Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Syar’u Manqablana


BAB I

P E N D A H U L U AN

A.    Latar Belakang Masalah

Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam al-Quran dan Hadis Nabi s.a.w..

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

P E M B A H A S A N

A.    Pengertian Ijtihad

Ijtihad menurut Arti asalnya adalah "bersungguh-sungguh". Atau "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan  sesuatu yang sulit ." Atas dasar ini maka tidak  tepat  apabila  kata  "ijtihad"  dipergunakan   untuk melakukan sesuatu yang mudah/ ringan[1]. Sedangkan berdasarkan makna Terminlogi, para ulama ushul memandang bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kesungguhan dan kamantapan yang dimiliki seseorang ahli fiqh untuk menghasikan keyakinan tentang suatu hokum sedangkan definisi lain dari ijtihad yaitu mencurahkan segenap usaha untuk sampai kepada hukum syar’a dari dalil tafsili yang termasuk dalil syar’i.

Menurut Hasbi Ash Shaddiqi Ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan Zan. Sedangkan Al-Dahlawi menjelaskan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembali keempat macam dalil yaitu Kitab, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Dan Imam Khomeini mengatakan juga Ijtihad adalah keahlian atau kemampuan yang dengannya dia dapat menarik kesimpulan hukum dari dalil-dalil.

Dari keterangan di atas bahwa ijtihad bukan perbuatan yang dilakukan sekedar membuka-buka kitab tafsir atau hadis lalu dengan mudah ditarik sebuah kesimpulan hukum. Sebaliknya, dalam ijtihad dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dengan mencurahkan segenap kemampuan dan usaha untuk mendapatkan hukum-hukum syariat. Hal ini menunjukkan bahwa maslah ijtihad bukan perkara yang mudah, tetapi ijtihad juga harus diupayakan pada setiap generasi, agar ajaran Islam tetap dinamis, tidak stagnan dan siap memberikan solusi atas segala problematika kontemporer.

Para fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nas. Kebolehan ini di isyaratkan antara lain (Q.S. Al-Baqarah: 149)

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Artinya: Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. (Q.S. Al-Baqarah: 149)

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari masjidil haram, apabila akan shalat, dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada. Secara kodrati manusia mempunyai badan jasmani dan rohani. Badan rohani berfungsi untuk memhami apa yang dilihat oleh manusia dan dialami oleh akal pikiran sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dialam raya ini. Walaupun tidak ada petunjuk dari agama, maka dengan akal itu manusia dapat memperoleh kebahagiaan hidup dan dapat berusaha menghindari bahaya.

Hadis lain juga yang mendukung akan persolan ini yaitu hadis nabi yang ketika mengutus Muadz bin Jabal menjadi Guburnur di Yaman, hadis ini tidak asing lagi bagi kita semua, “ Ketika itu Muads ditanya oleh Rasulullah : dengan apa engkau menentukan hukum, Muazd menjawab dengan kitab Allah, jawab Muadz, Rasulullah bertanya lagi kalau engakau tidak mendapat keterangan dari Al-Qur’an, Muadz menjawab saya mengambilnya dari sunnah Rasul, Rasulullah berkata lagi, kalau engakau tidak mendapi dari keterangan sunah Rasululah SAW, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa, Rasulullah menepuk Muadz bin Jabal menandakan persetujuannya.

Nabi sendiri memberikan kelonggaran dalam persolan agama, dengan cara ijtihad bahkan Nabi membrikan dorongan kepad mereka, jika ijtihad itu mengenai sasaran, maka orang yang berijtihad mendapat dua kebaikan dan apabila tidak, dia mendapat satu kebaikan.

B.    Pengertian Istishab

Kata Istishab secara etimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat istif’ala (استفعال) yang bermakna استمرارالصحبة kalau kata الصحبة diartikan dengan teman atau sahabat dan استمرار diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara Lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai[2]. Sedangkan menurut Hasby Ash-Shidiqy adalah:

ابقاء ما كا ن على ما كا ن عليه لا نعدام الغير(اعتقا دكون

الشىء فى الما ضى اوالحا ضر يوجب ظن ثبو ته فىالحال والاستقبا ل

Artinya:   Mengekalkan apa yang sudah ada atas keadaan yang telah ada,karena tidak ada yang mengubah hukum atau karena sesuatu hal yang belum di yakini.

Definisi lain yang hampir sama dengan itu dinyatakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah,beliau adalah tokoh Ushul Fiqh Hanbali yaitu : menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tidak ada sampai ada yang mengubah kedudukanya atau menjadikan hukum yang telah di tetapkan pada masa lampau yang sudah kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.

ثبت ماكان ثابتاونفي ماكان منفيا استخدامة

Artinya: Mengukuhkan/menetapkan apa yang pernah di tetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada[3].

Menurut Asy-Syaukani menta’rifkan Istishab dengan “tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya dalam Irsyad Al-Fuhul nya merumuskan : لما ضى فالاصل بقاؤه فى الزما ن المستقبال ان ما ثبت فى الزما ن

ِArtinya: Apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu ,pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang.[4]

Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Ridho Mudzaffar dari kalangan Syi’ah,yaitu : ابقاء ما كا ن (mengukuhkan apa yang pernah ada) dan menurut Ibn As-Subki dalam kitab Jam’u Al-Jawani jilid II Istishab Yaitu :

ثبوت امرفىالثانىلثبوته فى الاول لفقدان مايصلح للتخيير

Artinya: Berlakunya sesuatu pada masa kedua karena yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama karena tidak ada yang aptut untuk mengubahnya[5].

Sedangkan menurut istilah ahli Ushul Fiqh “menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumya,sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut”.Al-Ghazali mendefinisikan Istishab adalah berpegang pada dalil akal atau Syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui dalil,tetapi setelah melalui pembahasan dan penelitian cermat ,diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada[6].

Menurut Ibn Qayyim Istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau menyatakan belum ada nya hukum suatu peristiwa yang belum penah ditetapkan hukumnya.Sedangkan definisi Asy-Syatibi adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang. Contoh Muhammad telah menikah dengan Aisyah, kemudian mereka berpisah selama 15 tahun,karena telah lama mereka berpisah lalu Aisyah ingin menikah lagi dengan lelaki lain, dalam hal ini Aisyah belum bisa menikah lagi karena ia masih terikat tali perkawinan dengan Muhammad dan belum ada perubahan hukum tali perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.

C.    Pengertian ‘Urf

'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan)[7]. Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.

Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya.

Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.

D.    Pengertian Syar’u Manqablana

Syar’u man qablana (syariat sebelum kita, syariat Nabi-nabi terdahulu) juga merupakan dalil hukum yang diperselisihkan. Bagi yang mengakui otoritas dalil hukum ini, syariat umat terdahulu masih absah berlaku hingga kini sepanjang tidak ada nash yang menghapuskan atau mengubahnya. Dalam hal ini, otoritasnya tidak memerlukan adanya penetapan ulang dalam syari’at sekarang (syari’at Muhammad). Sementara bagi yang menentang otoritas syar’u man qablana, syariat Muhammad telah menghapus seluruh syariat umat terdahulu, kecuali kalau ditetapkan lagi dengan nash.”[8]         
            Dalam pendapat yang lain disebutkan bahwa Syar 'u man qablana ialah syari 'at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
            Sebagaimana kita tahu bahwa setiap kali Allah SWT mengutus seorang nabi, isi detail aturan syariatnya mungkin saja bervariasi. Tiap umat telah diberikan syariat masing-masing, kecuali setelah datangnya nabi Muhammad SAW, semua risalah itu kemudian di-nasakh dan diganti dengan risalah yang bersifat universal. Namun apa yang kita pikirkan itu benar dalam arti kata yang umum. Sebab semua agama yang dibawa oleh para nabi itu berasal dari Allah SWT juga. Semua merupakan sebuah rangkaian ajaran Islam. Bahkan di dalam Al-Quran kita membaca dengan jelas penyebutan agama para nabi, yaitu mereka beragama Islam.
            Dalam lingkup hukum Islam, Al-Qur’an dan Hadits adalah sumber dari hukum Islam, sehingga semua ketentuan hukum yang dibuat oleh manusia harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan/atau Hadits. Namun demikian, adakalanya ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak serta merta dapat diterapkan secara langsung dalam menetapkan hukum untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Yang dimaksud dengan hukum Islam dalam tulisan ini tidak hanya hukum yang terkait dengan penyelesaian suatu masalah tetapi juga hukum untuk melaksanakan suatu perbuatan, seperti shalat, puasa dan praktek jual beli.”[9]
            Penggunaan dalil-dalil atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits untuk merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan haruslah mengikuti kaidah-kaidah yang lazim digunakan dikalangan umat Islam. Kaidah-kaidah tersebut terdapat dalam ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk merumuskan hukum atas suatu perbuatan melalui dalil-dalil yang rinci. Pengertian Ushul Fiqh berbeda dengan Fiqh. Ushul Fiqh berkaitan dengan kaidah atau metode untuk merumuskan hukum tertentu. Sedangkan Fiqh adalah hukum atas suatu perbuatan yang dirumuskan dengan menggunakan metode yang ditetapkan oleh Ushul Fiqh yaitu hukum yang berkenaan dengan suatu perbuatan (misalnya, fiqh shalat wajib, fiqh puasa sunah atau fiqh perkawinan).
            Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa Al-Qur’an dan Hadts adalah sumber hukum Islam dimana Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dan tertinggi. Disamping kedua sumber hukum tersebut, ulama Ushul Fiqh menetapkan sumber-sumber hukum lainnya, diantaranya: ijma’, qiyas, ihtisan, mashlahah, istishhab, ‘urf, syar’u man qoblana, mazhab shahabi dan dzari’ah. Sumber-sumber hukum tersebut adalah juga merupakan metode atau tata cara untuk memperoleh dalil-dalil yang akan digunkan untuk merumuskan suatu hukm. Adanya sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadits dikarenakan adanya masalah-masalah yang bersifat khusus, sedangkan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits bersifat umum.”[10]
Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh) yang dihapuskan Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
 Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa sebagaimana firman Allah yang terdapat di dalam Al – qur’an surat Al – baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa ( Qs. Al – baqarah : 183 )

E.    Pengertian Mazhab Shahabi

Yang dimaksud dengan Mazhab Shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rasulullah saw wafat. Fatwa-fatwa mereka itu ada yang telah dikumpulkan oleh para tabi’in sebagaimana mereka mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah. Fatwa-fatwa sahabat ini ada yang berdasarkan kepada sabda perbuatan Rasul dan ada yang berdasarkan ijtihad mereka, yang terbagi menjadi dua, yaitu hasil ijtihad yang mereka sepakati (Ijma Sahaby) dan hasil ijtihad yang tidak disepakati.
Sesuai dengan sifat fatwa sahabat seperti disebutkan diatas, maka kedudukan mazhab sahabat ini juga dapat dipisahkan menjadi :
  1. Mazhab yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan sunnah Rasul.
  2. Mazhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka sepakati (Ijma Sahaby) dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati, sebab mereka di samping dekat dengan rasul, mereka mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang sering terjadi. Contoh mazhab sahabat yang telah mereka sepakati, antara lain ialah mengenai bagian harta bagi nenek, yaiti seperenam.
  3. Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak wajib diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi’i menyatakan : “ Tidak melihat seorang pun.

Setelah Rasulullah SAW. Wafat, sekelompok sahabat yang mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasulullah dan faham akan Al-qur’an dan hukum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum untuk kaum muslimin. Dari mereka telah muncul sejumlah fatwa dalam berbagai kasus yang berlainan. Sebagai perawi dari kalangan tabi’in maupun tabi’it tabi’in mempunyai perhatian serius untuk meriwayatkan dan membukukannya, sehingga di antara mereka ada yang membukukannya bersama-sama dengan sunnah Rasulullah saw.
Pertanyaannya, apakah fatwa-fatwa ini termasuk sumber pembentukan hukum yang ditambahkan kepada nash, dimana bahwasanya seorang mujahid haruslah mengacu kepadanya sebelum kembali kepada qiyas ? Ataukah ia hanyalah pendapat perorangan yang bersifat ijtihadiyah yang bukan merupakan hujjah atas kaum muslimin.
Kesimpulan pendapat dalam topik ini ialah bahwasanya tidak ada perbedaan pendapat, bahwa pendapat sahabat dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal dan pendapat merupakan hujjah atas kaum muslimin, karena hal itu mestilah ia kaitkan berdasarkan pendengarannya dari Rasulullah saw, seperti perkataan ‘Aisyah ra :
لايمكث الحمل فى بطن امه اكثر من سنتين قدر ما يتحول ظل المغزل.
Artinya: Kandungan itu tidak tinggal di dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mencegah bayangan alat tenun”.

Maka contoh ini tidak menjadi ijtihad dan pendapat. Oleh sebab itu, maka apabila hal tersebut shahih, maka sumbernya adalah pendengaran dari Rasulullah saw. Ia termasuk sunnah sekalipun pada lahirnya ia termasuk dari perkataan shahabat. Disamping itu, juga tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya perkataan sahabat yang tidak diketahui adanya orang yang menentangnya yang juga dari sahabat, adalah hujjah atas kaum muslimin, karena kesempatan mereka atas hukum suatu kasus, padahal mereka dekat masanya dengan Rasulullah saw. Dan mengetahui terhadap rahasia pembentukan hukum, dan adanya perbedaan mereka di sejumlah kasus lainnya, merupakan dalil yang menunjukkan sandaran mereka kepada dalil yang pasti. Ketika mereka sepakat untuk memberikan bagian warisan seperenam kepada nenek, maka ini merupakan suatu hukum wajib diikuti, dan hal ini tidak diketahui adanya perbedaan pendapat diantara kaum muslimin.
            Perselisihan pendapat hanyalah terjadi dalam perkataan shahabat yang keluar dari pendapatnya dan ijtihadnya dan tidak ada kata sepakat pada sahabat mengenainya. Abu Hanifah dan orang-orang yang sependapat dengannya mengatakan :
اذالم اجد فى كتاب الله ولاسنة رسوله اخذ ت بقول اصحابه من شئت وادع قول من شئت, ثم لا اخرح عن قولهم الى غيره.
Artinya: Apabila saya tidak mendapati (hukum) dalam kitab Allah maupun sunnah Rasul-Nya, maka saya mengambil pendapat sahabat Rasulullah yang saya kehendaki dan meninggalkan pendapat orang-ornag yang saya kehendaki pula, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka kepada selainnya”.

Imam Abu Hanifah tidak memandang pendapat seseorang yang tertentu dari mereka sebagai hujjah. Ia berhak mengambil pendapat orang yang dia kehendaki diantara mereka, akan tetapi ia tidak memperkenankan menentang pendapat mereka secara keseluruhan. Ia juga tidak memperkenankan qiyas dalam kasus, sepanjang sahabat mempunyai fatwa mengenainya, bahkan ia akan mengambil salah satu diantara pendapat mereka.
            Barangkali orientasi pendapatnya ialah bahwasanya perbedaan pendapat shahabat mengenai hukum suatu kasus kepada dua pendapat merupakan ijma’ dari mereka bahwa tidak ada pendapat yang ketiga. Selanjutnya perbedaan pendapat mereka sampai kepada tiga pendapat yang keempat. Oleh karena itu keluar dari ijma’ mereka.

F.     Pengertian Dzari ‘ah

Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, dalam bukunya I’lâm al-Muwaqqi'în, mengemukakan bahwa dzarî’ah adalah:
ما كان وسيلة وطريقا إلى الشيء
Artinya:   Segala sesuatu yang menjadi perantara, penghubung atau jalan menuju sesuatu[11].
Ungkapan "الشيء" dalam definisi di atas mengandung pengertian umum dan netral, baik perantara menuju sesuatu yang diperintahkan maupun sesuatu yang menuju perbuatan yang dilarang[12].
Kendatipun Ibnu Qayyim netral dalam memberi definisi dzarî’ah, namun dalam penerapannya tidak demikian. Dia, seperti pakar-pakar hukum Islam lainnya, lebih cenderung menyoroti dzarî’ah dari segi yang menuju pada hal-hal yang negatif. Kitabnya yang memuat paparan tentang persoalan ini dimulai dengan judul "سدّ الذريعة". Hampir seratus contoh dzarî’ah yang manshûsh dikemukaknnya, semuanya mengarah pada kemafsadatan (sadd al-dzarî’ah).
Berbeda dengan pengertian dzarî’ah yang dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim, al-Syâthibî, lebih menitikberatkan pengertian dzarî’ah pada sesuatu (jalan) yang menuju pada yang dilarang serta mengandung kemafsadatan. Dalam kalimat al-Syâthibî sendiri tertulis:
التوسّل بما هو مصلحة إلى مفسدة
Artinya: Suatu tindakan yang mengandung kemaslahatan menuju suatu kemafsadatan[13].
Maksudnya, seperti dijelaskan al-Syâthibî, seseorang melakukan suatu tindakan yang pada dasarnya dibolehkan, bahkan kemungkinan diperintahkan. Akan tetapi, lanjut al-Syâthibî, tindakan itu menyebabkan timbulnya sesuatu (efek) yang tidak dibolehkan (ghair al-masyrû’)[14].
Memaknai dzarî’ah seperti yang diajukan al-Syâthibî dalam definisinya, menurut beberapa pakar ushul fikih adalah memahami dzarî’ah dalam arti khusus. Sementara, definisi dzarî’ah seperti yang dikemukakan oleh al-Qarâfi dan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah adalah memahami dzarî’ah dalam pengertian umum[15].
Berdasarkan definisi dan penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa terma dzarî’ah di kalangan ahli ushul fikih terdiri dari dua kategori (bentuk). Pertama, dzarî’ah apa saja yang akan membawa pada perbuatan yang dilarang. Dzarî’ah jenis ini merupakan-perbuatan yang akan menimbulkan akibat buruk, karenanya, harus ditutup atau tidak boleh diberi peluang demi menghindari bahaya. Menutup atau melarang dzarî’ah jenis inilah yang kemudian disebut sadd al-dzarî’ah.



                                                   









BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan pembahasn diatas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A.    Kesimpulan
1.     Ijtihad menurut Arti asalnya adalah "bersungguh-sungguh". Atau "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan  sesuatu yang sulit ." Atas dasar ini maka tidak  tepat  apabila  kata  "ijtihad"  dipergunakan   untuk melakukan sesuatu yang mudah/ ringan.
2.     Istishab adalah berpegang pada dalil akal atau Syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui dalil,tetapi setelah melalui pembahasan dan penelitian cermat ,diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada.
3.     'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan).
4.     Syar 'u man qablana ialah syari 'at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
5.     Mazhab Shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rasulullah saw wafat. Fatwa-fatwa mereka itu ada yang telah dikumpulkan oleh para tabi’in sebagaimana mereka mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah.
6.     Dzari ‘ah adalah Segala sesuatu yang menjadi perantara, penghubung atau jalan menuju sesuatu
B.    Saran – Saran
1.     Disarankan kepada umat Islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa STIT Almuslim untuk memperdalam pengkajian ilmu Ushul Fiqh.
2.     Disarankan kepada mahasiswa supaya dapat memperbanyak telaah Ushul Fiqh, karena dengan banyak telaah banyak ilmu yang kita dapatkan.
3.     Disarankan kepada Mahasiswa/i agar dapat mengabdikan ilmunya kepada masyarakat.














DAFTAR KEPUSTAKAAN

Kartodirdjo, Sartono, , Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sudaryanto, Refleksi Metafisik Serat Kcawirangi Sejarah, Yogyakarta:  Gadjah Mada University Press, 1990.

Sontag, Frederick, Pengantar Metafisika, (Penerjemah Cuk Ananta Wijaya), Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2002.

Peursen, C.A. Van, Orientasi Di Alam Filsafat, (di Indonesiakan oleh Dick Hartoko), Jakarta: Gramedia, 1980.

Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2000.

Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Cet-1, Bandung:  CV Pustaka Setia, 1999.

Jumantoro Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah,2005.

Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, cet-1, Bandung:  CV Pustaka Setia, 1999.

Teungku Muhammad Hasbi As Shidiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: Pustaka Rizqi Putera. 1997.

Zuhri, Mohammad, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Darul Ikhya. 1980.


           


[1] Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwâfaqât f Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.), hal. 49.
[2] Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2000), hal. 11.

[3] Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Cet-1 (Bandung:  CV Pustaka Setia, 1999), hal. 29.

[4] Ibid., hal. 30.

[5] Jumantoro Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah,2005), hal. 146.

[6] Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, cet-1 (Bandung:  CV Pustaka Setia, 1999), hal. 55.
[7] http://www.ziddu.com/download/4383389/tor-sejarah-peradaban-islam-spi.doc.html
               [8] Teungku Muhammad Hasbi As Shidiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: Pustaka Rizqi Putera. 1997), hal. 44.

               [9] Zuhri, Mohammad, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ ( Al-Islami, Darul Ikhya. 1980 ), hal. 16.

               [10] Ibid, hal. 41.
[11] Elliwarti Maliki: Fiqh-Al-Mar’ah Perspektif Perempuan” dalam http://www.fatayat.or.id.
[12] Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: azzam, 2000), hal. 892-893.

[13] Ibid., hal. 894.

[14] Ibid., hal. 894.
[15] Muhammad Bin Mukarram Bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisân al-’Arab, juz III, (Beirut: Dar Shadir, tt), hal. 207.