BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, membuat kebutuhan akan jasa
hukum semakin meningkat. Begitu juga dengan meningkatnya permasalahan dalam
masyarakat, baik publik maupun privat. Mengakibatkan kebutuhan akan seorang
advokat juga semakin tinggi.
Perlu
diketahui bahwa Advokat merupakan bagian dari penegak yang sejajar dengan
instansi penegak hukum lainnya, namun Undang-undang Advokat baru di sahkan pada
tanggal 5 April 2003 dan dicatat pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 49. Sebelum Undang-undang tersebut disahkan adalah sangat ironi
bagian penegak hukum yang tidak memiliki dasar hukum dan juga tidak ada
ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap profesi
Advokat.[1]
Advokat
dalam menjalankan profesinya untuk menegakkan keadilan rawan terhadap
masalah-masalah, terutama terhadap implementasi sebelum Undang-undang Advokat,
tidak jarang Advokat tersebut tersandung masalah hukum bukan karena tindak kriminal,
justru diperkarakan oleh karena hal-hal teknis yang tidak perlu. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 14, 15 dan 16 Undang-undang Advokat, Advokat dalam
menjalankan profesinya selain dijamin oleh Undang-undang secara normatif
memiliki hak imunitas sebatas menjalankan profesinya dengan tetap berpegang
pada kode etik profesi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Advokat/Pengacara
Perkataan
“Advocat” semula berasal dari bahasa Latin yaitu “advocatus”
mengandung arti: seorang ahli hukum yang memberikan bantuan atau pertolongan
dalam soal-soal hukum. Bantuan atau
pertolongan ini bersifat memberi nasehat-nasehat sebagai jasa-jasa baik, dalam
perkembangannya kemudian dapat dimintai oleh siapapun yang memerlukan atau
membutuhkannya untuk ber-acara dalam hukum.
Semenjak
masa abad pertengahan kerajaan Romawi perkataan ini telah dikenal, ada yang
dinamakan advocaat gereja, pada zaman kerajaan ini peranan advocaat hanya
memberikan nasehat-nasehat, sedangkan yang bertindak sebagai pembicaranya
dinamakan “ Patronus-Procureur “ . Adapun perkataan procureur berasal
dari bahasa latin yaitu : “ pro-curo ” artinya “ wakil ”.
Dalam
pengertian kata “ Advokat “ mengandung pengertian “Advocaat-Procureur
“seperti maknanya semula. Di dalam
sejarah perkembangan hukum pada masa kerajaan Romawi bahwa seorang Advocaat
adalah otomatis menjadi procureur, namun
sebaliknya tidak setiap procureur
otomatis dapat menjadi advocaat.
Di
dalam Kamus Besar Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Poerwadarminta terbitan PN
Balai Pustaka 1976 disebutkan : Advokat adalah pengacara atau ahli hukum yang
berwenang bertindak sebagai penasehat atau pembela perkara dalam pengadilan.
B.
Peran dan Fungsi Advokat/Pengacara
Peran
dan fungsi advokat dapat dilihat dalam Undang-Undang Advokat. Dalam pasal 1
ayat (1), ketntuan tentang fungsi dan peran advokat selengkapnya berbunyi
sebagai berikut : “Advokat adalah orang berprofesi memberikan jasa ukum baik di
dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhhi persyaratan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang ini.”
Dari
definisi di atas dapat diketahui bahwa peran dan fungsi advokat meliputi
pekerjaan baik dilakukan di pengadilan maupun di luar pengadilan tentang
masalah hukum pidana atau perdata, seperti mendampingi klien dalam tingkata
penyelidikan dan penyidikan (di kejaksaan atau kepolisian) atau beracara di
muka pengadilan. Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya
secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak
terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif). Dalam mewakili
kepentingan klien dan membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat
harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik
profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan adanya ketentuan advokat boleh
menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya,
dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan
kepada klien.[2]
Profesi
Advokat itu mulia karena mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan
bukan dirinya sendiri, serta berkewajiban untuk turut menegakkan hak asasi
manusia. Disamping itu, Advokat pun bebas dalam membela, tidak terikat pada
perintah klien dan tidak pilih bulu siapa lawan kliennya seperti misalnya
golongan pejabat, pengusaha, penguasa dan lain sebagainya.[3]
Mengingat
adanya kebebasan profesi Advokat, maka para pembela masyarakat ini dapat
memperjuangkan kepentingan masyarakat tanpa rasa takut, campur tangan, dan
tekanan dari pihak mana pun juga. Kebebasan profesi Advokat yang secara international
dikenal dengan Independence of the legal profession merupakan syarat mutlak
terciptanya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak (Independent and
Impartial Judiciary). Peranan Advokat ini juga sering diumpamakan sebagai
pengawal Konstitusi dan Hak Asasi Manusia.[4]
Peran
Advokat tersebut tidak akan pernah lepas dari masalah penegakan hukum di
Indonesia. Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat perkembangan
masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau diberlakukan. Dalam masyarakat
sederhana, pola penegakan hukumnya dilaksanakan melalui prosedur dan mekanisme
yang sederhana pula. Namun dalam masyarakat modern yang bersifat rasional dan
memiliki tingkat spesialisasi dan diferensiasi yang begitu tinggi,
pengorganisasian penegakan hukumnya menjadi begitu kompleks dan sangat
birokratis. Semakin modern suatu masyarakat, maka akan semakin kompleks dan
semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Sebagai akibatnya yang memegang
peranan penting dalam suatu proses penegakan hukum bukan hanya manusia yang
menjadi aparat penegak hukum, namun juga organisasi yang mengatur dan mengelola
operasionalisasi proses penegakan hukum.
Hal
ini dapat dipahami karena hukum merupakan pertumbuhan sejarah (historical
accretion) yang berkembang dari waktu ke waktu dari tradisi dan kebiasaan
masyarakat yang merupakan pencerminan cirri khusus masyarakat yang berinteraksi
dengan lingkungan tertentu.[5] Sedangkan
dalam pembaruan hukum (law reforn), peran advokat adalah merombak dan
memperbarui hukum yang tertulis sesuai dengan peradaban dan kemajuan kesadaran
dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat. Peran ini berkaitan dengan kesiapan
untuk melakukan penggantian atau amandemen undang-undang yang telah ada.
Berdasarkan
hal di atas, Advocat seharusnya dapat memberikan andil atau berbuat secara
konkrit dalam menentukan arah perkembangan hukum nasional yang disebut sebagai
politik hukum, yang meliputi dua hal. Pertama adalah pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan dan pembaruan materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan,
kedua adalah pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan
fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
C.
Pengangkatan Advokat/ Pengacara
1.
Persyaratan Pengangkatan Advokat/Pengacara
Bedasarkan
undang-undang No. 18 tahun 2003, organisasi advokat diberikan kewenangan untuk
mengatur diri sendiri teruama untuk melakukan pengangkatan advokat. Organisasi
advokat yang dimaksud adalah peradi, yang didirikan dalam rentang waktu dua
tahun setelah diundangkannya Undang-undang Advokat di atas, dengan batas waktu
paling lama tanggal 5 April 2005. Sejauh belum dilakukan amandemen terhadap
undang-undang advokat, tidak diberikan hak atau kewenangan kepada siapa pun
selain peradi untuk mengangkat advokat. Karena itu, apabila kongres Advokat
Indonesia atau organisasi apapun namanya melakukan pengangkatan advokat ,
pengangkatan tersebut dinyatakan tidak ada.
Dalam
pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 18 tahun 2003 ditentukan “pengangkatan advokat dilakukan oleh
organisasi advokat” Seorang calon advokat mempunyai kualifikasi untuk melakukan
praktik dengan harus memenuhi persyaratan berikut :
1)
Warga
Negara Indonesia
2)
Bertempat
tinggal di Indonesia
3)
Tidak
berstatus sebagai pegawai negri atau pejabat Negara
4)
Berusia
sekurang-kurangnya 25 ( dua puluh lima ) tahun
5)
Berijazah
sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum
6)
Mengikuti
pendidikan khusus profesi advokat
7)
Lulus
ujian yang dilakukan oleh organisasi advokat
8)
Magang
sekurang-kurangnya dua tahun terus-menerus pada kantor advokat
9)
Tidak
pernah dipidana karena melakukan tindak kejahatan yang diancam pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih ;
10) Berperilaku baik, jujur, bertanggungjawab, adil, dan mempunyai
integritas yang tinggi.
2.
Pengangkatan Advokat dan Pengambilan Sumpah
Dengan
telah terpenuhi sejumlah persyaratan di atas, sesuai dengan pasal 2ayat (2)
undang-undang No. 18 tahunn 2003, Peradi akan melakukan pengangkatan calon
advokat. Dengan demikian, calon advokat tersebut berhak untuk melakukan praktik
(admission to practice) sebagai profesional hukum. Namun sebelum melakukan
praktik, calon advokat sesuai dengan pasal 4 ayat (1) wajib bersumpah menurut
agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh disidang terbuka pengadilan tinggi
diwilayah domisil calon advokat tersebut. pengadilan tinggi yang dimaksud
disini adalah pengadilan tinggi dalam lingkungan peradilan umum, bukan
pengadilan tinggi agama atau pengadilan tinggi tata usaha Negara.
Perlu
ditegaskan lagi bahwa, sejak pemberlakuan Undang-undang advokat. Pengangkatan
advokat tidak lagi dilakukan oleh pengadilan atau Menteri Kehakiman (sekarang
berubah menjadi Menteri Hukum dan perundang-undangan), tetapi oleh organisasi
advokat sendiri. Mahkamah agung hanya mendapatkan tebusan dari surat pengangkatan
dan berita acara sumpah.
Hal
ini merupakan babak baru dalam dunia kepengacaraan di Indonesia karena
pengangkatan advokat sama sekali tidak lagi dilakukan oleh pemerintah melainkan
murni oleh organisasi advokat. Namun, apabila diurut kebelakang, kewenngan ini
merupakan perwujudan dari perjuangan dan
hasil rintisan atau jerih payah advokat dahulu, sebagaimana dipaparkan dalam
upaya peradin mengeluarkan surat edaran yang kedua , tanggal 24 November 1984,
dengan judul BAR NASIONAL YANG MANDIRI, yang salah satu keinginannya adalah
bahwa organisasi advokat berwenang sepenuhnya dalam memecat atau mengangkat
anggota.
Pemberian
kewenangan kepada advokat untuk melakukan pengangkatan advokat, termasuk
menyelenggarakan pendidikan, adalah suatu langkah yang luar biasa. Di negara
maju seperti jepang pun. Pendidikan calon advokat dilakukan Mahkamah Agung (melalui
the legal training and research institute).
D.
Kewajiban Advokat/ Pengacara
Berdasarkan
KEAI dan Undang-Undang Advokat, dalam melakukan pekerjaannya advokat mempunyai
kewajiban baik terhadap sesama advokat, masyarakat maupun klien.Kewajiban ini
seyogyanya dilaksanakan advokat agar kehormatan advokat tetap terjaga dalam
masyarakat.Apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan, advokat yang bersangkutan
dapat dikenai hukuman sesuai dengan KEAI. Tentu saja, pelanggaran atas
kewajiban tersebut akan dikenai sanksi dengan mengacu pada jenis hukuman.
Kewajiban
advokat dapat dilihat dari dua pengaturan:
1.
Kode
Etik Advokat Indonesia (KEAI); dan
Berdasarkan KEAI, kewajiban advokat antara lain meliputi:
1)
Memelihara
rasa solidaritas di antara tema yang sejawat (pasal 3 huruf d KEAI)
2)
Memberikan
bantuan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa suatu perkara
pidana baik atas permintaan sendiri maupun karena penunjukan organisasi profesi
(pasal 3 huruf e KEAI);
3)
Bersikap
sopan terhadap semua teman sejawat dan mempertahankan martabat advokat (pasal 4
huruf d KEAI);
4)
Memegang
rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara
kepercayaan dan tetap menjaga rahasia tersebut setelah sampai berakhir
hubungannya dengan klien (pasal 4 huruf h KEAI)
5)
Memberikan
surat dan keterangan apabila perkara akan diurus advokat baru dengan
memperhatikan hak retensi (pasal 5 huruf f KEAI)
6)
Wajib
memberikan bantuan hukum cuma-Cuma kepada orang yang tidak mampu (pasal 7 huruf
h KEAI)
7)
Dalam
memnentukan honoriumnya, wajib mempertimbangkan kemampuan kliennya.
8)
Menyampaikan
pemberitahuan tentang putusan pengadilan mengenai perkara yang ditangani kepada
klien. (pasal 7 huruf I KEAI)
2.
Undang-Undang
Advokat.
Berdasarkan
Undang-Undang Advokat, kewajiban advokat adalah merahasiakan segala sesuatu
yang diketahui dan diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, sesuai
dengan pasal 19. Kerahasiaan ini meliputi perlindungan atas berkas dan dokumennya
terhadap penyitaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi
elektronik advokat.
E.
Larangan terhadap Advokat/Pengacara
Dengungan
profesi advokat sebagai profesi terhomat (officium nobile) sangat sering
keluar dari mulut para advokat, namun tindakan advokat yang dilarang untuk
dilakukan sering tidak mendapat perhatian atau bahkan dianggap sebagai hal yang
wajar. Dari sudut isi kaidah hukum, tindakan yang dilarang ini disebut sebagai
kaidah hukum yang bersifat larangan (verbod).[6] Larangan
tersebut berkaitan dengan hubungan diantara sesama advokat, advokat dengan
klien, dan advokat dengan masyarakat. Larangan ini berkaitan erat dengan
pekerjaan yang dilakukan dan kepercayaan khusus yang diberikan oleh klien
kepadanya, sehingga advokat tersebut menjadi terikat karena dua sumber :
hubungan kontraktual dan hubungan fiduciary.[7]
1.
Hubungan
Kontraktual
Hubungan
kontraktual mengikat advokat dank lien, karena dalam pemberian jasa hukum
kepada klien, advokat melakukan perjanjian dengan klien yang menggunakan
jasanya, yang tentu saja tidak lepas dari kaidah-kaidah hukum kontrak.Dalam hal
ini kaidah yang utama adalah pemenuhan syarat-syarat perjanjian dalam pasal
1320 KUHP Perdata:
a.
Sepakat
mereka (advokat dan klien) yang mengikat dirinya;
b.
Cakap
untuk membuat perjanjian (advokat dank lien);
c.
Suatu
hal tertentu (masalah yang ditangani);
d.
Suatu
sebab yang halal (isi yang ditangani).[8]
2.
Hubungan
Fiduciary
Istilah
fiduciary berasal dari hukum Romawi, yang berati orang memegang reputasi (character)
sebagai wakil (trustee),[9]
sehingga dia harus memegang rahasia. Istilah fiduciary dapat juga berate
seseorang yang mempunyai kewajiban yang dilakukan dengan itikad baik (good
faith), kepercayaan, dan keterusterangan (candor) terhadap yang lain.[10]
Dalam
hukum perusahaan, dalam kaitan dengan kepercayaan dari pemegang saham
perusahaan, direksi diharapkan melaksanakan fiduciaryduities karena mereka
memiliki kekuasaan yang begitu luas dan mempunyai kedudukan yang unik dalam struktur
perusahaan.Sering disebut bahwa direksi memikul kepercayaan yang tinggi (high
degree fidelity) dan kesetiaan (loyality) kepada perusahaan.[11]
Dalam
kaitan dengan hubungan fiduciary tersebut, larangan-larangan dalam profesi
advokat perlu dipahami dan seyogyanya dilaksanakan agar kehormatan profesi
tetap terjaga. Sebagai hukum yangpositif
bagi advokat, KEAI memuat beberapa larangan. Larangan tersebut sangat penting
untuk dicantumkan dalam pekerjaannya sehingga mereka tetap mengacu pada
ketentuan yang ada.
a.
Larangan
dalam Undang-Undangan Advokat
Dalam
Undang-Undang Advokat, sejumlah tindakan yang dilarang untuk dilakukan oleh
advokat meliputi :
a)
Membedakan
perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama,politik, keturunan,
ras, atau latar belakang sosial dan budaya. (pasal 18 Undang-Undang Advokat);
b)
Memegang
jabatan yang bertentangan dengan kepentingan dan martabat profesinnya (pasal 19
Undang-Undang Advokat);
c)
Memegang
jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian sehingga merugikan profesi advokat
selama memangku jabatan tersebut (pasal 19 Undang-Undang Advokat).
b.
Larangan
dalam KEAI
a)
Berpraktik
selama menduduki jabatan negara dan
namanya dicantumkan dalam kantor manapun selama ia berada dalam jabatan
tersebut (pasal 3 huruf I KEAI)
b)
Menjamin
kepada klien perkaranya akan menang (pasal 4 huruf c KEAI)
c)
Membebani
klien akan biaya-biaya yang tidak perlu (pasal 4 huruf e KEAI)
d)
Menarik
atau merebut seorang klien dari teman sejawat (pasal 5 huruf d KEAI)
e)
Mengajari
dan/atau memengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara
perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana (pasal 7 huruf e
KEAI)
F.
Jenis Hukuman terhadap Advokat dan Sifat Pelanggaran
Hukuman
terhadap advokat akibat pelanggaran KEAI dapat dikatakan sebagai konsekuensi
telah dituangkannya kode etik tersebut dalam peraturan tertulis, sehingga kode
etik tersebut nanti seperti hukuman di mana sanksi atas peristiwa hukum konkret
dapat dijatuhkan dari luar (heteronom). Apabila tidak, kode etik
tersebut hanyalah seperti kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun, di mana
sanksi atas kaidah-kaidah tersebut berturu-turut berasal dari Tuhan, diri
sendiri, masyarakat secara resmi atau seperti kaidah hukum tanpa sanksi ( lex
imperpecta)[12]
Hukuman
yang dimaksud di sini adalah hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap
KEAI, yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Peradi. Apabila ditelusuri, hukuman
tersebut dijatuhkan pada advokat yang telah melanggar KEAI berdasarkan salah
satu pendekatan dalam hukum pidana: pendekatan kemanfaatan (utilitarian
approach). Pendekatan tersebut akan
membantu kita untuk menganalisis mengapa hukuman dijatuhkan pada pelaku tindak
pidana pada umumnya.
Berdasarkan
pendeketan kemanfaatan yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan kemudian diteruskan
oleh Andrew Altman,[13]
ada beberapa tujuan hukuman. Pertama, hukuman dimaksudkan untuk mencegah
kejahatan secara umum karena hukuman tersebut bertujuan untuk mencapai kebaikan
utama bagi masyarakat yang paling banyak ( to promote the greatest to the
greatest number ). Kedua, hukuman dimaksudkan sebagai pencegahan khusus (special
deterrence) bagi pelaku kejahatan.Ketiga, hukuman dimaksudkan sebagai alat
untuk mengurangi kemungkinan seseorang melakukan kejahatan (incapacitation).
Keempat, hukuman dimaksudkan sebagai sarana rehabilitas agar yang bersangkutan
mematuhi hukum pada masa depan.
Dalam
hukum pidana, hukuman tersebut dapat terjadi karena seseorang melakukan
perbuatan melawan hukum atau tindakan
melawan hukum, baik berupa pelanggaran
maupun kejahatan, kejahatan dapat
dibedakan dari sudut kepentingan hukum yang dilanggar dan bobot pidana yang
dijatuhkan. Dalam kejahatan, tindakan seseorang membahayakan kepentingan hukum
dalam pengertian yang konkret dan hukuman dijatuhkan lebih berat.Dalam
pelanggaran, seseorang melanggar kepentingan hukum dalam pengertian yang
abstrak dan hukuman dijatuhkan lebih ringan.[14]
Hukuman
dijatuhkan kepada advokat karena tindakan hukuman advokat dalam menjalankan
pekerjaannya dalam bidang litigasi maupun non-litigasi yang meliputi:
1.
Mendampingi
klien di kepolisian dalam rangka penyidikan;
2.
Memberi
pelayanan hukum (legal service);
3.
Mempersiapkan
penyusunan kontrak (legal drafting);
4.
Memberikan
informasi hukum;
5.
Membela
dan melindungi hak asasi manusia;
Hukuman
tersebut diatur baik dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2003 maupun dalam Kode
Etik Advokat Indonesia. Berdasarkan pasal 7 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003,
hukuman yang dijatuhkan pada advokat berupa:
1.
Teguran
lisan;
2.
Teguran
tertulis;
3.
Pemberhentian
sementara dari profesinya selama 3 sampai 12 bulan;
4.
Pemberhentian
tetap dari profesinnya.
Akan
tetapi, berdasarkan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.18 Tahun 2003, ditegaskan
bahwa jenis hukuman tersebut diatur lebih lanjut oleh dewan Kehormatan. Berdasarkan
pasal 10 Undang-Undang No.18 Tahun 2003, jenis hukuman yang dimaksudkan sebagai
kewenangan Dewan kehormatan adalah pelanggaran advokat yang berkaitan dengan
kode etik. Pelanggaran di luar kode etik dapat dihukum di pengadilan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Perkataan
“Advocat” semula berasal dari bahasa Latin yaitu “ advocatus
“ yang berarti seorang ahli hukum yang
memberikan bantuan atau pertolongan dalam soal-soal hukum.
2.
Peran
dan fungsi advokat meliputi pekerjaan baik dilakukan di pengadilan maupun di
luar pengadilan tentang masalah hukum pidana atau perdata, seperti mendampingi
klien dalam tingkata penyelidikan dan penyidikan (di kejaksaan atau kepolisian)
atau beracara di muka pengadilan. Advocat seharusnya dapat memberikan andil
atau berbuat secara konkrit dalam menentukan arah perkembangan hukum nasional
yang disebut sebagai politik hukum.
3.
Kewajiban
advokat adalah merahasiakan segala sesuatu yang diketahui dan diperoleh dari
kliennya karena hubungan profesinya. Kerahasiaan ini meliputi perlindungan atas
berkas dan dokumennya terhadap penyitaan dan perlindungan terhadap penyadapan
atas komunikasi elektronik advokat. Larangan terhadap advokat berkaitan dengan
hubungan diantara sesama advokat.
4.
Hukuman
yang dikenakan terhadap advokat dapat terjadi karena seseorang melakukan
perbuatan melawan hukum atau tindakan
melawan hukum, baik berupa pelanggaran
maupun kejahatan, kejahatan dapat
dibedakan dari sudut kepentingan hukum yang dilanggar dan bobot pidana yang
dijatuhkan.
B.
Saran-Saran
1.
Disarankan
kepada mahasiswa untuk lebih giat dalam membaca banyak buku, karena dengan
banyak membaca mendapatkan banyak referensi dalam ilmu.
2.
Disarankan
kepada advokat untuk selalu berlaku adil dalam setiap persidangan, karena
berlaku adil lebih dekat kepada taqwa.
3.
Disarankan
kepada masyarakat agar taat dan patuh pada hukum Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Teguh Samudera. Makalah Seminar Nasional & Dialog “
Immunitas & hak-hak Advokat Berdasarkan Undang-undang Advokat”.
Surabaya. 2006.
Pasal 3 dan 4 Kode Etik Advokat Indonesia
Frans Hendra Winarta, S.H. Advokat Indonesia Citra, Idealisme,
dan Keprihatinan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Harold F. Lusk et al., Business Law, Illinois: Ricahard D.
Irwin, Inc.,.
Purbacaraka, Purnadi & Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah
Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, 1986.
Munir Fuady, Profesi Mulia, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti,2005.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa,2005.
Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia Citra, Idealisme, dan
Keprihatinan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1994.
Penerbit Alumni, 1986), hal. 41.
0 Comments
Post a Comment