Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Tanggungjawab Orang Tua Terhadap Pendidikan Keluarga Muslim


A.    Tanggungjawab Orang Tua Terhadap Pendidikan Keluarga Muslim      
                  
Tanggungjawab Orang Tua Terhadap Pendidikan Keluarga Muslim
Setiap orang tua tentu mendambakan anaknya menjadi anak yang saleh, yang memberi kesenangan dan kebanggaan kepada mereka. Kehidupan seorang anak tak lepas dari keluarga (orang tua), karena sebagian besar waktu anak terletak dalam keluarga. Peran orang tua yang paling mendasar didalam mendidik agama kepada anak-anak mereka adalah sebagai pendidik yang pertama dan utama, karena dari orangtualah anak pertama kali menerima pendidikan,baik itu pendidikan umum maupun agama
Pendidikan perlu dilihat sebagai satu proses yang berterusan berkembang serentak dengan perkembangan individu seorang kanak-kanak yang mempelajari apa sahaja yang ada di persekitaran dan dengan ilmu/kemahiran yang diperolehi ia akan mengaplikasikannya dalam konteks yang perbagai samada dalam kehidupan sehariannya di ketika itu ataupun sebagai persediaan untuk kehidupannya di masa yang akan datang. Menurut perspektif Islam, pendidikan anak adalah proses mendidik, mengasuh dan melatih rohani dan jasmani mereka dengan berteraskan nilai baik dan terpuji yang bersumberkan AlQuran dan al-Sunnah. Tujuannya adalah bagi melahirkan insan rabbani yang beriman, bertakwa dan beramal saleh.
Kanak-kanak di peringkat awal umur, mereka tidak dapat membezakan yang baik dan yangburuk dan perlu dibentuk dan dididik sejak dari awal. Barat dan Islam mempunyai perspektif yang sama dalam hal ini, Apa yang membedakan ialah Islam menekankan pembentukan sahsiah seseorang kanak-kanak bukan hanya kelakuan fisikalnya tetapi pemantapan akhlak perlu diterapkan seiring dengan penerapan keimanan di dalam ruh dan jiwanya. Kalau sesuatu informasi yang diterima oleh seseorang kanak-kanak itu hanya diaras pengetahuan tanpa adanya penyemaian aqidah dan pemantapan akhlak, akibatnya generasi yang dihasilkan mungkin bijaksana dan tinggi tahap perkembangan inteleknya tetapi dari aspek-aspek yang lain ia pincang dan tiada keseimbangannya.
Dalam Islam orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu keimanan kepada Allah Swt. Fitrah merupakan kerangka dasar operasional dari proses penciptaan manusia. Di dalamnya terkandung kekuatan potensial untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal dan mengarahkannya untuk mencapai tujuan penciptaannya. Anak adalah amanah Allah yang diberikan kepada setiap orang tua. Anak juga merupakan buah hati, tumpuan harapan serta kebanggaan keluarga. Anak-anak merupakan generasi mendatang yang mewarnai masa kini dan diharapkan membawa kemajuan di masa mendatang.
Dalam litelatur lain mengatakan bahwa Anak-anak yang dilahirkan merupakan satu ujian Allah Swt. kepada kita. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam Alquran surat Al-Anfal ayat 28 yang berbunyi :
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ) ١ﻷﻧﻔﺎﻝ ׃ ۲۸ (
Artinya:  Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.(Qs. Al-Anfal: 28).
Allah Swt. telah menjelaskan kepada kita dalam ayat ini bahawa harta benda dan anak-anak yang kita sayangi ini merupakan satu ujian kepada kita. Jika harta benda yang kita perolehi dengan secara yang halal dan menggunakan ke jalan yang halal maka beroleh ganjaran yang besar daripada Allah Swt. Dalam ayat ini juga Allah Swt. telah menyebut anak-anak juga merupakan ujian kepada orang yang beriman. Jika anak-anak yang kita didik mengikut acuan Islam, maka kita akan beroleh ganjaran yang besar hasil ketaatan mereka.
Semakin dini pendidikan yang diberikan kepada anak, akan semakin berarti bagi kematangan dan kesiapannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sedang dan akan dihadapinya. Tentu, pembinaan pendidikan sejak dini yang dimaksud tidak dilakukan begitu saja atau dipaksakan secara cepat kepada anak. Pembekalan harus disampaikan dengan penuh kasih sayang, rasa hormat, menyenangkan, penuh kesabaran, ketekunan, serta penuh keuletan. Selain itu harus pula disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak sehingga segala perlakuan, cara atau pendekatan yang diterapkan tidak membuat anak stress dan frustasi, merenggut keceriaannya atau mengekang ekspresi dan dinamikanya.
Anak merupakan periode subur bagi perkembangan otak. Segala stimulasi akan merangsang otaknya. Bahkan setelah mengikuti perkembangan anak-anak, Manrique melihat nilai kecerdasan anak yang menerima stimulasi sehingga enam tahun terus semakin kuat, sehingga semakin melebar kesenjangan kecerdasannya dibandingkan teman-teman sebayanya[1]. Oleh karena itu otak anak perlu mendapatkan rangsangan dari lingkungannya.
Lebih lanjut Ali Nugraha dan Neny Ratnawati menjelaskan bahwa:
Segala stimulasi membuat percabangan otak anak menjadi lebih banyak sehingga daerah kortikal otak lebih tebal. Akibatnya, anak menjadi lebih terampil, perkembangan bahasanya cepat dan koordinasi inderanya lebih baik. Sebaliknya otak yang atau tidak pernah digunakan karena tidak mendapatkan stimulasi akan menyebabkan musnah nya sambungan dan percabangan itu.[2]

Demikian penting dan fundamentalnya usia dini pada seorang individu sehingga ada yang mengistilahkan usia ini sebagai “usia emas” (the golden years). Tidak ada masa yang lebih potensial untuk menumbuhkan, mengembangkan dan belajar anak, selain dimulai sejak usia dini, khususnya di usia balita. Interaksi pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Keluarga adalah sebagai lingkungan pertama dan utama[3]. Sebab, dalam lingkungan inilah pertama-tama anak mendapatkan pendidikan, bimbingan, asuhan, pembiasaan dan latihan. Keluarga bukan hanya menjadi tempat anak dipelihara dan dibesarkan, tetapi juga tempat anak hidup dan dididik pertama kali.Orang tua harus memahami perkembangan dan cara belajar anak. Semakin optimal dan luas orang tua mengembangkan otak anak, akan membuatnya semakin tertantang untuk belajar dan mencari pengalaman baru. Dengan demikian sikap dan perilaku orang tua sangat menentukan perubahan pada perilaku dan sikap anak”.[4] Anak belajar secara alami dan perlahan dari orang yang berinteraksi dengannya. Anak sama halnya dengan orang dewasa, ia tidak akan berkembang secara leluasa jika ia berada di bawah tekanan pihak lain. Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan, yaitu bagaimana orang tua memotivasi dan memacu potensi anaknya agar ia tidak menjadi rendah diri dan dapat berkembang baik karena mereka memiliki potensi untuk dapat berkembang menjadi anak yang cerdas dan kreatif.
Nilai budaya yang terjadi dalam keluarga memiliki peran yang sangat besar, sehingga keluarga atau komunitas sangat perlu untuk menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi anak. Tentu dengan mempertimbangkan bahwa pengalaman-pengalaman yang dikembangkan itu memang aktual dandiperlukan bagi kehidupan anak saat itu dan dikemudian hari. “Apa yang diperolehnya dalam keluarga, akan menjadi dasar dan dikembangkan pada kehidupan selanjutnya”.[5]
Lebih lanjut Nana Syaodih Sukmadinata  menjelaskan bahwa:
Orang tua yang berperan sebagai pendidik dalam keluarga, walaupun tidak ada kurikulum khusus yang tertulis yang mereka buat atau ikuti dengan berpegang pada cita-cita dan keyakinan yang dianutnya sebagai rencana pendidikan dan kasih sayang sebagai dasar perbuatan mendidik, para orang tua melakukan upaya-upaya dan tindakan pendidikan.[6]

Dalam kerangka penciptaan lingkungan keluarga yang memberikan nilai edukatif bagi anak, orang tua perlu memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak. Dengan memahami karakteristiknya, orang tua akan dapat menangkap segala isyarat yang ditampilkan anak melalui perilakunya. Hal tersebut bermanfaat untuk merespon perilaku anak sehingga tanggapan yang muncul adalah yang mengandung unsur edukatif. Demikian besar dan menentukannya sikap dan perilaku orang tua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anaknya, sehingga orang tua hendaknya selalu selektif dalam memilih serta mengembangkan sikap dan perilaku pro-aktif terhadap perkembangan anaknya.
Di dalam pola asuh pro-aktif ini orang tua dituntut untuk berpikir dan berinisiatif melakukan tindakan dalam memilih dan menentukan rangsangan terbaik untuk anaknya, tidak hanya bersifat menunggu dan menerima saja apa yang akan terjadi pada anak. Jelas sudah, bahwa orang tua tak bisa menghindarkan diri sebagai pemikul utama yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Hal ini adalah tugas keluarga, lembaga pra sekolah dan sekolah hanya berperan sebagai partner pembantu. Tugs orang tua ini akan sangat mendukung jika mampu menciptakan suasana rumah menjadi tempat tinggal sekaligus basis pendidikan.   
Menurut Abu Ahmad Muhammad Naufal, Agar berhasil dalam mendidik anak, maka orang tua harus lebih dahulu memelihara diri dari hal-hal yang tidak pantas, serta melaksanakan perintah agama dengan baik. Sebab anak lebih cenderung meniru dan mengikuti kebiasaan yang ada dalam lingkungannya. Walhasil mendidik anak dengan contoh perilaku itu lebih baik dari pada dengan nasehat-nasehat lisan. Untuk itulah perlu kiranya diciptakan lingkungan keluarga yang islami. Misalnya, di dalam rumah ada tulisan-tulisan al-qurían dan hadist (sebagai hiasan dinding), sering diputar kaset bacaan al-qurían, atau anak diajak langsung ke tempat peribadatan (masjid dan majlis taklim) atau bahkan diajak shalat bersama kedua orang tuanya. Kedua, keluarga yang acuh tak acuh terhadap pendidikan keagamaan anak-anaknya. Orang tua dari keluarga yang semacam ini tidak mengambil peranan untuk mendorong atau melarang terhadap kegiatan atau sikap keagamaan yang dijalani anak-anaknya. Ketiga, keluarga yang antipati terhadap dampak dari keberadaan pendidikan agama di sekolah atau dari masyarakat sekitarnya. Orang tua dari keluarga yang semacam ini akan menghalangi dan mensikapi dengan kebencian terhadap kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh anak-anaknya dan keluarga lainnya.[7]

Banyak alasan mengapa pendidikan agama dirumah tangga sangat penting. Alasan pertama, pendidikan di masyarakat, rumah ibadah, sekolah frekuensinya rendah. Pendidikan agama di masyarakat hanya berlangsung beberapa jam saja setiap minggu, di rumah ibadah seperti masjid, juga sebentar, disekolah hanya dua jam pelajaran setiap minggu. Alasan kedua, dan ini paling penting, inti pendidikan agama Islam ialah penanaman iman. “Penanaman iman itu hanya mungkin dilaksanakan secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari dan itu hanya mungkin dilakukan di rumah. Pendidikan agama itu intinya ialah pendidikan keberimanan, yaitu usaha-usaha menanamkan keimanan di hati anak-anak kita”.[8]
 Sedangkan menurut Abdul Rachman Shaleh, ada tida macam lingkungan keagamaan dalam kehidupan keluarga yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan dan proses belajar pendidikan agama di sekolah yaitu:
Pertama, keluarga yang sadar akan pentingnya pendidikan agama bagi perkembangan anak. Orang tua dari lingkungan keluarga yang demikian akan selalu medorong untuk kemajuan pendidikan agama serta kebersamaan mengajak anak untuk menjalankan agamanya. Orang tua mendatangkan guru ngaji atau privat agama di rumah serta menyuruh anaknya untuk belajar di madrasah diniyah dan mengikuti kursus agama.[9]

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa orang tua mempunyai tanggung jawab besar dalam mendidik, khususnya didalam melindungi keluarga dan memelihara keselamatan keluarga. Melindungi keluarga bukan hanya memberikan tempat tinggal saja, tetapi memberikan perlindungan supaya keluarga kita terhindar dari mala petaka baik didunia maupun di akherat nanti yaitu dengan cara mengajak keluarga kita kepada perbuatan-perbuatan yang perintahkan oleh Allah Swt dan menjauhi segala larangan-larangannya. Memelihara keselamatan keluarga yaitu mengajarkan keluarga kita supaya taat kepada Allah Swt, agar keluarga kita diberikan keselamatan oleh Allah Swt baik di dunia dan akherat.     
Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan Agama Islam dalam keluarga harus benar-benar dilaksanakan. Dan sebagai orang tua harus menjadi contoh yang baik bagi anak-anknya, karena anak itu sifatnya menerima semua yang dilakukan, yang dilukiskan dan condong kepada semua yang tertuju kepadanya. Jika anak itu dibiasakan dan diajari berbuat baik maka anak itu akan hidup bahagia di dunia dan di akherat. Tetapi jika dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja, maka anak itu akan celaka dan binasa. Maka yang menjadi ukuran dari ketinggian anak itu ialah terletak pada yang bertanggung jawab (pendidik) dan walinya.




               [1] Ali Nugraha dan Neny Ratnawati, Kiat-Kiat Merangsang Kecerdasan Anak, (Panduan Agar Anak Komunikatif dan Berfikir Kreatif), Cet.1,  (Jakarta: Puspa Swara, 2003), hal. 3.

               [2] Ibid., hal. 3.

               [3] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2001), hal. 155.
               [4] Ibid., hal. 4.

               [5] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet.1, (Bandung: Rosda Karya, 2003), hal. 6.

               [6] Ibid., hal. 7.
               [7] Abu Ahmad Muhammad Naufal, Langkah Mencapai Kebahagiaan Berumah Tangga, Cet. 1, (Yogyakarta: Al Husna Press, 1994), hal. 160.

               [8] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Cet. IV, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 134.
               [9]Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Cet. I, (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hal. 96.