Syarat dan Etika Pemberian Hukuman
A.
Syarat dan Etika Pemberian Hukuman
Pemberian hukuman adalah suatu hal perlu dilakukan dalam pendidikan,
akan tetapi hal ini tidak boleh juga dilakukan dengan semena-mena atau tanpa
suatu sebab apapun, dalam pemberian hukuman terhadap anak didik, seorang
pendidik juga memerlukan beberapa syarat dan etika, agar dalam pemberian
hukuman seorang guru benar-benar faham apa yang dilakukannya, menyesuaikan
hukuman dengan tingkat kesalahan murid, dan pemberian hukuman terhadap anak
benar-benar menjadi pelajaran yang berharga bagi diri anak tanpa menimbulkan
rasa dendam atau sakit hati dalam diri anak terhadap gurunya. Al-Qabisi juga
mengakui adanya hukuman dengan pukulan. Akan tetapi menurut beliau, dalam
pemberian hukuman seorang pendidik harus memenuhi beberapa syarat supaya
hukuman pukulan tidak melenceng dari tujuan edukatif dan perbaikan tingkah laku
murid ke arah yang lebih baik. Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
Pertama, Seorang
guru tidak boleh melakukan hukuman pukulan kecuali karena dosa. Kedua, Guru
harus melakukan hukuman pukulan yang yang selaras dengan dosa yang dilakukan
oleh anak didik tersebut. Ketiga, Pukulan hanya sebanyak mulai dari satu
kali sampai tiga kali. Keempat, Boleh melakukan lebih dari sepuluh kali
pukulan jika usia anak didik mendekati dewasa dan sulit dididik, berakhlak
kasar, dan tidak dapat tidak dapat disadarkan dengan sepuluh kali pukulan. Kelima,
Guru sendiri yang melakukan pukulan dengan tidak boleh mewakilkannya pada orang
lain. Keenam, Hukuman pukulan hanya sekedar untuk menimbulkan rasa sakit
dan tidak boleh menimbulkan luka yang berbahaya.[1]
Dari pambahasan di atas, dapat kita ketahui bahwa hukuman pukulan
terhadap anak didik hanya boleh dilakukan jika anak didik melakukan suatu
tindakan yang berdosa. Konsep “salah” dan konsep “dosa” tentunya berbeda, anak
yang berbuat salah misalnya ia lalai dalam mengerjakan pekerjaan rumah (PR)
atau salah ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh gurunya, sedangkan
anak yang berbuat dosa adalah anak yang meninggalkan segala perintah Allah dan
melaksanakan segala larangan Allah.
Dalam memberikan hukuman pukulan kepada seorang anak, guru diharapkan
agar melakukan pukulan sesuai dengan tingkat kesalahan anak, anak yang hanya
baru satu kali melakukan tindak kesalahan, maka pukulan yang dilakukan pun
hanya cukup satu kali saja dan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban atas
tindakan kriminal anak, dan jika seorang guru memukul anak didiknya melebihi
dari tiga kali maka hal itu harus dengan pertimbangan yang penuh dan harus
sepengetahuan orang tua atau wali dari anak didiknya.
Kemudian, pemberian hukuman terhadap anak hanya boleh dilakukan oleh
orang yang bertanggung jawab dan berkaitan langsung terhadap proses
mengingatkan anak akan perbuatan salahnya, jadi pemberian hukuman hanya bisa
dilakukan oleh guru yang telah mendidik anak didiknya, orang tua yang telah
membesarkan dan mengayomi anak-anaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang,
serta wali, saudara atau orang tua asuh anak yang telah melindungi dan
bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan anak tersebut. Dengan demikian,
pemberian hukuman tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang di luar dari diri
anak yang telah penulis sebutkan di atas. Jika pemukulan dilakukan oleh
orang-orang di luar yang telah penulis sebutkan si atas, maka pemukulan itu
bisa dinamai dengan tindak kekerasan.
Selain itu, pemberian hukuman yang diberikan oleh guru pastinya
berbeda dengan kekerasan yang dilakukan oleh orang lain, karena pemberian
hukuman pukulan yang dilakukan oleh guru hanya dapat dilaksanakan apabila guru
tersebut telah terlebih dahulu menggunakan seluruh sarana pemberian hukuman
seperti memberikan nasehat dan peringatan. Kemudian pemberian hukuman pukulan
terhadap anak diharapkan tidak dilakukan dengan cara yang menyakitkan apa lagi
sampai membuat cedera si anak dengan cara tidak memukul untuk tujuan memuaskan
emosi, sedangkan tindak pemukulan yang dilakukan oleh orang lain adalah
pemukulan yang dilakukan untuk merasakan kepuasan emosi dalam diri orang
tersebut.
Dalam memberikan hukuman terhadap anak sangat dianjurkan agar para
pendidik melihat kepribadian anak sesuai dengan kondisi, seorang guru
diharapakan mempelajari dan memilih hukuman apa yang sesuai untuk
diterapkan berdasarkan tingkat kesalahan
anak tersebut. Ada beberapa syarat yang bisa dijadikan sandaran dalam proses
pemberian hukuman terhadap anak, yaitu:
Pertama, Ajak
anak yang melanggar untuk berdiskusi dengan cara yang tenang. Kedua, Cari
waktu yang tepat untuk memberikan perbaikan pada dirinya. Ketiga, Susun
hukuman-hukuman yang memungkinkan untuk diterapkan kepadanya, lalu tunjukkan
kepadanya agar anak bisa memilih yang hukuman apa yang dapat dilakukannya. Keempat,
Terapkan hukuman itu atas dirinya jauh dari pandangan orang lain jika
memungkinkan. Kelima, Tetap bangun hubungan yang positif dengan anak
yang menerima hukuman tersebut. Keenam, Motivasi dirinya, bahwa dia akan
mendapatkan imbalan yang menyenangkan apabila memperbaiki kesalahan yang telah
dilakukannya. Ketujuh, Tuntunlah anak ke arah jalan kesuksesan, dengan
arahan dan petunjuk yang baik.[2]
Dalam pembahasan di atas, diketahui bahwa dalam proses menghukum anak
seorang pendidik benar-benar harus memahami tentang metode dan tahapan-tahapan
dalam memberikan hukuman terhadap anak didiknya, ketika anak melakukan
kesalahan tahap pertama usahakan pahami kesalahannya dan cari waktu dan tempat
yang tepat untuk berbicara atau berbagi dengannya tentang perilakunya yang
kurang baik dan efek buruk yang berpengaruh terhadap dirinya dan orang lain,
jika kemudian anak melakukan kesalahan yang sama lagi, maka tunjukan kepada
anak hukuman apa yang akan dijalaninya.
Pemberian hukuman terhadap anak diusahakan agar tidak dilakukan di
depan orang ramai dengan maksud untuk mempermalu dirinya, akan tetapi pemberian
hukuman terhadap anak diusahakan dilakukan hanya antara pendidik dan peserta
didik. Setelah melakukan hukuman pendidik diharapkan agar tetap menjalin
komunikasi yang baik dengan anak seperti memuji perilakunya yang berubah
menjadi baik lagi dan tetap mengingatkan agar tidak lagi melakukan perilaku yang
menyimpang, pendidik juga bersikap biasa saja dengan peserta didik dan terus
memberi motivasi terhadap prestasi-prestasi belajarnya.
Apabila anak didik telah kembali bersikap seperti biasa, maka pendidik
tetap harus memberi imbalan yang membuatnya senang, pendidik diharapkan agar
terus memberi bimbingan, pendidikan, pengetahuan dan terus mengayomi anak didik sampai mereka
berhasil, dengan kata lain jangan karena anak didik telah melakukan suatu
kesalahan lalu pendidik tidak memperdulikan lagi tugas dan tanggung jawabnya
terhadap anak didiknya.
Islam memberi beberapa batasan dalam pemberian hukuman terhadap anak,
terutama sekali hukuman memukul, yaitu:
a)
Mencoba
beberapa metode pemberian hukuman yang lain sebelum memberikan hukuman pukulan
terhadap anak didik, seperti menasehati anak terlebih dahulu, memberikannya
arahan, bermuka masam, menghardiknya dan sebagainya.
b)
Pendidik
hendaknya mempertimbangkan terlebih dahulu dan menganalisis matang-matang
tingkat kesalahan anak, melihat kondisi tubuhnya, memahami kejiwaan anak dan
lingkungannya sebelum memilih melakukakan pemberian hukuman pukulan terhadap
anak.
c)
Pemberian
hukuman pukulan hendaklah benar-benar sebagai tahap terakhir dan benar-benar
untuk kasalahan anak yang berat.
d)
Seorang
pendidik dalam memberikan hukuman pukulan diharapkan tidak melakukan pukulan
lebih dari sepuluh kali.[3]
e)
Tongkat
pemukul yang digunakan harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
- Ukuran sedang, seperti antara batang dan
tongkat (tidak terlalu panjang, juga tidak terlalu pendek).
- Tidak terlalu kering dan basah, karena kalau
terlau basah akan melukai kulit atau terlalu kering akan menyebabkan sakit pada
kulit.
- Jenisnya tidak ditentukan, diperbolehkan
menggunakan ranting, kayu, sandal atau kain yang dipelintir menjadi keras.[4]
f)
Para
pakar pendidikan menjelaskan tata cara dalam memukul yaitu sebagai berikut:
- Hendaknya memukul pada bagian yang
berbeda-beda, tidak memukul pada satu bagian.
- Antara dua pukulan hendaknya ada selang waktu,
sehingga rasa sakit pukulan pertama telah hilang.
- Hendaknya orang yang memukul mengangkat
hastanya dengan memegang cemeti sehingga terlihat ketiaknya, dan tidak
mengangkat lebih dari itu agar tidak terlalu sakit.[5]
g) Seorang pendidik ketika memberikan hukuman
pukulan terhadap anak diharapkan agar tidak memukul di bagian wajah, kepala,
dada, kemaluan atau bagian-bagian lainnya yang berbahaya bagi kesehatan fisik
anak.
h) Dalam melaksanakan pemberian hukuman pukulan
terhadap anak, pendidik diharapkan tidak dalam keadaan sedang marah atau sedang
emosi, akan tetapi dalam keadaan yang tenang dan penuh perhitungan, sehingga
pukulan yang dilakukan tidak menjadi tindakan yang berubah menjadi
penganiayaan.
i) Seorang pendidik jika sedang memberikan
hukuman pukulan terhadap anak diusahakan agar tidak dibarengi dengan kata-kata
yang kotor, mecaci maki anak, menghina bahkan mengatai-ngatai anak dengan
kata-kata yang keji dan menyakiti perasaannya. Karena itu bisa jadi bukan malah merubah kesalahnnya akan tetapi
malah akan membuat anak semakin bandel.
Pemberian hukuman terhadap anak, selayaknya diberikan dalam batas
seminimal mungkin dan pada waktu yang memang benar-benar dibutuhkan untuk
digunakan. Ada beberapa aspek yang penting dipertimbangkan oleh pendidik yang
hendak menggunakan hukuman sebagai salah satu sarana pendidikan untuk
mengontrol sikap dan perilaku anak didik di kelas. Hal yang perlu selalu
diingat oleh pendidik adalah hukuman bukanlah merupakan tujuan, akan tetapi
hukuman adalah sebagai sarana untuk memperbaiki dan meluruskan perilaku anak
didik yang menyimpang.
Sebaiknya, anak didik yang mendapatkan hukuman dari para pendidiknya
memahami apa penyebab ia dihukum dan apa hikmah dibalik ia diberi hukuman, jika
hal ini yang diharapkan, maka pendidik perlu mengingat bahwa meskipun dinamakan
dengan pemberian hukuman, akan tetapi tetap dilakukan dalam “bingkai”
pendidikan yang penuh dengan pembelajaran dan bimbingan. Jika hukuman yang
diberikan guru kepada muridnya terlalu berlebihan sehingga murid merasa tidak
seimbang dengan tingkat kesalahan yang dilakukannya, maka hal itu bukan akan
merubah perilaku anak menjadi lebih baik, akan tetapi sebaliknya akan merubah
perilaku anak didik semakin berperilaku menyimpang dan berani melawan. Oleh
sebab itu, hukuman haruslah sesuai
dengan tingkat kesalahan si anak, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.
Dalam memberikan hukuman, pendidik diharapkan agar melihat dan
benar-benar memahami terlebih dahulu bahwa muridnya melakukan kesalahan
sehingga berhak mendapat hukuman. Selanjutnya, hukuman diberikan dengan
terlebih dahulu melihat kesiapan, situasi dan kondisi kejiwaan anak. Setiap
anak memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda, hal ini wajar-wajar saja
karena anak memiliki sifat bawaan tersendiri dan juga berasal dari latar
belakang keluarga dengan tingkatan pendidikan yang berbeda-beda pula. Oleh
sebab itu, dalam memberikan hukuman pendidik harus mampu menyeimbangkan antara
hukuman dengan kesalahan anak serta menyeimbangkan hukuman dengan sifat dan
kararter anak didiknya.
Pemberian hukuman berbeda dengan penberian hadiah atau imbalan.
Imbalah boleh dilakukan oleh guru di depan umum agar menjadi motivasi bagi
anak-anak yang lain, sedangkan pemberian hukuman sebaiknya dilakukan hanya
antara anak didik dangan pendidiknya, jadi tidak mengandung unsur-unsur
mempermalukannya atau bahkan menceritakan kesalahnnya kepada orang lain, selain
itu akan membuat anak sedih dan malu, hal itu juga akan membuat anak tidak
senang dengan guru tersebut, ini akan berpengaruh terhadap proses belajar anak
tersebut.
Hukuman sebaiknya kita informasikan kepada wali murid tentang hukuman
apa dan bagaiman yang digunakan.[6]
Hal ini sangat perlu dilakukan oleh pendidik agar tidak terjadi kesalahpahaman
antara pendidik dan wali murid serta akan terjalin kerja sama antara pendidik
dan wali murid dalam mengontrol sikap dan perilaku anak didik yang menyimpang
baik di rumah maupun di sekolah. Guru dan wali murid sebaiknya memahimi secara
baik tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam pemberian hukuman,
jadi walaupun telah memberikan hukuman terhadap anak didiknya, hubungan antara
pendidik dengan anak didik dan dengan wali murid juga masih terjalin dengan
baik, sehingga ikatan kasih sayang dan kerja sama masih tetap terhubung
sempurna.
[3]Hamad Hasan Ruqaith, Sudahkah Anda Mendidik
Anak dengan Benar? (Konsep Islam dalam Mendidik Anak), terj. Luqman Abdul
Jalal, (Jakarta: Cendekia, 2004), hal. 179.
Post a Comment for "Syarat dan Etika Pemberian Hukuman"