A.
Wanita dalam sejarah.
Status wanita dalam Islam akan lebih mudah
dan jelas dipahami kalau kita juga melihat dan mengkaji bentangan sejarah
peradaban manusia tentang bagaimana wanita diposisikan dalam masyarakat sebelum
datangnya Islam. Apakah masyarakat pra-Islam memposisikan wanita sama, lebih
baik atau bahkan lebih jelek?
Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa
kedudukan wanita, sebelum datangnya Islam, sangat mengkhawatirkan dan rendah
sekali. Bahkan wanita
tidak lebih dipandang sebagai makhluk pembawa sial dan memalukan serta tidak
mempunyai hak untuk diposisikan di tempat yang terhormat dalam masyarakat.
Praktek yang Inhuman ini tercatat berlangsung lama dalam sejarah
peradaban masyarakat jahiliyah. Dalam tradisi Hindu, bahwa ciri seorang isteri
yang baik adalah wanita yang pikiran, perkataan, dan seluruh tingkah lakunya
selalu patuh pada suaminya, apapun sikap yang ditunjukkan oleh suaminya. Dalam
tradisi dan hukum Romawi Kuno bahkan disebutkan bahwa wanita adalah makhluk
yang selalu tergantung kepada laki-laki. Jika seorang wanita menikah, maka dia
dan seluruh hartanya secara otomatis menjadi milik sang suami.
Dalam tradisi Arab, kondisi wanita
menjelang datangnya Islam bahkan lebih memprihatinkan. Wanita di masa jahiliyah
dipaksa untuk selalu taat kepada kepala suku atau suaminya. Mereka dipandang
seperti binatang ternak yang bisa di kontrol, dijual atau bahkan diwariskan.
Arab jahiliyah terkenal dengan tradisi mengubur bayi wanita
hidup-hidup dengan alasan hanya akan merepotkan keluarga dan mudah ditangkap
musuh yang pada akhirnya harus ditebus. Dalam dunia Arab jahiliyah
juga dikenal tradisi tidak adanya batasan laki-laki mempunyai isteri. Kepala
suku berlomba-lomba mempunyai isteri sebanyak-banyaknya untuk memudahkan
membangun hubungan famili dengan suku lain. Ali Asghar Engineer
menjelaskan bahwa kebiasaan kepala suku untuk mempunyai tujuh puluh sampai
sembilan puluh isteri. Budaya barbar penguburan hidup-hidup bayi
wanita dan tidak adanya batasan mempunyai isteri dilarang ketika Islam yang
dibawa Rasulullah Muhammad saw datang.[1]
Tradisi lain yang
berkembang di masyarakat jahiliyyah sebelum Islam datang adalah adanya
tiga bentuk pernikahan yang jelas-jelas mendiskreditkan wanita. Pertama
adalah nikah al-dayzan, dalam tradisi ini jika suami seorang wanita
meninggal, maka anak laki-laki tertuanya berhak untuk menikahi ibunya. Jika
sang anak berkeinginan untuk menikahinya, maka sang anak cukup melemparkan sehelai
kain kepada ibunya dan secara otomatis dia mewarisi ibunya sebagai isteri. Kedua,
zawj al-balad, yaitu dua orang suami sepakat untuk saling menukar isteri
tanpa perlu adanya mahar. Ketiga adalah zawaj al istibda.
Dalam hal ini seorang suami bisa dengan paksa menyuruh isterinya untuk tidur
dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang isteri dipaksa untuk
kembali lagi kepada suami semula. Dengan tradisi ini diharapkan sepasang suami
isteri memperoleh “bibit unggul” dari orang lain yang dipandang mempunyai
kelebihan.
Kita juga
mengenal dalam sejarah bahwa banyak wanita didunia ini yang memiliki moral yang
bejat dan sangat kejam. Itu di karenakan mereka tidak mengenal agama sehingga
bertindak sesuai dengan kehendak hatinya. Sebagai contoh misalnya Ratu
Elizabeth I (Elizabeth Bathory 1533 – 1603) seorang pembunuh berantai
terbesar dalam sejarah. Tercatat kurang lebih 650.000 nyawa manusia melayang
sia-sia ditangannya. Ini adalah rekor kasus pembunuhan berantai yang dilakukan
oleh seorang individu dengan memakan korban tertinggi sepanjang sejarah umat
manusia dalam ‘programnya’ menindas para penganut Katolik. Tak kurang ribuan
penganut Katolik di Inggris dan Irlandia dibantai dengan keji. Elizabeth
Bathory adalah Ratu Inggris sadis. Dia menganjurkan perompakan melawan
kapal-kapal Spanyol dan mendukung penukaran budak. Elizabeth Bathory adalah
potret wanita tak bermoral.
Selanjutnya
ke arah pojok bumi paling selatan di New Zealand (Selandia Baru) kita
mengenal Williamina “Minnie” Dean 1844 – 1895. Minnie Dean adalah
sosok wanita yang nyawanya berakhir di tiang gantungan akibat kekejianya
terhadap manusia. Minnie berpura-pura menyelamatkan gadis muda hamil
yang miskin untuk diasuhnya. Waktu itu ada pengucilan dari warga bagi
wanita-wanita muda yang kedapatan hamil tanpa suami. Begitu banyaknya
wanita-wanita muda tanpa suami memunculkan satu fenomena ‘baby farming’.
Dimana orang akan mengajukan diri untuk mengambil anak mereka dan membesarkan
mereka dengan gaji dari pemerintah. Melihat momen ini Minnie datang
sebagai ‘super hero’ dan menawarkan diri sebagai ibu asuh.
Bukannya
mengasuh dan membersarkan mereka, malah wanita drakula ini memilih membantai
semua anak-anak itu hanya untuk mengambil hak gaji si anak yang di jatahkan
pemerintah. Perbuatan keji ini sangat memungkinkan dilakukan karena orang tua
adopsi tidak harus mendaftar sesuai hukum. Dalam banyak kasus, anak-anak itu
lenyap di rumah para orang tua asuh ini. Dean membunuh paling tidak 3 anak
tetapi banyak orang menduga dia membunuh lebih dari itu. Sampai saat ini,
tulang dari 3 anak itu disimpan didalam museum pribadi polisi Selandia Baru.
Ini adalah secuil kisah wanita kejam dari kisah-kisah lainya yang tercatat
sebagai sejarah kelam.[2]
Dari
pemaparan bentuk-bentuk tradisi masyarakat pra-Islam terhadap wanita diatas
kita bisa berasumsi bahwa wanita sebelum Islam sangat dipandang rendah dan
tidak dianggap sebagai manusia, mereka lebih dipandang sebagai barang seperti
harta benda. Dengan asumsi ini kita dengan mudah akan melihat bagaimana Islam
memposisikan wanita dan mencoba menghapus tradisi jahiliyah tersebut.
0 Comments
Post a Comment