A.
Tanggung Jawab
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah, “keadaan
wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban menanggung, memikul tanggung
jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung
akibatnya”.[1] Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan
karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti
toleransi, kebersamaan, kegotong royongan,
saling membantu dan mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang
tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu
mewujudkan kesuksesan. Berdasarkan
penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang
tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan
kognisinyan saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain. Di antara kepribadian yang harus dimiliki murid ialah
rasa tanggung jawab. Dengan memiliki rasa tanggung jawab, seseorang akan
berpikir tentang akibat dari perbuatan yang akan dilakukannya. Begitupun jika
perbuatan itu sudah terlanjur dilakukan, ia tidak akan berlepas tangan.
Berdasarkan hasil observasi penulis di Raudhatul Athfal
Al-Khanza Kota Juang Bireuen bahwa guru Raudhatul Athfal Al-Khanza Kota Juang
Bireuen selalu melatih siswa untuk bertanggung jawab hal ini terlihat dari guru
memberlakukan piket siswa untuk membersihkan kelas.[2]
Rasa tanggung jawab sejati haruslah bersumber pada
nilai-nilai asasi kemanusiaan. Nilai-nilai tidak dapat diajarkan secara
langsung. Nilai-nilai dirasakan oleh anak dan menjadi bagian dari dirinya hanya
melalui proses identifikasi, dengan pengertian lain, anak menyamakan dirinya
dengan orang yang ia cintai dan ia hormati serta berusaha meniru mereka. Contoh
hidup yang diberikan orang tua, akan
menciptakan suasana yang diperlukan untuk belajar bertanggung jawab.
Pengalaman-pengalaman konkrit tertentu memperkokoh pelajaran itu, sehingga
menjadi bagian dari watak dan kepribadian anak.
Jadi jelaslah, bahwa masalah rasa tanggung jawab pada anak, akhirnya
kembali pada orang tuanya sendiri, atau
dengan kata lain perpulang pada nilai-nilai dalam diri orang tua, yaitu seperti
tercermin dalam mengasuh dan mendidik anak. Tanpa adanya kerja sama dan
koordinasi antara orang tua dan guru penanaman nilai tanggung jawab akan sulit
dilakukan. Berdasarkan wawancara penulis dengan Ibu Anidar guru Raudhatul
Athfal Al-Khanza Kota Juang Bireuen behwa menurut beliau:
Cara terbaik melatih murid bertanggung jawab ialah dengan
memberi mereka tanggung jawab. Misalkan dengan memaksimalkan tugas pengurus
kelas, berikan mereka porsi sesuai jabatan mereka. Jika perlu buat detail tugas
yang harus mereka jalankan, sehingga pengurus kelas bukan hanya untuk daftar
dan ditempel di papan administrasi kelas.[3]
Pada hakekatnya tanggung jawab itu tergantung kepada
kemampuan, janganlah lantas kita mengatakan bahwa anak yang berusia tujuh tahun
itu tidak mempunyai tanggungjawab,
karena tidak menjaga adiknya secara baik,
sehingga si adik terjatuh dari atas tembok. Sesungguhnya anak yang baru berusia tujuh tahun tidak akan
mampu melakukan hal seperti itu. Jelaslah bahwa beban tanggungjawab yang
diserahkan pada seorang anak haruslah disesuaikan dengan tingkat kematangan
anak. Untuk itu dengan sendirinya orang tua
merasa perlu untuk lebih jauh mengenal
tentang kemampuan anaknya.
Mencermati pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa
pengelolaan suatu lembaga pendidikan, khususnya RA memiliki tujuan agar sistem
pendidikan berlangsung secara efektif, dan efisien. Dapat dikatan efektif
apabila program kegiatan belajar yang berlangsung didalamnya berfungsi dengan
baik dan mencapai tujuan institusionalnya, yaitu membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani anak didik diluar lingkungan keluarga sebelum
memasuki pendidikan dasar. Dengan kata lain RA merupakan jembatan pendidikan keluarga
dengan pendidikan sekolah
0 Comments
Post a Comment