A.
Syarat Pendidik dalam Pendidikan
Islam
Dengan kemuliaannya, guru rela
mengabdikan diri di desa terpencil sekalipun. Dengan segala kekurangan yang ada
guru berusaha membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia yang
berguna bagi nusa dan bangsanya di kemudian hari. Gaji yang kecil, jauh dari memadai,
tidak membuat guru berkecil hati dengan sikap frustrasi meninggalkan tugas dan
tanggung jawab sebagai guru. Karenanya sangat wajar di pundak guru diberikan
atribut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”.
Menjadi guru berdasarkan
tuntutan hati nurani tidaklah semua orang dapat melakukannya, karena orang
harus merelakan sebagian besar dari seluruh hidup dan kehidupannya mengabdi
kepada Negara dan bangsa guna mendidik anak didik menjadi manusia susila yang
cakap, bertanggung jawab atas pembangunan dirinya dan pembangunan bangsa dan
Negara.
Menjadi guru menurut Zakiah
Daradjat dan kawan-kawan tidak sembarangan, tetapi harus memenuhi empat
persyaratan.[1] seperti disebutkan di bawah ini:
1. Takwa kepada Allah Swt
Guru, sesuai dengan tujuan ilmu
pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak didik agar bertakwa kepada Allah,
jika ia sendiri tidak bertakwa kepada-Nya. Sebab ia adalah teladan bagi anak
didiknya sebagaimana Rasulullah Saw. menjadi teladan bagi umatnya. Sejauh mana
seorang guru mampu memberi teladan yang baik kepada semua anak didiknya, sejauh
itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi
penerus bangsa yang baik dan mulia.
2. Berilmu
Ijazah bukan semata-mata secarik
kertas, tetapi suatu bukti, bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan
dan kesanggupan tertentu yang diperlukannya untuk suatu jabatan. Guru pun harus mempunyai ijazah agar ia
diperbolehkan mengajar. Kecuali dalam keadaan darurat, misalnya jumlah anak
didik sangat meningkat, sedang jumlah guru jauh dari mencukupi, maka terpaksa
menyimpang untuk sementara, yakni menerima guru yang belum berijazah. Tetapi dalam
keadaan normal ada patokan bahwa makin tinggi pendidikan guru makin baik
pendidikan dan pada gilirannya makin tinggi pula derajat masyarakat.
3. Sehat jasmani
Kesehatan jasmani kerapkali
dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi guru. Guru
yang mengidap penyakit menular, umpamanya, sangat membahayakan kesehatan
anak-anak. Di samping itu, guru yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar.
Kita kenal ucapan “mens sana in corpore
sano”, yang artinya “dalam tubuh yang sehat terkandung jiwa yang sehat”.
Walaupun pepatah itu tidak benar secara keseluruhan, akan tetapi kesehatan
badan sangat mempengaruhi semangat bekerja. Guru yang sakit-sakitan kerapkali
terpaksa absen dan tentunya merugikan anak didik.
4. Berkelakuan baik
Budi pekerti guru penting dalam
pendidikan watak anak didik. Guru harus menjadi teladan, karena anak-anak
bersifat suka meniru. Di antara tujuan pendidikan yaitu membentuk akhlak yang
mulia pada diri pribadi anak didik dan ini hanya mungkin bisa dilakukan jika
pribadi guru berakhlak mulia pula. Guru yang tidak berakhlak mulia tidak
mungkin dipercaya untuk mendidik. Akhlak mulia dalam ilmu pendidikan Islam
adalah akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti dicontohkan oleh
pendidik utama, Nabi Muhammad Saw. Di antara akhlak mulia guru tersebut adalah
mencintai jabatannya sebagai guru, bersikap adil terhadap semua anak didiknya,
berlaku sabar dan tenang, berwibawa, gembira, bersifat manusiawi, bekerjasama
dengan guru-guru lain, dan bekerjasama dengan masyarakat.
Guru adalah orang yang bertanggung
jawab mencerdaskan kehidupan anak didik. Pribadi susila yang cakap adalah yang
diharapkan ada pada diri setiap anak didik. Tidak ada seorang guru pun yang
mengharapkan anak didiknya menjadi sampah masyarakat. Untuk itulah guru dengan
penuh dedikasi dan loyalitas berusaha membimbing dan membina anak didik agar di
masa mendatang menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Setiap hari
guru meluangkan waktu demi kepentingan anak didik. Bila suatu ketika ada anak
didik yang tidak hadir di sekolah, guru menanyakan kepada anak-anak yang hadir,
apa sebabnya dia tidak hadir ke sekolah.
Anak didik yang sakit, tidak bergairah belajar, terlambat masuk sekolah, belum
menguasai bahan pelajaran, berpakaian sembarangan, berbuat yang tidak baik,
terlambat membayar uang sekolah, tak punya pakaian seragam, dan sebagainya,
semuanya menjadi perhatian guru.
Karena besarnya tanggung jawab
guru terhadap anak didiknya, hujan dan panas bukanlah menjadi penghalang bagi
guru untuk selalu hadir di tengah-tengah anak didiknya. Guru tidak
pernah memusuhi anak didiknya meskipun suatu ketika ada anak didiknya yang
berbuat kurang sopan pada orang lain. Bahkan dengan sabar dan bijaksana guru
memberikan nasihat bagaimana cara bertingkah laku yang sopan pada orang lain.
Karena profesinya sebagai guru adalah berdasarkan panggilan jiwa, maka
bila guru melihat anak didiknya senang berkelahi, meminum minuman keras
mengisap ganja, datang ke rumah-rumah bordil dan sebagainya, guru merasa sakit
hati. Siang atau malam selalu memikirkan bagaimana caranya agar anak didiknya
itu dapat dicegah dari perbuatan yang kurang baik, asusila, dan amoral.
Guru seperti itulah yang
diharapkan untuk mengabdikan diri di lembaga pendidikan. Bukan guru
yang hanya menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak anak didik. Sementara jiwa
dan wataknya tidak dibina. Memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik adalah
suatu perbuatan yang mudah, tetapi untuk membentuk jiwa dan watak anak didik
itulah yang sukar, sebab anak didik yang dihadapi adalah makhluk hidup yang
memiliki otak dan potensi yang perlu dipengaruhi dengan sejumlah norma hidup
sesuai ideologi falsafah dan agama.
Menjadi tanggung jawab guru untuk
memberikan sejumlah norma itu kepada anak didik agar tahu mana perbuatan yang
susila dan asusila, mana perbuatan yang bermoral dan amoral. Semua norma itu
tidak mesti harus guru berikan ketika di kelas, di luar kelas pun sebaiknya
guru contohkan melalui sikap, tingkah laku, dan perbuatan. Pendidikan dilakukan
tidak semata-mata dengan perkataan, tetapi dengan sikap, tingkah laku, dan
perbuatan. Anak didik lebih banyak menilai apa yang guru tampilkan dalam
pergaulan di sekolah dan di masyarakat daripada apa yang guru katakan, tetapi
baik perkataan maupun apa yang guru tampilkan, keduanya menjadi penilaian anak
didik. Jadi, apa yang guru katakan harus guru praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya, guru memerintahkan kepada anak didik agar hadir tepat
pada waktunya. Bagaimana anak didik mematuhinya sementara guru sendiri tidak
disiplin dengan apa yang pernah dikatakan. Perbuatan guru yang demikian
mendapat protes dari anak didik. Guru tidak bertanggung jawab atas
perkataannya. Anak didik akhirnya tidak percaya lagi kepada guru dan anak didik
cenderung menentang perintahnya. Inilah sikap dan perbuatan yang ditunjukkan
oleh anak didik.
Jadi, guru harus bertanggung jawab
atas segala sikap, tingkah laku, dan perbuatannya dalam rangka membina jiwa dan
watak anak didik. Dengan demikian, tanggung jawab guru adalah untuk membentuk
anak didik agar menjadi orang bersusila yang cakap, berguna bagi agama, nusa
dan bangsa di masa yang akan datang.
0 Comments
Post a Comment