BAB I
P EN D A H U L U A N
A.
Latar
Belakang Masalah
Islam menempatkan
akhlak dalam posisi penting yang harus dipegang teguh para pemeluknya. Bahkan,
tiap aspek dalam ajaran Islam, apakah itu di bidang politik, ekonomi, dan
berbagai kegiatan lainnya selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak
yang mulia (akhlakul karimah). ''Sesungguhnya, aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak mulia,'' begitu bunyi salah satu sabda Nabi SAW yang terkenal.
Di antara kaidah
yang difardukan Islam ialah agar manusia bermuamalah dengan orang lain, dengan
lemah lembut dan halus, sehingga dia tidak kasar dalam ucapan dan tidak keras
dalam bermuamalah. ''Sesungguhnya, Allah itu lemah lembut dan menyukai
kelemah-lembutan dalam segala urusan,'' sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh
Imam Buchari dari Aisyah.
Begitu pentingnya
masalah akhlak sehingga dalam menilai keimanan seseorang kita juga diminta
menilai bagaimana akhlak yang bersangkutan. Kata Nabi SAW, ''Mukmin yang paling
sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.'' Karenanya, dalam situasi negara
sekarang ini, khususnya makin maraknya kasus kejahatan dan penyalahgunaan
jabatan, perlunya dihayati dan diterapkan kaidah akhlak dalam masyarakat.
Apalagi, bila diingat berbagai kasus penyimpangan itu tidak terlepas dari
masalah ini. Kita juga prihatin dengan meningkatnya dekadensi moral yang telah
menjungkirbalikkan nilai-nilai agama, utamanya masalah moral.
Untuk meredam
sifat-sifat destruktif yang membahayakan moralitas bangsa dan negara, makin
disadari perlunya upaya mengembalikan akhlak masyarakat seperti yang diajarkan
agama. Bahkan, sudah dicontohkan dengan gemilang dalam perilaku hidup Nabi
Muhammad SAW.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Akhlak
Akhlak
berasal dari bahasa Arab yaitu alkhulqu, al-khuluq yang mempunyai arti watak,
tabiat, keberanian, atau agama. Secara Istilah akhlak menurut Ibnu Maskawaih
(421 H) adalah “suatau keadaan bagi jiwa
yang mendorong ia melakukan tindakan-tindakan dari keadaan itu tanpa melalui
pikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi dua, ada yang berasal dari tabiat
aslinya, ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulang. Boleh
jadi, pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemudian
dilakukan terus menerus, maka jadilah suatu bakat dan akhlak.”[1] H. Hasan AF memberikan definisi akhlak
sebagai”suatu ungkapan tentang keadaan pada jiwa bagian dalam yang melahirkan
macam-macam tindakan dengan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan
terlebih dahulu”[2]
Dari
dua defenisi di atas dapat dipahami bahwa akhlak bersumber dari dalam diri anak
dan dapat juga berasal dari lingkungannya. Secara umum akhlak bersumber dari
dua hal tersebut dapat berbentuk akhlak baik dan akhlak buruk, tergantung
pembiasaannya, kalau anak membiasakan perilaku buruk, maka akan menjadi akhlak
buruk bagi dirinya, sebaliknya anak membiasakan perbuatan baik, maka akan
menjadi akhlak baik bagi dirinya.
Dalam
haditsnya yang mulia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا بُعِØ«ْتُ Ù„ِØ£ُتَÙ…ِّÙ…َ Ù…َÙƒَارِÙ…َ الْØ£َØ®ْلاَÙ‚ِ
Artinya: Sungguh aku diutus (oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala) untuk menyempurnakan akhlak (budi pekerti) umat manusia.” (HR.
Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Ahmad, dan Al-Hakim, dari sahabat Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam
Silsilah Ash-Shahihah no. 45)
Adapun
pengertian akhlak adalah kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka
kebiasaannya itu disebut akhlak. Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang
mengeri benar akan kebiasaan perilaku yang diamalkan dalam pergaulan semata –
mata taat kepada Allah dan tunduk kepada-Nya.[3]
Dengan
demikian memahami akhlak adalah masalah fundamental dalam Islam. Namun
sebaliknya tegaknya aktifitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang
itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akhlak. Jika seseorang
sudah memaami akhlak dan menghasilkan kebiasaan hidup dengan baik, yakni
pembuatan itu selalu diulang – ulang dengan kecenderungan hati (sadar).3 Akhlak
merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani,
pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan
tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.
B. Macam-Macam Akhlak
Adapun macam-macam akhlak adalah
sebagai berikut:
1. Akhlak Al-Karimah
Akhlak Al-karimah atau akhlak yang
mulia sangat amat jumlahnya, namundilihat dari segi hubungan manusia dengan
Tuhan dan manusia denganmanusia, akhlak yang mulia itu dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
a.
Akhlak
Terhadap AllahAkhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada
Tuhan selainAllah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji demikian Agung sifat itu,
yang jangankanmanusia, malaikatpun tidak akan menjangkau hakekatnya.
b. Akhlak terhadap Diri
SendiriAkhlak yang baik terhadap diri sendiri dapat diartikan menghargai,
menghormati,menyayangi dan menjaga diri sendiri dengan sebaik-baiknya, karena
sadar bahwadirinya itu sebgai ciptaan dan amanah Allah yang harus
dipertanggungjawabkandengan sebaik-baiknya.Contohnya: Menghindari minuman yang
beralkohol, menjaga kesucian jiwa,hidup sederhana serta jujur dan hindarkan
perbuatan yang tercela.
c. Akhlak terhadap sesama manusiaManusia adalah
makhluk social yang kelanjutan eksistensinya secara fungsionaldan optimal
banyak bergantung pada orang lain, untuk itu, ia perlu bekerjasama dansaling
tolong-menolong dengan orang lain. Islam menganjurkan berakhlak yang baik
kepada saudara, Karena ia berjasa dalam ikut serta mendewasaan kita,
danmerupakan orang yang paling dekat dengan kita. Caranya dapat dilakukandengan
memuliakannya, memberikan bantuan, pertolongan dan menghargainya.[4]
Jadi, manusia menyaksikan dan
menyadari bahwa Allah telah mengaruniakankepadanya keutamaan yang tidak dapat
terbilang dan karunia kenikmatan yangtidak bisa dihitung banyaknya, semua itu
perlu disyukurinya dengan berupa berzikir dengan hatinya. Sebaiknya dalm kehidupannya senantiasa berlaku hidupsopan dan santun
menjaga jiwanya agar selalu bersih, dapt tyerhindar dari perbuatan dosa, maksiat,
sebab jiwa adalah yang terpenting dan pertama yangharus dijaga dan dipelihara
dari hal-hal yang dapat mengotori dan merusaknya.Karena manusia adalah makhluk
sosial maka ia perlu menciptakan suasana yang baik, satu dengan yang lainnya
saling berakhlak yang baik.
2. Akhlak Al-Mazmumah
Akhlak Al-mazmumah (akhlak yang
tercela) adalah sebagai lawan ataukebalikan dari akhlak yang baik seagaimana
tersebut di atas. Dalam ajaran Islamtetap membicarakan
secara terperinci dengan tujuan agar dapat dipahami dengan benar, dan dapat
diketahui cara-cara menjauhinya.
Berdasarkan petunjuk ajaran Islam
dijumpai berbagai macam akhlak yangtercela, di antaranya:
a. Takabur (sombong)Ialah merasa
atau mengaku dirinya besar, tinggi, mulia, melebihi orang lain.Pendek kata
merasa dirinya lebih hebat.
b. DengkiIalah rasa atau sikap
tidak senang atas kenikmatan yang diperoleh orang lain.
c. Bakhil atau kikir Ialah sukar
baginya mengurangi sebagian dari apa yang dimilikinya itu untuk orang
lain.Sebagaimana diuraikan di atas maka akhlak dalam wujud pengamalannya di
bedakan menjadi dua: akhlak terpuji dan akhlak yang tercela. Jika sesuai dengan
perintah Allah dan rasulnya yang kemudian melahirkan perbuatan yang baik, maka
itulahyang dinamakan akhlak yang terpuji, sedangkan jika ia sesuai dengan apa
yang dilarangoleh Allah dan rasulnya dan melahirkan perbuatan-perbuatan yang
buruk, maka itulahyang dinamakan akhlak yang tercela.[5]
C. Hubungan Akhlak Dengan
Ilmu Serta Manfaat Mempelajarinya
Al Ghazali mengemukakan hubungan yang
erat dan tak terpatahkan antara ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak.
Hubungan inilah yang sedang dicari kembali dalan dunia ilmu pengetahuan modern
terutama dalam bahasan mengenai islamisasi ilmu pengetahuan. Mengingat adanya
kebutuhan kembali pada agama karena perkembangan jiwa manusia yang semakin lama
semakin memprihatinkan, bahasan mengenai mengenal Tuhan lewat ilmu pengetahuan
adalah tema yang penting. Manusia modern dinilai telah sangat rasional. Maka,
ilmu pengetahuan sudah selayaknya menjadi jalan utama mengenal Tuhan, untuk
menjadi insan kamil atau manusia yang sempurna[6].
Al Ghazali mengemukakan adanya empat
tingkatan akal manusia. Empat akal tersebut antara lain:
1. Akal yang berarti
“kecerdasan”. Akal dimiliki oleh setiap manusia yang membedakan dia dengan
hewan dan makhluk lainnya. Makna akal inilah yang secara umum dipakai oleh
orang kebanyakan. Akal inilah yang dibawa oleh manusia sejak lahirnya sebagai
modal pokok untuk hidup.
2. Akal yang berarti
“pengertian”. Akal ini mulai tumbuh pada manusia setelah akalnya yang pertama
mulai berjalan dan berkembang sejak ia kanak-kanak sampai menjadi orang dewasa.
Akal inilah yang telah mengerti akan benar dan salah, baik dan buruk, tercela
maupun terpuji.
3. Akal yang berarti
“pengetahuan”. Akal ini timbul karena pengajaran dan pengalaman di mana seorang
manusia telah menyelidiki dan mempelajari segala sesuatu dengan seksama. Akal
inilah yang melahirkan ilmu pengetahuan seperti yang kita saksikan saat ini.
4. Akal yang berarti “ma’rifah”.
Akal ini merupakan puncak dari segala tingkatan akal, yaitu keinsyafan rohani
manusia yang menyadari akibat sesuatu dan yang membawanya kepada keluhuran budi
dan akhlak, serta memimpinnya pada Tuhan yang setinggi-tingginya. Akal inilah
yang mencerminkan perpaduan antara ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak.
Tingkatan akal ini kemudian
digambarkan oleh Dr. M. Musthafa Helmi dalam pembagian manusia dalam tiga
tingkatan, yaitu:
- Iman kaum awam, yaitu kepercayaan (keagamaan)
orang-orang yang hanya berdasarkan kepada keterangan-keterangan yang
diberikan oleh orang lain, bukan hasil penyelidikannya sendiri.
- Iman kaum ulama, yaitu kepercayaan yang
timbul dari hasil penyelidikan ilmu pengetahuan, dan inilah golongan
ahli-ahli pengetahuan.
- Iman kaum arifin, yaitu kepercayaan yang
memancar dari keyakina orang yang ruhaninya terbuka kepada Tuhan dan
memegang teguh moral dan akhlak.[7]
Konsep tentang ma’rifah menjadi dasar
penjelasan Al Ghazali dalam teorinya tentang “ilmu pengetahuan yang sejati”. Ia
mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan tanpa amal adalah gila, sedangkan amal
tanpa ilmu adalah tidak sah. Ilmu pengetahuan semata-mata tidak menjauhkan dari
berbuat dosa dan kejahatan, dan tidak pula mendekatkan kepada perbuatan taat
dan kebaikan sewaktu hidup di dunia. Sedangkan untuk akhirat, ilmu itu tidak
sanggup membebaskan manusia dari hukuman neraka. Al Ghazali menegaskan bahwa
seseorang yang telah mencapai tingkat arifin atau ma’rifah adalah mereka yang
menyatupadukan ilmu pengetahuan dengan keimanan (agama), sehingga mereka
memiliki hasrat untuk beramal dengan sesungguhnya dan mewujudkan pendidikan
akhlak.[8]
Berkenaan dengan manfaat mempelajari
ilmu akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebgaai berikut: Tujuan mempelajari ilmu
akhlak dan permasalahannya yang menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian
perbuatan yang lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai
yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk
perbuatan buruk, membayar utang kepada pemilkinya termasuk perbuatan baik,
sedangkan mengingkari utang termasuk pebuatan buruk.
Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan
bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan qalbu dari
kotoran-kotoran hawa nafsu dan marahsehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan
cermin yang dapat menerima NUR cahaya Tuhan. Seseorang yang memmpelajari ilmu
ini akan memiliki pengetahuan tentang criteria perbuatan baik dan buruk, dan
selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang
buruk.
Ilmu akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam
mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang.
Seseorang yang memiliki IPTEK yang maju disertai akhlak yang
mulia, niscaya ilmu pengetahuaan yang Ia miliki itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya
untuk kebaikan hidup manusia. Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan
dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak disertai
dengan akhlak yang mulia, maka semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya
akan menimbulkan bencana dimuka bumi.
Demikian juga dengan mengetahui akhlak
yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang
enggan untuk melakukannya dan berusaha menjauhinya. Orang
yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat
membahyakan dirinya. Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak
bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam
mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia
beruasaha melakukannya, dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk
menghindarinya.
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan uraian
yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis dapat mengambil beberapa
kesimpulan dan saran – saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
A. Kesimpulan
1.
Secara
umum akhlak bersumber dari dua hal tersebut dapat berbentuk akhlak baik dan
akhlak buruk, tergantung pembiasaannya, kalau anak membiasakan perilaku buruk,
maka akan menjadi akhlak buruk bagi dirinya, sebaliknya anak membiasakan
perbuatan baik, maka akan menjadi akhlak baik bagi dirinya.
2.
Akhlak itu
adalah hal ihkwal yang melekat pada jiwa Sanubari, macam-macam akhlak ada 2: Akhlak Terpuji
(Akhlakul Karimah), Akhlak tercela (Akhlak Madzumamah).
3.
Al
Ghazali mengemukakan hubungan yang erat dan tak terpatahkan antara ilmu
pengetahuan dengan agama dan akhlak. Hubungan inilah yang sedang dicari kembali
dalan dunia ilmu pengetahuan modern terutama dalam bahasan mengenai islamisasi
ilmu pengetahuan.
B. saran - saran
1.
Disarankan
kepada mahasiswa untuk dapat berakhlak baik, karena akhlak yang baik merupakan
cerminan kepribadian muslim
2.
Disarankan
kepada orang tua untuk dapat mendidik anak dengan akhlah yang baik yaitu dengan
memberikan ketelanan dalam kehidupan
3.
Disarankan
kepada mahasiswa untuk dapat menjadi tauladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Razak,
Nazaruddin, Dienul Islam, Bandung Al-Ma’arif, 1973.
H. Hasan AF, Aqidah Akhlak Kurikulum 2004
Madrasah Tsanawiyah kelas 1,, Semarang:
PT Karya Toha Putra 1987.
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta
Bulan Bintang,1975.
Prof. Dr. H. Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf, Cet ke-2, Jakarta: PT. Mitra Cahaya Utama, 2005.
H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Cet ke-2, Bandung: CV Pustaka
Setia, 1997.
Nazaruddin Razak, Dienul Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1973.
M. Abul Quasem, Etika Al-Ghozali, Etika Majemuk di dalam Islam, Bandung: Pustaka,1988
Mahjudin, Kuliah Akhlak-Tasawuf, Kalam Mulia Jakarta, 1991, hlm. 41.
0 Comments
Post a Comment