A.
Pola Asuh Orang Tua dalam Pendidikan Shalat
Dalam
kamu besar bahasa Indonesia pola diartikan sebagai gambaran yang dipakai untuk
contoh, corak, model dan sistem cara kerja.[1] pola
adalah titik pijak seorang desainer dalam menciptakan model yang akan dibuat. Kata asuh adalah mencakup segala aspek yang
berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga orang
tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat.[2]
Menurut Ahmad Tafsir seperti yang dikutip oleh Danny I. Yatim-Irwanto “Pola asuh berarti pendidikan, sedangkan pendidikan adalah bimbingan secara
sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.[3]
Menurut Abdullah Nashih Ulwan, “perintah salat dapat
disamakan dengan puasa dan haji, yakni melatih anak-anak untuk melakukan puasa
jika kuat dan menunaikan ibadah haji jika orangtuanya mampu. Rahasia yang
terkandung adalah agar anak dapat mempelajari hukum-hukum ibadah tersebut sejak
masa pertumbuhannya”.[4]
Dari hasil observasi menunjuk bahwa memang orang tua Gampong
Meunasah Krueng Peudada dalam peranannya hanya mengarahkan saja tanpa ada
tindakan tindakan khusus yang membuat anak begitu bebas dalam pergaulan maupun
dalam mengambil sikapnya sebagai anak-anak yang biasa hidup bebas dan tanpa
aturan yang mengikat diri dari peraturan peraturan kehidupan. Pengajiaan yang
diberikanpun hanya sebatas seminggu dua kali dan itupun belum tentu anak
terjadwal selalu untuk mengikuti pengajiaan. Maka dari itu anak dalam kehidupan
sosialnya sering meniru dan pergaulan sebelumnya seakan nantinya berjalan satu
arah, jika anak sering bergaul dengan kelompok baik maka anak tersebut akan
baik, jika anak bergaul dengan kelompok buruk maka itu akan menyesatkan
nantinya.[5]
Orang Tua merupakan lingkungan pertama di mana anak mulai
mengembangkan dirinya sebagai makhluk sosial. Dengan demikian kondisi keluarga
dan peranan orang tua akan sangat mempengaruhi cara pandang, cara sikap dan
pola tingkah laku anak termasuk perkembangan kejiwaannya. Secara umum, peneliti
menyadari adanya perbedaan positif antara peran ayah dan peran ibu dalam
mengasuh anak. Komitmen dan pembagian tugas yang terarah dan terencana dengan
baik menjadi kunci keberhasilan pasangan suami-isteri atau orang tua dalam
mengasuh dan bimbingan anak-anaknya. Sebagian besar dari hasil penelitian
mengakui adanya kesepakatan antara ayah dan ibu
dalam hal memainkan peran dan tugas mengasuh anak, hal ini terungkap
dari salah satu di antara pasangan suami-isteri dan juga sebagai Keuchiek
Gampong Meunasah Krueng Peudada bahwa :
Kami dalam hal mengasuh anak-anak biasanya seperti sudah terbagi
sendiri tugas-tugasnya baik dalam hal pendidikan shalat maupun
lain-lainya, walaupun anak-anak lebih memanjakan diri kepada ibunya dari pada ayah, kalau ayah
lebih kepada penekanan kepada sesuatu yang mana yang harus dan tidak harus
dilakukan oleh anak dan pembuat keputusan, tapi kalau yang sudah besar mereka
sudah mengerti sendiri tanpa banyak yang harus kita arahkan lagi. Dan kalau ibu
lebih sering kepada menjaga diri
mereka untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak boleh dalam agama.[6]
Untuk itu, orang tua dituntut agar benar-benar memiliki
kepribadian atau karakter yang sesuai dengan predikatnya sebagai muaddib maupun
sebagai mu’allim. Di samping itu orang tua juga harus bisa mengemban tugas dan
tanggung jawab yang dinilai semakin berat akan tetapi sangat mulia. Oleh karena
itu ia dituntut memiliki daya kreatifitas, aktivitas dan dinamika dalam proses
pendidikan di tingkat keluarga, agar terjadi dalam suasana edukatif yang lebih
bermakna, “sehingga proses pendidikan keluarga dapat mewujudkan pribadi muslim
yang baik. Hal ini nampak bahwa tanggung jawab orang tua tidak jauh daripada
tanggung jawab guru. Bahkan bisa saja dikatakan lebih besar tanggung jawab
orang tua daripada guru”.[7]
Hasil pengamatan peneliti menunjukkan anak-anak yang masih
dalam perhatian khusus adalah anak-anak yang masih sekolah, serta yang sudah
mandiri orang tua di sana memberi kelongggaran untuk menentukan arah hidupnya. Perannya
sebagai orang tua sudah longgar kepada anak khususnya anak laki-laki.Yang
penting mereka taat adat istiadat yang ada di Gampong Meunasah Krueng Peudada.
Untuk masalah mendidik anak khususnya dalam pendidikan
shalat, di samping mereka belajar di sekolah, juga kami antarkan mereka ke
tempat pengajian karena kami yakin anak-anak tidak cukup ilmu yang di dapatkan
di sekolah saja. Di Samping kami selaku orang tuanya tak segan-segan dalam
memberi arahan kepada mereka dan tata cara shalat. Walau nantinya anak-anak
sendiri yang memilih jalan mereka ketika besar nantinya, kami hanya bisa
menasehati. Terserah nantinya dia mau jadi apa atau ke mana. Karena kalau anak
yang sudah besar kami menggapnya sudah bisa mencari sendiri jalannya. Untuk
urusan mengaji kami memberinya kepada guru ngaji namun hanya seminggu dua kali.
Lainnya mereka belajar di rumah.”[8]
Lebih lanjut Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan bahwa “dengan
adanya pendidikan agama (ibadah) yang diberikan oleh orangtua sesuai dengan
masa pertumbuhannya tersebut, maka ketika anak telah tumbuh dewasa akan
terbiasa melakukan dan terdidik untuk menaati Allah, melaksanakan hak-Nya,
bersyukur kepada-Nya, kembali kepada-Nya, berpegang teguh kepada-Nya, bersandar
kepada-Nya, dan berserah diri kepada-Nya”.[9]
Dalam mengasuh, mendidik, menjaga, mengarahkan dan
membina keluarga sejahtera adalah sebagai pendidik utama bagi putra-putrinya.
Tanggung jawab tersebut secara langsung menempatkan orang tua sebagai pihak
utama yang bertugas membina kewajiban generasi-generasi penerus dalam
masyarakat yang merupakan kelompok-kelompok yang terjun dalam membina bangsa.
untuk membina sebuah keluarga yang sejahtera di dalam rumah tangga nelayan,
maka hal itu dimulai dari generasi-generasi baru yang ada dalam keluarga untuk
mewujudkan masyarakat yang lebih kraetif serta berkembang nantinya.
[1]Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Cet. X, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 778.
[2]
Elaine Donelson, Asih, Asah, Asuh
Keutamaan Wanita, Cet. I, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 5.
[3]
Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian
Keluarga Narkotika, Cet. I, (Jakarta: Arcan, 1991), hal. 94.
0 Comments
Post a Comment