Tujuan Pendidikan Anak
A.
Tujuan
Pendidikan Anak
Tujuan dari
melaksanakan pendidikan anak untuk memberikan pengetahuan tentang pelajaran
agama Islam yang diajarkan untuk memahami, menghayati, dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Pengetahuan agama termasuk salah pengetahuan terpenting
dalam mengembangkan wawasan keagamaan anak, karena dengan adanya pendidikan
agama, anak dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan langsung dengan pengabdian
manusia kepada Khaliknya.
Oleh karena itu, secara garis besar,
pendidikan anak mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengenal hubungan manusia dengan Allah Swt. (Hablumminallah).
“Hubungan vertikal antara manusia dengan Khaliknya
mencakup dari segi aqidah yang meliputi: iman kepada Allah Swt., Iman kepada Malaikat-malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab-Nya,
Iman kepada Rasul-Rasul-Nya, Iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha
qadar-Nya”.[1]
b. Untuk mengenal hubungan manusia dengan manusia (Hablumminannas).
“Pengetahuan yang diajarkan meliputi: akhlak dalam
pergaulan hidup sesama manusia, kewajiban membiasakan berakhlak yang baik
terhadap diri sendiri dan orang lain, serta menjauhi akhlak yang buruk”.[2]
c. Untuk mengenal hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Pengetahuan tentang
hubungan manusia dengan alam sekitarnya meliputi akhlak manusia terhadap alam
lingkungannya, baik lingkungan dalam arti luas, maupun makhluk hidup selain manusia, yaitu binatang
dan tumbuh-tumbuhan.[3]
Proses penyaluran
ilmu pengetahuan mempunyai fungsi dan peranannya yang amat luas, baik di dalam
tujuan pokok maupun dalam tujuan sementara. Karena hal tersebut menyangkut
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. sudah
sejak awal menjadi ciri dan unsur pokok umat manusia. Iman dapat diartikan dengan “keyakinan yang mantap akan adanya
keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, syari’at serta keputusan-Nya, Maha Pencipta
segalanya Dialah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya,
tiada Tuhan selain Dia”.[4] Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa:
عَنْ أَبِيْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قُلْ لِيْ فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً
لاَ أَسْأَلُهُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ. قَالَ: قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ.
(رواه مسلم)[5]
Artinya: Dari Abi Sufyan bin
Abdullah Radhiallaahu anhu berkata: Aku telah berkata, “Wahai asulullah
katakanlah kepadaku pesan dalam Islam sehingga aku tidak perlu bertanya kepada
orang lain selain engkau. Nabi menjawab, ‘Katakanlah aku telah beriman kepada
Allah kemudian beristiqamahlah. (H. R. Muslim).
Konsep iman yang
dibicarakan dalam bacaan pada umumnya mengacu pada masalah berbakti kepada
Allah Swt. dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltut, yang
dimaksud dengan keimanan “mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi Saw. dan
para sahabatnya; disebut “taqwa” karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi Saw. disebut muslimin, karena mereke berpegang di atas al-haq
(kebenaran), tidak berselisih dalam agama, mereka terkumpul pada para imam al-haq,
dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama”.[6] “Karena itu mengikuti sunnah Rasulullah Saw. maka mereka disebut dengan ahlul
hadits, ahlul autsar, ahlul ‘ittiba’, thaifah al-mansurah
(kelompok yang dimenangkan), dan firqah an-najah (golongan yang selamat)”.[7] Oleh karena itu, mempelajari aqidah akhlak merupakan suatu kewajiban bagi
kaum muslimin yang hendak beriman kepada secara teguh kepada Allah Swt.
Demikian juga dengan
akhlak sebagian dari pelajaran pokok yang diajarkan dalam aqidah akhlak
menyangkut masalah-masalah akhlak dan moralitas dengan mengangkat cerita-cerita
kesabaran dan ketabahan Nabi Saw dalam menghadapi segala macam cobaan, maka
dapatlah diketahui pembinaan akhlak dan moralitas merupakan hal yang sangat
diutamakan disetiap masyarakat sejak dahulu sampai sekarang, terutama dalam
upaya pembinaan manusia seutuhnya dan pembentukan sumber daya manusia yang
berkualitas.
Ada
3 hal tujuan pendidikan anak dalam Islam yaitu:
Pertama, anak sebagai penerus perjuangan tiap manusia mengembann
"misi", manusia harus jadi "khalifah" di muka bumi ini.
Tugasnya mengarahkan manusia untuk "ibadah kepada Allah" dan
mengelola alam sekitarnya sehingga memberi iklim yang kondusif (mendukung)
untuk "ibadah". Perjuangan itu harus dilakukan terus menerus,
dilakukan kesinambungan, dari satu generasi ke generasi lainnya. Orang tua
sejak dini harus mempersiapkan anak untuk jadi generasi lainnya. Orang tua
sejak dini harus mempersiapkan anak untuk jadi penerus
"kekhalifahan", karena pada saatnya kelak ia harus tampil di permukaan
mengganti generasi tua. Kedua, anak adalah amanah dan fitrah. Tiap
manusia adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang
dipimpinnya. Orang tua bisa terangkat harkat dan martabatnya di dunia, juga
menikmati kebahagiaan akhirat, jika ternyata anak-anaknya baik. "ada tidak
amalan yang tidak putus-putus pahalanya walaupun seseorang telah meninggal,
"begitu sabda Nabi, satu diantaranya, anak-anak shaleh yang mendo'akan
orang tuanya. Tapi bisa juga sebaliknya, orang tua hancur namanya, bangkrut
usahanya, karena ulah perbuatan anaknya. Dan di akhirat kecuali ia harus
menanggung dosa sendiri, kesalahannya mendidik anak juga harus ditanggungnya. Ketiga,
anak jadi pengikat tali kasih sayang. Cinta yang menggebu yang membuat
lelaki-wanita sepakat memasuki pernikahan kadang tidak lestari, bahkan bisa
hilang sama sekali dilanda kebosanan. Jika sudah demikian, segala hal sudah
terjadi, masing-masing mencoba berpaling mencari kemungkinan lain kasus
penyelewengan suami atau istri sering bermula dari lunturnya cinta dan
munculnya kebosanan.[8]
Kehadiran
anak bisa memupuk kembali cinta yang luntur, merubah kebosanan dengan
kegairahan. Hubungan suami istri yang berjalan puluhan tahun terkait dengan
datangnya anak di tengah-tengah mereka. Seakan-akan "anak" menjadi
perekat hubungan.
[1]Ahmad
Amin, Etika dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), hal. 2.
[2]Ibid., hal. 3.
[3]Ibid., hal. 4.
[4]Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, (Beirut: Wasyirkah al-Halabi
al-Babi, 1953), hal. 122.
[5]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. II, (Beirut Libanon: Dar al-Fikri,
t.t.), hal. 85.
[6]Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.),
hal. 65.
[7]Ibid., hal. 66.