidikan adalah:
- Empat
Mazhab Fiqih,[11] keempat
mazhab fiqih ini memperbolehkannya pemberian hukuman dalam pendidikan akan
tetapi harus sesuai dengan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dan hanya
boleh dilakukan oleh orang-orang yaitu orang yang memiliki tanggung jawab
terhadap anak (orang tua, wali dan para pendidik). Hal ini menurut mereka
didasarkan pada sabda Rasulullah saw yaitu:
عن عمر و بن شعيبٍ عن أ بيه, عن خدّ ه قال: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: ))مرّواأَولادكم با لّصلاة وهم ا بناءسبع سنين, وا ضربوهم
عليها وهم ابناء عشر سنين, وفرّقوا بينهم فِى المضا جع((.
Artinya: “Dari
Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya beliau berkata, “Rasulullah saw
pernah berkata “Suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun
dan pukullah jika tidak mau shalat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat
tidur mereka.” (HR. Abu Dawud).[12]
- Ibnu
Sina,[13]
dalam bukunya “Siyasatu Ar-Rajul Waladahu”, beliau mengatakkan bahwa:
“Sudah seharusnya bagi para pendidik anak-anak untuk menjauhkan mereka dari
segala tingkah laku yang buruk dan kebiasaan yang tercela. Caranya dengan
menakut-nakuti dan mengajak dengan baik, santun dan keras, menolak dan
menerima, sesekali memuji dan sesekali mengecam. Tapi semua itu tidak cukup,
jika dibutuhkan untuk memukul, maka diperbolahkan dengan syarat sedikit saja
dan tidak menyakiti. Sebagaimana orang bijak mengisyaratkan, setelah mengancam
anak, mempersiapkan bantuan baginya, maka lakukan pukulan pertama. Tetapi jika
pukulan pertama ini menyakitkan, maka anak akan berprasangka buruk terhadap terhadap
pukulan berikutnya, maka ia akan merasa takut mendapatkan pukulan berikutnya.”[14]
- Dr.
Fakhir Aqil,[15] beliau
berpendapat bahwa hukuman adalah salah satu cara untuk memberikan ganjaran, dan
dalam pendidikan adanya ganjaran pemberian hadiah dan pemberian hukuman
merupakan suatu hal yang lumrah adanya, beliau berpendapat demikian karena
sebagaimana firman Allah:
`yJsù ö@yJ÷èt tA$s)÷WÏB >o§s #\øyz
¼çntt
ÇÐÈ `tBur
ö@yJ÷èt tA$s)÷WÏB ;o§s #vx© ¼çntt
ÇÑÈ
Artinya:
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan) nya. Dan
barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan) nya pula.” (Q.S. Al-Zalzalah, ayat 7-8).
Ayat di atas mengandung nilai pendidikan
tentang ganjaran yaitu berupa imbalan dan hukuman, setiap anak yang sudah
berbuat baik dan benar maka berikanlah ia imbalan agar dapat memotifasi
dirinya, sedangkan ketika anak berbuat salah atau menyimpang dari apa yang
telah diajarkan maka berilah ia hukuman agar menjadi bahan evaluasi dalam diri
anak itu sendiri.
Pemberian hukuman pun menurut beliau
tetap sebagai jalan terakhir, hukuman fisik yang diberikan kepada anak tetap
hukuman yang dilakukan dengan hati-hati dan dengan siasat yang baik yaitu
dengan memulai menghukum dari yang paling ringan, sedikit lebih berat dan
menghukum dengan hukuman yang berat. Oleh karena itu, Selanjutnya penulis akan
mencoba membahas tentang bagaimana tahapan-tahapan pemberian hukuman terhadap
anak dengan cara-cara yang mendidik.
Tokoh
lain adalah seperti Aristoteles juga berpendapat bahwa, “Rasa takut akan
hukuman itu lebih baik efektif untuk membina manusia kepada ajakan-ajakan untuk
berbuat baik,” Powelson mengatakan
bahwa, “Tanpa rasa takut alias rasa hormat atas wacana hukuman maka pendidikan
tidak akan berjalan efektif,” Herbert seorang guru dari Jerman yang sangat
populer mengatakan, “Kepatuhan itu lebih efektif dengan kedisiplinan dan
hukuman yang keras itu harus proporsional dan terus berjalan sampai mencapai
hasil yang diharapkan.”[16]
Ibnu Jamaah,[17]
memandang bahwa pemberian imbalan dan hukuman adalah suatu hal yang sangat
berpengaruh terhadap pendidikan anak, Ibnu Jama’ah berpendapat bahwa jika anak
melakukan perilaku yang tidak benar, maka guru dapat memberikan sanksi atau
hukuman kepada anak dengan teknik yang efektif dengan mengikuti beberapa
tahapan-tahapan berikut ini, yaitu:
1)
Melarang perbuatan itu di depan
siswa yang melakukan kesalahan tanpa menggunakan sindiran, atau menghinanya
tanpa menyebutkan nama pelakunya, atau menerangkan ciri-ciri yang mengarah ke
individu tertentu.
2)
Jika anak tidak menghentikan
perbuatannya, guru dapat melarangnya secara sembunyi-sembunyi, misalnya cukup
dengan isyarat tangan. Hal ini dapat dilakukan kepada anak yang dapat memahami
isyarat.
3)
Jika anak tidak juga
menghentikannya, guru dapat melarangnya secara tegas dan keras, jika keadaannya
menuntut demikian, agar anak itu dan teman-temannya menjauhkan diri dari
perbuatan semacam itu, dan setiap orang yang mendengar memperoleh pelajaran.
4)
Jika anak tidak kunjung
menghentikannya guru boleh mengusirnya dan tidak mempedulikannya hingga dia
kembali dari perilakunya yang salah, terutama jika guru mengkhawatirkan
perbuatannya itu akan ditiru oleh teman-temannya.[18]
Jika kita melihat tahapan-tahapan
pemberian hukuman menurut Ibnu Jama’ah sebagaimana yang telah penulis paparkan
di atas, maka penulis dapat melihat bahwa Ibnu Jama’ah menjadikan pemberian
hukuman terhadap anak adalah sebagai salah satu tahap dalam membimbing dan
mengarahkan terhadap setiap
perilaku-perilaku anak didik yang menyimpang dan mengendalikannya dengan cara
yang penuh dengan kasih sayang sesuai dengan landasan pendidikan yang baik
karena ketulusan guru dalam melaksanakan profesinya sebagai pendidik anak-anak
dan bukan berlandaskan dendam, kebencian, dan kemarahan.
1. Pemberian
Hukuman yang Mendidik
“Al-Ghazali
merupakan salah seorang ulama yang memahami bahwa hukuman kependidikan haruslah
hukuman yang mendidik. Artinya, hukuman itu harus memiliki karakteristik
tersendiri yang didasarkan atas tujuan kemaslahatan, bukan untuk menghancurkan
perasaan pelajar, menyepelekan harga dirinya, dan menghinakan gengsinya.
Kewajiban guru kepada siswa ialah mengendalikan dan membinanya.”[19]
Kita pastinya setuju bahwa hukuman
bukanlah didasarkan pada perlakuan kekerasan yang dilakukan tanpa arahan yang
baik, dalam mendidik walaupun atas nama hukuman, hukuman terhadap anak tetap
harus dilakukan dengan cara yang mendidik karena hukuman adalah salah satu
sarana dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh guru untuk mengendalikan
sikap dan tingkah laku anak didik yang menyimpang dari etika, akhlak dan moral
yang baik.
Menurut Dr. Adnan Ali Ridha An-Nahwi,
“Imbalan atau sanksi, keduanya adalah
ganjaran yang diperbolehkan di dalam Islam. Baik dalam ranah kehidupan
sehari-hari maupun dalam ranah pendidikan. Akan tetapi keduanya harus
dijalankan di atas ketentuan dan kaedah yang benar.”[20]
Pemberian sanksi atau hukuman anak adalah bertujuan untuk mendidik anak agar
istiqomah terhadap batas-batas yang telah ditentukan.
Hukuman adalah suatu hal yang dilakukan
oleh pendidik terhadap peserta didik ketika peserta didik tersebut telah
melakukan kesalahan, dengan harapan agar peserta didik dapat menyadari,
mengurangi bahkan tidak mengulangi lagi kesalahannya. Oleh karena itu,
pemberian hukuman terhadap anak didik haruslah dilakukan dengan baik dan tidak
terlepas dari nilai-nilai edukatif. Ada beberapa contoh hukuman yang mendidik
yang dapat dipergunakan oleh para guru atau pendidik agar tidak menyimpang dari
kode etik pendidikan atau bahkan menjadi tindak kekerasan, yaitu:
a)
Isyarat penolakan terhadap
tingkah laku yang kurang disukai.
b)
Mengoreksi nama bagus yang
dimiliki anak.
c)
Menampakkan ketidaksukaan.
d)
Memberikan evaluasi dengan
kata-kata yang agak tajam.
e)
Menghukum dengan memberikan
makanan yang keras dan minuman yang kurang nikmat.
f)
Memberi dekapan yang dibumbui
rasa khawatir.
g)
Tidak memberi hadiah dan imbalan
moril lainnya.
h)
Kotak penghargaan dan catatan
inventarisir tingkah laku.
i)
Kegagalan dalam mencapai
keinginan yang hendak diperoleh dalam suatu perlombaan.[21]
Setiap pendidik diharapkan agar selalu
mengawasi dan mengarahkan setiap sikap dan tingkah laku anak didiknya, hal ini
akan membuat anak didik merasa mendapatkan perhatian penuh dari orang-orang
disekelilingnya yang selalu dekat dengannya. Isyarat penolakan terhadap tingkah
laku yang kurang disukai adalah salah satu teknik pemberian hukuman yang bisa
dilakukan oleh guru dengan isyarat seperti menggoyangkan jari telunjuk ke kanan
dan ke kiri, menggeleng-gelengkan kepala, mengerutkan kening, memalingkan muka
atau memasang muka cemberut pada anak yang berbuat salah.
Hal selanjutnya bisa juga dilakukan oleh
guru yaitu dengan mencoba mengoreksi makna nama anak yang baik dengan perbuatan
yang tidak sesuai dengan nama anak tersebut, misalnya, “Zacky, adalah nama yang
indah yang bermakna cerdas, seharusnya anak yang cerdas tidak melakukan hal
buruk seperti itu” atau “Tidak bagus anak yang namanya mulia, melakukan
perbuatan yang tidak mulia.” Atau dengan cara yang lain yaitu dengan
menunjukkan wajah masam atau cemberut. Mengevaluasi sikap anak dengan ucapan
yang sedikit tajam seperti “Jangan begitu”, “Coba lagi”, “Lain kali perbaiki
sikapnya ya”, dan berbagai bentuk ungkapan lainnya adalah salah satu bentuk
hukuman yang bernilai pendidikan karena mengandung nilai-nilai evaluasi di
dalamnya.
Cara lain dalam memberi hukuman adalah
bisa juga dengan menggunakan makanan, hal ini bisa saja dilakukan oleh seorang
ibu dengan unsur kesengajaan dan diungkapkan ketika makanan disajikan agar anak
faham makna yang terkandung dalam pemberian hukuman tersebut, seperti, “Hari
ini menu makan siang memang tidak enak, sama halnya seperti sikap dan perilaku
anak ibu yang sama sekali tidak enak dilihat.” Atau bisa juga dengan dekapan
yang dibarengi belaian kepala dan tatapan mata yang penuh kekecewaan, para ibu
bisa mengatakan rasa penyesalannya seperti, “Ibu sangat kecewa dengan
perbuatanmu tadi”, “Ibu harap, apa yang sudah kamu lakukan tadi tidak pernah
terulang lagi.”
Pemberian hukuman juga dapat dilakukan
dengan membatasi anak dari pemberian hadiah atau mengurangi uang jajannya, ada baiknya orang
tua juga mengatakan kepada anaknya bahwa dia akan mendapatkan uang jajannya
lagi jika mau berubah lebih baik lagi dan minta maaf atas kesalahan yang telah
diperbuatnya. Kiat lainnya adalah dengan membuat kotak evaluasi kesalahan,
setiap anak melakukan kesalahan maka anak tulis kesalahan itu di selembar
kertas, lalu masukkan ke dalam kota, jika anak telah memperbaiki kesalahannya
maka tuliskan perbuatannya yang telah baik tersebut dan masukkan kembali ke
dalam kotak yang sama, sehingga itu menjadi pelajaran yang bisa diingat selalu
oleh anak.
Dalam sebuah lembaga pendidikan,
pemberian hukuman juga dapat dilakukan dengan cara menyuruh anak membuat tugas
seperti menghafal beberapa ayat-ayat pendek, membaca sebuah buku yang berkenaan
dengan perilaku yang baik dan perilaku yang tidak baik, membuat kerajinan tangan
dan membersihkan perkarangan sekolah. Terkadang pendidik juga boleh menggunakan
hukuman yang meliputi tekanan sosial seperti mengucilkan anak yang melakukan
kesalahan dari kelompoknya, berdiri dalam waktu yang lama dan dilarang ikut
serta dalam kegiatan bersama untuk jangka waktu tertentu.[22]
Menghukum anak dalam proses pendidikan
jika dilihat dari sudut jangka pendek merupakan suatu hal yang dilakukan untuk
menghentikan sikap dan tingkah laku anak langsung pada saat anak melakukan
kesalahan. Sedangkan kalau kita melihat efek pemberian hukuman terhadap anak
untuk jangka panjang adalah usaha untuk mengajari dan memberi pemahaman kepada anak
agar menyadari dan menghentikan tingkah lakunya yang salah dengan kesadarannya
sendiri.
Sifat-sifat anak yang suka melawan,
tidak hormat, suka mencuri, malas, suka mengganggu orang lain dan suka merusak
harus segera diatasi, karena tingkah laku demikian dapat merugikan orang lain
dan dirimya sendiri.[23]
Setiap kali anak melakukan kesalahan, pendidik perlu menegur dan mengingatkan
anak dengan cara menasehatinya. Akan tetapi jika anak masih terus melakukan
sikap atau perilaku yang menyimpang, maka hal inilah yang kemudian perlu
ditindaki dengan memberikan anak hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Dalam memberikan hukuman terhadap anak, pendidik
diharapkan agar mampu memberikan hukuman dengan “kepala dingin”, tidak
mengedepankan emosi sehingga hukuman yang dijalankan mengandung nilai-nilai
edukatif. Berikut ini ada beberapa pedoman menghukum dan mendisiplinkan anak
secara efektif, yaitu:
a. Mengumpulkan
segala fakta. Pendidik dengan pikiran jernih, objektif, melihat kesalahan anak.[24]
Ketika anak melakukan kesalahan,
pendidik diharapkan agar tidak langsung memvonis anak, akan tetapi diharapkan agar
bertanya terlebih dahulu dan memberi kesempatan kepada anak didik untuk
mengungkapkan alasan, perasaan dan pendapatnya melakukan hal tersebut, Setelah
itu baru pendidik memberikan nasehat kapada anak tersebut tentang tindakan yang
salah dari dirinya dan menunjukkan contoh sikap atau perilaku baik yang
seharusnya dilakukan oleh anak didik.
b. Jangan
mencela pribadi anak. Pendidik diharapkan sebaiknya tidak langsung menuduh
bahwa itu jahat, pembangkang, atau suka melawan.
Ketika anak melakukan kasalahan, pendidik
diharapkan agar tidak langsung memarahi bahkan memaki anak didik dengan bahasa
kasar yang menyakiti atau menyinggung perasaannya, pendidik jangan langsung
menghina, memvonis apalagi sampai menghakimi anak didik dengan dengan
kalimat-kalimat seperti, “kamu pencuri”, “Kamu pembohong”, “Kamu tidak sopan” dan “kamu suka melawan.”
Yang perlu dalam pemberian hukuman adalah memberikan pemahaman kepada anak
terhadap perilakunya yang salah, bukan menghina apalagi menghina pribadi diri
anak didik.
c. Hukuman
sesuai dengan kesalahan dan keadaan. Hukuman yang diberikan kepada anak didik
sebaiknya disesuaikan dengan kesalahan, dan disesuaikan pula dengan keadaan
anak.[25]
Dalam memberikan hukuman terhadap anak
didik, pendidik diharapkan agar mampu memberikan hukuman yang efektif dan
mengandung nilai-nilai edukatif dengan menganalisa terlebih dahulu tingkat
kesalahan yang dilakukan oleh anak didiknya dan mampu melihat bagaimana keadaan
psikologis anak tersebut. Ketika anak melakukan kesalahan yang ringan dan baru
pertama kali dilakukannya, maka hukuman yang diberikan adalah cukup dengan
memanggil dan menasehatinya dengan cara yang lemah lembut dan penuh kasih
sayang, dan ini juga bisa dilakukan kepada anak yang peka, pemalu dan sensitif.
Tapi apabila kesalahan yang dilakukan oleh anak sudah berulang kali dan terlalu
berat, maka barulah dipertimbangkan hukuman apa yang mampu merubah perilaku dan
sifat-sifat anak yang kurang baik tersebut.
d. Hukuman
fisik hanya sebagai usaha terakhir. Menghukum anak dengan lidi atau rotan
adalah metode mendisiplinkan dan mendidik yang bersifat negatif.[26]
Menghukum anak dengan metode memukul
anak yang melakukan kesalahan dengan menggunakan lidi atau rotan adalah tahap
hukuman terakhir yang boleh dilakukan oleh guru atau pendidik apabila usaha-usaha
yang lain tidak mempan lagi. Dalam menghukum anak dengan pukulan, pendidik
diharapkan agar hati-hati dan penuh kesadaran dalam melakukannya, bukan dengan
sikap yang benci dan hati yang penuh dendam.
Dalam memberikan hukuman terhadap anak
didik, pendidik diharapkan agar memberikan hukuman yang baik bagi diri anak ke
depan dan hukuman yang mendidik yang berdampak positif untuk keberhasilan anak.
Hukuman yang mendidik bagi peserta didik adalah hukuman yang tidak berdampak
negatif terhadap anak didik diantaranya adalah:
Pertama; Memberikan
nasehat dan pengarahan.[27]
Tahap pertama dalam memberikan hukuman kepada peserta didik adalah dengan
memberikan ia nasehat dengan cara yang lemah lembut penuh dengan kasih sayang,
hal ini perlu dilakukan oleh seorang pendidik kepada peserta didik yang
melakukan kesalahan karena mereka belum mengetahui atau memahami bahwa hal yang
mereka lakukan itu salah. Maka ketika hal ini terjadi, pendidik memiliki
kesempatan untuk memberi pemahaman kepada anak tentang mana hal boleh dilakukan
dan mana hal yang tidak boleh dilakukan dengan pengarahan yang baik, hal ini
bisa juga dilakukan oleh seorang pendidik berbarengan dengan membelai kepala
anak dan menatap kepadanya dengan lemah lembut,[28]
cinta dan kasih sayang, sehingga anak tidak merasa malu dan merasa sedang
dihukum, akan tetapi anak akan merasakan bahwa ia disayang dan
diperhatikan.
Kedua; Mengerutkan
muka.[29]
Ketika anak didik melakukan kesalahan yang sama atau kesalahan yang sudah kita
beri pemahaman bahwa hal itu tidak baik, maka pendidik diperbolehkan untuk
“bermuka masam” (menampakkan ketidaksukaan) terhadap apa yang dilakukan peserta
didik, pendidik bisa saja melihat ke arah peserta didik yang melakukan
kesalahan dan kemudian mengerutkan muka tanpa berbicara apa-apa, karena dengan
begitu anak akan faham bahwa kita tidak senang terhadap sikapnya dan ia akan
teringat kembali dengan apa yang sudah pendidik nasehati sebelumnya. Selain
itu, pendidik juga bisa menggunakan hukuman psikologis misalnya memberikan
teguran dan celaan atas sikap anak yang salah, tapi bukan dengan kata-kata yang
keji dan kotor.[30]
Ketiga; Membentak.[31]
Ketika anak sudah tidak peduli lagi dan bersikap tidak menghargai atau tidak
sopan dengan sikap dan isyarat dari pendidik kepadanya, maka pendidik perlu
melakukan sedikit bentakan, hal ini boleh dilakukan oleh pendidik dengan tujuan
untuk memberi pemahaman kepada anak bahwa pendidik benar-benar marah dan tidak
senang dengan apa yang dilakukannya, membentak juga akan mempertegas kepada
anak bahwa sikap dan tingkah lakunya merupakan hal yang dapat merugikan dirinya
dan orang lain.
Keempat; Menghentikan
kenakalannya.[32] Ketika
seorang pendidik melihat sikap anak yang meniru bahkan mengolok-olok teman
mereka yang salah atau berbicara ketika
proses pembelajaran sedang berlangsung, maka hal yang perlu dilakukan oleh
pendidik adalah dengan cara langsung menegur dan menghentikan kenakalan mereka,
karena jika hal ini terus dibiarkan oleh pendidik, maka anak akan tidak serius
lagi dalam belajar dan hal ini juga akan menghilangkan kewibawaan pendidik di
depan anak didiknya.
Kelima dan
keenam; Menyindir dan mendiamkan.[33]
Pendidik diperbolehkan menyindir anak didik yang ketahuan berdusta atau
berbohong, hal ini dilakukan pendidik dengan tujuan untuk “menyentil” anak
didik yang bersikap salah, setelah itu pendidik bisa melihat apakah anak didik
tersebut merasa bahwa ia disindir sehingga ia berubah dan sadar bahwa
kebohongannya telah diketahui, akan tetapi jika ia masih belum merasa bahwa ia
telah berbuat salah dan tidak merasa disindir, maka pendidik boleh
mendiamkannya selama beberapa hari, hal ini agar dapat memberi peluang kepada
anak didik untuk dapat berfikir tentang perubahan sikap pendidik terhadapnya,
jika ia telah berubah sikapnya menjadi lebih baik, maka pendidik dianjurkan
untuk bersikap seperti biasa lagi terhadap anak didiknya. Mendiamkannya
merupakan suatu metode yang berarti juga mampu memberikan pelajaran moral
kepada peserta didik.
Ketujuh; Duduk
dengan menempelkan lutut ke perut. Jika pendidik jengkel dengan sikap murid
yang malas, tidak tahu malu dan suka mengganggu orang lain, maka hendaknya ia
menyuruh duduk dihadapannya dengan lutut menempel ke perut dan mengangkat kedua
tangannya ke atas.[34]
Hukuman ini merupakan pekerjaan yang melelahkan anak yang bertujuan agar anak
lelah dan jera, hal lain juga bisa dilakukan dengan cara seperti berdiri
sebelah kaki, menulis catatan sampai penuh buku, memilih sampah, membersihkan
perkarangan sekolah dan sebagainya. Hukuman ini akan lebih efektif digunakan jika
dibandingkan dengan menggunakan hukuman memukulnya dengan tangan atau alat
lainnya.
Kedelapan; Hukuman
dari orang tua langsung.[35]
Dalam pemberian hukuman terhadap anak didik, pendidik diharapkan agar tetap
menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua atau wali dari anak didiknya.
Ketika berbagai hukuman yang telah penulis sebutkan di atas belum juga mampu
merubah sikap anak didik, maka pendidik perlu mengirimkan surat pemberitahuan
kepada orang tua anak didik untuk membantu menasehati dan memberi hukuman juga
di rumah. Jika komunikasi antara guru dan orang tua terjalin dengan baik, maka
kegagalan dalam mendidik anak kemungkinan akan sangat kecil dan miss
comunication antara guru dan orang tua murid juga tidak akan terjadi.
Kesembilan; Pukulan
ringan. Seorang pendidik diperbolehkan memukul anak didiknya dengan pukulan
ringan dan hukuman pukulan hanya boleh dilakukan jika anak sudah berumur
sepuluh tahun.[36] Seorang
pendidik boleh memukul anak didiknya hanya apabila berbagai macam cara-cara
pemberian hukuman seperti yang sudah penulis paparkan di atas sudah tidak mampu
merubah sikap anak ke arah yang lebih baik lagi, dengan kata lain, hukuman
pukulan adalah jalan terakhir yang dilakukan pendidik terhadap peserta didik
dan diharapkan hukuman pukulan ini dilakukan dengan sepengetahuan atau adanya
pemberitahuan kepada orang tua anak didik tersebut.
2. Dampak
Hukuman Fisik dan Psikis Terhadap Perilaku Anak
Sebagian pendidik yang sepakat terhadap
penolakan hukuman fisik, hal ini disebabkan dengan beberapa argumen berikut ini
yaitu:
- Bahwa
hukuman fisik adalah tindakan kuno dan kampungan, sudah tidak layak lagi untuk
diterapkan di zaman sekarang ini.
- Toleransi
terhadap hukuman fisik, hanya akan menjadikan para guru ringan tangan untuk
melakukannya.
- Merusak
kepribadian anak dan melukai kehormatan jiwanya.
- Dengan
memukul anak, kita seolah-olah telah menjadikan mereka sebagai sosok dewasa
yang harus bertanggung jawab, padahal mereka masih anak-anak.
- Tindakan
kekerasan hanya mendukung para guru yang mennyukai sikap semena-mena dan
diktatoris.
- Pukulan
itu mengganggu guru dan mencampakkan murid.
- Pukulan
menjadikan murid enggan merespon gurunya.
- Pukulan
akan membuat murid benci kepada gurunya.
- Jika
pukulan sudah terlalu sering, maka fungsinya beralih menjadi siksaan.
- Pukulan
hanya menghantarkan anak menuju pembangkangan, pelarian dan kenakalan.
- Pukulan
akan mengubah jiwa seorang guru menjadi algojo lalu menjadi pendendam. Terlebih
lagi jika ia betul-betul memusuhi muridnya.[37]
Argumen di atas adalah sebagian dari
bahaya-bahaya dalam pemberian hukuman pukulan, masih banyak bahaya-bahaya lain
yang akan menimpa anak didik jika hukuman pukulan sering diterimanya yaitu
seperti trauma, cacat fisik, cacat psikis, menjadi panakut, menjadi lebih keras
dan pendendam, hilang rasa percaya diri, bahkan dapat menghambat tumbuh kembang
pemikiran dan kecerdasannya.
Seorang guru (pendidik) sebenarnya
diharapkan agar tidak mudah dan cepat menggunakan hukuman memukul terhadap anak
didiknya, hal ini dikarenakan jika seorang pendidik memberi hukuman yang tidak
sesuai dengan tingkat kesalahan anak didiknya atau berlebihan dalam menggunakan
hukuman pukulan, maka akan menimbulkan dendam dalam hati anak didik kepada
pendidik tersebut. Oleh sebab itu, pendidik diharuskan memahami terlebih dahulu
cara dan syarat memahami hukuman sebelum menjatuhkan hukuman kepada peserta
didiknya.
Seorang Pendidik melakukan hukuman
pukulan apabila jika memamg terpaksa dan sebagai jalan terakhir dari proses
menghukum anak didik, hukuman pukulan yang dilakukan diharapkan agar
menghindari dari memukul pada bagian wajah anak, jangan memukul terlalu keras
apalagi sampai cidera dan melukai anak, jangan memukul dengan mengelurkan
kata-kata makian atau kalimat yang buruk, jangan memukul pada saat sedang marah
atau dalam keadaan emosi yang tidak terkontrol, dan jangan memukul anak dengan
menggunakan kaki atau tangan yang tergepal, karena hal yang perlu selalu
diingat oleh pendidik adalah bahwa ia sebagai pendidik yang sedang menjalankan
proses mendidik anak manusia bukan hakim yang bisa memvonis hukuman untuk
tersangka atau bukan aparat keamanan, jadi jika anak melakukan kesalahan, maka
hukumlah ia dengan sewajarnya bukan dengan kemarahan yang tidak terkontrol.
Russel perpendapat bahwa, hukuman
pukulan sama sekali tidak bisa diterima karena hukuman pukulan sangat berbahaya
dan tidak ada manfaatnya, karena cara-cara yang keras malah akan melahirkan
watak-watak pemberang.[38]
Jika dalam memberikan hukuman pukulan, seorang pendidik masih menggunakan cara
seperti yang sudah penulis paparkan di atas, maka hal ini akan mengakibatkan
bahaya-bahaya atau akibat negatif yang ditimbulkan dari hukuman pukulan terhada
anak, yaitu:
1) Jika
hukuman dilakukan pada saat sedang berlangsungnya proses belajar mengajar, maka
akan mengganggu jalannya PBM bagi siswa yang dihukum dan bagi siswa lainnya.
2) Jika
hukuman dilakukan pada saat PBM, maka akan membuat pendidik dan anak didik
tidak konsentrasi lagi dalam memberikan dan memahami pelajaran.
3) Terputusnya
PBM sehingga akan membuang waktu bagi pendidik dan peserta didik yang lain.
4) Kemungkinan
adanya bahaya bagi siswa yang dipukul di bagian wajahnya, atau matanya, atau
kepalanya, atau telinganya, atau bagian-bagian tubuh lainnya.[39]
5) Pendidik
yang melakukan hukuman pukulan terhadap anak didiknya yang mencederai fisik
anak didik tersebut, maka akan dilaporkan ke pengadilan karena perilakunya
telah berubah menjadi tindak kekerasan yang bertentangan denganUndang-Undang
Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002.
6) Akibat
dari pemberian hukuman tersebut, akan memutuskan tali komunikasi dan kerja sama
yang baik antara pendidik dengan orang tua anak didik, selain itu juga
mengakibatkan pendidik tersebut akan hilang kewibaannya dan menjadikan
anak-anak yang lain takut terhadapnya.
Hukuman pukulan terhadap anak janganlah
dilakukan sehingga dapat membahayakan tubuh, mental dan kecerdasan anak. Jika
hal itu terjadi, maka dengan tidak langsung pendidik telah mengajarkan anak
didik kekerasan dan tidak menghargai orang lain, jika pukulan tongkat dan kayu
yang selalu digunakan untuk meluruskan sikap dan perilaku anak yang menyimpang,
maka anak akan terbiasa dengan kekerasan dan suatu saat anak juga akan
berperilaku sama seperti yang pernah mereka rasakan.
Selain itu, ada beberapa bahaya-bahaya
yang akan ditimbulkan dari akibat hukuman fisik yaitu:
Pertama; Membahayakan
fisik.[40]
Hukuman pukulan yang tidak terkontrol dan termenej dengan baik maka pastinya
akan membahayakan fisik anak secara langsung. Jika hukuman pukulan dilakukan
dengan penuh kemarahan dan bersifat pelampiasan maka hal itu akan berdampak
buruk bagi kesehatan fisik anak didik, tidak jarang kita lihat anak yang
dihukum terlalu berat akan meninggalkan bekas dan menyebabkan sakit pada
fisiknya, jika hal ini yang terjadi, maka hukuman yang diberikan akan menjadi
suatu tindakan yang menyakiti anak dan akan bernilai tidak baik dalam proses
pendidikan mereka.
Kedua; Membahayakan
kejiwaan.[41] Hukuman
pukulan keras yang meninggalkan bekas cedera pada diri anak didik mungkin dapat
diobati dan dapat dihilangkan dari hari ke hari, akan tetapi berbeda dengan
dampak yang dialami oleh kejiwaan si anak, proses bagaimana pendidik memberi
hukuman atau memukul mereka itu akan selalu mereka ingat dan akan terus
membekas dalam jiwa mereka dan sangat sulit untuk dihilangkan. Pada sebagian
anak jiwanya lembut dan pemalu, hukuman pukulan terkadang akan membuat depresi
dan trauma yang sangat menakutkan bagi mereka, dan jika hal ini terjadi pada
diri anak, maka anak akan sangat sulit untuk konsentrasi lagi dalam proses
belajar mengajar.
Adward
Lee mengatakan mengatakan, “Perundangan yang mengatur masalah dampak menetapkan
bahwa untuk mencapai kemajuan proses pembelajaran, kondisi psikis yang baik
harus dipertahankan selama proses berlangsung. Jika yang terjadi adalah ketidaknyamanan,
maka belajarnya menjadi lamban bahkan mengarah pada kegagalan. Seorang peserta
didik akan mendapatkan energi yang baik disaat ia nyaman, dan akan melemah di
saat ia dilanda kesempitan dan tekanan hukuman.”[42]
Ketiga;
Membahayakan akal.[43]
Pemberian hukuman pukulan keras kepada anak akan dapat menghambat proses
berkembang dan terbentuknya pemikiran anak secara baik. Pendidikan sebagai
suatu proses menumbuhkembangkan akal, akan beralih fungsi menjadi melemahkan
dan menghambat kemampuan anak dalam berfikir, mengingat, memahami, dan mengambil
makna dari tiap pengetahuan yang disampaikan oleh guru, jika pemberian hukuman
pukulan selalu menjadi jalan atau solusi bagi pendidik dalam mengatasi setiap
sikap dan perilaku anak yang menyimpang. Sebagaimana yang terdapat dalam
Muhammad Nabil Kazhim yang dipaparkan oleh Muhyiddin Thuq dalam bukunya Ilmu
an-Nafsi at-Tarbawi bahwa, “Kekerasan yang berlangsung lama, akan
melahirkan keinginan murid untuk berhenti sekolah dan meninggalkan pendidikan.”[44]
Keempat; Membahayakan
akhlak.[45]
Pendidik adalah salah satu orang yang paling dekat dan paling lama bersama
anak-anak. Oleh karena itu pendidik adalah orang yang akan selalu menjadi
contoh dan akan selalu ditiru bahkan akan selalu dipercayai oleh anak didiknya,
tidak jarang kita lihat banyak anak didik yang mengatakan, “Guru bilang begini”
dan “Guru bilang begitu.” Jika anak-anak sering melihat dan mendengar sikap dan
perilaku pendidik sebagai orang yang mereka banggakan, kagumi dan mereka contoh
sikap dan perilakunya ternyata adalah orang yang suka marah, “ringan tangan,”
tidak bijaksana dalam bersikap, dan mudah dalam mengeluarkan kata-kata kotor
atau makian, maka anak akan berfikir bahwa sikap pendidik yang seperti itulah
yang benar, dengan demikian anak juga akan meniru dan bersikap sama seperti apa
yang ia lihat dari pendidiknya. Baik secara langsung maupun tidak langsung, Hai
ini dengan sendirinya akan merusak akhlak anak dalam kehidupannya ke arah yang
tidak baik atau kepada akhlak yang
tercela.
Kelima; Membahayakan
kehidupan sosial dan dakwah.[46]
Salah satu kunci keberhasilan pendidik dalam mendidik anak didik adalah dengan
memberikan perhatian dan kasih sayang kepada mereka. Jika pendidik mampu
menerapkannya dengan baik, maka hal itu akan menciptakan suasana hubungan yang
baik antara anak dengan pendidik, dan jika anak sudah terbiasa dengan
nilai-nilai keharmonisan dalam keidupannya, maka ia akan mengaplikasikannya
dalam kehidupannya sehari-hari di dalam masyarakat.
Pendidik seharusnya mampu menjadikan
sekolah atau madrasah sebagai salah satu lembaga yang di dalamnya memiliki
nilai-nilai kehidupan yang baik, menyenangkan, dan membangun nilai-nilai sosial
yang tinggi di antara sesama anak didik dan gurunya. Jika hal ini dapat
dilkukan maka anak akan senang dan betah di sekolah tanpa merasa tertekan, namun
jika hal itu tidak dibangun di sekolah maka anak akan mencari kesenangan dengan
cara lain dan tidak menutup kemungkinan anak akan mencari kesenangan dan
“kebahagiaan” yang menyimpang dari hakikat kebahagiaan yang sesungguhnya. Jika
anak sudah memilih jalan hidup yang seperti itu, maka anak akan lebih senang
berada di lingkungannya dan akan semakin jauh dari norma-norma agama atau
norma-norma masyarakat.
Pendidik dalam Islam juga dipandang
sebagai seorang da’i yang akan menyampaikan risalah Islam, membina anak
didiknya tentang bagaimana cara-cara berakhlak mulia dan membimbing anak didik
untuk menjadi insan kamil di dunia ini. Harus kita akui bahwa, anak didik
adalah sebagai generasi penerus yang kelak akan melakukan suatu hal yang telah
terbiasa ia lihat dan ia lakukan. Menanamkan nilai-nilai Islam seperti shalat,
zakat, akhlak, dan nilai-nilai syari’at lainnya tidak akan berhasil secara
efektif jika pendidik mengajarkannya dengan cara yang tidak tepat. Mengajari
anak didik tentang amar ma’ruf nahi munkar seharusnya harus dilakukan
dengan nilai-nilai cinta, perhatian, dan kasih sayang sehingga benar-benar
tertanam dan melekat dalam diri anak, bukan dengan cara menyakiti atau membuat
anak malu sehingga anak tidak akan loyal terhadap nilai-nilai yang kita tanamkan
ke mereka.
[1]Ibrahim Amini, Agar Tak Salah
Mendidik, terj. Ahamad Subandi dan
Salman Fadhullah, (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 339-340.
[2]Ibrahim Amini, Anakmu Amanat-Nya, terj. M. Anis
Maulachela, (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 395.
[3]Ibrahim Amini, Anakmu..., h.
396-398.
[4]Hamad Hasan Ruqaith, Sudahkan
Anda Mendidik Anak..., h. 177.
[5]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 153.
[6]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 154.
[7]Nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, beliau dilahirkan di Thus, pada tahun 450 H
atau 1058 M. Al-Ghazali berguru pada Imam Al-Harmain, dan dari beliau
Al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul fiqh dan ilmu pengetahuan agama
lainnya. Kitab karangan-karangannya adalah: Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz,
Khulashah Ilmu Fiqh, Al-Munqil fi Ilm Al-Jadal, dan Al-Mabadi’ wa
Al-Ghayat fi Fann Al-Khalaf. Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh
PendidikanIslam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 81-83.
[8]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 154-155. Dikutip dari buku Ats-Tsawab wa Al-“Iqab fi
At-Tarbiyah, Mahmud Maheer Zaidan, h. 81.
[9] Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah
wali ad-Din ‘Abdul al-Rahman ibn al-Hasan ibn al-Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim
ibn Abd Rahman ibn Khaldun, beliau lahir di Tunisia pada tahun 1332 M dan
meninggal di mesir pada tahun 1406 M. Selain sebagai pakar pendidikan, Ibnu
Khaldu dikenal sebagai pakar kenegaraan, pemikir sejarah dan ahli hukum dari
mazhab maliki. Lihat Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu
Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, (NAD: Nadiya Foundation, 2003), h.
vii.
[10]Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj.
Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus), h. 763.
[11]Dikalangan umat Islam ada empat
mazhab yang paling terkenal, yaitu Mazhab Hanafi (80-150 H), Mazhab Maliki
(93-179 H), Mazhab Syafi’i (150-204 H), dan Mazhab Hanbali (164-241 H). Lihat
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000), h. 2.
[13]Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali
al-Husayn ibn Abdullah, beliau lahir pada tahun 370 H atau pada tahun 980 M. Di
Afshana. Ibnu Sina sangat luas pengetahuannya bahkan mengusai berbagai bidang
ilmu seperti: ilmu agama, ilmu hukum, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, filsafat,
ilmu cara mengatur negara dan rumah tangga. Lihat Abuddin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.
59-60.
[14]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 162. Dikutip dari buku Thatawwuru
Al-Fikri At-Tarbawi, Dr. Sa’ad Mursi Ahmad, h. 271.
[15]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 164.
[16]Ibrahim Amini, Agar Tak...,
h. 341-342.
[17]Nama lengkapnya adalah Badruddin
Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abd Allah
al-Kinany. Ia lahir di Mesir pada tanggal 4 Rabi’ul akhir 639 H/ 1241 M. Dan
wafat pada tahun 733 H/ 1333M. Ibnu Jama’ah adalah seorang ulama yang tergolong
kreatif dan produktif, hal ini dapat kita lihat dari berbagai macam karya
beliau yang berkaitan dengan masalah pendidikan, astronomi, ulumul Ḥadits, ulum
at-tafsir, ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih. Banyak konsep- konsep pendidikan
yang digagas oleh Ibnu jama’ah yaitu yang berkaitan dengan konsep guru/ulama,
peserta didik, metari pelajaran/kurikulum, metode pembelajaran, dan tentang
lingkungan pendidikan. Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 111-127.
[18]Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan
Hukuman Pangaruhnya Bagi Pendidikan Anak,terj, M. Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 27-28.
[19]Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan
Hukuman..., h. 25.
[20]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 87.
[21]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 109-121.
[22]Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan
Hukuman..., h. 61.
[23]Ronald, Peran Orang Tua dalam
Meningkatkan Kualitas Hidup, Mendidik dan Mengembangkan Moral Anak, (Bandung:
Yrama Widya, 2006), h. 142.
[24]Ronald, Peran Orang Tua dalam Meningkatkan Kualitas
Hidup..., h. 143.
[25]Ronald, Peran Orang Tua dalam
Meningkatkan Kualitas Hidup...,h. 144.
[26]Ronald, Peran Orang Tua dalam
Meningkatkan Kualitas Hidup..., h. 145.
[27]Syaikh Jamil Zainu, Seruan
Kepada Pendidik dan Orang Tua, terj. Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya, (Solo:
Pustaka Barokah, 2005), h. 174.
[28]Lihat Surat Ali Imran, (3: 159),
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 (
öqs9ur |MYä. $àsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym (
ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ÍöDF{$# (
#sÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
Artinya:” Maka disebabkan rahmat
dariAllah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakallah kepadaAllah. SesungguhnyaAllah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
[29]Syaikh Jamil Zainu, Seruan
Kepada Pendidik..., h. 178.
[30]Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan
Hukuman..., h. 61.
[31]Syaikh Jamil Zainu, Seruan
Kepada Pendidik..., h. 178.
[32]Syaikh Jamil Zainu, Seruan
Kepada Pendidik..., h. 179.
[33]Syaikh Jamil Zainu, Seruan
Kepada Pendidik..., h. 179.
[34]Syaikh Jamil Zainu, Seruan
Kepada Pendidik..., h. 180.
[35]Syaikh Jamil Zainu, Seruan
Kepada Pendidik..., h.181.
[36]Syaikh Jamil Zainu, Seruan
Kepada Pendidik..., h.182.
[37]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 159-160. Dikutip dari buku
Kaifa Nurabbi Abna’ana wa Nu’alij Masyakilahum, Ma’ruf Zuraiq, h. 75.
[38]Ibrahim Amini, Agar Tak..., h. 344.
[39]Muhammad bin Jamil Zainun, Solusi
Pendidikan Anak Masa Kini, terj. Syarif Hade Masyah dan Anwar Sholeh
Hambali, (Jakarta: Mustaqim, 2003), h. 148.
[40]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 129.
[41]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 130.
[42]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 131. Pakar psikologi asal Amerika, salah seorang penganut paham
budi pekerti di dalam ilmu jiwa, wafat pada tahun 1949. Dikutip dari buku Ats-Tsawab wa Al-Iqab fi At-Tarbiyah,
h.115.
[43]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 134.
[44]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 136.
[45]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 138.
[46]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik
Anak..., h. 136 dan 141.