BAB I
P E N D A H U L U AN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam
perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan
prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam
al-Quran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan
tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan
baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam al-Quran
dan Hadis Nabi s.a.w..
BAB II
P E M B A H A S A N
A. Pengertian
Ijtihad
Ijtihad
menurut Arti asalnya adalah "bersungguh-sungguh". Atau
"pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit ." Atas dasar ini
maka tidak tepat apabila
kata "ijtihad" dipergunakan
untuk melakukan sesuatu yang mudah/ ringan[1].
Sedangkan berdasarkan makna Terminlogi, para ulama ushul memandang bahwa
ijtihad adalah pengerahan segenap kesungguhan dan kamantapan yang dimiliki
seseorang ahli fiqh untuk menghasikan keyakinan tentang suatu hokum sedangkan
definisi lain dari ijtihad yaitu mencurahkan segenap usaha untuk sampai kepada
hukum syar’a dari dalil tafsili yang termasuk dalil syar’i.
Menurut
Hasbi Ash Shaddiqi Ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari
suatu hukum syara’ dengan jalan Zan. Sedangkan Al-Dahlawi menjelaskan ijtihad
adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari
dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembali keempat macam dalil
yaitu Kitab, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Dan Imam Khomeini mengatakan juga Ijtihad
adalah keahlian atau kemampuan yang dengannya dia dapat menarik kesimpulan
hukum dari dalil-dalil.
Dari
keterangan di atas bahwa ijtihad bukan perbuatan yang dilakukan sekedar
membuka-buka kitab tafsir atau hadis lalu dengan mudah ditarik sebuah
kesimpulan hukum. Sebaliknya, dalam ijtihad dibutuhkan kesungguhan dan
keseriusan dengan mencurahkan segenap kemampuan dan usaha untuk mendapatkan
hukum-hukum syariat. Hal ini menunjukkan bahwa maslah ijtihad bukan perkara
yang mudah, tetapi ijtihad juga harus diupayakan pada setiap generasi, agar
ajaran Islam tetap dinamis, tidak stagnan dan siap memberikan solusi atas
segala problematika kontemporer.
Para
fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar
hukum yang terdapat dalam nas. Kebolehan ini di isyaratkan antara lain (Q.S.
Al-Baqarah: 149)
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
تَعْمَلُونَ
Artinya: Dan dari mana saja kamu
keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. (Q.S. Al-Baqarah:
149)
Dari
ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari masjidil haram,
apabila akan shalat, dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad
dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang
ada. Secara kodrati
manusia mempunyai badan jasmani dan rohani. Badan rohani berfungsi untuk
memhami apa yang dilihat oleh manusia dan dialami oleh akal pikiran sekaligus
berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dialam raya ini. Walaupun
tidak ada petunjuk dari agama, maka dengan akal itu manusia dapat memperoleh
kebahagiaan hidup dan dapat berusaha menghindari bahaya.
Hadis
lain juga yang mendukung akan persolan ini yaitu hadis nabi yang ketika
mengutus Muadz bin Jabal menjadi Guburnur di Yaman, hadis ini tidak asing lagi
bagi kita semua, “ Ketika itu Muads ditanya oleh Rasulullah : dengan apa engkau
menentukan hukum, Muazd menjawab dengan kitab Allah, jawab Muadz, Rasulullah
bertanya lagi kalau engakau tidak mendapat keterangan dari Al-Qur’an, Muadz menjawab
saya mengambilnya dari sunnah Rasul, Rasulullah berkata lagi, kalau engakau
tidak mendapi dari keterangan sunah Rasululah SAW, Muadz menjawab saya akan
berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa, Rasulullah menepuk
Muadz bin Jabal menandakan persetujuannya.
Nabi
sendiri memberikan kelonggaran dalam persolan agama, dengan cara ijtihad bahkan
Nabi membrikan dorongan kepad mereka, jika ijtihad itu mengenai sasaran, maka
orang yang berijtihad mendapat dua kebaikan dan apabila tidak, dia mendapat
satu kebaikan.
B. Pengertian Istishab
Kata
Istishab secara etimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat istif’ala
(استفعال) yang bermakna استمرارالصحبة kalau kata الصحبة diartikan
dengan teman atau sahabat dan استمرار diartikan
selalu atau terus menerus, maka istishab secara Lughawi artinya selalu menemani
atau selalu menyertai[2]. Sedangkan
menurut Hasby Ash-Shidiqy adalah:
ابقاء ما كا ن على ما كا ن عليه لا نعدام الغير(اعتقا دكون
الشىء فى الما ضى اوالحا ضر يوجب ظن ثبو ته فىالحال والاستقبا
ل
Artinya: Mengekalkan apa yang sudah ada atas keadaan yang
telah ada,karena tidak ada yang mengubah hukum atau karena sesuatu hal yang
belum di yakini.
Definisi
lain yang hampir sama dengan itu dinyatakan oleh Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyah,beliau adalah tokoh Ushul Fiqh Hanbali yaitu : menetapkan
berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tidak
ada sampai ada yang mengubah kedudukanya atau menjadikan hukum yang telah di
tetapkan pada masa lampau yang sudah kekal menurut keadaannya sampai terdapat
dalil yang menunjukkan perubahannya.
ثبت ماكان ثابتاونفي ماكان منفيا استخدامة
Artinya: Mengukuhkan/menetapkan
apa yang pernah di tetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya
tiada[3].
Menurut
Asy-Syaukani menta’rifkan Istishab dengan “tetapnya sesuatu hukum selama tidak
ada yang mengubahnya dalam Irsyad Al-Fuhul nya merumuskan : لما ضى فالاصل بقاؤه فى الزما ن المستقبال ان ما ثبت فى الزما
ن
ِArtinya: Apa
yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu ,pada prinsipnya tetap berlaku
pada masa yang akan datang.[4]
Sedangkan
menurut Syaikh Muhammad Ridho Mudzaffar dari kalangan Syi’ah,yaitu : ابقاء
ما كا ن (mengukuhkan apa yang pernah ada) dan menurut Ibn As-Subki
dalam kitab Jam’u Al-Jawani jilid II Istishab Yaitu :
ثبوت امرفىالثانىلثبوته فى الاول لفقدان مايصلح للتخيير
Artinya: Berlakunya sesuatu pada
masa kedua karena yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama karena tidak
ada yang aptut untuk mengubahnya[5].
Sedangkan
menurut istilah ahli Ushul Fiqh “menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan
keadaan sebelumya,sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan
tersebut”.Al-Ghazali mendefinisikan Istishab adalah berpegang pada dalil akal
atau Syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui dalil,tetapi setelah
melalui pembahasan dan penelitian cermat ,diketahui tidak ada dalil yang
mengubah hukum yang telah ada[6].
Menurut
Ibn Qayyim Istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada
dari suatu peristiwa atau menyatakan belum ada nya hukum suatu peristiwa yang
belum penah ditetapkan hukumnya.Sedangkan definisi Asy-Syatibi adalah segala
ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku
hukumnya pada masa sekarang. Contoh Muhammad telah menikah dengan Aisyah,
kemudian mereka berpisah selama 15 tahun,karena telah lama mereka berpisah lalu
Aisyah ingin menikah lagi dengan lelaki lain, dalam hal ini Aisyah belum bisa
menikah lagi karena ia masih terikat tali perkawinan dengan Muhammad dan belum
ada perubahan hukum tali perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.
C. Pengertian ‘Urf
'Urf
ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di
kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama
ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan)[7].
Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat
(adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan
pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa
pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat
disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di
kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada
sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti
dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli.
Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli
telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang
penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada
wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran
saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat
memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu,
seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama
ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya
ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan
hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian
ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa
atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat
dan melaksanakannya.
Hal ini
dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan
pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum
tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat
melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang
pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya
dan memandangnya baik.
D. Pengertian Syar’u Manqablana
Syar’u man qablana (syariat sebelum kita, syariat Nabi-nabi terdahulu) juga merupakan
dalil hukum yang diperselisihkan. Bagi yang mengakui otoritas dalil hukum ini,
syariat umat terdahulu masih absah berlaku hingga kini sepanjang tidak ada nash
yang menghapuskan atau mengubahnya. Dalam hal ini, otoritasnya tidak memerlukan
adanya penetapan ulang dalam syari’at sekarang (syari’at Muhammad). Sementara
bagi yang menentang otoritas syar’u man qablana, syariat Muhammad telah
menghapus seluruh syariat umat terdahulu, kecuali kalau ditetapkan lagi dengan
nash.”[8]
Dalam
pendapat yang lain disebutkan bahwa Syar 'u man qablana ialah syari 'at yang
diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya
ajaran agama Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan
lain-lain.
Sebagaimana kita tahu bahwa setiap kali Allah SWT mengutus seorang
nabi, isi detail aturan syariatnya mungkin saja bervariasi. Tiap umat telah
diberikan syariat masing-masing, kecuali setelah datangnya nabi Muhammad SAW,
semua risalah itu kemudian di-nasakh dan diganti dengan risalah yang bersifat
universal. Namun apa yang kita pikirkan itu benar dalam arti kata yang umum.
Sebab semua agama yang dibawa oleh para nabi itu berasal dari Allah SWT juga.
Semua merupakan sebuah rangkaian ajaran Islam. Bahkan di dalam Al-Quran kita
membaca dengan jelas penyebutan agama para nabi, yaitu mereka beragama Islam.
Dalam lingkup hukum
Islam, Al-Qur’an dan Hadits adalah sumber dari hukum Islam, sehingga semua
ketentuan hukum yang dibuat oleh manusia harus sejalan dan tidak boleh
bertentangan dengan Al-Qur’an dan/atau Hadits. Namun demikian, adakalanya
ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak serta merta dapat
diterapkan secara langsung dalam menetapkan hukum untuk menyelesaikan suatu
permasalahan. Yang dimaksud dengan hukum Islam dalam tulisan ini tidak hanya
hukum yang terkait dengan penyelesaian suatu masalah tetapi juga hukum untuk
melaksanakan suatu perbuatan, seperti shalat, puasa dan praktek jual beli.”[9]
Penggunaan
dalil-dalil atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits untuk
merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan haruslah mengikuti
kaidah-kaidah yang lazim digunakan dikalangan umat Islam. Kaidah-kaidah
tersebut terdapat dalam ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari
kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk merumuskan hukum atas suatu
perbuatan melalui dalil-dalil yang rinci. Pengertian Ushul Fiqh berbeda
dengan Fiqh. Ushul Fiqh berkaitan dengan kaidah atau metode untuk
merumuskan hukum tertentu. Sedangkan Fiqh adalah hukum atas suatu
perbuatan yang dirumuskan dengan menggunakan metode yang ditetapkan oleh Ushul
Fiqh yaitu hukum yang berkenaan dengan suatu perbuatan (misalnya, fiqh
shalat wajib, fiqh puasa sunah atau fiqh perkawinan).
Ulama Ushul Fiqh
sepakat bahwa Al-Qur’an dan Hadts adalah sumber hukum Islam dimana Al-Qur’an
merupakan sumber hukum utama dan tertinggi. Disamping kedua sumber hukum
tersebut, ulama Ushul Fiqh menetapkan sumber-sumber hukum lainnya,
diantaranya: ijma’, qiyas, ihtisan, mashlahah, istishhab,
‘urf, syar’u man qoblana, mazhab shahabi dan dzari’ah.
Sumber-sumber hukum tersebut adalah juga merupakan metode atau tata cara untuk
memperoleh dalil-dalil yang akan digunkan untuk merumuskan suatu hukm. Adanya
sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadits dikarenakan adanya masalah-masalah
yang bersifat khusus, sedangkan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits
bersifat umum.”[10]
Ajaran agama yang
telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh) yang dihapuskan Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang
terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita.
Contoh : Perintah menjalankan puasa
sebagaimana firman Allah yang terdapat di dalam Al – qur’an surat Al – baqarah
ayat 183:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa ( Qs. Al – baqarah : 183 )
E. Pengertian Mazhab Shahabi
Yang dimaksud dengan Mazhab Shahaby
ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang dinyatakan
setelah Rasulullah saw wafat. Fatwa-fatwa mereka itu ada yang telah dikumpulkan
oleh para tabi’in sebagaimana mereka mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah.
Fatwa-fatwa sahabat ini ada yang berdasarkan kepada sabda perbuatan Rasul dan
ada yang berdasarkan ijtihad mereka, yang terbagi menjadi dua, yaitu hasil
ijtihad yang mereka sepakati (Ijma Sahaby) dan hasil ijtihad yang tidak
disepakati.
Sesuai dengan sifat fatwa sahabat
seperti disebutkan diatas, maka kedudukan mazhab sahabat ini juga dapat
dipisahkan menjadi :
- Mazhab yang
berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib
ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan sunnah Rasul.
- Mazhab sahabat
yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka sepakati (Ijma Sahaby)
dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati, sebab mereka di samping dekat
dengan rasul, mereka mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang
sering terjadi. Contoh mazhab sahabat yang telah mereka sepakati, antara
lain ialah mengenai bagian harta bagi nenek, yaiti seperenam.
- Mazhab sahabat
yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak wajib diikuti.
Abu Hanifah dan Imam Syafi’i menyatakan : “ Tidak melihat seorang pun.
Setelah Rasulullah SAW. Wafat,
sekelompok sahabat yang mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasulullah
dan faham akan Al-qur’an dan hukum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa
dan membentuk hukum untuk kaum muslimin. Dari mereka telah muncul sejumlah
fatwa dalam berbagai kasus yang berlainan. Sebagai perawi dari kalangan tabi’in
maupun tabi’it tabi’in mempunyai perhatian serius untuk meriwayatkan dan
membukukannya, sehingga di antara mereka ada yang membukukannya bersama-sama
dengan sunnah Rasulullah saw.
Pertanyaannya, apakah fatwa-fatwa ini
termasuk sumber pembentukan hukum yang ditambahkan kepada nash, dimana
bahwasanya seorang mujahid haruslah mengacu kepadanya sebelum kembali kepada
qiyas ? Ataukah ia hanyalah pendapat perorangan yang bersifat ijtihadiyah yang
bukan merupakan hujjah atas kaum muslimin.
Kesimpulan pendapat dalam topik ini
ialah bahwasanya tidak ada perbedaan pendapat, bahwa pendapat sahabat dalam hal-hal
yang tidak dapat dijangkau oleh akal dan pendapat merupakan hujjah atas kaum
muslimin, karena hal itu mestilah ia kaitkan berdasarkan pendengarannya dari
Rasulullah saw, seperti perkataan ‘Aisyah ra :
لايمكث الحمل فى بطن امه اكثر من سنتين قدر ما يتحول ظل
المغزل.
Artinya: Kandungan itu tidak
tinggal di dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang
dapat mencegah bayangan alat tenun”.
Maka contoh ini tidak menjadi ijtihad
dan pendapat. Oleh sebab itu, maka apabila hal tersebut shahih, maka sumbernya
adalah pendengaran dari Rasulullah saw. Ia termasuk sunnah sekalipun pada
lahirnya ia termasuk dari perkataan shahabat. Disamping itu, juga tidak ada
perbedaan pendapat bahwasanya perkataan sahabat yang tidak diketahui adanya
orang yang menentangnya yang juga dari sahabat, adalah hujjah atas kaum
muslimin, karena kesempatan mereka atas hukum suatu kasus, padahal mereka dekat
masanya dengan Rasulullah saw. Dan mengetahui terhadap rahasia pembentukan
hukum, dan adanya perbedaan mereka di sejumlah kasus lainnya, merupakan dalil
yang menunjukkan sandaran mereka kepada dalil yang pasti. Ketika mereka sepakat
untuk memberikan bagian warisan seperenam kepada nenek, maka ini merupakan
suatu hukum wajib diikuti, dan hal ini tidak diketahui adanya perbedaan
pendapat diantara kaum muslimin.
Perselisihan
pendapat hanyalah terjadi dalam perkataan shahabat yang keluar dari pendapatnya
dan ijtihadnya dan tidak ada kata sepakat pada sahabat mengenainya. Abu Hanifah
dan orang-orang yang sependapat dengannya mengatakan :
اذالم اجد فى كتاب الله ولاسنة رسوله اخذ ت بقول اصحابه من
شئت وادع قول من شئت, ثم لا اخرح عن قولهم الى غيره.
Artinya: Apabila saya tidak
mendapati (hukum) dalam kitab Allah maupun sunnah Rasul-Nya, maka saya
mengambil pendapat sahabat Rasulullah yang saya kehendaki dan meninggalkan
pendapat orang-ornag yang saya kehendaki pula, kemudian saya tidak keluar dari
pendapat mereka kepada selainnya”.
Imam Abu Hanifah tidak memandang
pendapat seseorang yang tertentu dari mereka sebagai hujjah. Ia berhak
mengambil pendapat orang yang dia kehendaki diantara mereka, akan tetapi ia
tidak memperkenankan menentang pendapat mereka secara keseluruhan. Ia juga
tidak memperkenankan qiyas dalam kasus, sepanjang sahabat mempunyai fatwa
mengenainya, bahkan ia akan mengambil salah satu diantara pendapat mereka.
Barangkali
orientasi pendapatnya ialah bahwasanya perbedaan pendapat shahabat mengenai
hukum suatu kasus kepada dua pendapat merupakan ijma’ dari mereka bahwa tidak
ada pendapat yang ketiga. Selanjutnya perbedaan pendapat mereka sampai kepada
tiga pendapat yang keempat. Oleh karena itu keluar dari ijma’ mereka.
F. Pengertian Dzari ‘ah
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, dalam
bukunya I’lâm al-Muwaqqi'în, mengemukakan bahwa dzarî’ah adalah:
ما كان وسيلة وطريقا إلى الشيء
Artinya: Segala sesuatu yang menjadi perantara,
penghubung atau jalan menuju sesuatu[11].
Ungkapan "الشيء" dalam definisi di atas mengandung pengertian umum dan
netral, baik perantara menuju sesuatu yang diperintahkan maupun sesuatu yang
menuju perbuatan yang dilarang[12].
Kendatipun Ibnu Qayyim netral dalam
memberi definisi dzarî’ah, namun dalam penerapannya tidak demikian. Dia,
seperti pakar-pakar hukum Islam lainnya, lebih cenderung menyoroti dzarî’ah
dari segi yang menuju pada hal-hal yang negatif. Kitabnya yang memuat paparan
tentang persoalan ini dimulai dengan judul "سدّ
الذريعة". Hampir seratus contoh dzarî’ah yang manshûsh
dikemukaknnya, semuanya mengarah pada kemafsadatan (sadd al-dzarî’ah).
Berbeda dengan pengertian dzarî’ah
yang dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim, al-Syâthibî, lebih menitikberatkan
pengertian dzarî’ah pada sesuatu (jalan) yang menuju pada yang dilarang serta
mengandung kemafsadatan. Dalam kalimat al-Syâthibî sendiri tertulis:
التوسّل بما هو مصلحة إلى مفسدة
Artinya: Suatu
tindakan yang mengandung kemaslahatan menuju suatu kemafsadatan[13].
Maksudnya, seperti dijelaskan
al-Syâthibî, seseorang melakukan suatu tindakan yang pada dasarnya dibolehkan,
bahkan kemungkinan diperintahkan. Akan tetapi, lanjut al-Syâthibî, tindakan itu
menyebabkan timbulnya sesuatu (efek) yang tidak dibolehkan (ghair al-masyrû’)[14].
Memaknai dzarî’ah seperti yang
diajukan al-Syâthibî dalam definisinya, menurut beberapa pakar ushul fikih
adalah memahami dzarî’ah dalam arti khusus. Sementara, definisi dzarî’ah
seperti yang dikemukakan oleh al-Qarâfi dan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah adalah memahami
dzarî’ah dalam pengertian umum[15].
Berdasarkan definisi dan penjelasan di
atas, dapat ditegaskan bahwa terma dzarî’ah di kalangan ahli ushul fikih
terdiri dari dua kategori (bentuk). Pertama, dzarî’ah apa saja yang akan
membawa pada perbuatan yang dilarang. Dzarî’ah jenis ini merupakan-perbuatan
yang akan menimbulkan akibat buruk, karenanya, harus ditutup atau tidak boleh
diberi peluang demi menghindari bahaya. Menutup atau melarang dzarî’ah jenis
inilah yang kemudian disebut sadd al-dzarî’ah.
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan pembahasn diatas, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1. Ijtihad
menurut Arti asalnya adalah "bersungguh-sungguh". Atau
"pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit ." Atas dasar ini
maka tidak tepat apabila
kata "ijtihad" dipergunakan
untuk melakukan sesuatu yang mudah/ ringan.
2. Istishab
adalah berpegang pada dalil akal atau Syara’, bukan didasarkan karena tidak
mengetahui dalil,tetapi setelah melalui pembahasan dan penelitian cermat
,diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada.
3. 'Urf
ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di
kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama
ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan).
4. Syar
'u man qablana ialah syari 'at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita,
yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam, seperti ajaran agama
Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
5. Mazhab
Shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang
dinyatakan setelah Rasulullah saw wafat. Fatwa-fatwa mereka itu ada yang telah
dikumpulkan oleh para tabi’in sebagaimana mereka mengumpulkan hadits-hadits
Rasulullah.
6. Dzari
‘ah adalah Segala sesuatu yang menjadi perantara, penghubung atau jalan menuju
sesuatu
B.
Saran
– Saran
1.
Disarankan
kepada umat Islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa STIT Almuslim untuk
memperdalam pengkajian ilmu Ushul
Fiqh.
2.
Disarankan
kepada mahasiswa supaya dapat memperbanyak telaah Ushul Fiqh, karena dengan
banyak telaah banyak ilmu yang kita dapatkan.
3.
Disarankan
kepada Mahasiswa/i agar dapat
mengabdikan ilmunya kepada masyarakat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Kartodirdjo,
Sartono, , Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sudaryanto, Refleksi
Metafisik Serat Kcawirangi Sejarah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990.
Sontag,
Frederick, Pengantar Metafisika, (Penerjemah Cuk Ananta Wijaya), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Peursen, C.A.
Van, Orientasi Di Alam Filsafat, (di Indonesiakan oleh Dick Hartoko), Jakarta:
Gramedia, 1980.
Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta:
Prenada Media, 2000.
Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Cet-1, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Jumantoro Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah,2005.
Syafi’I
Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, cet-1, Bandung:
CV Pustaka Setia, 1999.
Teungku
Muhammad Hasbi As Shidiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang:
Pustaka Rizqi Putera. 1997.
Zuhri,
Mohammad, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Darul Ikhya. 1980.
[1] Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwâfaqât
fỉ Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
tt.), hal. 49.
[4] Ibid., hal. 30.
[6] Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, cet-1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hal. 55.
[8] Teungku Muhammad Hasbi As Shidiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam
Madzhab, (Semarang :
Pustaka Rizqi Putera. 1997), hal. 44.
[13] Ibid., hal. 894.
[14] Ibid., hal. 894.
[15] Muhammad Bin Mukarram Bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisân
al-’Arab, juz III, (Beirut: Dar Shadir, tt), hal. 207.
0 Comments
Post a Comment