Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Nilai Pendidikan Dalam Surat Al-Isra’ Ayat 1-5


BAB IV

Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Surat Al-Isra’ Ayat 1-5


A.    Aqidah     

Agama Islam mengandung sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktifitas pemeluknya yang disebut aqidah. Aqidah Islam  berisikan  ajaran tentang apa saja yang mesti dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang Islam. Karena  Islam bersumber  kepada kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan, maka aqidah merupakan sistem kepercayaan yang mengikat manusia kepada Islam.[1]
Aqidah dalam Islam yang utama dan tertinggi ialah untuk membawa manusia mengenal penciptanya, mengabdikan diri sepenuhnya hanya kepada Allah, melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya dengan penuh ridha. Tujuan serta prinsip dekat dan khusus (ahdaf) pendidikan Islam dirumuskan oleh Abdur Rahman Salih dalam bukunya, dalam tiga prinsip atau tujuan, yaitu prinsip yang bersifat fisik (ahdaf jismiyah), bersifat mental (ahdaf 'aqliyah) dan bersifat kerohanian (ahdaf ruhantyah).[2]
Bila kita pahami secara sederhana pendidikan tauhid itu dilakukan dengan kata-kata, maka anak Luqman ketika itu telah berumur sedikitnya dua belas tahun. Sebab kemampuan kecerdasan untuk dapat memahami hal yang abstrak (maknawi) terjadi apabila perkembangan kecerdasannya telah sampai ke tahap mampu memahami hal-hal di luar jangkauan alat-alat inderanya.
Syirik adalah hal yang abstrak, tidak mudah dipahami oleh anak-anak yang perkembangan kecerdasannya belum sampai pada kemampuan tersebut. Bila kita perhatikan lanjutan ayat tersebut yang berbunyi “Syirik itu adalah kezaliman yang besar”, maka untuk memahaminya diperlukan kemampuan mengambil kesimpulan yang abstrak dari kenyataan yang diketahui.
Pembentukan iman seharusnya mulai sejak dalam kandungan, sejalan dengan pertumbuhan kepribadian. Berbagai hasil pengamatan pakar kejiwaan menunjukkan bahwa janin dalam kandungan, telah mendapat pengaruh dari keadaan sikap dan emosi ibu yang mengandungnya. Hal tersebut tampak dalam perwatakan kejiwaan, di mana keadaan keluarga. Ketika si anak dalam kandungan itu, mempunyai pengaruh terhadap kesehatan mental si janin di kemudian hari.[3]
Pendidikan iman terhadap anak sesungguhnya telah dimulai sejak persiapan wadah untuk pembinaan anak dan persiapan pembentukan keluarga, yang syarat-syaratnya ditentukan oleh Allah di dalam al-Qur’an ada beberapa ayat.
1.     Persyaratan keimanan (Surat al-Baqarah ayat: 221).
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (البقرة : ٢٢١)
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(Qs. al-Baqarah: 221)
2.     Persyaratan Akhlak (Surat an-Nuur ayat: 3)
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ (الـنـور: ٣)
Artinya:   Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.(Qs./ An-Nuur: 3 )
3.     Persyaratan tidak ada hubungan darah (Surat al-Nisa’ ayat 22-23)
وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَاء سَبِيلاً, حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيما)ً النساء: ٢٢- ٢٣(
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(an-Nisa’; 22-23)
Kemudian kehidupan dan hubungan antara suami dan isteri diatur pula dengan hak dan kewajiban masing-masing yang dipedulikan. Sehingga dalam pendidikan aqidah terhadap anak sudah mendapatkan didikan tentang aqidah saat dia lahir. Si anak mulai mendapat pendidikan serta pembinaan yang berlangsung tanpa disadari oleh orang tuanya.[4]
Tujuan khusus pendidikan aqidah dalam Islam juga telah dikemukakan oleh al-Syaibani, yaitu:[5]
a.      Memperkenalkan generasi muda dengan aqidah Islam, dasar-dasarnya, asal-usul ibadah, dan cara-cara melaksanakannya dengan betul, membiasakan mereka mematuhi aqidah Islam dan menjalan-kan serta menghormati syiar-syiar agama.
b.     Menumbuhkan kesadaran yang betul dalam diri seseorang terhadap agama dan kehidupan beraqidah, termasuk prinsip-prinsip, dan dasar-dasar akhlak yang mulia, menyadarkannya akan bid’ah, khurafat, kepalsuan dan kebiasaan usang yang melekat tanpa disadari, sedangkan Islam bersih.
c.      Menanamkan keimanan kepada Allah, malaikat, rasul, kitab-Nya dan hari akhirat berdasarkan kepahaman, kesadaran dan kehalusan perasaan.
d.     Mendidik naluri, motivasi dan keinginan seseorang, membentengi-nya dengan aqidah dan nilai-nilai syara’ serta membiasakan mereka menahan rangsangan mengatur emosi dan membimbingnya dengan baik.
e.      Membersihkan hati anak-anak dari pada sifat dengki, hasad, iri hati, benci, kasar, zalim, ego, menipu, khianat, nifak, ragu-ragu serta sifat-sifat buruk dan hina dalam kehidupan.

Pendidikan aqidah dalam Islam berasaskan aqidah dan syariat Allah swt. Kemasyhuran Islam, seperti yang dijelaskan di atas, tercantum dalam sistem atau metode pendidikan. Pendidikan atau tarbiyah Islam dilaksanakan untuk mengembangkan konsep dan memahami terhadap kehidupan yang berlandas-kan al-Qur’an di dalam jiwa anak-anak. Asas dan teras sistem pendidikan ini adalah hakikat tauhid kepada Allah.
Di dalam al-Qur’an (dan Sunnah Rasulullah) terdapat metodologi (kaedah) untuk mendidik manusia. Metodologi itu telah terbukti berkesan mendidik generasi awal yang beraqidah. Rahasia utama keunggulan metodologi itu ialah memahami jiwa manusia seperti peti yang berkunci rapat manakala memahami jiwa menjadi kuncinya. Sebenarnya sistem pendidikan yang paling berkesan dan mampu membawa perubahan menyeluruh dalam diri manusia adalah sistem pendidikan yang berupaya berbicara dengan jiwa dan aqidah. Hanya pendidikan Islam saja mempunyai metodologi itu dan mampu merawat jiwa manusia sehingga banyak masyarakat Islam mampu menaungi diri dalam kehidupan.[6]
Dalam mendidik manusia, Islam memberikan penjelasan mengenai hakikat manusia, alam, penciptanya serta hubungan antara ketiga-tiganya. Kesan dari keunggulan pendidikan dalam Islam dalam membangunkan diri manusia adalah karena penjelasan mengenai perkara itu peroleh dari pada Allah swt. Kepincangan sistem-sistem pendidikan di Barat maupun di Timur adalah karena kekaburan dalam memahami masalah-masalah aqidah.[7]
Ajaran Islam itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek pokok, yaitu iman, Islam dan ihsan. Dengan istilah lain meliputi ajaran tentang aqidah, fiqh dan akhlak/tasawuf. Masing-masing mempunyai kedudukan yang tidak sama di dalam Islam. Akidah mempunyai posisi pokok/dasar, sedang fiqh dan akhlak mempunyai posisi cabang. Dapat digambarkan, kalau Islam itu ibarat bangunan, maka aqidah adalah sebagai pondasinya yang tertanam di dalam tanah, sedangkan fiqh dan akhlak adalah gedung-gedung dan benda yang didirikan di atasnya.
Sudah barang tentu karena akidah itu fondasi agama, ia harus ada lebih dahulu sebelum adanya yang lain. Iman harus lebih dahulu sebelum orang melaksanakan ajaran agama. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw. dalam melakukan dakwah Islam, bidang akidah inilah yang disampaikan terlebih dahulu. Bidang keimanan yang berpokok pangkal pada seruan “tauhid” menjadi tema utama dalam kehidupan manusia yang beriman.[8]
Syekh Muhammad Syaltut menjelaskan tentang kedudukan akidah dan syari’ah bahwa:
Akidah itu dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang kemudian di atasnya dibangun syari’ah. Sedangkan syari’ah itu sendiri adalah hasil yang dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian akan tidaklah terdapat syari’ah dalam Islam, melainkan karena adanya akidah sebagaimana syari’ah tidak akan berkembang, melainkan di bawah naungan akidah. Jelas bahwa syari’ah tanpa akidah laksana gedung tanpa pondasi dasar.[9]

Muhammad al-Ghazali mengatakan: “Apabila akidah telah tumbuh pada jiwa seorang mukmin, maka tertanamlah dalam jiwanya rasa bahwa hanya Allah sajalah yang paling berkuasa, segala wujud yang ada ini hanya makhluk belaka.”[10]
Iman adalah landasan berpijak bagi setiap umat Islam. Manusia hidup di dunia ini, seperti dilukiskan Imam Ghazali, tak ubahnya seperti orang yang mengarungi lautan. Di waktu badai mengamuk, dia menghadapi gelombang yang bergulung-gulung, kadang-kadang sebesar gunung yang menyebabkan penumpangnya terhempas kian kemari. Kemantapan iman dapat diperoleh dengan menanamkan kalimat tauhid “La ilaha illa al-Allah” (Tiada Tuhan selain Allah). Tiada yang dapat menolong, memberikan nikmat kecuali Allah, dan tiada yang dapat mendatangkan bencana, musibah kecuali Allah.
Al-Maududi mengemukakan beberapa pengaruh kalimat tauhid dalam kehidupan manusia:[11]
1.     Manusia yang percaya dengan kalimat ini tidak mungkin orang yang berpandangan sempit dan berakal pendek. la percaya kepada Allah swt. sebagai penguasa dan pemelihara alam semesta. la tidak pernah merasa asing dengan apapun yang ada di dunia. Pandangannya menjadi luas, wawasan intelektualnya menjadi lebih terbuka, pendiriannya bebas seperti kayanya kekuasaan Allah swt.
2.     Keimanan ini mengangkat manusia ke derajat yang paling tinggi dalam harkatnya sebagai manusia. Orang yang beriman percaya hanya kepada Allah swt. Keyakinan ini membuatnya berbeda dengan manusia lain. la tidak pernah menundukkan kepalanya kepada makhluk ciptaan Allah atau menyembah kepada selain Allah.
3.     Bersamaan dengan rasa harga diri yang tinggi, keimanan juga mengalirkan ke dalam diri manusia rasa kesederhanaan dan sehajaan. Orang yang beriman tidak pernah angkuh, kelebihan harta atau kekuasaan tidak membuatnya sombong, karena ia tahu semua itu berasal dari Allah.
4.     Keimanan membuat manusia menjadi suci dan benar. la yakin tidak ada jalan lain untuk mencapai kesuksesan dan keselamatan kecuali dengan kesucian jiwa dan tingkah laku yang baik.
5.     Orang yang beriman tidak bakal putus asa atau patah hati kepada keadaan yang bagaimanapun. la mempunyai keyakinan kuat, Allah swt. adalah penguasa seluruh kekayaan yang ada di bumi dan di langit.
6.     Orang yang beriman mempunyai keinginan keras, kesabaran yang tinggi dan percaya yang teguh kepada Allah swt.
7.     Keimanan membuat keberanian dalam diri manusia. Dalam hubungan ini ada dua hal yang membuat manusia menjadi pengecut (a) takut mati, dan (b) pemikiran yang menyatakan bahwa ada orang lain selain Allah yang dapat mencabut nyawanya.
8.     Keimanan terhadap kalimat la ilaha illa al Allah dapat mengembang-kan sikap cinta damai dan keadilan menghalau rasa kecemburuan, iri hati dan dengki.
9.     Membuat manusia menjadi taat dan patuh kepada hukum-hukum Allah. Seseorang yang beriman, yakin bahwa Allah mengetahui segalanya baik yang nyata maupun yang tersembunyi.

Di samping keimanan yang dikemukakan di atas memberikan dampak positif terhadap kehidupan seorang muslim itu sendiri, ia juga dapat memberikan kenikmatan bagi orang lain dan lingkungannya.
B.    Ibadah

Ibadah secara bahasa berarti taat, tunduk, turut, mengikut dan doa dan disebut juga dengan meyembah Allah SWT. Soenarjo mendefinikan ibadah adalah kepatuhan dan ketundukan yang ditimbulkan oleh perasaaan tentang kebesaran Allah SWT, sebagai tuhan yang disembah karena keyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.[12] Ibadah adalah pola dan tataracara hubungan manusia dengan Allah SWT semata, yang dalam bahasa agama dikenal dengan sebutan ibadah mahdah atau ibadah murni. Ibadah bentuk ini mengambil bentuk vertikal (tegak lurus dari bawah ke atas).
Menurut Amin Abdullah ibadah mahdah dapat didefinisikan, mahdah merupakan aspek normativitas (wahyu), yang lebih menekankan aspek legalitas formalitas ekternal.[13] Dalam ibadah mahdah berlaku autentitas artinya tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena ketentuaannya telah diatur oleh Allah sediri dan dijelaskan secara rinci oleh Rasul-Nya. Misalnya seperti ketentuan sholat dhuhur yaitu diwajibkan setiap orang mukmin mengerjakan empat rakaat, tidak boleh diubah menjadi tiga rakaat atau dua rakaat, kecuali ada ketentuan lain misalnya qasar, maka shalat dhuhur yang tadinya empat biasa menjadi dua rakaat. Shalat subuh dua rakaat tidak boleh diubah menjadi tidak rakaat atau empat rakaat, karena sifatnya tertutup dalam ibadah mahdah berlaku umum yakni semua perbuatan ibadah dilarang melakukan kecuali perbuatan yang dengan tegas diperintahkan oleh Allah dan  Rasul-Nya.
Kalau dihubungkan dengan lima kaidah (al-ahkam al-khamsah) kaidah asal ibadah adalah haram atau larangan, artinya sesgala sesuatu atau yang berada dalam ruang lingkup ibadah khususnya ibadah kepada Allah SWT sebagaimana dicontohkan Rasulnya. Dengan demikian tidak mungkin ada pembaharuan (tajdid, modernisasi) dalam ibadah yakni proses pembaharuan dan perombakan mengenai susunan, cara dan tatacara ibadah, yang mungkin ada halnya penggunaaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya.[14] Campur tangan akal pikiran manusia sama sekali tidak dibenarkan, lain halnya dengan mu'amalah, kaidah asalnya adalah ibahah atau mubah, jaiz, pembolehan, sepanjang yang dilakukan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Jadi prinsip ibadah mahdah sudah ditegaska dan tercakup secara terinci dengan pedoman yang jelas dan tegas dalam Al-Qur'an serta aplikasi praktisnya disebutkan dalam sunnah Rasullullah.[15]
Makna ayat tersebut secara sederhana dapat diartikan, adanya reward bagi yang melakukan (syukur nikmat), namun ada punishment bagi yang tidak melakukan (kufur nikmat). Sejauh ini kita tidak cukup cerdas untuk konsisten memahami betapa rasa syukur itulah yang akan membuat manusia menemukan cahaya illahi dalam kehidupannya. Contoh sederhana adalah betapa nikmat Allah berupa adanya Oksigen atau Zat Asam yang kita hirup untuk tetap hidup. Sampai saat ini tidak perlu dibeli, namun kualitasnya dari waktu ke waktu semakin buruk karena ulah manusia seperti polusi udara, penebangan hutan dan berbagai bentuk kerusakan yang disebabkan oleh keserakahan manusia.Daerah yang semula berudara sejuk dan nyaman untuk ditempati karena terletak di dataran tinggi, kini udaranya ketika siang hari nyaris tidak berbeda dengan daerah dataran rendah atau tepian pantai yang panas.
Untuk dapat mentasyakuri nikmat Allah, harus dilakukan dengan mentafakuri betapa besar kasih sayang Allah. Hal-hal kecil dan besar yang mungkin luput dari pandangan kita sebagai manusia dapat diingatkan untuk selalu disyukuri. Bentuk atau wujud rasa syukur itu dapat dilakukan antara lain dengan beberapa cara :
1.     Bersyukur dengan hati dan perasaan
2.     Bersyukur dengan lisan
3.     Bersyukur dengan perbuatan
4.     Bersyukur dengan harta benda
Dengan mensyukuri nikmat Allah SWT manusia akan mendapat berkah dan karunia yang lebih banyak lagi dariNya, sebagaimana yang terdapat dalam surat Ad-Dhuha ayat 11 sebagai berikut:
 وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْا) لضحى: ١١(
Artinya:   Dan terhadap Nikmat Tuhanmua, maka hendaklah kamu menyebutNya (dengan bersyukur).(Qs. Ad-Dhuha: 11)

Demikian pula QS. Ar-Rahman berkali-kali menyebutkan: "maka Nikmat Rabb yang manalagi yang kamu dustakan". Bila masih ada Pertanyaan tentang adanya keraguan kita untuk tidak mensyukuri nikmat Allah, baiknya anda berhenti sejenak dari kesibukan dunia untuk menyadari segeralah bersyukur. Semoga Allah senantiasa meridhoi langkah hidup kita semua.
Dalam menjalani hidup dan kehidupan sehari-hari, kita, memang seringkali dihadapkan oleh situasi dan keadaan untuk lebih banyak berfikir tentang bagaimana memperoleh hak sebagai manusia. Bahkan, dengan beragam cara manusia melakukan gerakan untuk memenuhi hak asasi mereka. Kita seringkali lupa, bahwa setiap saat, sesungguhnya, selalu diberikan ruang pelatihan oleh Allah SWT, untuk melaksanakan kewajiban. Khasnya, mematuhi Allah SWT sepenuh-penuh kepatuhan. Dimulai dengan kepatuhan insaniah terhadap seluruh ihwal yang menjadi kewajibannya di atas muka bumi.
Selama dua puluh empat jam setiap hari, manusia diberikan pelatihan dan proses pendidikan untuk berpikir, bersikap, dan bertindak, mendahulukan kewajiban (yang jauh lebih utama), katimbang menuntut hak-hak insaniah belaka. Allah melatih dan mendidik kita untuk menyadari, betapa Dia tak pernah henti dan tak pernah bosan memberikan hak manusia. Padahal, pada hakekatnya, secara konstelatif di hadapan Allah, manusia hanyalah sahaya. Manusia, selalu mengeluh dan menggerutu ketika kondisi hidup yang dialaminya tak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Lalu, dengan sangat enteng mempersalahkan orang lain. Bahkan, tak jarang berburuk sangka kepada Allah, seakan-akan Dia tidak memenuhi hak-hak manusia. Padahal, manusia selalu cenderung mengabaikan seluruh kewajibannya.
Manusia cenderung tak pandai mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepadanya. Cenderung selalu lalai memenuhi kewajibannya kepada Allah. Mereka tak hirau, dengan statement Allah yang amat pasti, sebagaimana yang terdapat dalam surat Ibrahim ayat 7 sebagai berikut:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ) إبراهيم: ٧(

Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan. “Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku, sangat berat.” (Q.S. Ibrahim: 7).

C.    Akhlak     

Kata akhlak berasal dari bahasa Arab dengan kata dasarnya “خلق، يخلق، خلوقا, yang memiliki arti perbuatan baik. Namun secara terminologi akhlak ialah segala suatu yang berhubungan dengan perbuatan baik dan buruk.[16] Namun demikian, banyak filosof Islam yang membicarakan tentang akhlak, salah satunya adalah Ibnu Maskawaih memberikan definisi akhlak, agar dapat dijadikan tolok ukur dalam kehidupan umat Islam. Menurut Ibnu Maskawaih akhlak sebagai berikut:
حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية [17]
Artinya: Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan fikiran lebih dahulu”.

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa akhlak merupakan keadaan jiwa yang dapat mendorong seseorang untuk melaksanakan segala amal baik. Apalagi jiwa merupakan sebuah immateri yang ada di dalam tubuh manusia telah dibersihkan dari noda dan dosa oleh Allah SWT.
Melihat definisi akhlak yang digambarkan Ibnu Maskawaih sangat sejalan dengan pengertian yang ditawarkan oleh Imam al-Ghazali yang menjelaskan akhlak adalah:
الخلق عبارة عن هيئة فى النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر وروية[18]
Artinya: Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan fikiran.

Dari kutipan di atas, Imam al-Ghazali menerangkan bahwa akhlak adalah suatu sifat yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatannya tanpa dilandasi oleh pertimbangan. Artinya setiap perbuatan yang baik tidak diperlukan pertimbangan fikiran, karena perbuatan tersebut memang sangat dianjurkan oleh Allah SWT dalam segala aspek kehidupan manusia.
Pengertian akhlak yang diberikan oleh Ahmad Amin sangat berbeda dengan pengertian tersebut di atas. Dalam hal ini Ahmad Amin menjelaskan bahwa:
عرف بعضهم الخلق بأنه عادة الإرادة يعنى أن الإرادة اذا اعتادت شيئا فعادتها هي المسماة بالخلق[19]
Artinya: Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat difahami bahwa kehendak ialah ketentuan beberapa keinginan manusia setelah bimbang, sedangkan kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kedua kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan yang besar inilah yang dinamakan akhlak.
Peristiwa Isra Mi’raj adalah perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang sangat dramatik dan fantastik. Dalam tempo singkat-kurang dari semalam (minal lail)-tetapi Nabi berhasil menembus lapisan-lapisan spiritual yang amat jauh bahkan hingga ke puncak (Sidratil Muntaha). Walaupun terjadi dalam sekejap, tetapi memori Rasulullah SAW berhasil menyalin pengalaman spiritual yang amat padat di sana. Kalau dikumpulkan seluruh hadis Isra Mi’raj (baik sahih maupun tidak), maka tidak cukup sehari-semalam untuk menceritakannya. Mulai dari perjalanan horizontalnya (ke Masjid Aqsha) sampai perjalanan vertikalnya (ke Sidratil Muntaha). Pengalaman dan pemandangan dari langit pertama hingga langit ketujuh dan sampai ke puncak Sidratil Muntaha.
Ada pertanyaan yang mengusik. Mengapa Allah SWT memperjalankan hambanya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan)? Dalam surat al-Isra ayat i Allah menjelaskan:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

Artinya:   Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(Qs. al-Isra: 1).

Dalam bahasa Arab kata Lailah mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang. Ada makna alegoris (majaz) seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, keheningan, dan kesyahduan; serta ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu’), kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada Allah.
Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris ketimbang makna literalnya. Seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: “Ya lalila thul, ya shubhi qif” (wahai malam bertambah panjanglah, wahai Subuh berhentilah). Kata lailah di dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan kehangatan; sebagaimana dirasakan oleh para pengantin baru yang menyesali pendeknya malam.
Di dalam syair-syair sufistik orang bijak (hukama) juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lailah. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (taraqqi) menuju Tuhan. Mereka berterima kasih kepada lailah (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafii: Man thalabal ula syahiral layali (barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam), bukan sekadar berjaga. Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya.
Arti lailah dalam ayat pertama surah al-Isra di atas menunjukkan makna anagogis, yang lebih menekankan aspek kekuatan spiritual malam (the power of night). Kekuatan emosional-spiritual malam hari yang dialami Rasulullah, dipicu oleh suasana sedih yang sangat mendalam, karena sang istri, Khadijah, dan sekaligus pelindungnya telah pergi untuk selama-lamanya. Rasulullah memanfaatkan suasana duka di malam hari sebagai kekuatan untuk bermunajat kepada Allah SWT.
Kesedihan dan kepasrahan yang begitu memuncak membawa Rasulullah menembus batas-batas spiritual tertentu, bahkan sampai pada jenjang puncak yang bernama Sidratil Muntaha. Di sanalah Rasulullah di-install (diisi) dengan spirit luar biasa sehingga malaikat Jibril sebagai panglima para malaikat juga tidak sanggup menembus puncak batas spiritual tersebut. Kehebatan malam hari juga digambarkan Tuhan di dalam Alquran surat al-Isra ayat 79 sebagai beriku:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَّحْمُوداً) الإسراء: ٧٩(

Artinya:   Dan pada sebahagian malam hari shalat Tahajudlah kalian sebagai suatu ibadah tambahan bagi kalian: mudah-mudahan Tuhan kalian mengangkat kalian ke tempat yang terpuji. (QS al-Isra: 79).

Peristiwa Isra dan Mi’raj, ketika seorang hamba mencapai puncak maksimum (sudrah al-muntaha) juga terjadi di malam hari. Yang tidak kalah pentingnya ialah lailah al-qadr khair min alf syahr (malam lailatul qadr lebih mulia dari seribu bulan), bukannya siang hari Ramadlan (nahar al-qadr).









BAB V
P E N U T U P

Berdasarkan uraian-uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan serta mengajukan beberapa saran.
A.    Kesimpulan
1.     Nilai pendidikan aqidah dalam surat al-Isra Ayat 1-5 adalah mengenal penciptanya, mengabdikan diri sepenuhnya hanya kepada Allah, melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya dengan penuh ridha.
2.     Nilai pendidikan ibadah dalam surat al-Isra Ayat 1-5 adalah tanda syukur seorang hamba kepada Allah SWT. Dengan ibadah, seorang manusia mampu mengabdikan dirinya kepada sang penciptanya.
3.     Nilai pendidikan akhlak dalam surat al-Isra Ayat 1-5 adalah perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang sangat dramatik dan fantastik. Dalam tempo singkat-kurang dari semalam (minal lail)-tetapi Nabi berhasil menembus lapisan-lapisan spiritual yang amat jauh bahkan hingga ke puncak (Sidratil Muntaha).
B.    Saran-saran

1.     Disarankan kepada ummat Islam agar tidak ragu dengan peristiwa Isra dan Mi’raj, karena peristiwa tersebut telah diabadikan Allah dalam al-Qur’an.
2.     Disarankan kepada orang tua agar menanamkan pendidikan tauhid kepada anak sejak usia dini.
3.     Disarankan kepada para mahasiswa dan mahasiswi perguruan tinggi Islam Almuslim agar memperbanyak pengkajian tentang pendidikan terutama tentang pendidikan Islam.








































DAFTAR KEPUSTAKAAN


Al-Qur’anul Karim.

Arifin M., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1976.

Athiyah, Ath-Thuri Hannan, Mendidik Anak Perempuan Dimasa Kanak - Kanak, cet. I Jakarta: Amzah, 2004.

Ahmad Santhut Khatib, Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral, dan Spiritual Anak Dalam Keluarga Muslim, Terj.  Ibnu Murdah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998.

Anwar, Dessy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, cet.I, Surabaya: Karya Abditama, 2001.

Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya media, 1992.

Azra, Azumardi, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1998.

Abdurrahman ,Syech bin Nashir Ash-Sha’adi, Taisiirul Karim Ar-Rahman Fii Tafsiir Kalam Al-Mannan, Cet. I, Beirut: Jam’iyyah Ihya at-Turats Al-Islami, 2001.

Al-Syaibani, Kitab al-Zuhdy, Jakarta: Media Isnet, 1978.

Awwad, Udah Muhammad, Pendidikan Secara Islami, Bandung: Gema Press, 1999.

AS Asmaran., Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Rajawali Press, 1992.

Al-Ghazali, Muhammad, Khuluk al-Muslim, Kuwait: Dara l-Bayan, 1970.

’Ala, al-Maududi Abul, Toward Understanding Islam, One Seeking Mercy of Allah, Terjm. Jeddah: tt.
Ibnu Qudamah, Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1997.

Bimo, Walgito,  Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1997.

Djalal, Masykur, Ulumul Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 2000.

D. Marimba Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1999.

D. Marimba Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Bandung : Al Ma’arif, 1989.

Fajar, al-Qalami Abu, Ringkasan Ihya’ Ulumiddin, Surabaya: Gitamedia Press, 2003.

Hobby, Kamus Populer, Cet.XV, Jakarta: Central,  1997.

Hamid Adul Mahmud Mutawalli, Mustanir Fii Ulumil Qur’an, Cet. Ke-1, Kairo : Maktab Musthafa Al-Halabi, 1991 / 1411 H.

Hoetomo, Kamus Lengkap bahasa Indonesia, Surabaya: Mitra Pelajar, 2005.

Hasbi, Ash-Shiddiqey M., Tafsir An-Nuur, Semaran:PT. Pustaka Rizki Putra, 2000.

Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.

Khalil, Manna Al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, Cet. III, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996.

Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhim, terj, Farizal Tarmizi, Cet, Jakarta selatan: Pustaka azzam , 2004.

Kartini, Pengantar Metodologi Research Sosial, Bandung: Alumni, 1980.

Muhammad, al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’an, Cet. IV, Bandung: Mizan, 1999.

Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.

Munandar, SC Utami, Mengembangkan bakat dan kreatifitas anak sekolah, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana. 1992.

Oemar, Muhammad At-Tomy Al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang,  1979.

Poerbakawatja, Soeganda, Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1999.

Poerbakawatja, Soegarda, et. al. Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1981.

Quraisy, Shihab M., Tafsir Al – Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. 1, Jakarta: Kalam Mulia, 1994.

Rahman, Salih Abdur, Pendidikan Sosial dalam Islam, Jakarta: Insan Cipta, 1990.

Sukardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2003.

Surachmad, Winarmo,. Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah, Bandung: Angkasa, 1987.

Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997.

Syaltut, Muhammad  , Islam Aqidah dan Syari’ah, Kairo: Dara l-Kalam, 1986.

Tauhid Abu, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Surabaya: Iain Sunan Ampel, 1990.

UU Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Focus Media, 2003.

Yafie Ali, Menggegas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994.

Zuhaily, Wahbah, dalam Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (hati yang selamat hingga kisah luqman), Bandung: Marja, 2007.


[1]Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depertemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta:  Bulan Bintang, 2000), hal. 126.
  
[2] Abdur Rahman Salih, Pendidikan Sosial dalam Islam, (Jakarta: Insan Cipta, 1990), hal. 202.
[3] Ali Yafie, Menggegas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 214.
[4] Ibid., hal. 216.

[5] Al-Syaibani, Kitab al-Zuhdy, (Jakarta: Media Isnet, 1978), hal. 325.
[6] Ibid., hal. 327.

[7] Udah Muhammad Awwad, Pendidikan Secara Islami, (Bandung: Gema Press, 1999), hal. 78.
[8] Asmaran AS., Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hal. 95.

[9] Muhammad  Syaltut, Islam Aqidah dan Syari’ah, (Kairo: Dara l-Kalam, 1986), hal. 150.

[10] Muhammad al-Ghazali, Khuluk al-Muslim, (Kuwait: Dara l-Bayan, 1970), hal. 117.

[11] Abul ’Ala al-Maududi, Toward Understanding Islam, One Seeking Mercy of Allah, Terjm. (Jeddah: tt.), hal. 98-104.
[12]Soenarjo, dkk, Al-Qur'an dalam Kehidupan Manusia, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 6.

[13]M. Amin Abdullah, Filsafat Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 21.
[14]Soenarjo, dkk, Al-Qur'an dalam … hal. 11.

[15]Ibid., hal. 17

[16]Fachruddin HS., Berkenalan dengan Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 1.

[17]Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Terj. Farid Ma’ruf, Cet. V, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal. 3.

[18] Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 133.

[19]Ahmad Amin, Etika…, hal. 3.