BAB III
PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A.
Pendidikan Islam Pada Zaman Klasik di
Indonesia
Pada masa penjajahan Jepang yang merupakan Saudara Tua (karena
sama-sama di benua Asia dengan Indonesia) pendidikan tradisional mulai
mendapatkan angin kemajuan. Namun, semua itu tidak ada artinya karena memang
penjajahan Belanda sebagai salah satu bangsa Barat atau lebih dikenal dengan
bangsa Barat telah menancapkan ideologi, politk, ekonomi, budaya, dan moralitas
kepada masyarakat pribumi, maka angina segar tersebut tidak mampu dimanfaatkan
secara maksimal. Dengan demikian pendidikan tradisional menjadi sangat sulit
untuk kemabli lagi ke posisi semual, yakni sebelum adanya penjajahan bangsa
Barat.
Memasuki masa kemerdekaan pendidikan
Islam masih terus berkutat dengan sistem pendidikan modern (peninggalan
Belanda). Sistem pendidikan ini dipelopori oleh para tokoh pendidikan yang
telah mengenyam sistem pendidikan Belanda atau Barat. Oleh karena itu, menjadi
sangat masuk akal ketika sistem pendidikan nasional Indonesia berkiblat kepada
sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan yang berkiblat pada sistem
pendidikan Barat secara praktis dan teoritis berbeda dengan sistem pendidikan
Islam tradisional. Dari sinilah kemudian terjadi pemisahan antara pendidikan tradisional
yang dalam hal ini bias direpresentasikan oleh pendidikan Islam dan pendidikan
modern yang dalam hal ini bias direpresentasikan oleh pendidikan nasional.
Kedua sistem pendidikan ini merupakan sebuah hasil kompromi para funding
father negeri ini.
Kompromi yang diambil para funding
father negeri ini adalah bahwa pengabaian sistem pendidikan Islam tradisional
akan sangat menyakitkan umat Islam. Mengingat jasa dan pengorbanan para ulama
dan santri dari trilogi sistem pendidikan Islam tersebut di atas. Pertimbangan
lainnya adalah agar umat Islam memiliki lembaga pendidkkan khusus, sehingga
mayoritas penduduk Indonesia tidak mengalami kekecewaan yang luar biasa kepada
pemerintah. Oleh karena itu, pada masa kemerdekaan tepatnya pada 3 Januari 1946
didirikanlah Departemen Agama yang mengurusi keperluan umat Islam. Meskipun
pada dasarnya Departemen Agama ini mengurusi keperluan seluruh umat beragama di
Indonesia, namun melihat latar belakang pendiriannya jelas untuk mengakomodasi
kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini.
Dalam masalah pendidikan,
kepentingan dan keinginan umat Islam juga ditampung di Departemen ini. Namun
sangat disayangkan perhatian para pemimpin negeri ini kurang begitu besar
terhadap pendidikan Islam di bawah naungan Depag ini. Hal ini terbukti dengan
anggaran yang sangat berbeda dengan saudar mudanya yaitu pendidikan nasional.
Perbedaan perhatian dengan wujud kesenjangan anggaran ini kemudian menyebabkan
munculnya perbedaan kualitas pendidikan yang berbeda. Di satu sisi
lembaga-lembaga pendidikan yang di bawah departemen pendidikan nasional
mengalami perkembangan cukup pesat sementara pendidikan Islam yang berada di
bawah payung Departemen Agama “terseok-seok” dalam mengikuti
perkembangan zaman.
Sampai pada pemerintahan Orde Lama
dan Orde Baru pemisahan sistem dan pengelolaan pendidikan nasional dan
pendidikan Islam masih dipertahankan. Artinya adalah bahwa pengelolaan
pendidikan Islam masih mengalami nasib yang tidak bagus dibanding dengan saudara
mudanya, pendidikan nasional. Walaupun secara substansial kedua sistem
pendidikan tersebut oleh pemerintah Indonesia sendiri juga mengalami nasib yang
sama buruknya, yaitu rendahnya anggaran pendidikan bila dibanding dengan
negara-negara berkembang lain apalagi dibanding dengan negara-negara maju[1].
Sistem pendidikan nasional yang
telah berlangsung hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran
peserta didik. Indikator yang dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator
kepintaran, sehingga secara nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta
merta menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah
gencarnya industrialisasi yang berlangsung saat ini.
Pendidikan juga saat ini telah
menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran
kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli
ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan
pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya
bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak
mampu semakin terpuruk[2].
Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat,
sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika
ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar
dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi
peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang
bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya
nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang
mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya
manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap
terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing[3].
Hal yang tidak kalah penting adalah
bagaimana sistem pendidikan di Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki
sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan,
serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak[4].
Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap
ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak
meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa
Indonesia.
[1] H.
A. R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2000), hal. 63.
0 Comments
Post a Comment