Tinjauan Sosiologis Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Anak
A.
Tinjauan Sosiologis Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Anak
Tindak kekerasan, memang tidak penulis pungkiri terkadang
terjadi di dalam dunia pendidikan dan hal tersebut pun terjadi dengan dalih
sebagai “cover” pemberian hukuman terhadap kesalahan anak yang dilakukan
oleh pendidik, kepala sekolah, teman sebaya, dan praktisi pendidikan lainnya.
Hal tersebut terjadi disebabkan karena minimnya wawasan, pengetahuan dan
kesadaran para pendidik terhadap hakikat dan proses pendidikan yang benar dan
efektif sebenarnya. Sehingga hukuman fisik yang berlebihan terhadap anak
terkadang bukan unsur kesengajaan dari pendidik akan tetapi suatu hal yang
belum dipahami secara benar oleh pendidik.
Dari tinjauan sosiologis pemberian hukuman
dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut:
1)
Hukuman fisik yang tidak
terkendali akan menyebabkan tindak kekerasan di dalam dunia pendidikan. Hal ini
akan mendatangkan banyak bencana atau persoalan baru yang menjadi sumber bagi
munculnya sebagian problem sosial yang dirasakan sangat menyakitkan kehidupan
manusia.[1]
Mudah dan seringnya hukuman fisik yang berlebihan terhadap anak, akan membuat
anak menjadi manusia yang berjiwa beku, tidak punya semangat hidup, memiliki
emosi yang labil, berkarakter keras, dan menjadikan anak tidak memiliki rasa
kasih sayang terhadap yang lain.
2)
Hukuman fisik yang berlebihan akan
menghilangkan nilai-nilai kasih sayang dan perhatian antara guru dan anak
didik. Jika hubungan antara anak dan pendidik telah renggang, maka anak didik
akan memilih untuk tidak lagi membangun hubungan sosial yang baik dengan para
civitas di sekolah.[2] Hal
inilah yang kemudian membuat anak mencari tempat lain atau orang lain yang
dianggap olehnya bisa untuk tempat berbagi dan paling mengerti dirinya. Jika
dalam pelariannya tersebut anak mendapatkan teman yang tidak baik, maka anak
akan mengikuti sikap dan karakter teman-temannya tersebut yang dianggap oleh
anak sebagai kawan yang senasib dan sepenanggungan.
Travis Mhirschi dalam Muhammad Nabil Kazhim menjelaskan bahwa:
“Seseorang yang ditolak dari suatu masyarakat, maka ia akan mencari komunitas
di masyarakat lain. Ketika hubungan orang tua/pendidik dengan anak melemah,
kemungkinan akan terjadinya tindak kejahatan oleh anak akan menjadi besar.”[3]
Anak yang terlalu dikeraskan dan terlalu sering mendapatkan
hukuman fisik yang tidak sewajarnya di rumah dan sekolah, akan membuat ketidaknyamanan
sekolah dan rumah bagi anak. Hal yang selanjutnya terjadi adalah anak akan
mengalami stres, tidak terbuka, merasa didhalimi, merasa tidak dicintai, merasa
selalu disalahkan dan merasa dibenci, anak berusaha untuk terlepas dari
perilaku dan dugaan-dugaan itu semua dan jalan yang diambilnya adalah dengan
mengekspresikan dirinya ke tempat-tempat hiburan, jalan, dan
perkumpulan-perkumpulan yang bisa membuat dirinya merasa bebas dari segala
aturan. Sebagimana menurut Travis Mhirschi dalam Muhammad Nabil Kazhim juga
mengungkapkan bahwa:
Ketika anak-anak merasakan suatu
pertentangan nilai-nilai (buruk) yang ada di masyarakat, maka perasaan itu akan
mendorong mereka untuk melakukan tindakan yang salah, yang mana akibatnya
mereka akan mendapatkan celaan, hinaan dan hukuman. Kondisi itulah yang
menyebabkan adanya perasaan ketidaknyamanan dalam diri mereka, bahkan lebih
dari itu akan menanamkan dalam diri mereka rasa marah, perasaan selalu
didhalimi, dan pergaulan mereka dengan orang-orang menjadi buruk. Oleh karena
itu mereka kemudian menempuh jalan keluar yaitu dengan cara lari dari keluarga
dan sekolah menuju jalanan untuk mengekspresikan diri sehingga mampu meredakan
kebingungan dan keresahan yang mereka hadapi.[4]
Dengan berkumpulnya anak di jalanan, kesempatan mendapatkan
pendidikan yang baik dan benar bagi mereka menjadi hilang, dan kata sukses
adalah kata yang jauh dari hidup mereka. Jika hal ini yang tejadi terhadap
anak, maka akan bertambah angka kebodohan dan angka pengangguran di dalam masyarakat
tersebut, efeknya adalah angka ekonomi suatu masyarakat tersebut menjadi rendah
sehingga memicu pada tingkat kejahatan yang semakin tinggi. Tidak diragukan
lagi, jika angka kejahatan semakin tinggi di dalam suatu masyarakat, maka
nilai-nilai akhlak mulia dan norma-norma yang baik sebagai ciri khas dalam
peradaban masyarakat menjadi tidak berlaku lagi.
[1]Jamaal
Abdur Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah, terj. Bahrun Abu
Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2008), hal. 177.
[2]Muhammad
Nabil Kazhim, Mendidik Anak..., hal.137.
[3]Muhammad
Nabil Kazhim, Mendidik Tanpa Memukul, terj. Giarso, (Solo: Abyan, 2009),
hal.131.
[4]Ibid., hal. 131-132.