Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Defenisi Kekerasan dan Perlindungan Anak


A.      Defenisi Kekerasan dan Perlindungan Anak

Anak[1] sebagai generasi penerus bangsa dan negara serta sebagai harapan atau kebanggaan bagi setiap orang tua, sudah seharusnya mendapatkan berbagai macam perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan yang menjadi hak-haknya baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder. Dalam tahapan yang paling awal, anak sama sekali belum memiliki beban, tanggung jawab dan kewajiban apapun, sehingga dalam hal ini anak masih total menjadi tanggung jawab bagi setiap orang tua, masyarakat dan negara.
Jauh sebelum Undang-Undang Perlindungan Anak muncul, negara Indonesia telah terlebih dahulu menguraikan tentang hak-hak anak sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979. Selanjutnya pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) yang diadopsi dari Majelis Umum PBB pada tahun 1989 dengan menetapkan Keppres Nomor 39 tahun 1990 yang membahas tentang persamaan terhadap hak anak yang mencakup beberapa bidang diantaranya adalah:
1.   Hak anak kelangsungan hidup, menyangkut hak anak atas tingkat hidup yang layak dan pelayanan kesehatan.
2.   Hak untuk berkembang, mencakup hak atas pendidikan, informasi, waktu luang, kegiatan seni dan budaya, kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, serta hak anak cacat (kebutuhan khusus) atas pelayanan perlakuan dan perlindungan khusus.
3.   Hak perlindungan, mencakup perlindungan atas segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam, dan perlakuan sewena-wena dalam proses peradilan pidana.
4.   Hak partisipasi, meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, serta hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya.[2]
  
Kemudian bertepatan pada tanggal 23 September 2002, DPR-RI telah menyepakati dan menyetujui tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagai Undang-Undang Perlindungan Anak yang ditetapkan tepatnya pada tanggal 22 Oktober 2002. Undang-Undang perlindungan anak ini ditetapkan dengan bermaksud untuk melengkapi Undang-Undang Nomor 34 tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, dan Keppres Nomor 39 tahun 1990, yang semua itu membahas tentang perlindungan anak, kesejahteraan anak, dan Konvensi Hak Anak (KHA).
Sederetan Undang-Undang dan keputusan pemerintah di atas tentang pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan terhadap anak merupakan salah satu usaha pemerintah Indonesia yang secara terus menerus dalam melakukan upaya perbaikan-perbaikan terhadap hak anak baik dari segi kebutuhan hidup anak, pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial dan perlindungan anak dari hal-hal diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan dan ketidakadilan yang dapat menghambat bahkan merusak masa depan anak.         
Defenisi anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan.”[3] Defenisi Undang-Undang ini mencakup janin, bayi, anak-anak sampai berumur 18 tahun. Undang-Undang ini juga mengatur tanggung jawab sosial anak dan tanggung jawab anak dimuka hukum.
Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam The Sosial Work Dictionary, mendefinisikan abuse sebagai “improper behavior intended to cause phsycal, psychological, or financial harm to an individual or group” (kekerasan adalah prilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologi, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok).[4] Sedangkan dalam Qanun Aceh[5] Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak yang dibuat oleh Pemerintah Aceh dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam pasal 1 ayat 17 didefinisikan bahwa “kekerasan adalah semua bentuk kekerasan fisik, mental dan seksual yang berakibat timbulnya cacat atau luka yang mengenai tubuh dan fikiran.”[6]
 Kekerasan terhadap anak (child abuse) didefenisikan oleh Barker dalam Abu Huraerah yaitu:
the child abuse is the recurrent infliction of physical or emitional injury on a dependent minor, through intentional beatings, uncontrolled corporal punishment, persistent redicule and degradation, or sexual abuse, usually commite by parents or others in charge of the child’s care.[7]
Kekerasan terhadap anak diartikan sebagai suatu tindakan terhadap anak dengan cara melukai berulang-ulang secara fisik dan emosional pada anak yang ketergantungan, melalui desakan keinginan, hukuman badan yang tidak terkendali, degradasi dan cemoohan atau kekerasan seksual, baik yang dilakukan oleh para orang tua, maupun pihak-pihak lain yang seharusnya memberi perlindungan atau perawatan terhadap anak.
Kekerasan (bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPA) adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya.
Batas-batas kekerasan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 ini, tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang berakibat lama, dimana akan menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu. Dengan mengacu pada defenisi, segala tindakan apapun seakan-akan harus dibatasi, dan anak harus dibiarkan berkembang sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak). Hak anak untuk menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain.
Oleh karena itu, kekerasan adalah suatu sikap dan tingkah laku yang disengaja atau secara sadar dilakukan untuk menyakiti dan merugikan orang lain secara fisik, psikis, dan ekonomi. Sedangkan kekerasan yang lebih dikhususkan pada kekerasan terhadap anak merupakan tindak kekerasan yang dilakukan terhadap anak yaitu yang berusia 18 tahun ke bawah (versi Undang-Undang Perlindungan Anak) termasuk juga di dalam kandungan yang dilakukan oleh berbagai pihak tertentu dengan menyakiti anak secara fisik dan psikis serta merugikan anak dari segi waktu dan masa depan mereka.
Fenomena adanya kekerasan terhadap anak inilah yang menarik perhatian berbagai negara bahkan berbagai pihak di dunia untuk membuat sebuah kebijakan yang berpihak kepada anak dengan pernyataan tentang perlindungan anak yang diharapkan mampu bukan hanya mampu melindungi anak akan tetapi juga mampu memenuhi hak-hak anak secara lahiriyah maupun secara bathiniyah.
Dalam Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 pasal 1 ayat 24 disebutkan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”[8] Melihat dari isi qanun ini, menurut penulis perlindungan anak ini merupakan suatu hal yang menjadi tanggung jawab setiap orang yaitu:
1.   Orang tua atau keluarga yang memiliki otoritas penuh dalam mengasuh, mendidik, mengayomi, membesarkan dan memberi cinta serta kasih sayang kepada anak.
2.   Seluruh elemen masyarakat baik itu berupa peran masyarakat yang ada di lingkungan anak-anak dan kepedulian masyarakat terhadap segala kegiatan yang berkenaan dengan usaha penyelenggaraan perlindungan anak.  
3.   Negara atau pemerintah yang memiliki wewenang dalam membuat kebijakan terhadap kepentingan dan kebutuhan untuk terpenuhinya hak-hak anak seperti keamanan lingkungan hidup anak, hak sarana sekolah, tempat bermain, lapangan olah raga, tempat ibadah, tempat kesehatan, tempat rekreasi, rumah tahanan khusus anak, dan sebagainya.        
Dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan perlindungan anak, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak terdapat adanya beberapa asas penyelenggaraan perlindungan anak yang berazaskan pada pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan berasaskan pada prinsip-prinsip dalam Konvensi Hak-Hak Anak (KHA). Adapun yang menjadi prinsip-prinsip KHA yaitu meliputi prinsip non diskriminasi, mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup, hak keberlangsungan hidup dan berkembang, serta penghargaan terhadap pendapat anak.[9]
Penyelenggaraan dalam perlindungan anak merupakan suatu hal yang paling urgen yang tidak bisa dinomorduakan mengingat bahwa penyelenggaraan perlindungan anak ini adalah suatu arah dan solusi terhadap permasalahan yang sering dihadapi dan yang paling dibutuhkan oleh setiap anak. Jika yang menjadi tindak pidana kekerasan terhadap anak adalah kekerasan dari segi fisik, psikis, religi, ekonomi dan seksual, maka ada beberapa hal atau aspek yang menjadi bidang cakupan yang perlu dilakukan dalam usaha pelaksanaan penyelenggaraan perlindungan anak, yaitu:
a)   Penyelenggaraan dari aspek kesehatan terhadap anak. Penyelenggaraan ini dapat dilakukan dengan berbagai program-program kesehatan untuk anak mulai dari kesehatan ibu dan anak saat mengandung, kesehatan bagi bayi dan balita, sampai pada tahap pemberian informasi tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) pada anak usia remaja serta berbagai usaha perlindungan kesehatan anak dari pengambilan organ tubuh anak yang dapat merugikan pertumbuhan hidup mereka.
b)    Penyelenggaraan dari aspek agama. Penyelenggaraan ini dapat dilakukan dengan cara membimbing, membina dan mengajarkan anak untuk mengenal tuhannya sesuai dengan agamanya. Dalam hal ini yang menjadi tanggung jawab utama adalah orang tua anak, karena anak akan mengikuti agama sebagaimana agama orang tuanya.
c)   Penyelenggaraan dari aspek pendidikan terhadap anak. Penyelenggaraan pendidikan ini dapat dilakukan dengan memberi pendidikan yang layak terhadap anak dengan disesuaikan pada kemampuan, bakat dan minat anak itu sendiri.
d)   Penyelenggaraan dari aspek sosial. Penyelenggaraan aspek sosial ini adalah suatu upaya penyelenggaraan perlindungan hak anak agar anak secara mental berani untuk mengeluarkan pendapatnya, mengekspresikan keinginannya, mengembangkan bakatnya, menampilkan karyanya dan beristirahat serta bermain sesuai dengan kebutuhannya.
e)   Penyelenggaraan dari aspek perlindungan khusus. Penyelenggaraan ini dilakukan khusus terhadap anak yang memiliki berbagai latar permasalah yaitu seperti:
-    Anak dalam situasi sebagai pengungsi, korban konflik bersenjata, korban bencana alam,
-    Anak yang berhadapan dengan hukum,
-    Anak dari kelompok minoritas yang terisolasi,
-    Anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan seksual,
-    Anak yang diperdagangkan,
-    Anak yang menjadi korban penyalahgunaan NAPZA,
-    Anak korban penculikan,
-    Anak korban kekerasan baik fisik maupun mental,
-    Anak yang menyandang cacat, dan
-    Anak yang ditelantarkan.[10]
Kekerasan terhadap anak bisa saja terjadi dalam unsur kesengajaan ataupun dengan unsur ketidaksengajaan. Kekerasan yang terjadi dengan unsur kesengajaan terhadap anak adalah kekerasan yang berbentuk seperti pemaksaan terhadap anak untuk menjadi pengemis, pelacuran, anak yang diperdagangkan, anak yang dijadikan penyelundup NAPZA dan sebagainya. Sedangkan kekerasan terhadap anak yang terjadi dengan unsur ketidakkesengajaan adalah kekerasan yang tidak bertujuan langsung untuk menjadikan anak sebagai objek kekerasan, akan tetapi situasi lingkungan masyarakat yang sedang terjadi konflik, bencana alam, peperangan dan pengungsian yang menyebabkan anak terkekang atau tidak bebas untuk bermain dan tidak mendapatkan hak-haknya sebagai layaknya yang sedang tumbuh berkembang untuk mendapatkan keamanan hidup, pendidikan yang efektif, pelayanan kesehatan yang baik dan sebagainya.



[1]Menurut the Minimum Age Conventional  Nomor 138 (1973), pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Conventional  on the Rights of the Child (1989) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sedangkan UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 21 tahun dan belum menikah. Lihat Abu Huraerah, Kekerasan terhadap Anak, (Bandung: Nuansa, 2006), h. 19.    
[2]Abu Huraerah, Kekerasan ..., h. 21-22.
[3]Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h.13.
[4]Abu Huraerah, Kekerasan ..., h. 36.
[5]Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan lainnya dengan mengikuti asas lex specialis derogaat le generasi dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap Qanun. Lihat Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005), h. 31.       
[6]Pemerintah Aceh, Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 Tantang Perlindungan Anak, (Jakarta: Unicef, 2009), h. 8.
[7]Abu Huraerah, Kekerasan..., h. 36.
[8]Pemerintah Aceh, Qanun Aceh Nomor 11..., h. 9.
[9]Apong Herlina dkk, Perlindungan Anak BerdasarkanUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tantang Perlindungan Anak, (Jakarta: Unicef, 2003), h. 15. 
[10] Apong Herlina dkk, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang..., h. 20.